Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERPAJAKAN
Dasar Hukum dan Prinsip Pemungutan Pajak

Dosen Pengampu:
Latifah Hanum, M.S.A, A.k.

Disusun Oleh:
1. Muhammad Zidny Ahsan (205030207111031)
2. Arjun Dwi Saputra (205030207111034)
3. Afisya Ainun Pramudita (205030207111049)

Ilmu Administrasi Bisnis


Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
Malang
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Dasar Hukum dan Prinsip
Pemungutan Pajak ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad SAW. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada ibu Latifah Hanum, M.S.A,
A.k., selaku dosen mata kuliah Perpajakan.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dalam teknik pengetikan.
Walaupun demikian, inilah usaha maksima kami selaku para penulis. Semoga dalam makalah ini
para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang
membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Malang, 15 Februari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................. 3

2.1 Dasar Hukum Pemungutan Pajak ..................................................................................... 3

2.2 Prinsip Pemungutan Pajak ............................................................................................... 4

2.3 Cara Pemungutan Pajak................................................................................................... 7

2.4 Jenis Pungutan Pajak di Indonesia ..................................................................................11

2.5 Penggolongan Jenis Pajak ..............................................................................................12

2.6 Tarif Pajak .......................................................................................................................14

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................17

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................17

3.2 Saran ..........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan sumber penghasilan negara yang memiliki peranan penting bagi
pembangunan negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
pelaksanaannya, iuran pajak didasarkan pada peraturan perundang-undangan sehingga pajak
merupakan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi dan akan mendapat sanksi apabila
masyarakat tidak memenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat harus memahami
mengenai dasar hukum pemungutan pajak mengingat Indonesia merupakan negara hukum yang
segala sesuatu harus ditetapkan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.
Namun, kurangnya kesadaran membayar pajak membuat pembangunan menjadi
terhambat dan merugikan negara. Oleh karena itu, kesadaran untuk membayar pajak harus
ditingkatkan demi kepentingan bersama. Bentuk kesadaran yang dapat mendorong wajib pajak
membayar pajak menurut Irianto (2005), yaitu kesadaran bahwa dalam menunjang
pembangunan negara perlu adanya partisipasi dalam bentuk membayar pajak, kesadaran bahwa
negara dapat mengalami kerugiaan apabila terdapat penundaan dan pengurangan beban pajak,
kesadaran bahwa pajak dapat dipaksakan dan ditetapkan dengan undang-undang. Kesadaran
masyarakat rendah dapat dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang ruang lingkup atau
pengetahuan dasar tentang perpajakan seperti prinsip-prinsip, cara pemungutan, jenis pungutan
pajak, penggolongan jenis pajak, dan tarif pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemahaman tentang perpajakan sangatlah penting bagi
setiap warga negara Indonesia karena membayar pajak termasuk bentuk tanggung jawab
masyarakat dalam menjalankan kehidupan bernegara. Makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang perpajakan di Indonesia. Dengan tingginya
wawasan dan pengetahuan tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat
dalam menjalani kewajiban untuk membayar pajak sehingga dapat memajukan pembangunan di
Indonesia secara merata dan menyeluruh.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dasar hukum pemungutan pajak?


2. Bagaimanakah prinsip pemungutan pajak?
3. Bagaimanakah cara pemungutan pajak?
4. Apa sajakah jenis pemungutan pajak di Indonesia?
5. Bagaimanakah penggolongan jenis pajak?
6. Apa sajakah macam-macam tarif pajak?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dasar hukum pemungutan pajak.


