Anda di halaman 1dari 5

HKUM4204-2

NASKAH TUGAS MATA KULIAH


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.1 (2022.2)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Kode/Nama MK : HKUM4204/Hukum Adat
Tugas :3

No. Soal
1 Bandesa Adat Jimbaran Minta Kepastian Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

Badung – Bandesa Adat Desa Jimbaran Kuta Selatan Badung, I Gusti Made Rai Dirga meminta kepada
pemerintah, sesegera mungkin agar menerbitkan regulasi kepastian hukum terkait pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta tanah adat atau tanah ulayat yang awalnya disebut tanah negara.

Menyusul adanya kasus di Pantai Melasti dikelola Desa Adat Ungasan yang dilaporkan Bupati Badung
Giri Prasta dan kini masuk ke ranah polisi. Padahal dikabarkan Pemkab Badung pada tempat itu sudah
melakukan pungutan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sebagai tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Kami harapkan Majelis Desa Adat (MDA) baik tingkat Kecamatan, Kabupaten maupun Provinsi kiranya
dapat segera mengawal sebuah diskusi publik dan kemudian merumuskan perjuangan bersama agar
aturan undang-undang yang telah ada dapat segera diperkuat. Sehingga terjemahan masyarakat hukum
adat yang dimaksud dalam undang-undang menjadi jelas serta kewenangan dan kewajiban masyarakat
hukum adat dapat dipahami dengan baik di tataran paling bawah,” tegas Bandesa Adat Desa Jimbaran
Kuta Selatan Badung, I Gusti Made Rai Dirga kepada wartawan, Kamis (07/04/2022)

Gusti Rai Dirga menjelaskan, persoalan ini sangat mendesak dan mendasar untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih kewenangan antar berbagai elemen karena tiadanya alas hak yang jelas pada obyek
pesisir, pulau-pulau kecil, tanah-tanah ulayat maupun hutan-hutan yang ada di wilayah masyarakat hukum
adat.

“Ketidak pastian kewenangan dan tanggung jawab masyarakat hukum adat, sering kali menimbulkan
keraguan baik di pihak masyarakat hukum adat maupun elemen masyarakat yang lainnya sehingga
dengan mudah para pemodal dan koorporasi besar ikut serta dalam penguasaan potensi-potensi yang
ada,” singgungnya.

Ia mengatakan, cukup sulit bagi masyarakat hukum adat dalam hal ini desa adat untuk membendung
kehadiran korporasi di wilayahnya. Hal ini lantaran tidak jelasnya kewenangan masyarakat hukum adat
pada objek wilayah pesisir pulau-pulau kecil maupun hutan dan tanah-tanah yang dikatagorikan tanah
negara bebas.

Lanjut diharapkan Gusti Rai Dirga, dengan rumusan dapat dihasilkan


MDA bersama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah keberadaan wilayah pesisir pulau pulau kecil
maupun tanah tanah ulayat ini bisa dikelola dengan maksimal dan jelas dasar hukumnya.

“Apakah itu dikelola oleh masyarakat adat atau oleh pemerintah sendiri dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat di wilayah tersebut sehingga tidak terjadi saling klaim atau saling serobot yang
dapat menimbulkan persoalan-persoalan lanjutan yang tidak kita harapkan,” pungkas Gusti Rai Dirga.

Sumber : https://www.deliknews.com/2022/04/07/bandesa-adat-jimbaran-minta-kepastian-hukum-
pengelolaan-wilayah-pesisir/

1 dari 5
HKUM4204-2

Hukum tanah adat sebagai hukum yang mengatur masalah pertanahan adat sangat penting dalam hukum
adat karena dalam kehidupan masyarakat persekutuan adat, tanah kedudukannya sangatlah penting.
Tanah bukan hanya merupakan tempat untuk mempertahankan hidup semata, tetapi juga modal utama
bagi masyarakat adat.
Pertanyaan:
1. Berikan analisis saudara tentang objek dari hak ulayat tersebut serta kedudukan hak ulayat
masyarakat seperti contoh kasus diatas berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
2. Bagaimana cara masyarakat hukum adat dapat memelihara dan mempertahankan hak ulayat
mereka?

