Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN KASUS PENGGELAPAN PAJAK

PT.ASIAN AGRI GROUP TAHUN 2017

Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak
langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah
persentasenya.namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari
pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini
bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat merugikan negara selain itu
juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan
mengambang kasusnya dikarenakan aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh
dalam menegakkan keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak
bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini saya akan membahas
mengenai salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group yang telah
terungkap namun belum jelas mengenai tuntutan hukum dan proses peradilan bagi tersangkanya.

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas,
perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga
paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain
PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di
antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,
Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan
sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah
satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton
minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.

Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13
November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang
mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan
ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura
sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi
jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.

Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro
Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk
membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan
dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax
Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk
minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi.
Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan
luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan
perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian
membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama
dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG,
baik yang di Jakarta maupun di Medan.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan
pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu
juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan
transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini,
Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6
triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan
terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp
1,3 triliun.

Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang
tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif
Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan
suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat
perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan
perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini.
Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun
penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat
penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra
dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara
pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh
dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan
seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP
UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan
Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-
hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan
Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini.
Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang
tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta
semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan
secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi,
Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang
dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang
sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.

Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?


PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama
beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi
kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of
court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi,
ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar
criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena
kekuatan kapital nya.

Celah Keluar dari Pengadilan


Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana
penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para
penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang
out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus
berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak
beserta sanksi administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur
tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak
pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu
perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk
merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar
sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-
cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.

Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.
Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak
yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak


Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana
yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat
dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan
pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana
pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait
dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan
menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini,
penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang
semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British
Virgin Island). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang,
sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres
sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008). Kuatnya dugaan tindak pidana
pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat
penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan
melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di
luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus
Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung
yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang
tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa
digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa
dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Penempatan (placement)
yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain.

Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana pencucian uang
tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian,
jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan
tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar. Akhirnya,
lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan
yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita
bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak
diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan
hukum.

Anda mungkin juga menyukai