Anda di halaman 1dari 30

PROBLEMATIKA HUKUM PAJAK DAN

PENEGAKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

MAKALAH

Makalah ini di buat guna memenuhi suatu syarat dalam penyelesaian Mata Kuliah

Hukum Pajak, dengan Dosen Pengampuh : Dr. M. Hatta Roma T., SH., MH. (Lektor

Kepala) Pada Perkuliahan Semeseter Genap Tahun Ajaran 2020/2021

Disusun Oleh :

1. IRA JUSTITIA D 101 16 493

2. MARWAH D 101 18 414

3. GILBERT PRATAMA D 10 18 449

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO PALU

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,

saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum

Pajak tentang “Problematika Hukum Pajak dan Penegakan Tindak Pidana Perpajakan”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontibusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu

dengan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari teman sekalian agar kami

dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Pajak tentang “Problematika

Hukum Pajak dan Penegakan Tindak Pidana Perpajakan” ini dapat memberikan manfaat

maupun inspirasi terhadap teman sekalian.

Palu, 21 Juni 2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 3

D. Manfaat Penulisan................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum tentang Pajak................................................................ 4

1. Pengertian Pajak................................................................................ 4

2. Fungsi Pajak...................................................................................... 6

3. Ciri-ciri Pajak.................................................................................... 8

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Pajak................................................... 10

1. Pengertian Hukum Pajak................................................................... 10

2. Landasan Filosofi Pembaharuan Sistem Hukum Pajak Nasional..... 11

C. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perpajakan............................... 13

1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Bidang Perpajakan..... 13

2. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perpajakan........................................ 16

D. Permasalahan Dalam Pemungutan Pajak di Indonesia........................... 17

E. Upaya Dalam Mengatasi Permasalahan Pajak di Indonesia................... 20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................. 22

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pajak sebagai sumber utama pendapatan negara untuk membiayai

pembangunan nasional dalam praktiknya banyak terjadi pelanggaran hukum di

bidang perpajakan oleh para Wajib Pajak (selanjutnya ditulis WP) berupa

kealpaan (culpa) maupun kesengajaan (dolus) untuk tidak menyetorkan pajak ke

kas negara sehingga terjadi kerugian terhadap penerimaan negara yang

mengakibatkan negara tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat.

Tegaknya prinsip self assessment system pada sistem perpajakan Indonesia

untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (tax compliance) dari WP sangat

dibutuhkan adanya penegakkan hukum perpajakan (tax law enforcement)

meliputi pemeriksaan pajak (tax audit), penyidikan pajak (tax investigation), dan

penagihan pajak (tax collection).

Pajak merupakan bagian terbesar dari pendapatan negara dan sebagai salah

satu sumber utama pembiayaan pembangunan nasional. Peranan strategis sektor

perpajakan terlihat dari kecenderungan meningkatnya target yang telah

dicanangkan oleh pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, target penerimaan

negara dari sektor perpajakan meningkat sekitar 190% yaitu dari Rp. 652 trilyun

pada tahun 2010 menjadi Rp. 1.246 trilyun pada tahun 2014 dan Rp. 1.244,7

trilyun (APBNP) yang ditargetkan dalam APBN Perubahan Tahun 2015.

Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, ditinjau dari aspek hukum sebenarnya

dapat diminimalisir dengan memformulasi suatu kebijakan hukum pidana di

1
bidang perpajakan. Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak mendorong

lahirnya kebijakan hukum sebagai upaya mengatasi

permasalahan yang ada. Pemerintah dari segi formulasi sebenarnya telah

mengeluarkan ketentuan umum perpajakan, yaitu melalui UndangUndang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

sebagaimana yang telah diubah dan disempurnakan melaluiMUndang-Undang

Nomor 9 Tahun 1994, UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang di

dalamnya juga mengatur sanksi pidana.

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam

masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak akan ada pajak. Masyarakat terdiri

dari individu. Walaupun demikian hidup individu dan kepentingan individu

tidak dapat dipikirkan terlepas sama sekali dari hidup dan kepentingan Negara

dan hampir tidak dapat disangkal, bahwa pajak merupakan andalan pemasukan

uang bagi suatu Negara. Negara menggunakan uang pajak untuk membiayai

kesejahteraan umum, penyelenggaraan pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Pajak ?

