Anda di halaman 1dari 12

HAK MENDAHULU UTANG PAJAK

Disusun Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penagihan dan Peradilan Pajak

Disusun Oleh:

Putri Amerta Nur Aisyah 175030400111020


Neneng Vira Mufidatul Ula 175030407111020

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara teoritis, ada tiga cara pemungutan pajak, yakni with-holding
system, official assesment system, dan self assesment system. With-holding
system adalah cara pemungutan di mana pajak disetorkan oleh pihak ketiga.
Official assesment system adalah cara pemungutan di mana fiskus secara aktif
melakukan pemungutan, termasuk di dalamnya adalah mengitungkan
besarnya pajak terutang yang hraus dibayarkan oleh Wajib Pajak.
Kebalikannya, self assesment system adalah cara pemungutan pajak di mana
Wajib Pajak secara aktif melakukan penyetoran pajak mulai dari melakukan
pendaftaran NPWP, melakukan pembukuan, menghitung besarnya pajak
terutang, membayarkan utang pajak, dan melaporkannya di Surat
Pemberitahuan Masa/Tahunan. Dalam menerapkan self assesment system,
fiskus perlu melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang bertujuan
untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak atau untuk tujuan lainnya. Hal ini
senada dengan undang-undang nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan undang-undang nomor 16 tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pasal 1 angka
25.
Meskipun ada beberapa cara pemungutan pajak, namun ada kalanya pajak
yang terutang tidak/terlambat dibayarkan oleh Wajib Pajak sehingga perlu
dilakukan tindakan aktif oleh fiskus untung mengumpulkan piutang pajak
tersebut. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
penagihan pajak dengan berbagai prosedur yang telah ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Penagihan dilakukan dalam beberapa tahap dimulai
dari pemberian surat ketetapan, surat teguran, surat paksa, surat perintah
melakukan penyitaan, tindakan penyitaan, hingga pelelangan barang hasil
sitaan. Tindakan dan alur penagihan pajak ini tertuang dalam UU KUP, UU
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta diatur secara teknis dalam
Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008. Hal ini bertujuan agar
fiskus memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan penagihan pajak
dan memenuhi target penerimaan negara melalui pajak. selain itu, Wajib
Pajak mengetahui bagaimana tindakan fiskus untuk melakukan penagihan
pajak sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat dengan patuh membayar pajak.

Namun ada kalanya Wajib Pajak tetap tidak patuh terhadap kewajiban
perpajakannya meskipun telah dilakukan berbagai tidakan penagihan secara
aktif oleh fiskus. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme khusus yang
mengatur mengenai penagihan pajak yang ditujukan kepada Wajib Pajak
yang berpotensi untuk melarikan diri dari kewajiban perpajakannya.
Mekanisme tersebut diperlukan untuk menahan agar tidak ada tindakan
penghindaran lebih lanjut dari Wajib Pajak sehingga fiskus tidak kehilangan
basis pajaknya. Mekanisme penagihan aktif yang dimaksud adalah
penyampaian surat teguran, penyampaian surat paksa, penyitaan, dan diakhiri
dengan proses lelang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini
adalah:
1. Apakah dasar hukum hak mendahulu utang pajak?
2. Apa sajakah yang dikecualikan dari hak mendahulu utang pajak?
3. Kapankah saat hilangnya hak mendahulu utang pajak?
4. Berapa lamakah jangka waktu hak mendahulu utang pajak?
5. Bagaimanakah hubungan antara hak mendaulu utang pajak dengan
kepailitan?
6. Bagaimanakah hubungan antara hak mendahulu utang pajak dengan hak
tanggungan dan fiducia?
7. Bagaimanakah hubungan antara hak mendahulu utang pajak dengan
penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Instansi Lain yang
berwenang?
8. Bagaimana Kasus Hak Mendahulu Utang Pajak?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami hukum hak mendahulu utang pajak.
2. Untuk memahami tentang pengecualian dari hak mendahulu utang pajak.
3. Untuk memahami saat hilangnya hak mendahulu utang pajak.
4. Untuk memahami jangka waktu hak mendahulu utang pajak.
5. Untuk memahami tentang hubungan antara hak mendaulu utang pajak
dengan kepailitan.
6. Untuk memahami tentang hubungan antara hak mendahulu utang pajak
dengan hak tanggungan dan fiducia.
7. Untuk memahami Hak Mendahulu dalam kaitanya dengan penyitaan
dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Instansi lain yang berwenang
8. Untuk memahami Kasus Hak Mendahulu Utang Pajak
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Dasar Hukum Hak Mendahulu Utang Pajak

Dasar Hukum dari hak mendahulu utang pajak adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan


Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Hak
Tangguhan)
3. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
4. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa
5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
6. Undang-undang Nomor 37 Tentang Kepailitan.

