Anda di halaman 1dari 5

Nama : YENI RAHMAN

NIM : 043191723
UPBJJ : AMBON

Jawaban:

1. Jawaban atas pertanyaan nomor 1


a. Bahwasanya kejahatan mayantara (cybercrime) yang timbul akibat adanya kemajuan
teknologi yang begitu pesat banyak mengakibatkan dampak negatif dan positif dari adanya
teknologi tersebut. Dampak positif dapat berupa adanya e-mail, internet banking, serta hal-
hal lain. Namun, perkembangan ini juga membawa pengaruh negatif seperti adanya tindak
pidana peretasan (hacking) yang dilakukan guna untuk memperoleh informasi atau data-
data penting lainnya. Kemampuan membuat suatu program yang disalahgunakan oleh
seseorang yang tidak bertanggungjawab menyebabkan terjadinya sebuah pelanggaran
norma atau hukum yang berlaku guna merugikan beberapa pihak yang telah sejak awal
menjadi target sasaran. Salah satu contohnya adalah tindakan meretas situs web atau akun
media sosial yang bersifat pribadi milik orang lain.
Ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana peretasan tersebut telah
termuat dalam Pasal 30 dan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016
perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
Pasal 30 UU-ITE menyebutkan bahwa :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk
memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 32 Ayat (1) UU-ITE menyebutkan bahwa :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Orang lain atau milik publik”
Adapun ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran yang tercantum dalam pasal 30 tersebut
diatas diatur didalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) UU ITE yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Sedangkan ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran yang tercantum dalam Pasal 32 Ayat
(1) diatur didalam Pasal 48 Ayat (1) UU ITE yang berbunyi:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”
Selain ketentuan yang terdapat didalam UU ITE, tindakan peretasan juga diatur dalam
aturan lainnya yakni Pasal 22 huruf B Undang-Undang 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak
sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau akses ke jasa
telekomunikasi; dan atau akses ke jaringan telekomunikasi khusus”.
Berdasarkan konstruksi Pasal 30 ayat (1) (2) dan (3) serta Pasal 31 ayat (1) UU ITE serta
Pasal 22 huruf B UU Telekomunkasi dengan jelas menyebutkan bahwa tindak illegal yang
dilakukan seseorang terhadap sistem elektronik orang lain dengan tujuan untuk
memperoleh informasi/dokumen elektronik dan atau upaya pembobolan, penerobosan, dan
penjebolan yang melanggar dan melampaui sistem pengamanan adalah sesuatu yang
terlarang. Seperti halnya tindakan peretasan yang dilakukan oleh Amir terhadap sistem
elektronik dari suatu website e-commerce bernama California yang berkantor pusat di
Amerika Serikat jelas merupakan tindakan yang terlarang dan melanggar ketentuan hukum
yang ada di Indonesia.

b. Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau
peristiwa (hukum). Jurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap
seseorang, benda, atau peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada
diluar negara tersebut.
Terkait dengan kasus yang dihadapi oleh Amir maka bentuk jurisdiksi yang muncul adalah
yurisdiksi teritorial. Yakni jika tempat pelaku berbuat, alat kejahatan dan akibat yang
dirugikan oleh tindak pidana hacking berada dalam wilayah Indonesia maka berdasarkan
asas teritorial yang terdapat dalam Pasal 2 dan 3 KUHP merupakan Yurisdiksi Indonesia
untuk mengadili Amir sebagai pelaku hacking tersebut. Dimana tindak pidana hacking
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-
Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Untuk penjelasan lebih jelas yurisdiksi dengan prinsip teritorial, yakni bahwa setiap negara
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan didalam wilayahnya
terhadap setiap orang dan setiap benda yang berada di dalam wilayahnya.Undang-undang
pidana berlaku terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana di
dalam wilayah suatu negara.
Pasal 2 KUHP berbunyi :
”Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkanbagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”.