2. Apa saja Fungsi Pajak ?

3. Bagaimaca Ciri-ciri Pajak ?

4. Apa yang dimasud dengan Hukum Pajak ?

5. Bagaimana Landasan Filosofi Pembaharuan Sistem Hukum Pajak Nasional ?

6. Bagaimana Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Bidang Perpajakan ?

7. Apa saja Bentuk-bentuk dari Tindak Pidana Perpajakan ?

2
8. Permasalahan Dalam Pemungutan Pajak di Indonesia ?

9. Upaya Dalam Mengatasi Permasalahan Pajak di Indonesia ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pajak.

2. Mengetahui apa saja fungsi pajak.

3. Mengetahui bagaimaca ciri-ciri pajak.

4. Mengetahu apa yang dimasud dengan hukum pajak.

5. Mengetahui bagaimana landasan filosofi pembaharuan sistem hukum pajak

nasional.

6. Mengetahui bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam bidang

perpajakan.

7. Mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari tindak pidana perpajakan.

8. Mengetahui permasalahan dalam pemungutan pajak di indonesia.

9. Mengetahui upaya dalam mengatasi permasalahan pajak di indonesia.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan menambah khazanah ilmu di bidang hukum,

khususnya bagi pengembangan dalam bidang HukumPajak.

2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan pertimbangan atau referensi bagi berbagai pihak dan sebagai

bahan masukan bagi makalah sejenis atau menyempurnakan karya ilmiah

berikutnya dan mengembangkan lebih lanjut.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Pajak

1. Pengertian Pajak

N. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia,

Leiden, 1949, berbunyi: "Belastingen zijn aan de Overheid (volgens

algemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigdeafd-

wingbareprestties, waargeen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend

dienen tot dekking vanpublieke uitgaven ("Pajak adalah prestasi yang

dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut

normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi,

dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran

umum".) Feldmann (seperti juga halnya dengan Seligman) berpendapat,

bahwa terhadap pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi dari negara.1

Rochmat Soemitro, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak

Pendapatan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat

kepada kas negara herdasarkan undang undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang

langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “dapat dipaksakan”

artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan

menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga

penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa


1
Niru Anita Sinaga, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma Volume 7, No. 1, September
2016, hlm 145.
4
timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi. Definisinya yang

kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari bagian pertama dari

definisinya semula) dapat disimpulkan dari uraian bukunya yang berjudul:

Pajak dan Pembangunan, Eresco, 1974, hal. 8. Definisi tersebut kurang lebih

dapat berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak

rakyat kepada Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya

digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk

membiayai public investment.8 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, memberikan definisi “Pajak

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 2

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak

mendapatklan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang

gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan

dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan.3

Sementara menurut Safri Nurmantu (2005) kepatuhan perpajakan terdiri

atas 2 bentuk, yaitu formal dan non-formal. Kepatuhan formal adalah suatu

keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara

formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalkan,


2
Ibid. Hlm 145-146.
3
Dri Santoso, “Problematika Hukum Dalam Tax Amnesty Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Ekonomi
Syariah, Vol. 05, Nomor 1 ADZKIYA MARET 2017, hlm 89.
5
menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu yang telah ditetapkan.

Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak

secara substansif/hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan,

yakni sesuai isi dan jiwa undangundang perpajakan. Misal: wajib pajak yang

mengisi dengan jujur, baik dan benar SPT tersebut sesuai dengan ketentuan

dalam undang-undang. Kemudian menurut Norman D. Nowak (1980) dalam

Zain (2004), kepatuhan pajak ditunjukkan oleh: (a) tingkat pemahaman

wajib pajak dan upaya untuk memahami memahami semua ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan; (b) wajib pajak mengisi formulir

pajak dengan lengkap dan jelas, (c) wajib pajak menghitung jumlah pajak

yang terutang dengan benar, dan (d) membayar pajak yang terutang tepat

pada waktunya.4

2. Fungsi Pajak

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan beberapa definisi

pajak, teori mengapa negara memungut pajak, dalam uraian

selanjutnya perlu juga disajikan tentang fungsi pajak, sehingga

semakin jelas mengapa pajak terus dan semakin dibutuhkan

dalam kehidupan bernegara. Pada dasarnya fungsi pajak adalah

sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter) dan fungsi

untuk mengatur (regulerend).5

Menurut Soemitro, fungsi pajak adalah :

a. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi

budgeter artinya pajak merupakan salahsatu sumber peneriman


4
Citra Kharisma Utami, “Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Pajak Dan Kepatuhan Wajib Pajak”,
Jurnal Ekubis Volume 2, No. 1, September 2017, hlm 57-58.
5
Dri Santoso Loc.cit.
6
pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun

pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya

untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara,

dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang

ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan

pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti

pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas

barang mewah, dan pajak bumi dan bangunan. Dengan demikian

penghasilan dari pajak ini untuk membiayai kepentingan umum yang

akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan

rakyat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Karena tujuan dari

fungsi tersebut untuk kesejahteraan rakyat, maka sudah selayaknya

rakyat ikut menghimpun dana melalui pajak.

b. Fungsi Regulerend (Mengatur)

Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk

mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial

dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang

keuangan.6

Secara umum fungsi pajak yang dikenakan kepada masyarakat

mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu :

a. Fungsi finansial (budgeter), pajak sebagai sumber dana bagi

pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintahan.

b. Fungsi mengatur (regulerend), pajak sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.


6
Dri Santoso Loc.cit.
7
c. Fungsi stabilitas, dengan adanya pajak pemerintah memiliki dana

untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas

harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara

lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan

pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

d. Fungsi redistribusi pendanaan, pajak yang sudah dipungut oleh

negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum,

termasuk juga untuk membiayai pembangunan, sehingga dapat

membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat.7

3. Ciri-ciri Pajak

Kehadiran pajak dalam masyarakat dapat dikenali melalui ciri-ciri

berikut: (a) pajak dipungut berdasarkan undang-undang; (b)tidak ada

kompensasi langsung yangdiberikan pemerintah kepada pembayar pajak;

(c)dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah; dan (d)digunakan untuk

kemaslahatan rakyat, baik sebagai budgetair maupun regulerend.8

Pertama, pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Sekurang-

kurangnya ada 3 (tiga) argumen untuk menjelaskan ciri pertama tersebut.

Argumen pertama, kecenderungan sistem pajak menjadi buruk bilamana

tidak ada pemisahan antara pemberi kewenangan dan penerima kewenangan

dalam pemungutan pajak. Argumen berikutnya, pemisahan kekuasaan pada

negara merupakan suatu keniscayaan karena kekuasaan yang berlebihan

7
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 147.
8
Arvie Johan, Fadhilatul Hikmah, Anugrah Anditya, “Perpajakan Optimal dalam Perspektif Hukum
Pajak Berfalsafah Pancasila”, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal),
Vol. 8 No. 3 September 2019, hlm 321.
8
untuk memungut pajak akan menjadi sarana penindasan yang luar biasa.

Argumen terakhir, hadirnya peluang tata kelola perpajakan modern yang

berbasis pada sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances).

Kedua, tidak ada kompensasi langsung yang diberikan pemerintah kepada

pembayar pajak. Penjelasan ciri kedua pajak ini berpijak dari hal yang sama

dengan raison d'etrenya hukum yang baru dipersoalkan bilamana ada

konflik pada pergaulan antar individu dalam masyarakat. Argumennya dapat

disampaikan melalui ilustrasi sederhana: seorang pelaut yang terdampar

sendirian di pulau terpencil tidaklah perlu hukum. Ilustrasi ini

memperlihatkan bahwa raison d'etre-nya hukum berangkat dari hubungan

antar individu. Tanpa hubungan antar individu, niscaya tidak ada konflik,

konsekuensinya keberadaan hukum tidaklah diperlukan. Ketiga, pajak

dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ciri ketiga ini beririsan

dengan ciri kedua pajak, yakni ada pembagian antara pemberi kewenangan

dan penerima kewenangan dalam pemungutan pajak. Legislatif merupakan

merupakan organ negara yang memberi kewenangan memungut pajak,

sedangkan eksekutif menjadi organ negara yang menerima kewenangan

untuk memungut pajak. Selain pembagian bersifat horisontal ini, juga

terdapat pembagian kewenangan secara vertikal. Pembagian vertikal berhulu

pada sistem negara kesatuan yang dianut Indonesia. Keempat, pajak

digunakan untuk kemaslahatan rakyat, baik sebagai budgetair maupun

regulerend. Mengulang kembali penjelasan ciri pajak kedua, bahwa fungsi

budgetair merupakan konsekuensi dari biaya kesempatan untuk

menggunakan alat negara dalam rangka penegakan hak.46 Biaya kesempatan

9
ini ditutup dari pajak yang dibayar individu kepada pemerintah.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hulu dari budgetair cost adalah