2 Seorang Pemuda Kena Sanksi Adat Rp1,8 Miliar Akibat Bunuh Gadis Setempat

Jakarta: MM, 21, dikenakan sanksi adat sekitar Rp1,8 miliar akibat membunuh gadis suku Dayak.
Peristiwa itu terjadi di Kelurahan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin 1
Februari 2021.

Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat menjatuhkan sanksi adat berupa denda 4.120 antang atau
guci. Nilai itu setara Rp1,648 miliar, dengan rincian satu guci senilai Rp400 ribu.

Keputusan itu dibuat dalam sidang adat di Rumah adat Dayak Banuaq, Taman Budaya Sendawar, Kamis,
4 Februari 2021. Selain itu, MM juga harus membayar prosesi adat kematian suku Dayak Benuaq, Mapui,
dan Kenyau Kwangkai.

Biaya prosesi itu senilai Rp250 juta, sehingga total sanksi adat yang harus dibayar MM Rp1,898 miliar.

"Kami memberi waktu enam bulan terhitung sejak hari ini untuk menyelesaikannya," kata Manar
Dimansyah Gamas, Kepala Lembaga Adat Besar Kutai Barat, dikutip Selasa 9 Februari 2021.

Ancaman sanksi adat itu pun tak main-main. Jika MM tidak bisa membayar dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan, maka akan berdampak luas. Dikhawatirkan bisa berdampak ke isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA).

Apesnya, tak hanya hukum adat yang didapatkan MM. Dia juga harus menjalani hukuman pidana dari
kepolisian.

MM dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Subsider Pasal 338 dan Pasal 351 ayat 3
dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

Pasalnya MM dianggap melakukan pembunuhan berencana secara sadis. Dia membunuh gadis yang
diketahui berinisial MS, 20.

MM membunuh dalam kondisi korban hamil muda. MM membunuh lantaran korban menolak berhubungan
intim.

Awalnya, korban hendak meminjam uang Rp2 juta kepada pelaku pada 17 Januari 2021. Namun, MM
menawarkan pinjaman Rp600 ribu pada 1 Februari 2021.

Karena terdesak, MN menerima ajakan mengambil uang di kontrakan pelaku. Namun, korban ditipu karena
uang yang dijanjikan tidak ada dan justru diajak bersetubuh.

2 dari 5
HKUM4204-2

"Ada keinginan dari pelaku untuk menyetubuhi korban. Pada saat itu korban menolak, sehingga pelaku
merasa kecewa dan sakit hati," kata Kapolres Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo.

"Karena ditolak, pelaku mengambil pisau. Pelaku sudah berencana melakukan penganiayaan maupun
pembunuhan terhadap korban. Itu jadi pemicu. Pada saat pelaku mengambil pisau, pelaku melakukan
pengancaman. Di situ terjadi pergulatan," lanjut keterangan Irwan.

Sumber : https://regional.kompas.com/read/2021/02/16/05300051/pembunuh-gadis-20-tahun-di-kutai-
barat-didenda-adat-rp-18-m-diberi-waktu-6?page=all

Pertanyaan:
1. Berdasarkan kasus diatas kaitannya dengan perbuatan delik adat yang dilakukan, berikan analisis
saudara upaya adat yang dilakukan jika petugas adat tidak memiliki wewenang untuk mengadili
karena ada delik-delik tertentu yang tidak diatur oleh KUHP.
2. Bagaimana upaya yang dilakukan jika kepala adat tidak dapat menyelesaikan sengketa adat?

3 75 Tahun Kemerdekaan RI, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan

MASYARAKAT adat telah berjuang bersama dengan gerakan pemuda untuk membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, dibanding peran para elite pemuda terdidik, hampir tidak ada buku sejarah yang menuliskan peran
masyarakat adat dalam perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme.

Rendahnya representasi ini menggambarkan marjinalisasi terhadap masyarakat adat yang masih berlanjut
bahkan setelah Indonesia merdeka selama 75 tahun.

