RAHASIA WAJIB PAJAK A. Sejarah Perkembangan Kerahasiaan Wajib Pajak 1. Sebelum ada UU KUP Jauh sebelum terbentuknya Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terbentuk, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur bahwa tindakan membuka rahasia merupakan salah satu tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana. Hal tersebut tertuang pada Bab XVII Membuka Rahasia Pasal 322 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Pasal di atas masih berlaku pada seluruh kegiatan yang bersifat umum, dalam artian semua orang yang karena jabatannya memiliki informasi yang bersifat rahasia, dilarang untuk membuka rahasianya. Dikarenakan pada waktu itu (semenjak UU No.1 Tahun 1946 berlaku) belum terdapat undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai rahasia di bidang perpajakan, maka Kitab KUHP ini dapat dijadikan sebagai acuan. Sehubungan dengan adanya proses pengadilan di bidang pidana yang membutuhkan keterangan ahli untuk memberikan informasi yang sifatnya rahasia, Pasal 180 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, memberikan kewenangan kepada hakim ketua sidang untuk dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Dari pasal ini, timbul pengecualian dimana informasi yang diketahui oleh ahli (bisa jadi informasi yang rahasia) yang seharusnya tidak boleh dibuka menurut Pasal 322 ayat 1 KUHP, dapat dibuka di pengadilan terkait tindak pidana. 2. Setelah UU No. 6 Tahun 1983 Lahir a) Adanya ketentuan khusus mengenai rahasia Wajib Pajak Sampai dengan UU No. 6 Tahun 1983 ditetapkan, barulah kemudian terdapat aturan yang khusus mengenai larangan pejabat untuk memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak mengenai segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan Wajib Pajak kepada pejabat yang bersangkutan dalam rangka jabatan atau pekerjaannya (Pasal 34 ayat 1). Mengapa kerahasiaan Wajib Pajak perlu dijaga? Di dalam penjelasan Pasal 34 (1) disebutkan kepentingannya adalah untuk mencegah disalahgunakannya : bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan dagang atau keadaan asal-usul kekayaan atau penghasilan yang diperoleh karena pada hakekatnya merupakan rahasia pribadi sesuai dengan asas hukum pajak. Ruang lingkup larangan membuka rahasia Wajib Pajak pun diperluas, bukan hanya rahasia yang diketahui oleh pegawai atau pejabat pajak, tetapi juga terhadap ahli yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 34 ayat 2). Yang dimaksud dengan para ahli di sini adalah seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh DJP untuk membantu pelaksanaan undang-undang. 2
Namun demikian, demi keharmonisan dengan aturan yang terdahulu, yakni Pasal 180 UU No.8 Tahun 1981 sehubungan dengan pelaksanaan pengadilan tindak pidana, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada pada pejabat pajak dan ahli (Pasal 34 ayat 4). Selain dari tindak pidana, Menteri Keuangan berwenang memerintahkan secara tertulis kepadap pejabat dan ahli untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari Wajib Pajak untuk keperluan pemeriksaan Keuangan Negara dengan menyebutkan: nama WP dan nama pemeriksa (Pasal 34 ayat 3). b) Adanya ketentuan rahasia WP yang diketahui oleh Pihak Ketiga Ketentuan terkait dengan rahasia Wajib Pajak, tidak hanya mengikat pada pegawai, pejabat pajak, dan tenaga ahli terkait dengan pelaksanaan undang-undang perpajakan, tetapi juga mengikat pihak ketiga yang memiliki hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa. Hal tersebut tertuang pada Pasal 35 UU No.6 Tahun 1983 dengan batasan hanya Wajib Pajak yang diperiksa saja sehingga kerahasiaan WP yang dimiliki oleh pihak ketiga dapat diketahui oleh DJP. Pihak ketiga apa saja yang dimaksud? Pihak ketiga tersebut misalnya Konsulen Pajak, Akuntan Publik, Notaris, dan pihak atau orang lain yang ada hubungannya dengan tindakan atau kegiatan usaha Wajib Pajak. Pasal ini dibuat dimaksudkan sebagai upaya DJP : untuk mendapatkan bahan keterangan pelengkap guna menghitung dan menentukan besarnya jumlah pajak yang sebenarnya terhutang oleh WP, dan untuk mencegah adanya usaha menyembunyikan bahan keterangan atau bukti-bukti mengenai perpajakan di tempat orang lain. Namun demikian, belum terdapat sanksi yang dikenakan bagi pihak ketiga yang wajib menyampaikan informasi rahasia yang diperlukan oleh DJP tetapi tidak bersedia memberikan informasi. c) Pasal 41: Sanksi atas kealpaan dan kesengajaan tidak memenuhi kewajiban Pasal 34 Ancaman sanksi bagi pejabat yang tidak memenuhi kewajiban Pasal 34 ini akan dipidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- tetap apabila disengaja, maka sanksi akan diperberat menjadi pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,-. 3. Setelah Disahkannya Revisi atas UU No. 6 Tahun 1983 a) Perubahan Pertama (adanya UU No.9 Tahun 1994) Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat modifikasi bunyi Pasal 34 terkait dengan: Pengecualian larangan membuka rahasia Berkaitan dengan adanya pengecualian larangan pemberitahuan rahasia WP, yakni diperbolehkan mengungkapkan rahasia bagi pejabat yang bertindak sebagai saksi atau saksi lain dalam sidang pengadilan (Pasal 34 ayat 1 UU No. 9 Tahun 1994). Perluasan ruang lingkup perkara pengadilan yang diperbolehkan Dalam undang-undang ini, diperluas kewenangan Menteri Keuangan, tidak hanya memberikan izin tertulis untuk meminta keterangan dalam rangka perkara pidana, tetapi juga mencakup perkara perdata (Pasal 34 ayat 4 UU No.9 Tahun 1994). 3