Pasal 3 KUHP berbunyi :


”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagisetiap orang yang
diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air indonesia”.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka tindak pidana hacking yang dilakukan oleh Amir
dilihat dari Locus Delicti berada di wilayah Indonesia maka Amir dapat diadili menurut
hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Jawaban atas pertanyaan nomor 2


a. Pilihan hukum (choice of law) adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak dalam
menentukan atau memilih hukum mana yang akan berlaku dalam perjanjian mereka yang
bersifat internasional. Asas kebebasan berkontrak ini di Indonesia dianut dalam Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang”
Dalam perkembangannya kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula
dalam kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengatur kontrak yang
mereka buat. Hal tersebut diperkuat dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik:
Pasal 18 ayat (1):
“Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”
Pasal 18 ayat (2):
“Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya”
Choice of law atau pilihan hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak
tersebut. Bila dalam suatu kontrak terdapat klausula pilihan hukum, maka hukum yang
berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum sebagaimana yang ditunjuk dalam kontrak
tersebut, karena apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pilihan hukum dalam transaksi elektronik
hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus
sejalan dengan prinsip Hukum Perdata Internasional.
Terdapat prinsip-prinsip yang digunakan dalam pilihan hukum (choice of law) antara lain:
1. Prinsip kebebasaan para pihak, adalah kesepakatan para pihak dalam menentukan
hukum yang akan berlaku bagi para pihak;
2. Prinsip Bonafide, yaitu pilihan hukum itu didasarkan atas itikad baik;
3. Prinsip Real Connection, yaitu pilihan hukum yang disepakati itu harus memiliki
hubungan atau kaitan dengan para pihak.
Selain itu pilihan hukum (Choice of law ) berfungsi:
1. Untuk menentukan hukum apa yang akan digunakan atau menerankan syarat-syarat
kontrak atau hukum yang akan menentukan dan mengatur kontrak;
2. Menghindari ketidak pastian hukum yang berlaku terhadap kontrak selama pelaksanaan
kewajiban-kewajiban kontraktual dari para pihak;
3. Sebagai sumber hukum manakala kontrak tidak mengaturnya.
Sedangkan untuk Macam-macam pilihan hukum (Choice of law ) itu meliputi:
1. Pilihan hukum secara tegas, dikenal dalam suatu kontrak dapat dilihat ada pilihan hukum
yang ditentukan oleh para pihak secara tegas;
2. Pilihan hukum secara diam-diam, dalam suatu kontrak para pihak berhak memiliki
hukum secara diam-diam, asalkan sesuai dengan fakta yang termuat dalam kontrak
tersebut, mulai dari bahasa atau domisili dari kontrak tersebut;
3. Pilihan hukum yang dianggap sebagai presumption iuris atau atas suatu dugaan hukum.
Atas dasar hakim menerima suatu pilihan hukum berdasarkan atas dugaan. Dugaan
hakim merupakan hal yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak
menghendaki suatu sistem tertentu;
4. Pilihan hukum secara hipotesis, dalam hal ini para pihak tidak menentukan pilihan
hukum, namun kewenangan yang memilih atau menentukan pilihan hukum.

Jadi didalam dunia bisnis internasional, lembaga pilihan hukum secara luas diterima
berdasarkan asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract). Kebebasan
melakukan pilihan hukum ini lebih banyak didasarkan pada kepentingan para pihak yang
melakukan bisnis untuk memilih hukum mana yang lebih menguntungkan bisnis mereka.
Pilihan hukum tersebut akan memberikan rasa tenteram bagi para pihak, karena hukum
yang berlaku (the applicable law) adalah hukum yang dipilih dan disetujui bersama-sama.

b. Dalam hal perselisihan yang timbul antara Tuan John dan Tuan Maman, choice of law  yang
berlaku terhadap perselisihan tersebut adalah pilihan hukum secara diam-diam. Mengapa
demikian? Hal ini dikarenkan untuk mengetahui adanya pilihan hukum tertentu yang
dinyatakan secara diam-diam, dapat disimpulkan dari maksud, atau ketentuan-ketenfuan
dan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu kontrak. Fakta-fakta yang berkaitan dengan
kontrak tersebut, misalnya bahasa yang dipergunakan, mata uang yang digunakan, gaya
atau style kontrak, pelaksanaan kontrak, dan pilihan domisili. Seperti halnya perselisihan
yang terjadi antara Tuan John dan Tuan Maman. Yang mana Tuan Maman secara jelas
dalam marketplace Wow telah mencantumkan tabel ukuran  pada laman website, baik
ukuran sepatu maupun pakaian. Selain itu, marketplace Wow! Juga telah mencantumkan
syarat dan ketentuan (terms and condition) yang berlaku baik bagi penjual maupun pembeli
seperti perihal data pribadi, pembayaran dan penyelesaian sengketa yang merujuk pada
hukum Indonesia. Selain itu, berdasarkan domisili Marketplace Wow! merupakan salah
satu marketplace besar di Indonesia yang memiliki kantor pusat di Jakarta. Oleh sebab itu,
berdasarkan kontrak yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Tuan John dan Tuan
Maman secara diam-diam menghendaki berlakunya hukum Indonesia.