keterbatasan sumber daya (scarcity).9

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pajak

1. Pengertian Hukum Pajak

Menurut Rochmat Soemitro menyatakan bahwa: “Hukum pajak ialah

suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah

sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak”. Hukum pajak

menerangkan: siapa Wajib Pajak (subyek) dan apa kewajibankewajiban

mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa yang

dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan,

dan sebagainya. Hukum Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu

hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak material.

Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat norma-norma yang

menerangkan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus

dikenakan pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya,

besarnya, dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum antara

pemerintah dan Wajib Pajak, yaitu mengenai Subjek Pajak, Wajib Pajak,

Obyek Pajak dan tarif. Hukum pajak formal. Hukum pajak formal adalah

hukum pajak yang memuat aturan-aturan mengenai cara-cara hukum pajak

material menjadi kenyataan.10

2. Landasan Filosofi Pembaharuan Sistem Hukum Pajak Nasional

9
Ibid. hlm 321-324.
10
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 152.
10
Sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di

Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan lain

dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul

dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. (Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Dalam pembentukan sistem

hukum nasional dikenal asas kenusantaraan yaitu bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan

perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem

hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Tahun

1945, selanjutnya disebut UUD 1945 (Penjelasan Pasal 6 huruf e Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011). 11

Pembaruan sistem hukum pajak nasional pada tahun 1983 bertujuan

mengganti peraturan perundang-undangan pajak peninggalan kolonial karena

tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai falsafah

bangsa dan negara Indonesia merupakan landasan idil untuk mencapai tujuan

negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu

masyarakat adil dan makmur yang merata baik

materiil maupun spiritual. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu

dijabarkan dalam peraturan perundang- undangan pajak. Sila Pertama

11
Iwan Suhardi, “Penyatuan Hukum Pajak Formal Dalam Sistem Hukum Pajak Nasional”, Yuridika:
Volume 31 No 1, Januari 2016, hlm 29.
11
Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai Ketuhanan yang terkandung

dalam sila pertama merujuk pada ajaran agama yang terdapat dalam kitab

suci. 12

Dalam pengamatan Rochmat Soemitro, pemungutan pajak bersesuaian

dengan ajaran agama manapun. Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan

Yang Adil dan Beradab. Konsep kemanusiaan menurut Pancasila

memperhatikan asas keadilan, daya pikul, non diskriminasi, dan penempatan

kedudukan manusia sebagai manusia. Sila Ketiga Pancasila: Persatuan

Indonesia. Pajak dapat menjadi alat pemersatu bangsa jika digunakan secara

tepat. Sumber keuangan utama untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia

sebagaimana tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) berasal dari pajak. Menurut Rochmat Soemitro, pajak yang

dipungut negara untuk membiayai jalannya/kelangsungan negara harus tetap

dalam kerangka mempertahankan keutuhan persatuan Negara

Republik Indonesia. Pajak merupakan alat pemersatu bangsa dalam

mewujudkan tujuan bersama seperti yang telah dicita- citakan dalam

pembukaan UUD 1945. Sila Keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan

yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan. Salah satu penjabaran dari sila ini adalah

Pasal 23A UU NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: “Pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan

undangundang”. Pasal tersebut menyiratkan filosofi kedaulatan rakyat. Pajak

hanya dapat dipungut dengan persetujuan dari rakyat. Pada Sila Kelima

Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


12
Ibid.
12
Salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan. Asas ini berkaitan

dengan asas-asas pajak yang lain yaitu asas persamaan (equality), kepatutan

(equity/billijkheid), asas sesuai daya pikul dan asas non diskriminasi. Dalam

asas-asas tersebut secara tersirat mengandung asas keadilan. Pengertian

semua sila Pancasila tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Semua sila

dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.13

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Perpajakan

1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Bidang Perpajakan

Pasal 34 UU KUP, ketentuan ini memuat larangan bagi pejabat

memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau

diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau

pekerjaannya guna menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan

perpajakan. Larangan tersebut juga berlaku bagi tenaga ahli yang ditunjuk

oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan

peraturan perundangundangan perpajakan. Pelanggaran terhadap ketentuan

tersebut diatur dalam Pasal 41 UU KUP. Untuk menjamin bahwa

kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain

dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-

ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang Undang Perpajakan, perlu adanya

sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya

pengungkapan kerahasiaan tersebut.14

13
Ibid. hlm 29-30.
14
Diajeng Kusuma Ningrum, Budi Ispiyarso, Pujiono, “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di Bidang
Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara”, Jurnal Law Reform, Volume 12, Nomor 2,
Tahun 2016, hlm 212.
13
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini

dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang

mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau

bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undangundang

Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan

hukuman yang setimpal Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud

pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat

dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena

kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak

melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak. Yang dimaksud

dengan tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah

menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib

Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai

sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat

Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang

perpajakan dikenai sanksi pidana. 15

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan

merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di

bidang perpajakan. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang

dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan

administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan

surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut
15
Ibid. hlm 213
14
tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana. Sedangkan yang

dimaksud dengan Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 39 A bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan

merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Pelanggaran terhadap

kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang

menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi

dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak,

sedangkan yangmenyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai

sanksi pidana. 16

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan

merupakanpelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di

bidang perpajakan. Di dalam Pasal 38 huruf a dan b UU KUP dan ketentuan

Pasal 39 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, ayat (2) dan (2) mengatur

tentang ketentuan pidana perpajakan tersebut, maka uraian pasal 38

mengatur tentang kealpaan (Culpa) yang terkait dengan Surat Pajak Tahunan

(SPT), yang berhubungan dengan Pasasl 13A UU Nomor 16 Tahun 2009

tentang perubahan keempat UU KUP. Dalam ketentuan Pasal 39 berkaitan

dengan kesengajaan (Dolus) SPT, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),

Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPKP), Pemeriksaan,

Pembukuan, Penyetoran Pajak, dan Pasal 39 ayat (2) terkait dengan Tindak

Pidana Pengulangan menentukan pidana akan ditambahkan 1 (satu) kali

menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak

pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak

selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 39 ayat (3)


16
Ibid.
15
terkait dengan Tindak Pidana Percobaan, Pasal 39A terkait dengan

Tindak Pidana Faktur Pajak. Dari unsur-unsur tersebut menjelaskan bahwa

tindak pidana dibidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai suatu

kejahatan yang mana tidak hanya merugikan bagi orang lain atau

masyarakat luas melainkan juga Negara dikarenakan merugikan pendapatan

kas Negara yang mana pajak merupakan sumber pendapatan

bagi Negara yang bertujuan untuk pembiayaan pembangunan serta

kesejahteraan bagi masyarakat luas. Dan di dalam ketentuan Pasal-pasal

yang mengatur tentang Perbutan Pidana di bidang Perpajakan karena

kelalaian terdapat pada Pasal 38, Pasal 41 ayat (1) Dalam Undang-undang

KUP, yang dimaksud Kelalaian menurut penjelasan dalam Pasal 38, berarti

tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya

sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara.17

2. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perpajakan

Tindak pidana perpajakan merupakan tindak pidana khusus sesuai

dengan asas lex pecialis derogate legi negeralis, sehingga pengaturan tidak

terpisah dari aturan peralihan yang diatur dalam Pasal 103 KUHP.19

Ketentuan tindak pidana perpajakan terdapat dalam berbagai undang-undang

perpajakan dalam arti luas. Namun secara khusus tindak pidana perpajakan

diatur dalam Hukum Pajak formil yakni dalam UndangUndang No.6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Undang-Undang sudah mengalami beberapa kali perubahan yakni dengan

Undang-Undang No. 6Tahun 1984, Undang-Undang No. 9 Tahun 1994,


17
Ibid. hlm 213-214.
16
Undang-Undang No.16 Tahun 2000, UndangUndang No. 16 Tahun 2000,

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 dan terakhir dengan UndangUndang

No. 16 Tahun 2009 (Soetrisno, 2011, 22). Tindak pidana perpajakan yang

terdapat dalam undang-undang perpajakan dapat dikategorikn atas :

a. Tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak.

b. Tindak pidana oleh petugas perpajakan atau aparat perpajakan.

c. Tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang terkait

dengan masalah perpajakan seperti karyawan wajib pajak, konsultan

pajak, pengacara dan akuntan.