Pasal 41: Penyesuaian nominal/jenis sanksi Terdapat penyesuaian nominal sanksi denda dan tambahan masa kurungan/penjara bagi pihak yang alpa atau sengaja membuka rahasia Wajib Pajak. Untuk pihak yang alpa, akan dikenai pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,- sedangkan untuk pihak yang sengaja, akan dikenai sanksi pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,-. Pasal 41A: Adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar Pasal 35 Selain itu, terdapat tambahanketentuan berupasanksi bagi pihak ketiga yang melanggar ketentuan Pasal 35 (pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan kepada DJP) juga akan diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,- (Pasal 41A) b) Perubahan Kedua (adanya UU No.16 Tahun 2000) Pasal 34 (2a) Pengecualian larangan membuka rahasia Pengecualian pejabat dan tenaga ahli untuk menyimpan rahasia Wajib Pajak, yang pada UU sebelumnya digabung dalam pasal 34 ayat 1, dijadikan pasal tersendiri pada UU No.16 Tahun 2000 yakni pada pasal 34 (2a) dengan subtansi yang sama, yakni pejabat dan tenaga ahli yang bertindang sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan dan kepada pihak lain atas izin Menkeu dikecualikan dari kewajiban menyimpan rahasia. Revisi Pasal 41: Penyesuaian nominal/jenis sanksi Terdapat penyesuaian nominal sanksi denda dan tambahan masa kurungan/penjara dari UU revisi sebelumnya. Untuk para pejabat yang alpa, akan dikenai pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 4.000.000,- (denda meningkat dari awalnya Rp 2.000.000,-) sedangkan untuk para pejabat yang dengan sengaja membuka rahasia, akan diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000,- (dari awalnya sebesar Rp 5.000.000,-). Revisi Pasal 41A: Penyesuaian nominal/jenis sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar Pasal 35 Terdapat revisi ketentuan sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar ketentuan Pasal 35 (pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan kepada DJP) di mana diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000,- (Pasal 41A) c) Perubahan Ketiga (adanya UU No.28 Tahun 2007) Perluasan ruang lingkup hubungan antara WP dengan pihak ketiga dalam Pasal 35 Apabila dalam menjalankan ketentuan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari: bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya yang memiliki hubungan Wajib Pajak yang dilakukan kegiatan-kegiatan berikut: Pemeriksaan pajak, Penagihan pajak, atau Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan 4
Atas permintaan Direktur Jenderal Pajak secara tertulis, pihak-pigak tersebut wajib memberikan keterangan/bukti yang diminta. Kewajiban merahasiakan informasi mengenai WP ditiadakan kecuali untuk data bank, harus dengan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Perluasan pihak yang wajib memberikan informasi dan data (tambahan Pasal 35A) Pada UU No.28 Tahun 2007 terdapat satu tambahan pasal terkait dengan keharusan setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berhubungan dengan perpajakan. Revisi kedua Pasal 41: Penyesuaian nominal/jenis sanksi Terdapat penyesuaian nominal sanksi denda dan tambahan masa kurungan/penjara dari UU revisi sebelumnya. Untuk para pejabat yang alpa, akan dikenai pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,- (denda meningkat dari awalnya Rp 4.000.000,-) sedangkan untuk para pejabat yang dengan sengaja membuka rahasia, akan diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (dari awalnya sebesar Rp 10.000.000,-). Revisi kedua Pasal 41A: Penyesuaian nominal/jenis sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar Pasal 35 Terdapat revisi ketentuan sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar ketentuan Pasal 35 (pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan kepada DJP) di mana diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,- (yang sebelumnya didenda paling banyak Rp 10.000.000,-) Pasal 41C: Adanya sanksi bagi instansi pemerintah yang melanggar Pasal 35A Berikut adalah adanya tambahan sanksi pidana dan denda bagi: Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian negara Pasal ini mencerminkan adanya perkembangan kebutuhan DJP dalam menghimpun informasi mengenai data perpajakan WP dan adanya kepastian hukum terhadap pihak lain yang tidak bersedia memberikan informasi berkaitan perpajakan WP. Berikut ini adalah ringkasan perkembangan aturan mengenai rahasia Wajib Pajak. 5
Timeline Perkembangan Peraturan terkait dengan Rahasia Wajib Pajak
B. Keterbukaan Perpajakan di Negara Lain Di antara negara OECD, hanya Jepang, Norwegia, Swedia, dan Finlandia yang mengizinkan adanya keterbukaan akses terhadap informasi SPT Tahunan Badan. Di Jepang, jumlah pendapatan kena pajak akan dirilis kepada publik apabila pendapatan kena pajaknya melebihi 40 Juta Yen. Pada tahun 2000 saja, terdapat setidaknya 7000 perusahaan yang memenuhi syarat ini. Namun demikian, komponen pendapatan kena pajak (pendapatan, HPP, bunga, dsb) tidak dapat diakses oleh publik. Seluruh pendapatan kena pajak perusahaan di Swedia dipublikasikan kepada masyarakat, sedangkan di Norwegia baik pendapatan kena pajak, maupun jumlah kewajiban pajak sebuah perusahaan tersedia bebas untuk masyarakat. Namun demikian, jika sebuah perusahaan melaporkan kerugian, jumlah kerugian tersebut tidak dipublikasikan. Penghasilan kena pajak yang dipublikasikan adalah nol dan tak ada komponen penghasilan kena pajak yang dapat diakses bebas. Sebaliknya, Finlandia menyediakan akses bebas terhadap database yang berisi tentang informasi pendapatan kena pajak, capital income, dan total utang pajak. Rekonsiliasi antara laporan pajak dan pembukuan perusahaan-perusahaan Finlandia juga terbuka untuk publik. Pada beberapa negara, terdapat keterbukaan informasi mengenai pengemplang pajak. Misalnya, di Yunani, pada saat presentasi mengenai APBN disertai dengan informasi mengenai nama-nama wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak pada tahun anggaran sebelumnya dan telah dikumpulkan oleh kementerian keuangan. Sementara itu, di New Zealand secara teratur menerbitkan dokumen Tax Evaders Gazette yang merinci wajib pajak yang telah didakwa atau memiliki tuntutan pidana sekaitan penghindaran pajak. Dan sejak April 1997, daftar tersebut berisi juga nama wajib pajak yang terlibat dengan abusive tax avoidance. Di Kanada, tuntutan atas tax fraud merupakan informasi terbuka. Sedangkan di Irlandia, sebelumnya daftar wajib pajak yang melakukan pelanggaran diterbitkan dalam laporan tahunan Revenue Comissioners Annual Report, namun sekarang daftar tersebut diterbitkan dalam Iris Oifiguil 6