2. Untuk mengetahui prinsip pemungutan pajak.
3. Untuk mengetahui cara pemungutan pajak.
4. Untuk mengetahui jenis pemungutan pajak di Indonesia.
5. Untuk mengetahui penggolongan jenis pajak.
6. Untuk mengetahui macam-macam tarif pajak.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam
kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, ketentuan-
ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-
undang. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku
sejak tahun 1986 merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak
atas bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, pengusaan dan/atau
perolehan manfaat atas bangunan. Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan
negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan
prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi
perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak.
Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dengan
semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya jumlah Objek Pajak serta
untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara, dirasakan sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan
tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
1. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak
2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dengan berlandaskan
pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam penyempurnaan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1985 perlu diatur kembali ketentuan ketentuan mengenai Pajak
Bumi

3
2.2 Prinsip Pemungutan Pajak

Pada abad XVIII, Adam Smith (1723-1790), seorang penulis dan filsuf yang dianggap
sebagai bapak aliran Ekonomi Klasik, dalam bukunya yang terkenal yaitu An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations (Kemakmuran Bangsa-Bangsa) yang ditulis tahun
1776 memberikan pedoman bagi peraturan perpajakan, di mana pemungut pajak dalam
memungut pajaknya harus membuat peraturan dan mengikuti peraturan tersebut yang memenuhi
rasa keadilan, yaitu dengan memenuhi prinsip certainty, equality, convenience, dan economic
(efisiensi). Keempat prinsip tersebut disebut sebagai “the four canons of Adam Smith” atau sering
juga disebut “the for Maxims”, dengan uraian sebagai berikut:
a. Prinsip Keadilan dan Pemerataan (Equality).
Menurut Adam Smith, equality mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Equality
atau kesamaan dalam sistem perpajakan lazimnya disebut nondiscrimination,
sehingga orang asing dan warga negara Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama
akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.
Tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang
dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan negara.
Prinsip keadilan atau equality merupakan salah satu dari prinsip utama dalam rangka
pemungutan pajak, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berpartisipasi dalam
pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara, secara proporsional sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Sistem perpajakan yang adil adalah adanya perlakuan
yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situasi level
ekonomi yang sama, penghasilan yang diperoleh sama, maka akan dikenakan pajak dengan
jumlah yang sama. Hal tersebut dikatakan sebagai keadilan secara horizontal (horizontal
equity). Memberikan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau badan yang berada
dalam keadaan ekonomi yang berbeda tingkatannya, penghasilan yang diperoleh masing-
masing individu berbeda, maka akan dikenakan jumlah pajak yang berbeda berdasarkan
kepada tingkat penghasilan seseorang. Semakin besar penghasilan maka semakin besar
pula pajak yang harus ditanggungnya, sebaliknya semakin kecil penghasilan seseorang
maka jumlah pajak tentu lebih kecil bahkan tidak dikenakan pajak karena ada batas minimum
pengenaan pajak. Keadilan seperti ini lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal (vertical
equity).

4
Pada dasarnya pengertian keadilan adalan suatu pengertian yang tidak mutlak.
Pengertian keadilan sangat relatif, sangat bergantung pada kondisi sistem pemerintahan
suatu negara. Apa yang dianggap adil di Indonesia pada waktu ini belum tentu adil
di negara lain dalam waktu yang sama. Apa yang dianggap adil pada waktu sekarang belum
tentu adil di waktu yang akan datang, semuanya bergantung pada waktu, tempat kondisi
politik pemerintahan, dan kedewasaan masyarakat sebagai wajib pajak.
Keadilan dalam perpajakan perlu adanya suatu standar penetapan jumlah pajak yang
harus dibayar wajib pajak. Misalnya, adalah penetapan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP). Dengan adanya PTKP tersebut, maka masyarakat yang berpenghasilan di
bawah PTKP atau sama dengan PTKP tentunya tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Dan
sebaliknya, jika melebihi PTKP tentu saja ada kelebihan yang akan dikenakan Pajak
Penghasilan. Selain itu adalah penetapan persentase tertentu atas Penghasilan Kena Pajak,
sampai dengan jumlah tertentu dikenakan persentase yang lebih kecil dibanding yang jumlah
penghasilannya
lebih banyak, atau persentasenya menurun apabila penghasilannya bertambah tinggi
(degressive taxation). Kemudian mengenai penetapan persentase atas tarif untuk pajak
penghasilan orang pribadi dan badan, yang ditetapkan tarif berbeda, di mana tarif
untuk penghasilan orang pribadi lebih kecil dibanding tarif atas penghasilan badan.
b. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)
Dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, kaidah certainty
dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti, tidak dapat
dimulurmulur atau ditawar-tawar (not arbitry). Kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-
undang. Dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum, harus
diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas dan tidak
mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.
Negara berwenang dalam pemungutan pajak pada rakyatnya karena terdapat justifikasi
(pembenaran). Justifikasi tersebut terdapat dalam Undang-Undang Negara yang menjadi dasar
Negara untuk memiliki wewenang memungut pajak pada rakyatnya. Justifikasi timbul
berdasarkan pada adanya asas pemungutan pajak yang mencakup asas keadilan, asas yuridis,
asas ekonomis, dan asas finansial.
c. Prinsip Convenience
Adam Smith mengungkapkan kaidah convenience dimaksudkan supaya dalam memungut
pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak.
E.R.A Seligman mengemukakan prinsip convenience dalam prinsipnya yang disebut prinsip