Secara lebih rinci, tindak pidana perpajakan diatur dalam Bab VIII, Pasal

38-43 UU KUP. Dilihat dari aspek kesalahan (schuld) tindak pidana

perpajakan dapat dibedakan atas Tindak pidana kealpaan (cupla) dan tindak

pidana kesengajaan (dolus).18

D. Permasalahan Dalam Pemungutan Pajak di Indonesia

Undang-undang yang mengaturtentang perpajakan sudah dibentuk dan

diberlakukan di Indonesia, namun masih ditemukan banyak permasalahan atau

kendala mendasar dalam pelaksanaannya. Hal ini sangat mempengaruhi hasil

penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Berbagai kendala

disebabkan berbagai faktor yang akan diuraikan secara garis besar dibawah ini

Kurangnya sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat sebagai Wajib Pajak

mengenai pentingnya membayar pajak, manfaat membayar pajak, dan sanksi

yang akan diterima apabila Wajib Pajak melalaikan kewajibannya. Disamping

kesadaran pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM) masih rendah juga ikut
18
Yoserwan, “Ungsi Sekunder Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan (The
Secondary Function Of Criminal Law In Combating Tax Crime)”, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,
Vol. 20 No. 2, Juni 2020, hlm 169.
17
mempengaruhi, dimana Wajib Pajak belum memahami tentang pentingnya

membayar pajak tersebut, belum mengetahui bagaimana prosedur pendaftaran,

menghitung dan melaporkan sendiri Obyek Pajak yang dikuasai, dimiliki dan

dimanfaatkannya.19

Tingkat ekonomi sebahagian Wajib Pajak yang sangat rendah sangat

mempengaruhi, dimana Wajib Pajak masih lebih memprioritaskan

biaya yang sifatnya mendasar, seperti: Biaya sekolah, biaya kesehatan dan

sebagainya, dari pada membayar pajak. Database yang masih jauh dari

standar Internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji

kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self assessment. Kondisi

seperti ini menyulitkan riset empiris yang bertujuan menguji kepatuhan

Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat memberikan informasi dan melaporkan yang

tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Database

yang lengkap dan akurat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan

penegakan hukum dan juga kepatuhan wajib pajak. Selanjutnya kepatuhan

wajib pajak berpengaruh pada penerimaan pajak. Kurangnya atau tidak adanya

kesadaran masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk membayar pajak ke negara

adalah sebagai bentuk perlawanan. Persepsi Wajib Pajak bahwa percuma

membayar pajak dengan tertib, karena pada akhirnya akan digunakan secara

boros dan tidak tepat sasaran bahkan akan dikorup oleh sebahagian dari pegawai

pajak. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah akan

menimbulkan selisih antara jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak

dengan jumlah pajak yang seharusnya dibayar semakin besar.20

19
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 153.
20
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 153.
18
Kendala lain adalah: Peraturan pelaksana undang-undang sering

tidak konsisten dengan undangundang; bayaknya pungutan resmi dan tidak

resmi baik di pusat maupun di daerah; lemahnya penegakan

hukum (law enforcement); birokrasi yang berbelit-belit dan sebagainya

yang seharusnya bila dilakukan dengan baik tentu membantu dalam

mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih dan

berwibawa. Adanya Perlawanan terhadap pajak adalah hambatanhambatan yang

ada atau terjadi dalam upaya pemungutan pajak. Perlawanan

pajak dapat dibedakan menjadi dua bagian, adalah sebagai berikut.

a. Perlawanan Pasif. Perlawanan pajak secara pasif ini berkaitan erat

dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara yang bersangkutan.

b. Perlawanan Aktif. Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan

serangkaian usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak

membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya

dibayar.

c. Penghindaran Pajak. Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah suatu usaha

pengurangan secara legal.

d. Penggelapan Pajak. Penggelapan pajak (tax evasion) adalah

merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar

peraturan perpajakan seperti memberi data-data palsu atau

menyembunyikan data. Dengan demikian, penggelapan pajak dapat

dikenakan sanksi pidana.21

E. Upaya Dalam Mengatasi Permasalahan Pajak di Indonesia

21
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 153-154.
19
Dalam rangka menjamis kesinambungan penerimaan pajak sebagai

sumber utama APBN dan memberikan keadilan dalam berusaha, pemerintah

perlu memperluas basis pajak dengan meningkatkan wajib pajak yang terdaftar.