Padahal, pengetahuan tradisional dan cara hidup masyarakat adat adalah kekuatan penting, yang bahkan
bisa bertahan terhadap wabah COVID-19 yang sedang melanda dunia. Mereka juga merupakan penjaga
hutan dan lingkungan dari generasi ke generasi.

Namun, hingga kini, mereka juga berjuang melawan stigma dan menghadapi tekanan-tekanan di negara
sendiri.

Masyarakat adat, yang berjumlah hampir 20 juta dari 268 juta penduduk Indonesia, kerap mendapatkan
pandangan negatif sebagai masyarakat “kotor, primitif, terbelakang, asing, hingga perambah hutan.”

Ini membuat mereka menjadi tidak terepresentasikan, secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Komunitas adat juga menghadapi tekanan akibat pilihan ekonomi pemerintah yang membuat mereka
kehilangan hutan adat demi investasi sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan skala besar.

Pejuang kemerdekaan

Tidak banyak buku sejarah akan mengungkapkan bagaimana masyarakat adat angkat senjata bersama
gerakan pemuda dalam perjuangan kemerdekaan dan akhirnya bisa membentuk Republik Indonesia.
Rukka Sombolinggi, dari suku Toraja, Sulawesi Selatan, menjelaskan perjuangan ini berdasarkan sejarah
keluarga sendiri. Rukka mengenang kakek buyut dan kakeknya sebagai pejuang kemerdekaan yang
langsung berperang dengan para pelajar.

3 dari 5
HKUM4204-2

Ia kini menjabat sebagai sekretaris jenderal Aliansi Adat Masyarakat Nusantara (AMAN) yang mewakili
2.366 komunitas adat atau lebih dari 18 juta individual di seluruh Indonesia.

“Kakek saya meninggal sebagai veteran. Buku-buku sejarah mungkin tidak sebutkan soal masyarakat adat
yang ikut perang mengusir kolonialisme, namun ada ratusan ribu itu yang mati dalam perang. Tapi, ya
sayangnya sejarah hanya yang pemuda saja,” jelasnya.

Sandra Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), mengatakan bahwa sebagian masyarakat adat menolak bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda, seperti masyarakat Sedulur Sikep di Jawa.

Sandra menambahkan bahwa Masyarakat Adat mempunyai kontribusi khusus dalam kemerdekaan
Indonesia.

“Mereka pelestari kebudayaan-kebudayaan lokal Indonesia, merekalah yang merawat identitas kita
sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan budaya,” jawabnya.

Penjaga hutan

Masyarakat Adat memiliki peran yang penting dalam melindungi hutan dan lingkungan bagi Indonesia.

Selama berinteraksi dengan komunitas ini lebih dari 10 tahun, Antropolog Sophie Chao, dalam riset terbaru
tentang Masyarakat Adat Marind-Anim di kabupaten Merauke di Papua, mengatakan mereka “merawat
hutan, menghormati semua tanaman dan hewan, dan memelihara hubungan dengan alam.”

Di bawah pemerintahan presiden Soekarno, Masyarakat Adat mendapatkan pengakuan melalui UU No 5


Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Peraturan ini mengakui keberadaan hutan adat sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara.

Ketika Soeharto mengambil tampuk pemerintahan di tahun 1966, ada penghancuran sistematis pada
lembaga-lembaga adat melalui penyeragaman institusi desa, perampasan wilayah-wilayah adat melalui
penetapan kawasan hutan dan pemberian ijin-ijin kehutanan, pertambangan dan perkebunan-perkebunan
besar, jelas Sandra.

“Sebagian wilayah adat juga diklaim pemerintah secara sepihak untuk diserahkan kepada transmigran dan
TNI/Polri,” tambahnya.

Menuju pengakuan hak-hak masyarakat adat

Perubahan bagi Masyarakat Adat mulai terlihat ketika berakhirnya masa Orde Baru tahun 1998.