5
administrative. Prinsip convenience berhubungan dengan pernyataan tentang bagaimana pajak
itu dibayar, kapan harus dibayar, ke mana harus dibayarkan dan dalam kondisi yang bagaimana
pajak itu dibayar (Nurmantu, 2005).
Saat paling tepat diwujudkan dengan pemotongan atau pemungutan pajak pada
sumbernya, artinya setiap wajib pajak yang menerima penghasilan, maka pada saat itulah
pemerintah melalui pemotong pajak memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada
wajib pajak penerima penghasilan.
Rochmat Soemitro mengungkapkan pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu
pada saat wajib pajak mempunyai uang, ini akan mengenakan wajib pajak. Tidak semua wajib
pajak memiliki saat convenience yang sama, yang mengenakan baginya untuk membayar pajak.
Karyawan lebih mudah membayar pajak pada saat mereka menerima gaji. Petani lebih mudah
membayar pajak setelah panen, pedagang lebih mudah membayar pajak pada saat menerima
pembayaran dari debitur (Devano dan Rahayu, 2006: 63).
d. Prinsip Efisiensi Economic
Adam Smith mengungkapkan kaidah effiency dimaksudkan supaya pemungutan pajak
hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-hematnya, jangan sampai biaya-biaya memungut
justru menjadi lebih tinggi daripada pajak yang dipungut.
Prinsip fiscal, dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan E.R.A Seligman
menerangkan bahwa prinsip pemungutan pajak berhungan dengan adequacy (kecukupan) dan
elasticity (keluwesan), artinya bahwa pemungutan pajak harus dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan pengeluaran negara, dan harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai
tantangan, perubahan serta perkembangan kondisi perekonomian.
Sistem perpajakan yang baik ditunjukkan dengan adanya sistem administrasi perpajakan
yang efektif dan efisien, dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pelaksanaan administrasi perpajakan oleh fiskus
sebaiknya dilaksanakan dengan biaya tertentu dengan sasaran perolehan penerimaan pajak
yang optimal. Karena sudah menjadi dasar dari perekonomian bahwa sasaran utama dari setiap
sektor ekonomi adalah bagaimana memperoleh hasil sebesar-besarnya dari sumber-sumber
yang terbatas, tidak saja menyangkut barang dan jasa, tapi juga nilai-nilai tidak berwujud yang
mempengaruhi kualitas kehidupan dan kepentingan orang banyak. Hal ini berarti bahwa hasil
realisasi pemungutan pajak pada setiap kemungkingan skala ekonomi baru dianggap efisien
untuk dilaksanakan apabila dapat meningkatkan penerimaan pajak, paling tidak mencapai jumlah
tertentu sesuai perkiraan yang diharapkan (Devano dan Rahayu, 2006: 65).