2.2. Pengecualian Hak Mendahulu Utang Pajak


Seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 21 ayat 3 dijelaskan
bahwa hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya, kecuali terhadap:
a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud
dan/atau
c. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelanggaran dan penyelesaian
warisan.

Karena biaya perkara dan biaya eksekusi merupakan tindakan pertama sekali
yang harus dilakukan untuk bisa menyelamatkan harta kekayaan debitur atau
Wajib Pajak.
2.3. Saat Hilangnya Hak Mendahulu Utang Pajak

Menurut UU KUP Pasal 21 ayat 4 disebutkan bahwa hak mendahulu utang


pajak hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.

2.4. Jangka Waktu Hak Mendahulu Utang Pajak


Dalam penjelasan pasal 21 ayat 5 UU KUP, jangka waktu hak mendahulu
utang pajak ditetapkan dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan
secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan
Surat Paksa dan juga dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau
persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut
dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
2.5. Hak Mendahulu Kaitannya Dengan Kepailitan

Dalam pasal 18 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan, disebutkan


bahwa majelis hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan
jumlah biaya dan imbalan jasa kurator. Biaya dan imbalan jasa yang
dimaksud dalam pasal 3 harus didahulukan atas semua utang pajak yang
tidak dijamin dengan agunan. Dalam Undang-undang terdapat ketentuan
yang berkaitan dengan pajak, yaitu pasal 41 ayat (1) sampai dengan ayat (3)
yang menyatakan:

(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan


pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit
yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan
(2) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan
apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
debitur dan pihak dnegan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut
akan mengakibatkan kerugian bagi debitur.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
adlah perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan
perjanjian dan/atau karena undang-undang
2.6. Hak Mendahulu Kaitannya Dengan Hak Tanggungan Dan Fidusia

Hak mendahulu yang berkaitan dnegan hak tanggungan sebgaiaman telah


diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagiamana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Jika debitur cedera janji, kreditur oemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.
Kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-piutang
menurut ketntuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Hak mendahulu yang berkaitan dengan Jaminan Fidusia diatur dalam UU


No.2 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak, berwujud, meupun tidak berwujud yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

2.7. Hak Mendahului dalam kaitanya dengan penyitaan dilakukan oleh


Pengadilan Negeri atau Instansi lain yang berwenang
Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebit lanjut setelah Surat Paksa.
Surat Penyitaan diterbitkan apabila utang pajak belum dilunasidalam jangka
waktu 2×24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan, untuk itu maka dapat
dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang Wajib Pajak.
Undang-Undang No.19 tahun 2000 Pasal 14 ayat 1, Penyitaan tidak dapat
dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau
instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut,
Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau
instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya
menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian
hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara
untuk tagihan pajak.
2.8. Kasus Hak Mendahului Utang Pajak