Amandemen ke-2 UUD 1945, yang berlaku pada tahun 2000, akhirnya mengakui “kekayaan budaya
tradisional” dan “nilai-nilai budaya” dari Masyarakat Adat, pada Pasal 18b Ayat 2.

Ini kemudian menjadi dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan Hutan Adat sebagai
hutan negara di tahun 2012, atau lebih sering disebut sebagai MK35.

Perkembangan berikutnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mulai menghidupkan kembali wacana RUU
Masyarakat Hukum Adat, yang diharapkan bisa memperkuat eksistensi kelompol ini, sekaligus
menyelesaikan konflik berkepanjangan terkait dengan status hutan adat.

4 dari 5
HKUM4204-2

“Tapi, semakin ke sini tetap saja kok rasanya semakin sulit untuk bisa jalankan peraturan-peraturan ini.
Bukannya RUU MHA, malah pemerintah dan DPR terbitkan Omnibus Law,” protes Rukka Sombolinggi.

Rukka juga menyebutkan bahwa masyarakat adat kini menghadapi bentuk lain “kolonialisme.”
Sejak desentralisasi tahun 2001, para kepala daerah (bupati dan gubernur) berhak mengeluarkan ijin di
atas kawasan hutan, termasuk hutan adat. Hal ini lebih banyak dilakukan tanpa persetujuan dari
masyarakat adat.
“Kami ini tidak lagi melawan perusahaan yang asing-asing, tapi sudah (melawan) orang sendiri, kayak
bupati, gubernur. Itu kan orang di daerah sendiri,” jelasnya mengutip pidato Soekarno yang terkenal :
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena
melawan saudara sendiri.”

Masa depan

Selama pandemi, masyarakat adat yang masih setia mempraktikkan pengetahuan tradisional mereka
ternyata kelompok yang paling resilien karena dekat dengan alam.

“Masyarakat adat yang tetap menjaga hutan adat mereka dan tidak mengeksploitasi berlebihan sumber
daya alam mereka dan memiliki semangat untuk berbagi, mereka sangat resilien terhadap pandemi.
Mereka bisa menyediakan makanan mereka sendiri,” tandas Rukka Sombolinggi.

Sementara, mereka yang terekspos dengan modernisasi atau terlibat konflik dengan industri telah
kehilangan pekerjaan, rentan pangan, dan juga rentan untuk akses fasilitas kesehatan, air bersih dan
sanitasi.

“Klaim dan janji-janji dari perusahaan-perusahan besar bahwa mereka bisa sediakan makanan, sediakan
pendidikan atau pekerjaan, mereka malah tidak bisa ngapa-ngapain karena karakter virus ini,” lanjutnya.

Sophie Chao mengagumi keberanian, ketahanan, keberlangsungan dan kreativitas masyarakat adat,
secara umum, saat menghadapi ancaman terus-menerus terhadap lahan dan cara hidup mereka.

“Bagi saya, harapan saya adalah budaya dan nilai dari masyarakat adat bisa sepenuhnya bisa diakui,
dilindungi dan didukung oleh negara Indonesia dan komunitas internasional,” jelas Chao.

“Ini artinya memastikan bahwa hak-hak atas lahan mereka bisa terjamin, bahwa persetujuan penuh dari
mereka harus ada saat proyek pembangunan direncanakan, dan pembangunan itu dari bawah-ke-atas,
berdasarkan aspirasi, mimpi, dan harapan masyarakat adat.”

baca: https://www.kompas.com/sains/read/2020/08/17/120100123/75-tahun-kemerdekaan-ri-
masyarakat-adat-masih-berjuang-untuk-kesetaraan?page=all.

Editor : Sri Anindiati Nursastri

Pertanyaan :
1. Dari aktualisasi yang terjadi terhadap hukum adat dalam perkembangan sejarah, analisiskan
aktualisasi hukum adat pada masa Indonesia mengalami penjajahan sampai pada masa
kemerdekaan.
2. Berikan gambaran eksistensi hukum adat di masa kemerdekaan Indonesia.

5 dari 5

Anda mungkin juga menyukai