6
2.3 Cara Pemungutan Pajak

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk memungut pajak yang disebut pajak sebagai
sistem atau stelsel, yang dalam hal ini dibedakan berdasarkan beberapa cara sebagai berikut:
1. Menurut Waktu Pemungutan
Penetapan pajak menurut waktu pemungutan, pajak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
yang pertama voorheffing merupakan metode pemungutan pajak yang dilaksanakan pada
awal tahun pajak yang bersangkutan. Kedua yaitu naheffing merupakan pemungutan pajak
yang dilakukan pada akhir tahun pajak.
Tahun Pajak
Tahun pajak sama dengan tahun takwim yaitu misalnya (1 Januari 2020 - 31
Desember 2020). Tahun pajak dapat juga sama dengan tahun buku, misalnya 1 Mei 2020 -
31 Juni 2021). Adapun contohnya sebagai berikut:
● Tanggal 1 Januari 2020 - 31 Desember 2020 merupakan tahun pajak 2020. Jika
pemungutannya dilakukan dengan cara voorheffing maka pajak dipungut mulai
tangga, 1 Januari 2020, sedangkan ketika pemungutannya dilakukan dengan cara
naheffing maka pajak dipungut mulai tanggal 1 Januari 2021.
● Tanggal 1 Mei 2020 - 31 Juni 2021 merupakan tahun pajak 2020. Jika
pemungutannya dilakukan dengan voorheffing maka pajak dipungut mulai tanggal 1
Mei 2020, sedangkan jika pemungutannya dilakukan dengan naheffing maka pajak
dipungut mulai tanggal 1 Mei 2020.
2. Menurut Dasar Penetapan Pajak
Menurut dasar penetapan pajak dikenal sebagai 3 sistem atau stelsel sebagai berikut:
a. Stelsel/Sistem Fiktif (Anggapan)
Dalam sistem fiktif ini, pemungutan pajak didasarkan pada suatu fiksi hukum atau
anggapan tertentu, karena itu dalam sistem ini memakai cara pemungutan pajak
voorheffing. Sistem ini sebenarnya kurang sesuai dengan keadaan sesungguhnya,
walaupun dasarnya adalah anggapan, namun anggapan ini tidak serta merta ngawur dan
sembarangan. Oleh karena itu, dasar yang dipergunakan sebagai pegangan adalah
keadaan yang mendekati sebenarnya, yaitu dengan memakai cara menganggap bahwa
penghasilan yang diterima seseorang wajib pajak sama besarnya untuk setiap tahun
pajak. Dengan demikian, begitu tahun pajak sudah berakhir dan dapat diketahui besarnya
penghasilan wajib pajak yang bersangkutan, maka sudah dapat ditentukan pajak untuk
tahun berikutnya. Misalnya gaji, upah honorarium tetap, pensiun, bunga, haul sewa (tanah
dan bangunan) dan sebagainya, dianggap sama besar dengan 12 kali sumber tetap.

7
Dalam sistem fiktif ini, penghasilan tetap yang baru. diperoleh setelah awal tahun
pajak yang bersangkutan atau kenaikan penghasilan yang diperoleh setelah awal tahun
pajak tidak menjadi pertimbangan dalam menghitung pajaknya Sebaliknya, sumber
penghasilan yang hilang setelah tahun pajak yang bersangkutan juga tidak menjadi
pertimbangan dalam menentukan pajaknya. Adanya kenaikan penghasilan maupun
hilangnya penghasilan baru akan diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya.
Sistem fiktif ini digunakan dalam pengenaan pajak Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan yang dijadikan dasar untuk pengenaan pajaknya adalah Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) pada saat yang menentukan, yaitu tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan,
jadi, yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan ini adalah semua harta tidak bergerak
(Bumi dan atau Bangunan) yang sudah dimiliki pada tanggal 1 Januari tahun yang
bersangkutan. Harta kekayaan yang diperoleh atau hapus (karena musnah atau dijual)
setelah tanggal 1 Januari tidak mempengaruhi jumlah pajak yang terutang dan baru akan
diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya. Kebaikan sistem ini adalah pajak dapat
dibayar selama tahun berjalan tanpa menunggu pada akhir tahun, sedangkan
kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya sehingga nilai keadilannya kurang.
b. Stelsel/Sistem Rill (Nyata)
Dalam sistem ril/nyata ini pemungutan pajak dinyatakan atas keadaan atau
penghasilan yang nyata, yaitu penghasilan yang diterima/diperoleh sebenarnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan. Dengan demikian, penghasilan ini baru mungkin
diketahui pada akhir tahun sehingga pajaknya baru dipungut setelah berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan. Hal itu berarti pemungutan pajaknya dilakukan dengan cara
naheffing (pemungutan di belakang). Kebaikan sistem ini adalah pajak yang dipungut
pada wajib pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga nilai keadilannya
cukup tinggi, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dipungut setelah tahun
pajak yang bersangkutan berakhir sehingga uang yang masuk ke kas negara harus
menunggu berakhirnya tahun pajak.
c. Stelsel/Sistem Campuran
Sistem campuran ini pada dasarnya merupakan kombinasi antara sistem
anggapan dan sistem nyata, sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan
kelemahan-kelemahan dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem campuran ini, pada awal
tahun. besarnya utang pajak yang dikenakan pada wajib pajak dihitung berdasarkan
sistem anggapan sehingga pada awalnya tahun itu. sudah dapat dikenakan surat