(surat kabar resmi yang menerbitkan pengumuman terkait hukum, yang secara aturan undang- undang memang diwajibkan untuk dipublikasikan) dan dilaporkan juga dalam surat kabar nasional dan lokal. Praktik di negara-negara tersebut memiliki tujuan utama guna meningkatkan kepatuhan pajak serta memberikan efek jera terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran perpajakan juga sebagai contoh bagi wajib pajak yang memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran. Untuk menghindari dipublikasikan sebagai pengemplang pajak, wajib pajak biasanya secara terbuka memberikan konfirmasi kepada auditor tentang adanya hal-hal yang berbeda antara pelaporan pajak dan pembukuannya. Bahkan, sepertinya perbedaan tersebut telah diketahui oleh suplier, pelanggan, dan parter bisnisnya. Praktik tersebut di Amerika Serikat tidak lagi diizinkan. Pada Juli 2002, IRS melakukan tuntutan hukum terhadap KPMG dan BDO Seidman karena dianggap menyembunyikan bukti terhadap penyelidikan pajak. Kerahasiaan Pajak di Amerika Serikat Fenomena kerahasiaan perpajakan di Amerika Serikat terbilang masih baru, yaitu baru dimulai pada tahun 1976 ketika pemerintahan Presiden Nixon karena informasi pajak saat itu dianggap digunakan sebagai alat politik. Aturan kerahasiaan yang ada dalam Section 6103 reformasi perpajakan tahun 1976 pada dasarnya melarang IRS, pegawai negara bagian, dan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap informasi pajak untuk membuka informasi tersebut kepada pihak lain kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang telah diatur dalam Section 6103. Siapapun yang membocorkan informasi tersebut dapat dituntut dengan hukum pidana dan perdata. Beberapa pengecualian dalam Section 6103 antara lain: 1. Pemegang saham yang memiliki 1% atau lebih kepemilikan outstanding stock dapat melakukan inspeksi terhadap SPT perusahaan tersebut dengan permintaan tertulis kepada IRS. Namun demikian, adalah sebuah kejahatan jika pihak tersebut membeberkan informasi yang didapatkan dari IRS tersebut kepada pihak lain. 2. SPT Tahunan dapat diinformasikan kepada pegawai pemerintah tertentu hanya untuk tujuan administrasi perpajakan. Informasi SPT dapat diberitahukan kepada pegawai negara bagian untuk tujuan administrasi perpajakan di negara bagian (dan sebaliknya, informasi pajak dari negara bagian dapat diinformasikan kepada pemerinta federal). Departmen of Justice and Treasury juga dapat mendapatkan informasi perpajakan jika terkait dengan administrasi perpajakan. Dalam hal ini, pegawai Justice Department hanya diizinkan untuk mengakses informasi perpajakan yang ada dalam penyelidikan kasus-kasus administratif oleh grand jury. Intinya adalah meskipun terdapat aturan kerahasiaan perpajakan, namun pihak pemerintah selain IRS dapat mendapatkan informasi perpajakan sekaitan dengan tindakan perpajakan, pengumpulan pajak, dan fungsi administrasi lainnya. 3. Keterbukaan pajak dapat diberikan untuk penyelidikan pelanggaran kriminal bukan pajak. Dalam hal ini, jaksa penuntut harus menyerahkan form/aplikasi kepada hakim federal. Selain itu, badan-badan federal bisa mendapatkan informasi perpajakan yang diberikan oleh pihak ketiga, seperti bank atau pegawai perusahaan tersebut tanpa surat perintah dari pengadilan dan cukup dengan meminta izin tertulis kepada IRS. Pada Agustus 2013, IRS melakukan tambahan aturan untuk Section 6103 mengenai keterbukaan informasi pajak sekaitan dengan aplikasi jaminan kesehatan. Pada dasarnya Section 6103(I)(21) mengizinkan IRS untuk memberikan informasi perpajakan kepada HHS, Marketplace, dan badan 7
negara bagian dengan meminta izin tertulis dan informasi tersebut berada di bawah aturan kerahasiaan privasi yang berlaku di Amerika Serikat. Informasi tersebut hanya digunakan untuk menilai kemampuan wajib pajak untuk aplikasi jaminan kesehatan yang baru di Amerika Serikat. Informasi yang dapat diberikan adalah: 1. Status pelaporan SPT Wajib Pajak 2. Informasi mengenai pendapatan wajib pajak dan tanggungan pajak dalam SPT Jika informasi tersebut tidak tersedia, maka perlu diberikan alasan mengapa tidak tersedia. C. Jenis Data Wajib Pajak yang Masih Dirahasiakan 1. Dari Sudut Pandang Direktorat Jenderal Pajak Dari sudut pandang Direktorat Jenderal Pajak, yang dimaksud sebagai kerahasiaan data Wajib Pajak adalah terkait dengan kerahasiaan seluruh data dan informasi yang diberikan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas perpajakan di Indonesia. Kerahasiaan ini diatur dalam Pasal 34 UU 16 Tahun 2009. Dalam penjelasan Pasal 34 UU 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa : Ayat (1) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain: 1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; 2. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; 3. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; 4. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berkenaan. Ayat (2) Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (2a) Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi: 1. nama Wajib Pajak; 2. Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. alamat Wajib Pajak; 4. alamat kegiatan usaha; 5. merek usaha; dan/atau 6. kegiatan usaha Wajib Pajak. 8