Hal ini dilakukan untuk lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.

Tujuan dari penyempurnaan undang-undang pajak adalah dalam rangka

ekstensifikasi dan intesifikasi pengenaan dan pemungutan pajak yang sekaligus

merupakan upaya peningkatannkeadilan beban pajak, penghapusan

fasilitas pajak yang tidak memiliki landasan hukum yang akan merugikan

perekonomian nasional dan menutup peluang-peluang penghindaran pajak

(loopholes). Untuk itu sesuai dengan fungsi regulerend secara umum dapat

dinyatakan bahwa sistem pajak harus dapat mendorong kegiatan dan

pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong investasi dari luar

serta mengamankan penerimaan negara. Sedangkan untuk menjalankan fungsi

budgeter sebagai pilar utama penerimaan negara dilakukan dengan memperluas

cakupan subjek dan objek pajak, dan meminimalkan kemungkinan transfer

pricing dan pembatasan pengenaan Pajak Penghasilan final. Semua kebijakan ini

dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan tax compliance,

meningkatkan investasi dan penerimaan negara untuk menuju kemandirian

pembiayaan pembangunan. Menggalakkan penyuluhan-penyuluhan di bidang

perpajakan. Hal ini dilakukan untuk menambah wawasan dari wajib Pajak.

Dengan bertambahnya pengetahuan diharapkan menimbulkan kesadaran untuk

membayar pajak. Dengan demikian diharapkan penerimaan negara melalui

sektor pajak dapat bertambah. Memperbaiki budaya hukum baik bagi wajib

Pajak maupun Petugas Pajak.22


22
Niru Anita Sinaga Op.Cit, hlm 155.
20
Para pihak diharapkan dapat melakukan kewajiban masingmasing sesuai

dengan ketentukan perpajakan yang berlaku. Pemerintah harus melakukan

Pengawasan yang ketat terhadap Pemungutan Pajak. Apabila ditemukan

penyimpangan maka harus diberikan sanksi yang tegas. Hal ini diperlukan untuk

memberikan efek jera bagi pihak wajib Pajak maupun Petugas Pajak.23

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak

mendapatklan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas

negara menyelenggarakan pemerintahan. Pajak sebagai sumber utama


23
Niru Anita Sinaga Op.Cit.
21
pendapatan negara untuk membiayai pembangunan nasional dalam praktiknya

banyak terjadi pelanggaran hukum di bidang perpajakan oleh para Wajib Pajak

(selanjutnya ditulis WP) berupa kealpaan (culpa) maupun kesengajaan (dolus)

untuk tidak menyetorkan pajak ke kas negara sehingga terjadi kerugian terhadap

penerimaan negara yang mengakibatkan negara tidak mampu memberikan

kesejahteraan kepada rakyat. Tegaknya prinsip self assessment system pada

sistem perpajakan Indonesia untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (tax

compliance) dari WP sangat dibutuhkan adanya penegakkan hukum perpajakan

(tax law enforcement) meliputi pemeriksaan pajak (tax audit), penyidikan pajak

(tax investigation), dan penagihan pajak (tax collection).

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan beberapa definisi

pajak, teori mengapa negara memungut pajak, dalam uraian

selanjutnya perlu juga disajikan tentang fungsi pajak, sehingga

semakin jelas mengapa pajak terus dan semakin dibutuhkan

dalam kehidupan bernegara. Pada dasarnya fungsi pajak adalah

sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter) dan fungsi

untuk mengatur (regulerend). Secara umum fungsi pajak yang dikenakan kepada

masyarakat mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu :

1. Fungsi finansial (budgeter).

2. Fungsi mengatur (regulerend).

3. Fungsi stabilitas.

4. Fungsi redistribusi pendanaan.

Kehadiran pajak dalam masyarakat dapat dikenali melalui ciri-ciri berikut:

(a) pajak dipungut berdasarkan undang-undang; (b)tidak ada kompensasi

22
langsung yangdiberikan pemerintah kepada pembayar pajak; (c)dipungut oleh

pemerintah pusat maupun daerah; dan (d)digunakan untuk kemaslahatan rakyat,

baik sebagai budgetair maupun regulerend. Menurut Rochmat Soemitro

menyatakan bahwa: “Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang

mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat

sebagai pembayar pajak”. Hukum pajak menerangkan: siapa Wajib Pajak

(subyek) dan apa kewajibankewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak

pemerintah, obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara

pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya. Hukum Pajak dapat dibedakan

menjadi 2 (dua), yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal.

