Anda di halaman 1dari 4

Diskusi Pemeriksaan Pajak

Anggota Kelompok:
1. Arya Azhari - 21919007
2. Hanifah Zahra - 21919012

Pertanyaan:
1. Bagaimana tindakan pemeriksa pajak jika wajib pajak menolak diperiksa? serta
bagaimana jika wajib pajak telah menanggapi dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, tetapi penjelasan wajib pajak tidak sesuai dengan data yang dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak? 
2. Bagaimana jika permohonan keberatan wajib pajak tidak disetujui? Konsekuensi apa
yang akan diberikan jika wajib pajak tidak meminjamkan dokumen pada proses
penyelesaian keberatan? Apakah berpengaruh pada proses persidangan?

Jawaban:
1. Berdasarkan Pasal 36 dan 37 Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 18/PMK.03/2021 (PMK 17/2013 jo PMK 18/2021), apabila wajib
pajak yang dilakukan pemeriksaan lapangan menyatakan menolak untuk dilakukan
pemeriksaan, termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan, wajib pajak tersebut harus menandatangani surat pernyataan penolakan
pemeriksaan. Kemudian, apabila wajib pajak menolak menandatangani surat
pernyataan penolakan pemeriksaan, pemeriksa pajak akan membuat berita acara
penolakan pemeriksaan yang ditandatangani tim Pemeriksa Pajak.
Pasal 36
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: 
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya; 
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; 
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau 
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
2. - Berdasarkan Pasal 25 UU KUP yang mengatur tentang pengajuan keberatan, apabila
keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan. 
- Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
202/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas PMK No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata
Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (“PMK-202/2015”), salah satu
wewenang DJP dalam proses penyelesaian keberatan adalah meminjam buku, catatan,
data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak
terkait dengan materi yang disengketakan. Peminjaman buku, catatan, data, dan
informasi tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu 15 hari kerja setelah tanggal
surat permintaan peminjaman dikirim.
DJP dapat menyampaikan kembali surat permintaan peminjaman yang kedua dan
harus dipenuhi paling lama 10 hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dikirim.
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi peminjaman dokumen tersebut, keberatan tetap
diproses sesuai dengan data yang ada atau yang diterima. Lalu, apakah hal ini akan
berpengaruh pada proses persidangan di Pengadilan Pajak saat nanti diajukan
banding?
Ketentuan pajak pada dasarnya memiliki 3 hukum formil atau hukum acara untuk
pajak pusat yang dikelola oleh DJP, diantaranya Undang-Undang KUP, Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Pengadilan Pajak. Hukum formil
Pengadilan Pajak merupakan substansi hukum yang digunakan wajib pajak, kuasa
hukum wajib pajak, pejabat pajak, dan hakim ketika menghadapi sengketa di
Pengadilan Pajak. Hukum formil Pengadilan Pajak mengacu pada Undang-Undang
Pengadilan Pajak. Dengan demikian, proses persidangan di Pengadilan Pajak menaati
ketentuan dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak karena bersifat lebih khusus jika
dibandingkan dengan Undang-Undang KUP.
Selain itu,, dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (“UU PP”) disebutkan bahwa alat bukti dalam Pengadilan Pajak
dapat berupa:
a. surat atau tulisan,
b. keterangan ahli,
c. keterangan para saksi,
d. pengakuan para pihak, dan/atau
e. pengetahuan Hakim.

Kemudian, merujuk pada Pasal 76 UU PP, disebutkan:

“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”
(Pasal 76 UU PP)

Dari pasal tersebut, dijelaskan bahwa pembuktian dalam Pengadilan Pajak


membutuhkan paling sedikit 2 alat bukti. Selanjutnya, dalam bagian Penjelasan Pasal
76 UU PP dijelaskan bahwa:

“Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai
dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, Hakim
berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian
yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam
persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam
Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan,
belum diungkapkan. Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam
sidang, karena itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau
tergugat harus diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk
diberikan jawaban.”
(Penjelasan Pasal 76 UU PP)

Dari sini dapat diketahui, alat bukti dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak
dapat saja berupa hal-hal baru yang belum diungkapkan dalam proses keberatan di
DJP. Artinya, alat bukti yang digunakan tidak terbatas pada buku, catatan, data, dan
informasi yang diberikan Wajib Pajak dalam proses keberatan, melainkan Wajib
Pajak dapat mengungkapkan data atau informasi baru ketika bersidang di Pengadilan
Pajak.
Wajib Pajak diberikan keleluasaan oleh hakim Pengadilan Pajak untuk mengajukan
alat bukti dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak. Alat bukti dapat
berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para
pihak, dan/atau pengetahuan Hakim sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 ayat (1)
UU PP. Dalam menentukan kebenaran material, hakim memberikan kekuasaan
kepada para pihak untuk menyampaikan atau menentukan apa yang dibuktikan di luar
yang tercantum dalam surat uraian banding yang sudah ada.
Atas alat bukti yang diajukan oleh para pihak ini lah yang nantinya akan dinilai oleh
hakim dan kemudian akan diberikan keputusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal
78 UU PP.

“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan


berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta
berdasarkan keyakinan Hakim.”

     Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika kita tidak memberikan data-
data dan dokumen dalam proses penyelesaian keberatan di DJP bukanlah suatu
masalah. Data-data dan dokumen yang tidak disampaikan dalam proses penyelesaian
keberatan, masih dapat diungkapkan dalam proses penyelesaian sengketa di
Pengadilan Pajak. Hal ini juga tidak akan mempengaruhi proses penyelesaian
sengketa maupun putusan di Pengadilan Pajak.

Anda mungkin juga menyukai