8
ketetapan pajak fiktif. Setelah tahun pajak berakhir, utang pajak dikoreksi dan disesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya dengan memakai sistem nyata, pada saat itulah
dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak final. Jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih
besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah, begitu juga
sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali Sistem tersebut diterapkan
dalam Pajak Penghasilan
Kelebihan dari sistem ini adalah walaupun kurang akurat Surat Ketetapan Pajak
sudah dapat dikeluarkan pada awal tahun sehingga wajib pajak sudah dapat mengajukan
surat keberatan uang pajak sudah dapat ditarik ke kas negara, ada koreksi pada akhir
tahun dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak final. Sementara itu, kelemahan
sistem ini adalah Kantor Pelayanan Pajak untuk pengenaan pajak dalam satu tahun harus
bekerja dua kali dalam mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (Surat Ketetapan Pajak
Rampung fiktif dan Surat Ketetapan Pajak final), yang berarti menambah biaya, tenaga,
dan waktu sehingga membebani administrasi.
Sistem ini ternyata juga kurang memuaskan sehingga harus dicari terobosan untuk
mengatasinya. Oleh karena itu, sebagai jalan keluarnya pemerintah menerapkan sistem
nyata (rill) yang disertai sistem self assessment yang didasarkan pada kejujuran wajib
pajak dan kepercayaan pemerintah kepada wajib pajak Dengan demikian, kepada wajib
pajak diberikan kebebasan dan keaktifan yang lebih besar untuk menghitung sendiri pajak
terutang.
3. Menurut yang Menetapkan Pajaknya
a. Official Assessment System
Official assessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak dengan
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak. Adapun ciri-ciri dari official assessment system yaitu:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang kepada fiscus
(pemerintah)
• Wajib pajak bersifat pasif
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh
pemerintah.
Pada umumnya sistem ini diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan
masyarakat luas dari semua lapisan, dimana masyarakat selaku subjek pajak dipandang
masih belum mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan
besarnya pajak, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

9
b. Self Assessment System
Self assessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi kewenangan kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Adapun ciri-ciri dari self assessment system sebagai berikut:
• Ada wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada wajib pajak
sendiri.
• Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
• Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak yang wajib pajaknya dipandang
cukup mampu untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Misalnya,
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Oleh karena sistem ini memberikan
kepercayaaan yang besar wajib pajak untuk menghitung, menetapkan, dan menyetor
pajaknya sendiri maka akan berhasil dengan baik jika wajib pajak sudah memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Tax consciousness/kesadaran pajak wajib pajak.
b. Kejujuran wajib pajak.
c. Tax mindedness wajib pajak, hasrat untuk membayar pajak.
d. Tax discipline, disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan
pajak.
Dengan demikian, wajib pajak akan memenuhi kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya oleh undang-undang seperti memasukkan Surat Pemberitahuan
(SPT) pada waktunya, membayar pajak pada waktunya, dan sebagainya tanpa
diperingatkan untuk melakukan hal itu.
c. With Holding System
With holding system adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak Ciri-ciri with holding sytem ini
terletak pada wewenang menentukan besarnya pajak terutang yang ada pada pihak
ketiga, selain fiskus dan wajib pajak. Misalnya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, di
mana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang

10
diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka
bayarkan (Negara, 2006: 53-60).

