Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK


DAN
ALUR ADMINISTRASI
PERPAJAKAN DI INDONESIA”

Disusun Oleh: Kelompok 1

 Siti Hardianti
 Nur Addina
 Susi Aruan
 Muhammad Arjoni
 Zaynudin Tanjung
 Edrian Sihombing

Kelas : XI IPS
Guru Mata Pelajaran : Chairani Situmorang, S.E

SMA SWASTA HAPARAN


Tahun Ajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang mana berkat limpahan rahmat-Nya kami selaku
penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Sistem Pemungutan Pajak Dan Alur
Administrasi Perpajakan Di Indonesia” ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga
dan sahabatnya.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Semoga bantuan dari pihak yang telah mendukung kami mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Simangalam, 13 April 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak ......................................................................................................... 2


B. Sistem Pemungutan Pajak ........................................................................................... 4
C. Alur Administrasi Perpajakan Di Indonesia ............................................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 13
B. Saran ......................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pajak merupakan sumber penghasilan penting negara yang berasal dari rakyat.
Karena pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting, maka pajak
dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat
dipaksakan penagihannya. Untuk mewujudkan sebuah kenaikan pendapatan negara,
pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari
sektor pajak. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
penerimaan negara dari sektor pajak adalah dengan melakukan reformasi perpajakan,
yaitu dengan melakukan reformasi terhadap Peraturan Perundang-undangan Perpajakan
serta sistem administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga
potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan
menjunjung asas keadilan sosial dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak
(WP) (Rysaka., et al, 2014).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara berupa uang yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang dapat dipaksakan
sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung
untuk keperluan negara dalam menyelenggarakan pemeritahan demi mencapai
kesejahteraan umum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pajak?


2. Bagaimana sistem pemungutan pajak?
3. Bagaimanakah alur administrasi perpajakan di indonesi?

C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu pajak.


2. Mengetahui sistem pemungutan pajak.
3. Mengetahui alur administrasi perpajakan di indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak

Pengertian pajak secara ekonomis (pajak sebagai perpindahan kekayaan dari sektor
swasta ke sektor pemerintah) atau secara yuridis (pajak sebagai iuran wajib) dapat diambil
suatu kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai
berikut.

a. Pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
b. Pemungutan pajak menghendaki adanya alih dana (sumber) dari sektor swasta (wajib
pajak pembayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak, administrator pajak).
c. Tidak terdapat suatu hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan imbalan
jasa artinya si pembayar pajak tidak mendapat imbalan langsung atas pembayaran
pajak yang dilakukannya. Karena jasa yang diberikan negara adalah bersifat jasa
umum kemasyarakatan untuk semua orang, dan bukan terhadap individu pembayar
pajak. Jasa tersebut misalnya berupa pembangunan jalan, jembatan, menjaga
keamanan negara, mendirikan rumah sakit, dan sebagainya.
d. Pemungutan pajak diperuntukkan keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahannya, baik rutin maupun pembangunan.
e. Pemungutan pajak dihubungkan dengan adanya suatu keadaan, kejadian, dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang, misalnya keadaan
kekayaan seseorang, terjadinya perolehan pendapatan dan perbuatan pemindahan
barang.

