PT. IBIST
Pengadilan Niaga telah mengeluarkan peryataan pailit tanpa kehadiran debitur atau si
termohon pailit, yaitu pada kasus PT. Inter Banking Bisnis Terencana (PT. IBIST). Kasus ini
berawal sejak Oktober dan November 2006 dimana Ibist Consult tidak membayar bunga
utang yang seharusnya dibayarkan kepada para kreditornya, hal inilah yang membuat Umar
Sesko Adriansyah, Achmad Adipati Karnawijaya dan Bosco Haryo Yunanto selaku kreditor
Ibist Consult mengajukan permohonan pailit atas Ibist Consult di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Sejak awal permohonan pailit disidangkan, management Ibist Consult belum juga
hadir di persidangan memenuhi panggilan pengadilan, sampai pada saat majelis hakim
mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan Ibist Consult pailit dengan segala akibat
hukumnya. Putusan itu diambil tanpa kehadiran termohon (verstek) karena Direktur Utama
dalam status Daftar Pencarian Orang dan Direktur Keuangan perusahaan terebut sedang
ditahan polisi, pada tanggal 24 Januari 2006 dengan Nomor Putusan
55/PAILIT/2006/PN.NIAGA/JKT.PST.
Dalam kasus kepailitan PT. Ibist di atas, hakim Pengadilan Niaga memutus perkara tersebut
secara verstek. Suatu perkara yang diputus secara verstek harus ada upaya hukum verzet, akan
tetapi dalam perkara kepailitan tidak disediakan upaya hukum tersebut, upaya hukum yang
disediakan adalah Kasasi dan Peninjauan Kembali. Dengan adanya hal tersebut diatas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tidak adanya upaya hukum verzet
setelah adanya putusan verstek yang diputus oleh mejelis hakim.
Verstek dalam Permohonan Kepailitan Terhadap PT. IBIST
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, menyebutkan Hukum
Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata. Telah dijelaskan di atas bahwa putusan
secara verstek dikenal dan diatur dalam Hukum Acara Perdata. Sedangkan dalam Undang-
Undang Kepailitan sendiri, putusan tanpa kehadiran termohon (verstek) tidak diatur, sehingga
berdasarkan Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga
juga memiliki kewenangan untuk memutus perkara pailit secara verstek.
Dalam perkara kepailitan, putusan verstek seringkali digunakan oleh Majelis Hakim,
meskipun pada dasarnya dalam Undang-Undang Kepailitan tidak diatur. Hal ini dapat dilihat
dari adanya perkara kepailitan yang diputus secara verstek, yaitu pada persidangan PT. IBIST,
yang dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Niaga memutus perkara pailit PT. IBIST
dengan putusan verstek sesuai dengan Putusan No. 55/PAILIT/2006/PN.NIAGA/JKT.PST.
Kasus ini berawal dari adanya sejumlah nasabah yang tertarik untuk
menginvestasikan dana ke Ibist Consult yang menjanjikan bunga sebesar 4% setiap bulannya.
Semula, pembayaran bunga dapat berjalan dengan baik kepada para nasabahnya melalui
rekening. Sehinga banyak nasabah yang terus menambah jumlah investasinya, dari belasan
juta hingga ratusan juta rupiah, bahkan ada yang sampai miliaran. Seiring berjalannya waktu,
tepatnya sejak bulan Oktober dan November 2006 Ibist Consult tidak membayar bunga utang
yang seharusnya dibayarkan kepada para kreditornya atau berhenti membayar dan tidak
sanggup lagi membayar bunga utang yang dibebankan kepadanya.
Hal inilah yang menjadi alasan sejumlah nasabah yaitu Umar Sesko Adriansyah,
Achmad Adipati Karnawijaya dan Bosco Hayo Yunanto selaku kreditor Ibist Consult
akhirnya menempuh langkah hukum terhadap PT. Ibist Consult atau Perusahaan yang juga
dikenal sebagai Inter Banking Bisnis Terencana itu dengan mengajukan permohonkan pailit
ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Karena sudah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yaitu adanya dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
1
5 Tempat kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Angaran Dasarnya dalam hal
debitor merupakan badan hukum.