2.4 Jenis Pungutan Pajak di Indonesia

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Saat ini, ada lima jenis pajak di Indonesia.

1. Pajak Penghasilan
2. Pajak Pertambahan Nilai
3. Pajak Bumi dan Bangunan
4. Bea Meterai
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Sistem self
assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung
jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Konsekuensi sistem self assesment, setiap Wajib Pajak yang memiliki penghasilan wajib
mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak. Lebih lanjut, setiap Wajib Pajak wajib
menghitung sendiri dan membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas
semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak Penerbitan suatu surat ketetapan
pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh
Wajib Pajak.
Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak.
Jadi, hutang pajak tidak timbul pada saat dibuatkan Surat Ketetapan Pajak Namun, untuk
kepentingan administrasi perpajakan di Indonesia, saat terutangnya pajak tersebut ditetapkan
sebagai berikut.

11
1. Pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga,
2. Pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, atau
3. Pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan,

Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus
disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Jadi, jika Wajib Pajak telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang
secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta
melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun
Surat Tagihan Pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan
biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak
yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

2.5 Penggolongan Jenis Pajak

Pajak dapat digolongkan berdasarkan pada kriteria tertentu, seperti sifat, golongan, dan
lembaga pemungutnya. Berikut penggolongan jenis pajak menurut Resmi (2012:7):
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung
Pajak yang pembebanannya harus ditanggung oleh wajib pajak sendiri dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain. Pajak ini dibebankan secara berulang pada jangka
waktu tertentu, contohnya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).

12
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan atau dialihkan kepada pihak lain
dan pembebanannya tidak dilakukan secara berkala melainkan pada peristiwa-peristiwa
tertentu. Hal tersebut dikarenakan jenis pajak ini tidak memiliki surat ketetapan pajak,
contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM).
2. Menurut Sifat
a. Pajak Subjektif
Pajak yang memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subyek) atau gaya
pikulnya sebelum menentukan objek. Yang dimaksud dengan gaya pikul adalah
kemampuan wajib pajak menanggung pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum.
Contoh pajak subjektif, yaitu Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objektif
Pajak yang memperhatikan objek terlebih dahulu seperti keadaan atau peristiwa
yang dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban untuk membayar pajak tanpa
mempertimbangkan keadaan pribadi wajib pajak sebagai subyek. Golongan warga
negara Indonesia yang dapat dikenai pajak jenis ini ialah mereka yang memakai benda
yang dalam ketentuannya dibebankan pajak, pajak atas kekayaan yang dimiliki,
pemakaian dan kepemilikan barang-barang mewah, dan apabila melakukan pemindahan
harta dari Indonesia ke negara lain. Contoh pajak objektif, yaitu .Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat / Negara
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dimana dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Kementerian Keuangan yakni Departemen Jenderal Pajak dan hasilnya
digunakan sebagai bagian dari penerimaan APBN, contohnya adalah Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM)
b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dimana dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh dinas pendapatan baik daerah tingkat I (pajak Provinsi) maupun daerah
tingkat II (pajak Kabupaten) dan hasilnya digunakan sebagai bagian dari penerimaan
APBD.