3. Jawaban atas pertanyaan nomor 3


a. Klausul choice of forum merupakan istilah yang dipergunakan untuk pilihan forum bagi para
pihak dalam pembuatan suatu kontrak, guna menentukan kepastian forum yang akan
digunakan dalam penyelesaian sengketa kontraknya. Secara eksplisit, dalam ketentuan
Pasal 18 ayat (4) UU ITE disebutkan bahwa
“Para pihak telah diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri forum mana yang
berwenang dalam menangani sengketa yang timbul dari kontrak elektronik internasional
yang dibuat oleh mereka tersebut”.
Inilah yang disebut dengan prinsip kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa Inggris
disebut dengan istilah ”Party Autonomy” atau ”Freedom of Contract”. Sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak bebas
menentukan isi dan bentuk suatu perjanjian, termasuk untuk menentukan forum. Kemudian
apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi
kedua belah pihak dalam suatu kontrak. Perlu diketahui bahwa kebebasan para pihak
dalam suatu kontrak internasional untuk menundukkan kontrak mereka pada suatu forum
tertentu, praktis merupakan prinsip yang diakui secara universal.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pilihan forum meliputi:


1. Kebebasan para pihak, adalah kebebasan para pihak untuk menentukan forum yang
dipilih untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka;
2. Prinsip bonafide, apa yang disepakati para pihak harus dihormati dan dilaksanakan
dengan itikad baik;
3. Prinsip prediktibilitas dan efektivitas, pilihan forum harus didasarkan pada pertimbangan
apakah forum yang menangani sengketa suatu kontrak akan dapat diprediksi
kewenangannya dalam memutus suatu sengketa serta efektivitas ditaati atau
dilakanakannya suatu putusan forum;
4. Prinsip yurisdiksi eksklusif, dalam hal ini pilihan forum harus tegas, eksklusif, tidak
menimbulkan yurisdiksi ganda.
Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan yuridis dari para pihak berkenaan
dengan pelaksanaan suatu kontrak atau timbulnya perbedaan penafsiran suatu kontrak,
maka dapat diatur sesuai kesepakatan para pihak untuk memasukkan klausul choice of
yurisdiction atau choice of forum. Para pihak yang membuat perjanjian memiliki kebebasan
dalam menentukan pilihan forum yang disepakatinya. Mereka bisa menyimpang dari
kompetensi relatif dengan memilih hakim lain Para pihak tidak diperkenankan menjadikan
suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah hukum intern negara
yang bersangkutan menjadi tidak berwenang. Pilihan akan kewenangan pengadilan atau
arbitarse dapat dilakukan disalah satu pihak atau pada negara tertentu yang disepakati.
Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara maka telebih dahulu menentukan
apakah ia berwenang untuk mengadili atau tidak. Salah satu cara untuk mengetahui
kewenangan mengadili itu adalah dengan melihat klausul pilihan yurisdiksi atau pilihan
forum yang ditentukan dalam perjanjian antara para pihak.
Berkaitan dengan itu, pilihan forum juga mempunyai beberapa pembatasan berupa:
1. Pilihan forum tidak boleh dilakukan dengan penipuan oleh para pihak;
2. Pilihan forum berkaitan dengan kewenangan pokok perkara oleh pengadilan;
3. Pembatasan kewenangan pengadilan terhadap para pihak yang bersengketa;
4. Forum non convenience; tidak efektif atau tidak berfungsinya forum yang dipilih; serta
5. Tidak melanggar ketertiban umum.
Dengan demikian apabila hakim yang mengadili perkara yang didalamnya ada unsur
asing, menemukan adanya pilihan forum yang menunjuk pada badan peradilan lain atau
badan arbitrase lain, maka hakim itu harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk
mengadili perkara itu. Demikian juga apabila para pihak telah menentukan pilihan forum
pada arbitrase tertentu, maka pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkara itu.
Dalam prakteknya, para pihak memiliki kecendrungan untuk melakukan pilihan yurisdiksinya
pada arbitrase tertentu.
Mengenai pilihan forum sehubungan dengan timbulnya perselisihan antara para pihak
dalam transaksi elektronik di Indonesia, maka perlu diperhatikan ketentuan mengenai
yurisdiksi pemberlakuan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik, yaitu berlaku
di wilayah negara Republik Indonesia serta di luar wilayah Negara Indonesia apabila
perbuatan transaksi elektronik memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan atau diluar
wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Dengan demikian yurisdikai
berlakunya UU ini meliputi :
a. Perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan di luar wilayah Indonesia;
b. Perbuatan hukum itu dilakukan oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia,
warga negara asing, badan hukum asing;
c. Perbuatan hukum itu memiliki akibat hukum di Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia, yaitu kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, pertahanan
dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara dan badan hukum Indonesia.
Ketentuan itu tidak secara tegas menentukan kewenangan dari badan peradilan atau
arbitarse menurut hukum Indonesia, namun dapat menjadi dasar bagi hakim atau badan
peradilan untuk menyelesaiakan setiap kasus berkenanan dengan transaksi elektronik yang
terjadi di dalam atau di luar wilayah negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia, badan hukum Indonesia, warga negara asing dan badan hukum asing yang
menimbulkan akibat hukum dan merugikan kepentingan Indonesia.