Fungsi pajak menurut Rahman (dalam Nurhidayah, 2015), yaitu: a. Fungsi Anggaran:
sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Biaya tersebut digunakan untuk menjalankan tugas rutin negara dan
untuk melaksanakan pembangunan. b. Fungsi Mengatur: melalui kebijaksanaan pajak,
pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi. Dengan fungsi mengatur, pajak dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. c. Fungsi Stabilitas: pemerintah memiliki
dana yang berasal dari pajak untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan
stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. d. Fungsi Retribusi Pendapatan: pajak
yang sudah dipungut oleh negara dari masyarakat akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka
kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Fungsi pajak yang lazim kita ketahui adalah fungsi: 1. budgetair (anggaran), 2.
regulerend (mengatur), 3. sarana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan negara.
Fungsi budgetair (anggaran) merupakan fungsi utama dari pungutan pajak. Menurut fungsi
ini pungutan pajak dimaksudkan sebagai alat untuk mengisi kas/anggaran negara. Beberapa
jumlah pajak keseluruhan yang harus di pungut oleh negara ditentukan dalam budget
2
(anggaran) tahunan. Fungsi budgetair dari pajak berarti bahwa pungutan pajak oleh negara
dilakukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan baik rutin maupun
belanja pembangunan. Sesuai dengan budget pengeluaran rutin dan pembangunan negara
setiap tahun maka biaya tersebut sedapatnya ditutup dengan penerimaan pajak yang
dikumpulkan dari masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peranan penerimaan pajak dalam menunjang APBN sangat signifikan dari tahun ke tahun.
Misalnya pada tahun 2007 menunjukkan angka persentase sekitar 70%, sementara itu
penerimaan PNBP adalah sekitar setengahnya dari penerimaan pajak dan selebihnya
penerimaan dari hibah. Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan pajak, ditempuh
berbagai kebijakan yang meliputi upaya: 1. intensifikasi pemungutan pajak; 2. ekstensifikasi
subjek/objek pajak; 3. kerja sama dengan Instansi Pemerintah dalam rangka pengumpulan
data; 4. mengoptimalkan bank data secara elektronik; 5. peningkatan pelayanan kepada wajib
pajak.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak
kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah: 1. Teori
Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak
kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang.
Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus
dibayar. 3. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya
pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya
pikul dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu: a. Unsur Objektif, dengan melihat besarnya
penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. b. Unsur Subjektif, dengan
memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4. Teori Bakti Dasar
keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga
negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai
suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan
pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan. (Mardiasmo, 2016:5)

Yang menjadi subjek dan objek pajak di Indonesia adalah: a. Orang Pribadi. b. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. c. Badan, terdiri dari
perseroan terbatas, perseron komanditer, perseroan lainya, BUMN/BUMD dengan nama dan
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainya, lembaga, dan bentuk badan
lainya termasuk kontrak investasi kolektif. d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

3
a. Penggantian atau imbalan berkenan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, hononarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang. b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba usaha. 1.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a. Keuntungan karena
pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal. b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainya. c. Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha,
atau reogranisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun. d. Keuntungan karena pengalihan
harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau Orang Pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Keuntungan karena penjualan atau
pengalihan sebagian atau seluruh hak pertambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam perusahaaan pertambangan. 2. Penerimaan kembali pembayaran
pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. 3.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 4.
Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 5. Royalti atau imbalan
atas penggunaan hak. 6. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 7.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 8. Keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 9.
Keuntungan selisih kurs. 10. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 11. Premi
asuransi. 12. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 13. Tambahan kekayaan
netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 14. Penghasilan dari usaha
berbasis syariah. 15. Imbalan bunga sebagaiman diatur dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. 16. Surplus Bank Indonesia.
Pajak Penghasilan (PPh) itu sendiri memiliki beberapa jenis dan salah satunya adalah: PPh
Pasal 21 Pajak Penghasilan. Pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan berupa gaji, hononarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri (Waluyo, 2014:201).

B. Tata Cara Pemungutan Pajak

Dasar pemungutan pajak adalah undang-undang pajak (untuk setiap jenis pajak), yang
bersumber kepada suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Untuk memudahkan
pelaksanaan pemungutan pajak maka berdasarkan Undang-Undang Pajak itu dibuat aturan
pelaksanaannya oleh pemerintah yaitu: a. Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak untuk
Pajak Pusat; dan b. Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri untuk Pajak Daerah.

4
Susyanti dan Ahmad (2015:3) menunjukkan bahwa berdasarkan sistem
pemungutannya, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Pajak Langsung Pajak langsung
adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain. Contoh pajak laangsung yaitu: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). 2. Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang
pembayarannya bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh Pajak Tidak Langsung yaitu
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea Materai, Cukai, Bea
Impor, Ekspor. Mardiasmo (2016:7) menyatakan bahwa berdasarkan sifatnya, pajak
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Pajak subjektif. Pajak subjektif yaitu pajak yang
berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadilan diri Wajib
Pajak. 2. Pajak objektif Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Pajak berdasarkan Lembaga Pemungutan
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Pajak Pusat Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat yang pemungutan di daerah dilakukan oleh KPP. Pajak yang termasuk
pajak pusat yaitu PPh, PBB, PPN, PPnBM, BPHTB, Pajak Migas dan Pajak Ekspor. 2. Pajak
Daerah Pajak daerah adalah pajak yang kewenangan pemungutan dilakukan pemerintah
daerah.

