Anda di halaman 1dari 3

Modus Operandi Tindak Pidana Perpajakan dalam KUHP

Modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan antara lain seperti: membuat faktur pajak
tidak berdasarkan transaksi sebenarnya; melakukan pemungutan pajak tetapi tidak setor ke
negara; wajib pajak tidak melaporkan harta kekayaannya di Surat Pemberitahuan (SPT)
secara tidak benar; atau memalsukan faktur pajak, dan lain-lain.
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, akan kami sebutkan beberapa tindak pidana di
bidang perpajakan yang pasal-pasalnya tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) antara lain:

1. Tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242 KUHP);
2. Tindak pidana pemalsuan meterai (Pasal 253 KUHP);
3. Tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP);
4. Tindak pidana membuka rahasia (Pasal 322 KUHP);
5. Tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP);
6. Tindak pidana melakukan tipu muslihat/perbuatan curang (Pasal 387 KUHP).

 
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Dalam penerapan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus terkait bidang perpajakan,
perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, mengingat dalam perbuatan tindak pidana di
bidang perpajakan hampir selalu berkaitan dan mencakup rumusan tindak pidana lain, baik
yang bersifat umum ataupun khusus.
Meski demikian, penyelesaian tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan dengan
menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Namun norma tindak pidana di bidang perpajakan mencakup pula ketentuannya dalam tindak
pidana yang dimuat KUHP dan peraturan perundang-undangan lain. Akan tetapi perlu
dipahami, sesuai dengan asas-asas hukum pidana dan asas penegakan hukum pidana, maka
perbuatan tersebut dikenakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Hal ini dikarenakan sifat dari undang-undang tindak pidana khusus di bidang
perpajakan dan kekhususan perbuatan pidana di bidang perpajakan, sebagaimana bunyi lex
specialis derogat legi generalis yang bermakna aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Baca juga: Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
Jadi atas dasar pertimbangan di atas, penggunaan tindak pidana umum dalam KUHP
ditujukan kepada tindak pidana yang tidak termasuk ke dalam ranah tindak pidana di bidang
perpajakan.
Sebagai contoh, bunyi Pasal 36A ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”):
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan
dan  pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara
melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan terdapat pula irisan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum pada Pasal 43A
ayat (3) UU 28/2007:
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai
Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses  menurut ketentuan hukum
Tindak Pidana Korupsi.
Adapun subjek yang dikenakan ancaman pidana di bidang perpajakan yakni meliputi
perbuatan oleh wajib pajak, petugas pajak, atau pihak ketiga terkait yang dilakukan sebelum,
pada saat, dan setelah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan, sebagai perbuatan
persiapan, mempermudah atau memperlancar, menyembunyikan atau mempertahankan hasil
tindak pidana perpajakan.
 
Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Menjawab pertanyaan Anda, memang benar penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak
pidana di bidang perpajakan.[1]
Wewenang PPNS adalah:[2]

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan


dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan/atau


k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perlu digarisbawahi, PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.[3]
Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan kewenangan PPNS dalam tindak pidana di bidang
perpajakan, PPNS dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.[4]
Sehingga PPNS yang Anda maksud hanya memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik
tindak pidana di bidang perpajakan saja. Namun ini tidak menutup kemungkinan PPNS untuk
meminta bantuan aparat penegak hukum lain maupun berkoordinasi dengan penuntut umum
melalui penyidik kepolisian.
Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;


2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, kedua kalinya diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ketiga kalinya
diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, dan terakhir kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Anda mungkin juga menyukai