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: 1. penerimaan pajak secara nasional; 2. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak; 3. penerimaan pajak per jenis pajak; 4. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; 5. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; 6. register permohonan Wajib Pajak; 7. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau 8. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak. Kerahasiaan data Wajib Pajak ini merupakan hak setiap Wajib Pajak. Di mana, dalam hal seluruh data dan informasi Wajib Pajak dilindungi dari adanya akses pihak luar, maka data dan informasi yang bersifat strategis tidak akan sampai kepada pihak luar dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang dapat merugikan Wajib Pajak. Namun, aturan ini memiliki pengecualian untuk pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, atau pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara . 2. Dari Sudut Pandang Pihak Ketiga Dari sudut pandang pihak ketiga, maka sebenarnya kerahasiaan data Wajib Pajak yang berada pada pihak ketiga menjadi kendala tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya menghimpun penerimaan pajak secara optimal. Kerahasiaan data Wajib Pajak dari sudut pandang pihak ketiga, mewajibkan setiap pihak ketiga untuk merahasiakan transaksi/data Wajib Pajak untuk kepentingan perpajakan maupun untuk kepentingan yang lain. Uraian di atas menggambarkan bahwa kedudukan Direktorat Jenderal Pajak saat ini masih cukup lemah. Keterbatasan akses data dari pihak ketiga bukanlah suatu bentuk pelanggaran hukum karena kerahasiaan ini memiliki dasar hukum yang kuat. Terjadinya tumpang tindih peraturan ini, pada akhirnya melemahkan kedudukan Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya menjaring potensi perpajakan. Adapun beberapa jenis kerahasiaan data Wajib Pajak dari sudut pandang pihak ketiga adalah: a) Kerahasiaan sumber data BPS BPS benar untuk merahasiakan data sensus karena UU Statistik No.16/1997 Pasal 21 mewajibkan penyelenggara kegiatan statistik untuk merahasiakan jawaban responden. Undang- undang tersebut berbunyi: Penyelenggaraan Kegiatan Statistik Wajib Menjamin Kerahasiaan Keterangan Yang Diperoleh Dari Responden. BPS hanya bisa menyajikan data dalam bentuk agregat.Kerahasiaan data dari BPS menyebabkan simpang siur terhadap penafsiran data BPS oleh petugas pajak maupun masyarakat. BPS pernah melansir data unit usaha di Indonesia sebanyak 22 juta. Data ini sering diasumsikan ada 22 juta 9
perusahaan di Indonesia yang belum semuanya dikenakan pajak. Padahal unit usaha dimaksud BPS adalah usaha ekonomi penduduk dan belum tentu berbadan hukum. Misalnya selain menjual toko kelontong, satu kepala keluarga juga membuka usaha pulsa seluler dan warung nasi sederhana di satu lokasi usaha. Oleh BPS data ini diartikan hanya ada 3 unit usaha, sementara oleh banyak pihak berpersepsi ada 3 perusahaan badan hukum.Wajib Pajak lain merasa tidak ada fairness jika ada yang perusahaan membayar pajak sedangkan perusahaan lain tidak membayar pajak. Hal ini bisa terselesaikan jika data sensus bisa digunakan untuk kepentingan pajak. b) Kerahasiaan Data Perbankan Problem pelik lain pada aturan kerahasiaan bank (bank secrecy) yang diatur Pasal 40 UU No.10/1998 tentang Perbankan yang berbunyi : Pasal 1 Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai data nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A. Pasal 2 Ketentuan Sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi pihak terafiliasi Kerahasiaan mencakup liabilities bank (berupa simpanan nasabah) dan aset bank (kredit yang disalurkan). Pembukaan rahasia bisa dilakukan jika ada permintaan Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama pejabat pajak, nama Nasabah, nama kantor Bank, keterangan yang diminta, dan alasan diperlukannya keterangan. Data perbankan harusnya tidak lagi rahasia lagi. Otoritas pajak Amerika Serikat (AS), Internal Revenue Service (IRS) berhasil memaksa bank Swiss yaitu UBS untuk memberikan data nasabah asal AS. Bank Swiss lainnya, Wegelin, harus ditutup karena terbukti bersalah di pengadilan federal Manhattan karena membantu penghindaran pajak nasabah dari AS. c) Kerahasiaan Data Properti Kerahasiaan lain adalah data properti. Pasal 34 PP No.24/1997 yang berbunyi: Pasal 1 Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan yuridis yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, dan buku tanaha. Pasal 2 Data fisik dan yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya terbuk bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugas Pasal 3 Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 ditetapkan oleh Menteri. Pasal tersebut mengatur data fisik dan yuridis pendaftaran tanah terbuka hanya untuk instansi tertentu sesuai bidang tugasnya.Data kepemilikan tanah tidak bisa diakses untuk mengetahui aset- aset Wajib Pajak, apakah sesuai dengan pajak yang dibayar.
10
d) Kerahasiaan Data Pajak Daerah Pasal 172 UU PDRD No.28/2009 mengatur kewajiban pejabat untuk merahasiakan data pajak daerah. Pasal tersebut berbunyi: Pasal 1 Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pasal 2 Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pasal 3 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah Dari data pajak daerah seperti data obyek Pajak Bumi dan Bangunan, data surat setoran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan, bisa diketahui kepemilikan properti dan nilai transaksi properti. Bagi kantor pajak, data ini berharga untuk mengecek data perpajakan properti yang seharusnya disetorkan Wajib Pajak. e) Kerahasiaan Data Dana Investasi Problem lain penarikan pajak adalah pengawasan transaksi aset investasi berupa pembelian polis asuransi, kendaraan mewah, perhiasan mewah, properti, dan saham. Aturan UU No.8/2010 tentang pencucian uang membatasi nominal transaksi Rp 500 juta ke atas yang wajib dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa ke PPATK (Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan). Jika penyedia barang dan jasa adalah individu/pribadi, kemungkinan transaksi tunai ini tak terdeteksi. Dari kasus di Pengadilan Tipikor Jakarta belakangan ini, terungkap bahwa dana untuk transaksi barang mewah berasal diduga hasil korupsi Aturan kerahasiaan data sangat menghambat pencarian wajib pajak baru potensial, walaupun Pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28/2007 mewajibkan kementerian dan lembaga negara non kementerian untuk menyampaikan data keuangan ke kantor pajak. Aturan kerahasiaan UU KUP dimentahkan oleh aturan setingkat pada UU lainnya seperti UU statistik, perbankan, pendaftaran tanah, dan pajak daerah. Aturan yang paling memukul kewajiban pemberian data untuk perpajakan adalah UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada pasal 17 diatur bahwa badan publik dilarang memberitahukan kondisi keuangan, aset, pendapatan dan rekening bank seseorang.