Menurut Mardiasmo (2016:8-10) tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan


berdasarkan 3 (tiga) stelsel: a. Stelsel nyata (riel stelsel), yaitu pengenaan pajak berdasarkan
pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada
akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. b. Stelsel
anggapan (fictieve stelsel), yaitu pengenaan pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang
diatur oleh undang-undang. Misalnya penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang
terutang untuk tahun yang berjalan. c. Stelsel campuran, dimana stelsel ini merupakan
kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan yaitu pada awal tahun besarnya pajak
dihitung berdasarkan suatu anggapan dan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

Menurut Susyanti et al. (2016:5) di Indonesia menganut 3 (tiga) asas pemungutan


pajak yaitu: a. Asas domisili (asas tempat tinggal) dimana negara berhak mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan
yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri dan asas ini berlaku untuk Wajib Pajak
dalam negeri. b. Asas sumber dimana negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas
kebangsaan dimana pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Sistem
pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: a. Official Assessment system,
yaitu sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas
pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang Wajib Pajak. Sistem pemungutan pajak
ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984 dan ciri-cirinya
sistem pemungutan ini adalah pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, Wajib Pajak
bersifat pasif, dan hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang
terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak. b. Self Assessment System, yaitu

5
sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung
sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang seharusnya yang
dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah pajak yang terhutang dihitung sendiri
oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak
terhutang yang seharunya dibayar, dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan sirat ketetapan
pajak setiap saat kecuali oleh kasuskasus tertentu saja seperti Wajib Pajak terlambat
melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar
tetapi tidak bayar. c. Withholding system, yaitu sistem pemungutan pajak ini memberikan
wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya
pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain
pemerintah dan Wajib Pajak. Pada tahun 1984 Official Assessment system sudah tidak
berlaku lagi, sehingga di Indonesia hanya menganut sistem self assessment dan withholding
system.

Syarat pemungutan pajak agar bisa berjalan lancar dan tidak menimbulkan hambatan
atau perlawanan adalah: 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan). Sesuai dengan
tujuan hukum, yakni mencapai keadilan undang-undang maupun pelakasanaan pemungutan
pajak harus adil. Adil secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan
banding kepada pengadilan pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang
(Syarat Yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakaan keadilan, baik bagi negara maupun
warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis). Pemungutan tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat
Finansiil). Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih rendah dari hasil
pemungutannya. 5. Sitem pemungutan pajak harus lebih sederhana. Sistem pemungutan yang
sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
(Mardiasmo, 2016:4-5)

Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam pembuatan undangundang pajak di


samping harus memenuhi asas keadilan juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. a.
Syarat yuridis Syarat yuridis menghendaki agar hukum pajak harus dapat memberikan
jaminan dan kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik bagi
negara (pemungut pajak) maupun untuk masyarakat (pembayar pajak, wajib pajak). Di
Indonesia sebagai negara hukum, dasar pemungutan pajak diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945 setelah Amandemen ke-tiga Pasal 23A, yang menyatakan bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat disusunlah undang-undang pajak, untuk setiap jenis pajak yang dipungut.
Dalam menyusun undang-undang pajak tersebut, harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut. 1) Hak-hak pemungut pajak yang telah diamanatkan oleh undang-undang harus

6
dijamin dapat dilaksanakan dengan baik. 2) Para wajib pajak harus mendapat jaminan
kepastian hukum, agar tidak diperlakukan kurang adil oleh pemungut pajak. 3) Adanya
jaminan tentang kerahasiaan data wajib pajak. b. Syarat ekonomis Syarat ekonomis
menghendaki agar pemungutan pajak tidak menghalangi atau menghambat atau bukan
menjadi kendala terhadap keseimbangan dalam kehidupan perekonomian, bahkan sebaliknya
justru pajak harus menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, hal tersebut sesuai dengan
fungsi mengatur yang melekat pada pajak. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan perpajakan
harus diusahakan agar pemungutan pajak tidak menghambat lancarnya produksi dan
perdagangan serta merugikan kepentingan umum atau menghalangi usaha masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan. Syarat ekonomis ini dapat dipakai untuk mendorong atau menunjang
kebijaksanaan ekonomi pemerintah, misalnya untuk mendorong pemerataan penghasilan
diberlakukan tarif progresif untuk pajak penghasilan dan sebagainya. c. Syarat finansial
Syarat finansial menghendaki agar jumlah penerimaan pajak sedapat mungkin cukup untuk
menutup belanja pemerintah (fungsi budgetair), di samping itu biaya pemungutan pajak
hendaknya tidak terlalu besar, dan tetap memperhatikan unsur efisiensi.