Bedah Kasus Kantor Pajak Sebagai Kreditor Kepailitan


Gara-gara telat mengajukan tagihan, buyar sudah upaya Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Pusat untuk mendapatkan ratusan
miliar dari aset Batavia Air setelah perusahaan pengelola maskapai itu
dinyatakan pailit. Pada 5 Juni lalu, Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat
menyatakan menolak keberatan atas pembagian boedel pailit yang dilakukan
kurator. Batas akhirnya per 1 Maret 2013, KPP malah baru mengajukan
keberatan alias renvoi pada 26 Maret.
Lewat renvoi, KPP Madya Jakarta Pusat berharap mendapatkan
Rp369,213 miliar dai aset-aset Batavia. Terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21 dan Pasal 25, Pajak Penghasilan (PPn), sanksi administrasi, dan
tagihan pajak 2010. Namun setelah melalui verifikasi, hanya Rp46,2 miliar
yang diakui kurator sebagai hak KPP. Tagihan pajak 2010 sama sekali tak
diakui. Majelis hakim dipimpin Dedi Ferdiman tak menyetujui perubahan
daftar utang debitor.
Perkara KPP Madya Jakarta Pusat melawan kurator Batavia Air ini
bukan satu-satunya upaya Ditjen Pajak mendapatkan hak dari tagihan pajak
kepada perusahaan-perusahaan yang dinyatakan pailit. Menurut Kismantoro
Petrus, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, pihaknya
melakukan keberatan atau renvoi terhadap pembagian aset pailit karena pajak
punya tagihan kepada debitor. “Pajak itu penerimaan negara, dan kami harus
memperjuangkan penerimaan negara,” ujarnya kepada hukumonline.
Didahulukan
Dalam proses persidangan, Ditjen Pajak (DJP) dan jajarannya
biasanya mengklaim sebagai pihak yang harus didahulukan dalam
pembagian harta pailit. Kuasa hukum DJP sering berargumen ‘pajak
memiliki hak untuk mendahului’ dibanding kreditor lain, sesuai Pasal 16
dan 21 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, lazim disebut UU KUP (UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009).
Pengamat kepailitan, M. Hadi Subhan, sependapat. Merujuk pada
Pasal 1131-1134 KUH Perdata, pajak termasuk kreditor yang harus
didahulukan. Biasa disebut hak istimewa. Pasal 1134 menyebutkan hak
istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada
seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata berdasarkan sifat piutangnya.
Bahkan, menurut dosen Universitas Airlangga itu, kalau merujuk
pada aturan perpajakan, klaim pajak harus didahulukan dari semua
kreditor. “Artinya, tagihan pajak itu di atas tagihan (kreditor) separatis,”
ujarnya.
Dalam kepailitan dikenal status kreditor preferen, separatis, dan
konkuren. Yang pertama mendahului yang kedua, dan seterusnya. Pajak,
kata kurator Batavia Air, Turman M. Panggabean, adalah ‘kreditor yang
harus diutamakan’. Pasal 113 ayat (1) huruf b UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
mengembalikan masalah verifikasi utang pajak kepada peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 21 UU KUP
menyebutkan ‘hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi hak
mendahului lainnya, kecuali terhadap hak mendahului pihak-pihak yang
disebut dalam Pasal 1139 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 149 KUH
Perdata, dan Pasal 80-81 KUH Dagang.
Berbekal kedudukan sebagai kreditor yang diistimewakan itulah,
Kantor Pajak beberapa kali meminta untuk didahulukan dalam kasus
kepailitan. Utang tang ditagih Kantor Pajak pun tak sedikit. Dalam kasus
kepailitan Batavia, KPP mengklaim punya tagihan pajak yang belum
dibayar hingga 2010. Namun kurator kasus Batavia, Turman M.
Panggabean, melayangkan kritik karena KPP baru mengajukan tagihan
tiga dua tahun lebih setelah tahun berjalan lewat. “Jangan karena pejabat
pajak lalai, lalu salahkan kita,” ucap Turman.
Selain itu, Turman melanjutkan, tagihan pajak 2010 kurang
didukung dokumen pendukung. Batavia pun membantah utang sepert
perhitungan KPP. Kurator tak mempersulit jika status utang didukung
bukti, perhitungannya jelas, dan debitor mengakui. “Kami akan mengakui
tagihan kalau debitor mengakui transaksi atau utang itu,” tambahnya.
Untuk memperkuat dalilnya dalam proses persidangan melawan
kurator Batavia, misalnya, KPP Madya Jakarta Pusat merujuk antara lain
pada putusan Mahkamah Agung No. 795K/Pdt.Sus/2010, dalam perkara
KPP Madya Tangerang dan KPP Penanaman Modal Asing Wilayah IV vs
Tim Kurator PT Koryo Internasional Indonesia.
Tetapi berdasarkan penelusuran hukumonline, putusan yang
dijadikan rujukan sudah dibatalkan Mahkamah Agung lewat putusan
Peninjauan Kembali (PK) No. 74PK/Pdt.Sus/2011. Majelis PK menilai
‘terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata’ dalam
putusan No. 795K/Pdt.Sus/2010. Kekeliruan itu ialah mengenai hasil
penjualan boedel pailit, disebut 82 miliar, padahal sebenarnya sekitar 25
miliar rupiah. Lagipula, secara prinsipil hak tanggungan/hipotik
menduduki peringkat di atas hak istimewa, kecuali yang dinyatakan
sebaliknya (Pasal 1134 KUH Perdata).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Apabila Wajib Pajak/ Penanggung Pajak pada saat yang sama di samping
mempunyai utang-utang pribadi (perdata), juga mempunyai utang terhadap
Negara (fiskus), di mana harta kekayaan dari Wajib Pajak / Penanggung
Pajak tidak mencukupi untuk melunasi semua utang-utangnya, maka negara
memiliki hak mendahului atas tagihan pajak tersebut sesuai dengan bunyi
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, jo. Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1994 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Menurut UU KUP Pasal 21 ayat 4 disebutkan bahwa hak mendahulu utang


pajak hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jangka waktu hak mendahulu utang pajak
adalah selama 5 (lima) tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Wiran B. dan Burton, Richard. 2013. Hukum Pajak: Teori, Analisis, dan
Perkembangannya. Jakarta: Salemba Empat

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak


Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
(Hak Tangguhan)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan


Fidusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan


Pajak dengan Surat Paksa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tentang Kepailitan.

Anda mungkin juga menyukai