13
- Pajak Daerah Tingkat I:
1) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
- Pajak Daerah Tingkat II:
1) Pajak Hotel
2) Pajak Restoran
3) Pajak Hiburan
4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak Pengambilan & Pengolahan Bahan Galian Golongan C
7) Pajak Parkir

2.6 Tarif Pajak

Pada umumnya, tujuan hukum pajak adalah keadilan, baik dalam prinsip maupun
pelaksanaannya. Begitupun juga pada saat pemungutan pajak yang juga harus berdasarkan
paham keadilan. Pada umumnya, besar utang pajak ditentukan oleh dua komponen utama yaitu
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tarif
yang diterapkan terhadapnya (tax rates). Berikut rumus penentuan besarnya pajak:

T = Tb x Tr

T adalah besarnya utang pajak (tax)


Tb adalah dasar pengenaan pajak (tax base)
Tr adalah tarif Pajak (tax rates).
Terdapat empat macam tarif dalam Hukum Pajak, yaitu diantaranya:
1. Tarif Pajak Progresif (Meningkat)
Tarif pajak progresif adalah suatu tarif pajak yang persentasenya semakin besar
apabila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Contohnya adalah
Pajak Penghasilan (PPh). Dalam buku “Hukum Pajak”, menurut Erly Suandy (2000) tarif
progresif dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a) Tarif progresif – proporsional : kenaikan persentase tetap
b) Tarif progresif – progresif : kenaikan persentase semakin besar
c) Tarif progresif – degresif : kenaikan persentase semakin kecil

14
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif

Sampai dengan Rp. 25 juta 5%

Diatas Rp. 25 juta s/d Rp. 50 juta 10%

Diatas Rp. 50 juta s/d Rp. 100 juta 15%

Diatas Rp. 100 juta s/d Rp. 200 juta 25%

Diatas Rp. 200 juta 35%

2. Tarif Pajak Degresif (Menurun)


Tarif pajak degresif adalah suatu tarif pajak yang persentasenya semakin kecil apabila
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Namun, tarif ini belum
pernah dipergunakan dalam perpajakan di Indonesia karena tidak memenuhi asas-asas
keadilan.

Lapisan Penghasilan kena Pajak Tarif

Sampai dengan Rp. 10 juta 30%

Diatas Rp. 10 juta s/d 50 juta 25%

Diatas Rp. 50 juta 15%

3. Tarif Pajak Proporsional (Sebanding)


Tarif pajak proporsional adalah tarif pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak, maka akan semakin besar pula jumlah pajak yang harus
dibayar. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Jumlah Penjualan Tarif Besarnya Pajak

Rp. 500.000,- 10% Rp. 50.000,-

15
Rp. 1.000.000,- 10% Rp. 100.000,-

Rp. 5.000.000,- 10% Rp. 500.000,-

4. Tarif Pajak Tetap


Tarif pajak tetap adalah suatu tarif pajak yang mengenakan pajak yang besarnya tetap
tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Contohnya adalah tarif
Bea Materai.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

• Dasar hukum pemungutan pajak adalah undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan
• Prinsip pemungutan pajak adalah keadilan (equity), kepastian hukum (certainty), efisiensi
ekonomis (economy), dan ketepatan waktu (convenience).
• Menurut dasar penetapan pajak dikenal sebagai 3 sistem atau stelsel, yaitu Stelsel/Sistem
Fiktif (Anggapan), Stelsel/Sistem Rill (Nyata), dan Stelsel/Sistem Campuran.
• Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Sistem self
assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan,
tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar,
dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Di Indonesia ada 5 jenis
pajak, yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Meterai, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
• Pajak digolongkan menjadi tiga, yaitu diantaranya menurut golongan, sifat, dan lembaga
pemungutnya. Sedangkan untuk menentukan besar pajak, tarif memiliki peran penting
yang dapat dibedakan menjadi empat tarif, yaitu tarif progresif, degresif, proporsional, dan
tetap.

3.2 Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, Diana dan Setiawan, Lilies. 2002. Perpajakan Indonesia : Konsep, Aplikasi dan
Penuntun Praktis. Jakarta : Percetakan Andi

Kadir, Abdul. 2016. Kapita Selekta Perpajakan di Indonesia. Pustaka Bangsa Press. Medan.

Poli, Vicky. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
Memenuhi Kewajiban Membayar Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bitung.
Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. 3 (15) : 210-221

Widnyana, I Wayan. 2018. Perpajakan. Bali: CV. Noah Aletheia

18

Anda mungkin juga menyukai