11
D. Apakah Jumlah Pembayaran Masih Dirahasiakan? Dalam penjelasan pasal 34 ayat 1 UU KUP disebutkan bahwa setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain: a) Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; b) data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; c) dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; d) dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkenaan. Nilai pembayaran terkait erat dengan surat pemberitahuan yang disampaikan oleh WP. Maka berarti jumlah pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak adalah rahasia milik Wajib Pajak yang bersangkutan, yang baru diserahkan atau diberikan ke pihak lain hanya atas persetujuan pemiliknya, yaitu Wajib Pajak itu sendiri. Namun selain dari data SPT, jumlah pembayaran WP bisa diperoleh dari Modul Penerimaan Negara (MPN) dan dari beberapa wawancara dari teman yang ditugaskan di KPPN data tersebut bukan merupakan rahasia. Sehingga dari data MPN tersebut dapat diketahui jumlah pembayaran WP. Dan bila dikombinasikan dengan data yang bisa didapat dari DJP yaitu Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak yang bersifat umum meliputi: 1. nama Wajib Pajak; 2. Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. alamat Wajib Pajak; 4. alamat kegiatan usaha; 5. merek usaha; dan/atau 6. kegiatan usaha Wajib Pajak. maka data pembayaran pajak per NPWP bisa diperoleh. E. Dampak Pengungkapan Rahasia Wajib Pajak Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dampak pengungkapan rahasia Wajib Pajak dari dua sudut pandang, yaitu pengungkapan rahasia Wajib Pajak oleh DJP dan pengungkapan rahasia Wajib Pajak oleh pihak ketiga. 1. Dampak Pengungkapan Rahasia Wajib Pajak oleh DJP (kepada BPK) Apabila membahas mengenai pengungkapan rahasia Wajib Pajak oleh DJP, tidak lengkap rasanya jika tidak menyertakan isu mengenai judicial review yang pernah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Pasal 34 ayat 2A UU KUP. Pada tanggal 5 Februari 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara resmi mengajukan uji materil (judicial review) terhadap UU No.28 Tahun 2007 tentang KUP kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu pertimbangan yang digunakan dalam pengajuan uji materil adalah Pasal 34 ayat 2A huruf b UU KUP dianggap mencederai UUD 1945, serta UU terkait lainnya. 12
Bagian mana dari Pasal 34 ayat 2A yang dianggap mencederai UUD 1945? Pasal tersebut menyatakan bahwa: pejabat atau tenaga ahli pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan pemeriksaan keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan tersebut dirasa telah bertentangan dengan kewenangan konstitusional BPK-RI yang diamanatkan oleh UUD 1945, Pasal 23E ayat 1 yang menyatakan bahwa BPK didirikan sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk suatu tujuan saja. Tujuan tunggal pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh negara darimanapun sumbernya, di manapun disimpan, dan untuk apapun dipergunakan. Undang- Undang Dasar 1945 seperti halnya dengan negara demokratis lainnya mengamanatkan agar BPK melaporkan hasil pemeriksaannya atas keuangan negara itu kepada rakyat melalui DPR sebagai pemegang hak budget. BPK berpendapat bahwa Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 juga tidak sejalan dan bertolak belakang dengan paket tiga Undang- Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 yang penyusunannya diprakarsai oleh Kementerian Keuangan sendiri. Selain itu, BPK beranggapan bahwa penjelasan Pasal 34 ayat 2A yang memperinci informasi tentang identitas wajib pajak yang dapat diberikan oleh Dirjen Pajak hanya bersifat umum yang pada hakikatnya sangat tidak cukup dan tidak memadai untuk melakukan pemeriksaan penerimaan negara dari pajak. Pasal UU KUP tersebut seolah-olah melindungi kerahasiaan Wajib Pajak tetapi bukan pada tempatnya, karena BPK tidak akan memeriksa pembukuan Wajib Pajak serta mengoreksi maupun menetapkan kewajiban pajaknya, melainkan hanya untuk mengetahui adanya unsur pidana atas hasil pemeriksaan BPK sehubungan dengan adanya petugas pajak yang nakal (Pasal 14 UU 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Dampak yang dapat ditimbulkan dari diungkapkannya rahasia Wajib Pajak oleh DJP kepada BPK, antara lain: a) Apabila BPK dapat mengakses seluruh informasi data dan dokumen Wajib Pajak maka jaminan berupa perlindungan dan kepastian hukum yang dijamin oleh UU akan menjadi sirna dan dapat menimbulkan beban pajak yang setiap waktu dapat berubah manakala kemudian BPK mempermasalahkan perhitungan pajak yang jumlahnya telah ditentukan dalam ketetapan. b) Dalam hal BPK mempunyai wewenang untuk mengakses seluruh data, informasi dan dokumen wajib pajak yang ada di tangan Ditjen Pajak dan kemudian menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, maka sistem perlindungan dan kepastian hukum dimaksud termasuk sistem penyelesaian sengketa pajak akan rusak. Sengketa pajak dan penyelesaiannya menjadi rancu dan hal ini merusak kepastian hukum. c) Pemeriksaan oleh BPK yang bebas dan mandiri terhadap berkas-berkas Wajib Pajak dapat mengakibatkan Wajib Pajak yang sudah selesai diperiksa oleh Ditjen Pajak dapat diperiksa kembali oleh BPK. Padahal pemeriksan kembali tersebut berdasarkan undang-undang hanya dapat dilakukan bila terdapat ada data baru atau data yang semula belum terungkap. Kalau tidak terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap, pemeriksaan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Hal ini akan merusak tatanan sistem perpajakan yang sudah berjalan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. d) Apabila BPK melakukan pemeriksaan atas data dan dokumen Wajib Pajak dan hasil temuan pemeriksaan tersebut terdapat perbedaan angka penghitungan pajak maka sesuai kewenangan BPK dalam UU 15 Tahun 2004 Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), akan dikeluarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang. Dalam 13