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak Penghasilan sehubungan dengan


pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi subjek pajak
dalam negeri, yang disebut PPh 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
hononarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Orang
Pribadi. Sedangkan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 21 adalah: 1. Pemberi kerja
yang terdiri dari Orang Pribadi dan Badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan
atau unit. 2. Bendaharawan pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk institusi
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembagalembaga lainnya,
dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. 3. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT ASABRI. 4. Perusahaan dan Bentuk Usaha
Tetap. 5. Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi masa, organisasi
politik dan organisasi lainya serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. 6. Penyelenggara kegiatan.

Selanjutnya yang disebut sebagai penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21
adalah: 1. Pegawai. 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, termasuk ahli warisnya. 3. Bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan antara lain
meliputi: a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi,
pelawak, bintang film, foto model, penari, pelukis dan seniman lainya. c. Olahragawan. d.
Pengajar, pelatih, penceramah dan moderator. e. Peneliti, pengarang dan penerjemah. 4.
Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang bukan pegawai tetap. 5. Mantan
pegawai, 6. Peserta kegiatan yang menerima aatau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaan dalam suatu kegiatan.

7
C. Administrasi Pajak

Pajak dalam arti luas dapat dilihat dari berbagai aspek berikut. a. Sebagai fungsi
Administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan. 1) Fungsi perencanaan Administrasi pajak sebagai bagian dari
administrasi publik merupakan dan melakukan juga fungsi perencanaan, yakni merencanakan
apa yang akan dicapai fiskus, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka
panjang. Praktik fungsi perencanaan ini terlihat dari pasal-pasal dalam UUD 1945, amanat
dalam GBHN, undang-undang dan rencana penerimaan pajak di dalam REPELITA,
PROPENAS, dan RAPBN. Fungsi perencanaan meliputi pengajuan alternatif-alternatif dan
pengambilan keputusan terhadap apa yang akan dicapai, dengan cara apa, siapa dan
bagaimana. Jika diteliti misalnya dalam RAPBN tahun 2011 terdapat perencanaan
penerimaan pajak yang terutang dalam angka-angka sebagai berikut. a) Pajak Penghasilan
Rp414.493,0 triliun b) Pajak Pertambahan Nilai Rp 309.335,1 triliun c) Pajak Bumi dan
Bangunan Rp 27.676,2 triliun d) Cukai Rp 60.711,5 triliun e) Pajak lainnya Rp 4.201,5 triliun
Jumlah Rp 839.540,3 triliun 2) Fungsi pengorganisasian Administrasi pajak sebagai bagian
administrasi publik melakukan juga fungsi pengorganisasian dalam bentuk pengelompokan
tugas, tanggung jawab, wewenang dan para petugas (Sumber Daya Manusia) sedemikian
rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien. Pengorganisasian
dalam perspektif postmodern adalah menjadikan organisasi sebagai organisasi pembelajar
(learning organization) dengan sasaran untuk mendapatkan inovasi. Dalam praktik fungsi ini
terwujud dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Organisasi
dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 443/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 473/KMK.01/2004, organisasi Direktorat Jenderal Pajak
yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Pajak terdiri dari organisasi pada tingkat pusat dan
organisasi pada tingkat wilayah. Direktorat Jenderal Pajak pada hakikatnya adalah tax bureau
yang mengadministrasikan penerimaan negara yang berasal dari pajak. Kantor Pusat a.
Sekretariat Direktorat Jenderal. b. Direktorat Peraturan Perpajakan I. c. Direktorat Peraturan
Perpajakan II. d. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. e. Direktorat Intelijen dan
Penyidikan. f. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian. g. Direktorat Keberatan dan Banding.
h. Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan. i. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan
Hubungan Masyarakat. j. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan. k. Direktorat
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur. l. Direktorat Transformasi
Teknologi Komunikasi dan Informasi. m. Direktorat Transformasi Proses Bisnis. n. Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. o. Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan
Jakarta Khusus Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dan Madya. p. Kantor Pelayanan
Pajak Pratama. q. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