Pembaruan sistem hukum pajak nasional pada tahun 1983 bertujuan mengganti

peraturan perundang-undangan pajak peninggalan kolonial karena tidak sesuai

dengan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara

Indonesia merupakan landasan idil untuk mencapai tujuan negara sebagaimana

tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu masyarakat adil dan makmur

yang merata baik materiil maupun spiritual. Nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila perlu dijabarkan dalam peraturan perundang- undangan pajak. Sila

Pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai Ketuhanan yang

terkandung dalam sila pertama merujuk pada ajaran agama yang terdapat dalam

kitab suci. Tindak pidana perpajakan yang terdapat dalam undang-undang

perpajakan dapat dikategorikn atas :

a. Tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak.

b. Tindak pidana oleh petugas perpajakan atau aparat perpajakan.

23
c. Tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang terkait

dengan masalah perpajakan seperti karyawan wajib pajak, konsultan pajak,

pengacara dan akuntan.

Tingkat ekonomi sebahagian Wajib Pajak yang sangat rendah sangat

mempengaruhi, dimana Wajib Pajak masih lebih memprioritaskan

biaya yang sifatnya mendasar, seperti: Biaya sekolah, biaya kesehatan dan

sebagainya, dari pada membayar pajak. Database yang masih jauh dari

standar Internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji

kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self assessment. Kondisi

seperti ini menyulitkan riset empiris yang bertujuan menguji kepatuhan

Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat memberikan informasi dan melaporkan yang

tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Database

yang lengkap dan akurat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan

penegakan hukum dan juga kepatuhan wajib pajak. Selanjutnya kepatuhan

wajib pajak berpengaruh pada penerimaan pajak. Kurangnya atau tidak adanya

kesadaran masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk membayar pajak ke negara

adalah sebagai bentuk perlawanan. Persepsi Wajib Pajak bahwa percuma

membayar pajak dengan tertib, karena pada akhirnya akan digunakan secara

boros dan tidak tepat sasaran bahkan akan dikorup oleh sebahagian dari pegawai

pajak. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah akan

menimbulkan selisih antara jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak

dengan jumlah pajak yang seharusnya dibayar semakin besar.

Para pihak diharapkan dapat melakukan kewajiban masingmasing sesuai

dengan ketentukan perpajakan yang berlaku. Pemerintah harus melakukan

24
Pengawasan yang ketat terhadap Pemungutan Pajak. Apabila ditemukan

penyimpangan maka harus diberikan sanksi yang tegas. Hal ini diperlukan untuk

memberikan efek jera bagi pihak wajib Pajak maupun Petugas Pajak.

25
DAFTAR PUSTAKA

Sinaga N. A (2016). Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia. Jurnal

Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal

Suryadarma Volume 7 No. 1, 145.

Santoso D (2017). Problematika Hukum Dalam Tax Amnesty Di Indonesia. Jurnal

Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 05, Nomor 1 ADZKIYA, 89.

Utami C. K (2017). Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Pajak Dan Kepatuhan Wajib

Pajak. Jurnal Ekubis Volume 2, No. 1, 57-58.

Arvie Johan, Fadhilatul Hikmah & Anugrah Anditya (2019). Perpajakan Optimal dalam

Perspektif Hukum Pajak Berfalsafah Pancasila. Jurnal Magister Hukum Udayana

(Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 3, 321.

Suhardi I (2016). Penyatuan Hukum Pajak Formal Dalam Sistem Hukum Pajak

Nasional. Yuridika: Volume 31 No 1, 29.

Diajeng Kusuma Ningrum, Budi Ispiyarso & Pujiono (2016). Kebijakan Formulasi

Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara.

Jurnal Law Reform, Volume 12, Nomor 2, 212.

Yoserwan (2020). Fungsi Sekunder Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak

Pidana Perpajakan (The Secondary Function Of Criminal Law In Combating Tax

Crime). Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 20 No. 2, 169.

Anda mungkin juga menyukai