memeriksa kinerja instansi pemerintah, BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang secara teknis kewenangannya berada di bawah instansi pemerintah yang bersangkutan sebagai alat pembuktian dan mencari sumber potensi penerimaan keuangan negara. Posisi pelaku usaha dalam pemeriksaan seperti ini menjadi tidak jelas. Antara sebagai alat pembantu atau sebagai terperiksa. Dalam praktiknya status pelaku usaha atau wajib pajak kemudian berubah dari alat bantu menjadi yang terperiksa. Atas permohonan uji materil UU No.28 Tahun 2007 tentang KUP yang diajukan oleh BPK-RI, Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 tertanggal 15 Mei 2008 dengan hasil bahwa: Terdapat ketidakharmonisan antar undang-undang, in casu UU Perpajakan dan sejumlah undang- undang dalam bidang atau yang berkait dengan keuangan negara (UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Keuangan Negara, UU BPK) yang menjadi sebab terjadinya benturan antara dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi, sehingga dalam perkara pengujian undang-undang a quo, yang bukan perkara sengketa kewenangan konstitusional BPK sebagai akibat berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan, Meskipun BPK memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun oleh karena tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK yang telah diuraikan pada paragraf 1, maka syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak terpenuhi sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Dampak Pengungkapan Rahasia Wajib Pajak oleh Pihak Ketiga (Lembaga Perbankan) Upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan tidak lepas dari berbagai tantangan dalam pelaksanaannya. Salah satu tantangan tersebut adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak sehingga berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak, contoh konkritnya adalah usaha penghindaran diri WP dari kewajiban perpajakan. Hal inilah yang menghalangi kelancaran aliran penerimaan pajak ke Kas Negara, karena banyaknya celah dan peluang yang sengaja diciptakan agar WP tidak perlu melaksanakan kewajiban perpajakannya, di mana celah dan peluang ini bermula dari rasa keengganan WP untuk menyelenggarakan kewajiban perpajakannya dengan benar, baik dalam penyetoran pajak yang terutang maupun pelaporan dan tertib administrasi lainnya. Undang-undang perpajakan negara kita menentukan bahwa WP dituntut aktif dalam menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri berdasarkan sistem self assessment. Namun, dengan keengganan WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka akan timbul itikad buruk dan ketidakjujuran sehingga data dan informasi yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi WP yang sesungguhnya, salah satunya adalah mengenai data kekayaan wajib pajak dalam bentuk simpanan di bank. Kekayaan Wajib Pajak yang tersimpan dalam sebuah bank mendapatkan suatu perlindungan yang sifatnya pribadi. Artinya, bahwa keterangan yang menunjukkan keadaan sebenarnya atas nama seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain selain pemilik simpanan atau seseorang yang telah diberikan kuasa kepadanya untuk dapat mengetahui simpanan atas nama orang yang memberinya kuasa, dan tentunya oleh pejabat bank yang bersangkutan. Perlindungan ini erat kaitannya dengan 14
kepercayaan (trust) yang ditawarkan sebuah lembaga perbankan kepada nasabahnya, sebab memang dari kepercayaan itulah roda kehidupan sebuah bank akan terus berjalan. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesionalitas sebuah lembaga perbankan akan berdampak pada turunnya kuantitas himpunan dana dari masyarakat. Namun demikian, nasabah yang sekaligus wajib pajak juga dituntut oleh dunia perpajakan untuk memberikan keterangan yang sebenar- benarnya mengenai jumlah pajak terhutangnya. Adanya hubungan yang demikian menyebabkan diperlukannya sinkronisasi ketentuan perpajakan dengan ketentuan di bidang perbankan. Artinya, harus tersedia produk hukum yang saling mendukung dan tidak menghambat perolehan akses data Wajib Pajak oleh petugas pajak jika dalam rangka menguji kebenaran pelaporan Wajib Pajak yang diduga ada manipulasi di dalamnya. Permasalahannya adalah apakah masih ada ketentuan perbankan khususnya mengenai rahasia bank yang kurang memberikan akses perolehan data wajib pajak, baik yang menjadi nasabah penyimpan maupun nasabah peminjam, untuk kepentingan perpajakan sehingga adanya ketidakpatuhan wajib pajak terhadap kewajiban pajaknya terlindungi di balik tameng perlindungan yang diberikan lembaga perbankan dalam bentuk rahasia bank? Kerahasiaan informasi tentang nasabah sebenarnya lahir lebih banyak untuk kepentingan bank itu sendiri. Rahasia bank (bank secrecy) dianggap sebagai imbalan dari kepercayaan yang diberikan oleh nasabah demi kelangsungan hidup sebuah bank. Ini berarti bahwa bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of confidentiality). Sepatutnyalah bank menerapkan ketentuan rahasia bank tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab. Rahasia bank menjadi menarik untuk dibicarakan tatkala keberadaannya ada dalam persimpangan antara tugasnya dalam melindungi nasabah dan dihadapkannya tugas tersebut dengan kepentingan di luar bidang perbankan, dalam hal ini kepentingan di bidang perpajakan. Adanya ketentuan mengenai rahasia bank kemudian menimbulkan kesan bahwa bank dapat saja dengan sengaja menyembunyikan keadaan keuangan nasabah baik perseorangan atau perusahaan yang sedang menjadi sorotan khususnya dalam hal kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak. Lalu bagaimana dengan ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia, khususnya dalam rangka menunjang upaya penegakan kepatuhan pajak? Sudahkah ketentuan tersebut membuka akses dalam menjawab tuntutan ketentuan perpajakan, sehingga penegakan hukum di bidang perpajakan tersebut dapat di-support? Ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia diatur dalam pasal 40 ayat 1 dan 2 UU No. 10 /1998. Dari ketentuan pasal 40 tersebut dapat diketahui beberapa hal. Pertama, bahwa menjaga keterangan-keterangan nasabah menjadi sebuah kewajiban bagi bank. Hal tersebut dikuatkan oleh pasal 47 ayat 2, yaitu bahwa apabila kewajiban tersebut dilanggar, maka ketentuan mengenai sanksi pelanggaran atas kewajiban menyimpan rahasia bank menanti. Pasal tersebut menyebutkan bahwa anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 4 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah). Selanjutnya disebutkan bahwa tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan (pasal 51). Kedua, keterangan-keterangan yang dilindungi oleh rahasia bank hanyalah milik nasabah penyimpan. Bagaimana dengan nasabah debitur? Secara gamblang tidak diatur dalam undang-undang tersebut. 15