3) Fungsi penggerakan Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik


melakukan juga fungsi penggerakan dalam bentuk kegiatan mempengaruhi pegawai untuk

8
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam
perencanaan. Fungsi penggerakan menduduki tempat yang strategis karena fungsi inilah yang
sangat berhubungan erat dengan sumber daya manusia. Fungsi penggerakan meliputi
pemberian motivasi kerja kepada pegawai sedemikian rupa supaya mereka bekerja dengan
semangat yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi. Selain motivasi, hal-hal yang
penting lain dalam fungsi penggerakan adalah kepemimpinan, komunikasi, penilaian dan
pengembangan. Fungsi penggerakan dilaksanakan oleh setiap pimpinan unit organisasi, mulai
dari Kepala Subseksi pada Kantor Pelayanan Pajak sebagai pimpinan pada level terbawah
sampai pada Direktur Jenderal Pajak sebagai level tertinggi pada Direktorat Jenderal Pajak.
Beberapa contoh realisasi pelaksanaan fungsi penggerakan pada Direktorat Jenderal Pajak
adalah selain hal-hal umum yang berlaku bagi pegawai negeri sipil juga pemberian tunjangan
khusus kepada pegawai, mutasi, dan rotasi pada periode tertentu dan pemberian tanda-tanda
penghargaan. Pada awal REPELITA I, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (dan Departemen
Keuangan pada umumnya) pernah memperoleh tunjangan sebesar 9 kali lebih besar daripada
pegawai negeri lainnya. 4) Fungsi pengawasan Administrasi pajak sebagai bagian dari
administrasi publik melakukan juga fungsi pengawasan, yaitu suatu proses mengamati dan
mengupayakan supaya apa yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.
Jika terjadi penyimpangan maka perlu tindakan koreksi atau pembetulan. Fungsi ini
dilaksanakan oleh setiap unsur pimpinan pada jajaran organisasi Direktorat Jenderal Pajak.
Rencana penerimaan pajak pada setiap awal tahun fiskal merupakan rencana atau standar
yang akan dicapai pada tahun fiskal yang bersangkutan. Misalnya, untuk tahun fiskal 2011
jumlah dana yang diharapkan akan diterima melalui penerimaan pajak adalah sebesar
Rp839.540,3 triliun. Jumlah tersebut akan berasal dari Kanwil-Kanwil seluruh Indonesia dan
dari saat ke saat, misalnya secara formal setiap triwulan sekali, pimpinan melaksanakan
fungsi pengawasan dengan mengadakan evaluasi melalui suatu rapat kerja terhadap apa yang
telah dicapai, menetapkan koreksikoreksi dan upaya-upaya lain supaya jumlah sebesar
Rp839.540,3 triliun yang telah dianggarkan tersebut dapat tercapai, bahkan terlampaui.
Fungsi pengawasan selain dilaksanakan sendiri oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui atasan
langsung masing-masing unit (pengawasan melekat), juga secara fungsional dilaksanakan
oleh Inspektur Jenderal

Departemen Keuangan, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan


BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). b. Sebagai sistem Sebelum menguraikan administrasi
pajak sebagai suatu sistem, perlu melihat kembali pengertian sistem yang telah disajikan pada
modul terdahulu. Berikut ini beberapa penekanan saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia
merumuskan sistem sebagai berikut. 1) Seperangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. 2) Susunan yang teratur dari pandangan, teori,
asas dan sebagainya. 3) Metode. Selanjutnya Encyclopaedia of Professional Management
mendefinisikan system sebagai A set of interrelated components that functions together
within constraints toward a common purpose. Di tempat lain, The World Book
Encyclopaedia merumuskan bahwa A System is any group of people, machines, or other
element that work together to do a certain job. Dengan demikian, administrasi pajak sebagai
suatu sistem adalah seperangkat unsur yang saling berkaitan yang berfungsi bersama-sama
untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu tugas tertentu. Jika ditinjau dari kenyataan