b. Pada umumnya situr e-commerce memiliki terms and condition (syarat dan ketentuan) yaitu
merupakan bentuk perjanjian antara e-commerce dengan konsumen sebagai
penyelenggara situs seperti ketentuan hak cipta, pembayaran, pengembalian barang/dana
(refund) dan beberapa e-commerce dan ketentuan penyelesaian dan perselisihan. Dalam
ketentuan lebih jelasnya hukum perlindungan konsumen dikenal sebuah doktrin let the
buyer beware. Artinya, dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk
berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of
law dan choice of forum, kewajiban konsumen untuk berhati-hati terletak pada kesadaran
konsumen untuk membaca dan mempelajari segala implikasi ketentuan yang dimuat
dalam terms & conditions suatu platform. Termasuk didalamnya adanya terms and condition
(syarat dan ketentuan) yang diberlakukan oleh PT. Dapurku dalam produk-produk yang
diperjualbelikan melalui toko-toko offline maupun melalui toko online. Terkait dengan
persamalahan yang dihadapi oleh Ibu Diah, jika didalam terms & conditions terdapat
ketentuan yang mengatur mengenai proses ganti kerugian yang mana barang yang dikirim
dalam keadaan bagus namun saat diterima tidak bias dipergunakan. Maka alasan tidak
membaca terms & conditions tersebut tidak akan dapat diterima. Meskipun berupa klausula
baku, secara tidak langsung konsumen sudah dinyatakan tunduk atas terms &
conditions yang sudah dibuat pihak platform. Namun, apabila dalam terms & conditions
yang dibuat oleh PT. Dapurku telah mengatur mengenai ketentuan penyelesaian sengketa.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU ITE yang menyebutkan bahwa “Para pihak memiliki
kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya”, maka permasalahan yang diihadapi oleh
Ibu Diah dapat diselesaikan secara mediasi melalui lembaga penyelesaian alternatif melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK sendiri dalam Peraturan Menteri
Perdaganagan merupakan badan yang bertugas menangani dan menyelesaiakan sengketa
konsumen. Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama
bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara
konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil jadi konsumen (Ibu Diah) tidak
perlu menyelesaiakn lewat pengadilan.

Sumber referensi:
- Kurniawan, “Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen”, (Januari 2012)
- Memi ,Cut. 2017. Penerapan Klausul Pilihan Yurisdiksi (Choice Of Juridiction) Dan Pilihan
Hukum (Choice Of Law) Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Dalam Jurnal Era
Hukum Vol.2 No.2 (hlm. 183-198).
- Ramli, Ahmad M. dkk. Hukum Telematika. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. 2020.
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Anda mungkin juga menyukai