Dalam penjelasan pasal 40 hanya dijelaskan bahwa nasabah penyimpan yang sekaligus nasabah debitur tetap harus dirahasiakan keterangannya dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Ketiga, ada pengecualian-pengecualian yang disediakan oleh undang-undang sehingga kewajiban mengenai rahasia bank tersebut dapat disimpangi pemberlakuannya, yaitu untuk kepentingan- kepentingan berikut yang meliputi: 1. Kepentingan perpajakan (pasal 41); 2. Kepentingan penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara) atau PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) (pasal 41A); 3. Kepentingan peradilan dalam perkara pidana (pasal 42); 4. Kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabah (pasal 43); 5. Kepentingan tukar menukar informasi antar bank (pasal 44); 6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan atau ahli warisnya (pasal 44A). Pasal 41 undang-undang yang sama selanjutnya menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Ketentuan ini kemudian terjabar dalam peraturan pelaksanaan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perbankan tersebut maupun dalam Peraturan Bank Indonesia pada prinsipnya sejalan dengan apa yang menjadi tuntutan Undang- Undang No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa atau disidik, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta (pasal 35 ayat 1). Dalam hal pihak-pihak tersebut terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank kewajiban merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri Keuangan (pasal 35 ayat 2). Adapun dampak yang diakibatkan oleh pengungkapan rahasia Wajib Pajak (terutama oleh lembaga perbankan), antara lain: a) Pengungkapan rahasia bank menjadi salah satu upaya untuk membangkitkan kepatuhan yang diharapkan. Celah untuk melakukan pengungkapan rahasia bank tersebut memang sangat diperlukan keberadaannya dalam rangka membantu aparat petugas pajak untuk meningkatkan level kepatuhan pajak mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran pajak masyarakat. Ketika aparat pajak menemui jumlah pajak terhutang yang tidak sesuai dan patut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, maka keterangan keuangan wajib pajak tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan mengungkapkan rahasia bank pada bank tertentu tempat wajib pajak menitipkan simpanannya. 16
b) Selama ini, analisis potensi pajak terbentur keterbatasan data keuangan wajib pajak. Jika melihat demografi nasabah bank, sebenarnya potensi penggalian pajak masih besar. Data Lembaga Penjamin Simpanan per Juli 2013 menyebutkan rekening total sebanyak 126,8 juta rekening dengan nominal simpanan Rp 3.447 trilyun. Simpanan di atas Rp 500 juta sebanyak 746.456 rekening dengan nominal Rp 2.373 trilyun. Berarti 0,58 persen jumlah rekening bank nasional menguasai 70,4 persen total simpanan di bank. Andai saja data akses ke perbankan bisa diberikan, kemungkinan banyak wajib pajak yang bisa dihimbau, wajib pajak baru dapat dijaring, upaya penghindaran pajak dapat diminimalisasi sehingga pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan negara.
F. Simpulan dan Saran Dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil simpulan sebagai berikut. 1. Terdapat aturan khusus dalam UU KUP mengenai larangan pejabat untuk memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak mengenai segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan Wajib Pajak kepada pejabat yang bersangkutan dalam rangka jabatan atau pekerjaannya (Pasal 34 ayat 1). Ketentuan terkait dengan rahasia Wajib Pajak, tidak hanya mengikat pada pegawai, pejabat pajak, dan tenaga ahli terkait dengan pelaksanaan undang-undang perpajakan, tetapi juga mengikat pihak ketiga yang memiliki hubungan dengan Wajib Pajak (Pasal 35), dan dalam revisi UU KUP, disebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain harus memberikan data dan informasi yang berhubungan dengan perpajakan. 2. Dari sudut pandang DJP, setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berkenaan. 3. Dari sudut pandang pihak ketiga, kerahasiaan Wajib Pajak diatur dalam Pasal 21 UU Statistik No.16/1997 mengenai kerahasiaan sumber data BPS, Pasal 40 UU No.10/1998 mengenai kerahasiaan data perbankan, Pasal 34 PP No.24/1997 mengenai kerahasiaan data properti, Pasal 172 UU PDRD No.28/2009 mengenai kerahasiaan data pajak daerah dan UU No.8/2010 mengenai kerahasiaan data investasi. 4. Selain dari data SPT, jumlah pembayaran WP bisa diperoleh dari Modul Penerimaan Negara (MPN) dan bila dikombinasikan dengan data yang bisa didapat dari DJP yaitu identitas Wajib Pajak maka data pembayaran pajak per NPWP bisa diperoleh. 5. Dampak yang dapat ditimbulkan dari diungkapkannya rahasia Wajib Pajak oleh DJP kepada BPK adalah dapat menimbulkan beban pajak yang setiap waktu dapat berubah sistem perlindungan dan kepastian hukum dimaksud termasuk sistem penyelesaian sengketa pajak akan rusak, mengakibatkan Wajib Pajak yang sudah selesai diperiksa oleh Ditjen Pajak dapat diperiksa kembali oleh BPK, dan ketidakjelasan posisi pelaku usaha dalam pemeriksaan pajak. 6. Dampak yang diakibatkan oleh pengungkapan rahasia Wajib Pajak (terutama oleh lembaga perbankan) adalah meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan meminimalisasi upaya penghindaran pajak sehingga dapat mengoptimaliasi potensi penerimaan pajak. 17
Tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kerahasiaan data, membuat setiap institusi merasa memiliki hak khusus untuk mengamankan data klien mereka. Namun seharusnya, pemerintah melakukan sinkronisasi peraturan serta mendahulukan mana yang lebih utama untuk kemaslahatan masyarakat. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka yang terjadi bukanlah melindungi kerahasiaan data klien namun malah menjdai penyembunyian data klien. Untuk mewujudkan adanya rasa keadilan, seharusnya data-data tersebut diatas mulai dapat diakses hanya untuk kepentingan perpajakan saja. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dipaparkan saran upaya sebagai berikut: 1. Sinkronisasi ketentuan sangat diperlukan dan harus diminimalisir ketentuan yang memberikan celah yang mengundang oknum aparat pajak, pihak bank maupun wajib pajak sendiri untuk bersatu dalam kerja sama penghindaran pajak dengan melakukan penyelesaian-penyelesaian pembayaran pajak diluar kantor. Sebagaimana saat ini menjadi perbincangan dalam pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan bank yaitu tentang pemblokiran rekening (pasal 44 ayat 2). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa aparat pajak dapat memblokir rekening wajib pajak yang diduga melakukan pelanggaran pajak. Tentu saja wajar jika ketentuan tersebut kemudian mengundang pertentangan antara lembaga 18 perbankan dengan Dirjen Pajak karena ketentuan semacam itu sangat rawan celah penyimpangan oleh aparat pajak dengan wajib pajak. merevisi semua aturan undang-undang tentang peniadaan kewajiban jabatan untuk merahasiakan data untuk kepentingan perpajakan. Pemberian data keterangan untuk perpajakan, tidak harus menunggu adanya pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana perpajakan. Revisi rahasia perbankan menjadi prioritas utama untuk mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi keuangan penyimpan dan peminjam dana, bukan untuk penyembunyian aset.Merealisasikan UU pembatasan pembayaran tunai dan mewajibkan masyarakat menggunakan instrumen perbankan untuk pelunasan transaksi. Pembatasan hanya untuk transaksi business to business, business to person atau person to person. Pembatasan tunai bertahap misalkan tahun 2014 maksimal hanya Rp.50 juta, tahun 2015 turun ke Rp.25 juta dan tahun 2016 maksimal Rp 5 juta. PPATK nantinya menyampaikan data ini ke kantor pajak untuk peningkatan pajak. 2. Pembukaan data nasabah bank harus secara hati-hati agar tidak memicu penarikan dana dari bank. Informasi rekening nasabah ditampung pada suatu komisi informasi perpajakan. Kantor pajak nantinya akan mengakses data ini sepengetahuan komisi informasi perpajakan untuk keamanan data nasabah dari kejahatan perbankan. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut pembukaan rahasuia bank dalam rangka pengejaran penghindaran pajak. Pertama, penindakan wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri. Bentuk diplomasi bisa dilakukan dengan mencabut ijin bank-bank dari negara tersebut di Indonesia. Kedua, revisi batasan pencantuman NPWP untuk pembelian valuta asing menjadi $10,000 ke atas. Jika mampu membeli valas $10.000, sementara penghasilan pada SPT Tahunan hanya Rp.30 juta, tentu ada penghasilan lain yang tidak dilaporkan. Ketiga, revisi UU Perbankan bahwa kewajiban jabatan untuk merahasiakan data dikecualikan atas kepentingan perpajakan. Akses data wajib pajak seperti rekening bank, basisdata pembeli Surat Utang Negara dan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (SIDBI), diperlukan untuk penggalian potensi pajak, terutama sektor informal atau Usaha Kecil Menengah. Pemilik 746 ribu rekening dengan saldo di atas Rp.500 juta, tentu perlu diteliti kepatuhan pembayaran pajaknya. Seharusnya, akses data tidak harus menunggu adanya pemeriksaan tindak pidana perpajakan. Keempat, Indonesia perlu meniru program voluntary 18
disclosure dari IRS, yang memberikan bebas denda pajak bagi wajib pajak yang sukarela melaporkan kepemilikan rekening bank di luar negeri. Cara ini dengan mempersuasif pemilik rekening agar memberikan data rekening bank luar negeri. Kelima, BI perlu menambahkan opsi persyaratan pembukaan rekening bank bahwa bank diperbolehkan memberikan data simpanan dan pinjaman nasabah jika ada permintaan dari kantor pajak, tanpa harus ada tindak pidana perpajakan.
19
Daftar Pustaka
Lenter, David, et. Al. 2003. Public Disclosure of Corporate Tax Return Information: Accounting, Economics, and Legal Perspective. National Tax Journal; Dec 2003; 46, 4; Accounting & Tax pg 803. Puspitarini, Chandra Dewi. Penerobosan Rahasia Bank: Upaya Penegakan Kepatuhan Pajak. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdd UU Nomor 16 Tahun 2009 http://www.pajak.go.id/content/article/legislasi-kerahasiaan-data-untuk-pajak http://hukumpidana.bphn.go.id/kuhpoutrujuk/pasal-34-2/ http://www.pajak.go.id/content/hak-hak-wajib-pajak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VI/2008 tertanggal 15 Mei 2008 Empat Alasan Pokok Pengajuan Judicial Review atas UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) oleh BPK RI. http://www.bpk.go.id/assets/files/ attachments/2009/01/siaran_pers_5_feb.pdf. Diakses pada tanggal 01 Juli 2014 Intensifikasi Pajak dan Rahasia Bank. http://www.pajak.go.id/content/article/intensifikasi-pajak- dan-rahasia-bank. Diakses pada tanggal 02 Juli 2014 Kerahasiaan Wajib Pajak Harus Dilindungi. http://www.tempo.co/read/news/2008/01/31 056116600/Kerahasiaan-Wajib-Pajak-Harus-Dilindungi. Diakses pada tanggal 01 Juli 2014 IRS. Section 6103(I)(21): Questions and Answers. http://www.irs.gov/uac/Newsroom/ IRC-Section- 6103%28l%29%2821%29-Questions-and-Answers. Diakses pada tanggal 3 Juli 2014.