9
yang ada dalam praktik maka yang dimaksud dengan seperangkat unsur dalam administrasi
pajak adalah berikut ini. 1) Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. 2) Orang-orang
atau para pegawai Direktorat Jenderal Pajak. 3) Gedung, mesin. 4) Masyarakat wajib pajak.
Apabila semua unsur di atas melakukan fungsi masing-masing secara bersama-sama maka
akan tercapai tujuan bersama, yakni pemasukan pajak ke dalam kas negara. Administrasi
pajak sebagai suatu sistem merupakan suatu subsistem dari keuangan negara. Selanjutnya,
keuangan negara hanya merupakan suatu subsistem dari administrasi negara. Administrasi
negara pun hanya merupakan suatu subsistem dari kehidupan kenegaraan pada umumnya.
Demikianlah setiap sistem merupakan suatu subsistem dari sistem yang lebih luas yang satu
sama lain saling berhubungan, saling berkaitan dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Bahkan setiap pajak merupakan suatu sistem sehingga dikenal misalnya sistem pajak
penghasilan, sistem pajak pertambahan nilai dan sistem pajak bumi dan bangunan. c. Sebagai
lembaga Administrasi pajak dapat dilihat sebagai suatu lembaga, yaitu sebagai salah satu
Direktorat Jenderal pada Departemen Keuangan R.I., yang terwujud pada adanya kantor-
kantor mulai dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Kantor-Kantor Wilayah,
Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Penyuluhan
dan Pengamatan Potensi Perpajakan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak yang telah
dibahas di atas. Sangat disadari bahwa administrasi pajak tidak dapat secara jelas dipisahkan
sebagai fungsi, sistem, dan lembaga, memang tidak ada pembagian/pemisahan yang
demikian. Penyajian administrasi pajak apakah sebagai fungsi, sistem, atau lembaga hanyalah
sebagai alat kemudahan untuk memahami dari segi-segi tersebut. d. Manajemen publik
Administrasi pajak yang terdiri dari pimpinan, staf, peralatan, pengetahuan, dan sistem yang
ada, pada tataran makro pada hakikatnya adalah manajemen publik yang merupakan
pertautan antara manajemen, politik dan hukum. Administrasi pajak pada tataran ini
menuntut manajemen tax bureau untuk mengelola, memanfaatkan dan menciptakan
pengetahuan di antara sumber daya yang ada untuk mencapai berbagai inovasi, antara lain
dengan cara mengubah organisasi yang hierarkis menjadi suatu organisasi pembelajaran
(learning organization). Selanjutnya, menurut R. Mansury administrasi pajak meliputi 3
aspek sebagai berikut. 1) The institution that is assigned to administer the tax system, i.e., the
tax department, or in Indonesia the Directorate General of Taxation. 2) The people working
within Directorate, i.e., the tax officials. 3) The administrative activities performed by the
staff of the Directorate. Betapa pentingnya administrasi pajak dalam suatu sistem perpajakan,
serta hubungan administrasi pajak dan Undang-undang/hukum pajak dapat dilihat pada
pendapat berikut ini.

The operation of any tax system and the attitude of taxpayers toward it are strongly
influenced by the quality of its administration. It is often said that the defects of a bad tax
may be substantially corrected by good administration, while bad administration may convert
a good tax into an instrument of injustice. Good administration in this sense involves on the
part of those responsible for it high qualities of intelligence, impartially and moral strength.

Administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap
kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut
dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan

10
penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying)
dan penyimpanan (filing).

Hukum pajak formal memuat tentang hak-hak dan kewajiban wajib pajak dan yang
termasuk dalam kewajiban wajib pajak, antara lain berikut ini. a. Mendaftarkan diri pada KPP
untuk mendapatkan NPWP. b. Mengambil formulir SPT (Surat Pemberitahuan) di KPP. c.
Mengisi dan menandatangani SPT. d. Menyampaikan SPT ke KPP dalam jangka waktu
tertentu. e. Melunasi pajak yang terutang tepat pada waktunya. f. Mengadakan pembukuan
bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. g. Memikul
sanksi perpajakan apabila lalai atau sengaja melanggar kewajiban perpajakan. Yang termasuk
dalam hak-hak wajib pajak, antara lain: 1. Menerima NPWP dari KPP. 2. Memperpanjang
batas waktu penyampaian SPT. 3. Membetulkan SPT. 4. Menerima kelebihan bayar pajak
(restitusi). 5. Memperhitungkan kelebihan bayar pajak dengan utang pajak lainnya
(kompensasi). 6. Mengangsur pembayaran pajak. 7. Mengajukan keberatan dan banding