Disamping permasalahan kompetensi mengadili, seseorang debitor atau kreditor harus
mengerti siapa sajakah yang berhak menjadi subjek perkara dalam perkara permohonan
pernyataan pailit. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang berhak menjadi
subjek perkara adalah debitor atau seorang atau lebih kreditor. Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang kepailitan menentukan persyaratan permohonan pailit yaitu:
1 Debitor mempunyai dua atu lebih kreditor.
2 Debitor tidak membayar sedikitanya satu utang.
3 Utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
4 Pengadilan yang berwenang.
Putusan verstek ini dilakukan karena termohon dalam perkara tersebut yaitu PT.
IBIST, baik perwakilan perusahaan tersebut maupun kuasa hukumnya tidak hadir dalam
persidangan meskipun telah dipanggil secara patut dan sah sesuai dengan ketentuan mengenai
pemanggilan debitor yang dimohonkan pailit dalam Pasal 8 ayat (3) jo. ayat (2) Undang-
Undang Kepailitan.2 Dengan demikian, Majelis Hakim menjatuhkan putusan verstek dan
mengabulkan permohonan pailit PT. IBIST sesuai dengan ketentuan mengenai mekanisme
penjatuhan putusan verstek yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Disamping ketidakhadiran termohon, sebagai dasar pertimbangan lain putusan verstek dapat
diterapkan dalam perkara kepailitan adalah mengenai waktu yang diberikan oleh Undang-
Undang kepada Pengadilan Niaga untuk memutus perkara kepailitan yaitu 60 hari. Apabila
termohon dalam hal ini debitor yang dimohonkan untuk dipailitkan oleh kreditornya tidak
dapat dihadirkan setelah dipanggil secara patut sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan,
maka majelis hakim wajib mempertimbangkan untuk menjatuhkan putusan secara verstek,
mengingat jangka waktu yang diberikan hanyalah 60 hari, sehingga adalah cukup sulit untuk
menunda persidangan sampai termohon dapat menghadiri persidangan.
2
tersebut diambil karena dalam pertimbangan hukum sesuai dengan putusan pada hari sidang
yang telah ditentukan ternyata telah dipanggil secara sah dan patut menurut Undang-Undang,
si termohon pailit tidak hadir ataupun menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang
sah untuk itu, maka putusan atas permohonan pailit PT. IBIST dilaksanakan tanpa hadirnya
termohon (bij verstek).
Terhadap putusan Hakim Pengadilan Niaga apabila memutus suatu perkara secara
verstek menurut hukum acara, bahwa perkara yang diputus secara verstek harus ada upaya
hukum verzet, akan tetapi dalam perkara kepailitan tidak disediakan upaya hukum tersebut,
upaya hukum yang disediakan adalah Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Oleh karena perkara yang diperiksa adalah perkara kepailitan, aturan yang digunakan
adalah aturan di bidang kepailitan sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan. Dan didalam
Undang-Undang Kepailitan sendiri, hanya mengenal satu upaya hukum biasa yaitu kasasi.
Dengan demikian, konsekuensi hukum terhadap perkara pailit yang diputus tanpa
kehadiran termohon atau diputus secara verstek, jika pihak yang dipailitkan (termohon pailit)
ada yang merasa keberatan atau tidak puas terhadap putusan Majelis Hakim, dalam Undang-
Undang Kepailitan hanya disediakan satu upaya hukum biasa yaitu kasasi ke Mahkamah
Agung.
Terhadap putusan pengadilan ini, baik pemohon maupun yang dimohonkan pailit
dapat mengajukan upaya hukum apabila merasa keberatan atau merasa tidak puas mengenai
isi putusan yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim pada pemeriksaan tingkat pertama.