Tugas pokok administrasi pajak sebagai berikut tugas pertama dari administrasi pajak
adalah Enumeration, yakni mengidentifikasi Wajib Pajak dalam bentuk pemberian NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak). Ketentuan mengenai Enumeration di Indonesia diatur dalam
Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tugas
pokok kedua adalah estimation, yakni menghitung atau mengestimasi berapa jumlah pajak
yang akan terutang dan harus dibayar oleh wajib pajak. Ketentuan mengenai estimation diatur
dalam Pasal 25 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh. Pasal 25 ini dikenal juga dengan
pelunasan pajak pada tahun berjalan. Tugas ketiga dari administrasi pajak adalah
enforcement, yakni melakukan upaya dan tindakan supaya utang pajak dibayar oleh wajib
pajak tepat pada waktunya. Ketentuan tentang enforcement di Indonesia diatur dalam UU No.
19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Tindakan Enforcement ini dapat berupa Surat Teguran,
Surat Paksa, Sita, Pelelangan, Pencegahan dan Penyanderaan. Sebenarnya, sebelum sampai
ke Enforcement, masih ada satu fungsi lagi, yakni fungsi pengawasan terhadap kepatuhan
wajib pajak dalam bentuk pemeriksaan. Secara teknis, pengawasan terhadap pemenuhan
kepatuhan perpajakan ini dilaksanakan oleh Kantor Pemeriksaan Pajak yang pada umumnya
hasil pemeriksaan tersebut akan muncul sebagai suatu Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan
tentang pemeriksaan diatur dalam Pasal 29 UU KUP 2007.

Tarif pajak yang kita kenal dan ditetapkan selama ini dapat digolongkan sebagai
berikut. Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar
pengenaan pajaknya berbeda/berubah sehingga jumlah pajak yang terutang di sini selalu
tetap. Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar apabila dasar
pengenaan pajaknya meningkat. UU Nomor 17 Tahun 200 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
menganut sistem pajak progresif. Tarif sebanding/proporsional adalah tarif persentase yang
tetap terhadap berapa pun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak.

Waluyo (2014:17-18) menyebutkan bahwa terdapat 4 macam tarif pajak yaitu sebagai
berikut: 1. Tarif sebanding/proporsional Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap

11
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. 2. Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap
terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
3. Tarif progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi: a. Tarif
progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar b. Tarif progresif tetap : kenaikan
persentase tetap c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil 4. Tarif
degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mempelajari modul ini dengan baik, secara umum (Tujuan Instruksional
Umum) diharapkan Anda dapat memahami dan menjelaskan mengenai apa yang
dimaksud dengan pajak dan administrasi pajak, serta fungsi dan syarat dalam
pemungutan pajak. Sedangkan tujuan instruksional khusus (TIK) yang diharapkan
setelah Anda mempelajari modul satu ini adalah Anda dapat menjelaskan: 1. pengertian
pajak; 2. administrasi pajak yang dilaksanakan di Indonesia yang meliputi kelembagaan,
administrasi SDM, dan prosedur perpajakan; 3. fungsi dan syarat pemungutan pajak yang
dilakukan di Indonesia beserta besaran tarif pajak yang dikenakan.

B. Saran

Diharapkan, dengan adanya Pajak tersebut pengumpulan dana pembiayaan


pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik, kelembagaan, administrasi sumber
daya manusia maupun dari prosedur perpajakan yang berlaku semakin meningkat. Dan
dapat mebuat Indonesia semakin maju dan berkembang.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://repositori.ukdc.ac.id/126/2/bab%20I%20%2B%20bab%20II%20yanuar.pdf

http://repository.ut.ac.id/3824/2/ADBI4330-M1.pdf

http://eprints.unm.ac.id/5467/1/BAB%20I%2CII%2CIII%20IV%20V.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai