Anda di halaman 1dari 15

PEMBUKUAN/ PENCATATAN

Vincent Beberkan Kasus Pajak Asian Agri


"Tujuannya Adalah Melakukan Pembukuan Fiktif."
Kamis, 28 April 2011, 16:53 WIB
Arry Anggadha, Desy Afrianti
VIVAnews - Terpidana pencucian uang PT Asian Agri Group (AAG),
Vincentius Amin Susanto, menjadi saksi dalam kasus penggelapan pajak dengan
terdakwa Manajer Pajak Asian Agri, Suwir Laut. Dalam kesaksiannya, Vincent
mengatakan, setiap tahunnya, Asian Agri selalu melaksanakan pertemuan
perencanaan untuk menghemat pembayaran pajak yang harus dibayarkan.
"Saya tidak mengetahui angka detilnya, tapi berdasarkan target pertemuan,
jumlah yang dihemat 70 juta dolar per tahun," kata Vincent di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Kamis 28 April 2011.
Menurut Vincent, salah satu jalan untuk melakukan penghematan yaitu
dengan pembukuan fiktif. Vincent mencontohkan, salah satunya dengan cara
memasukkan biaya pemotongan rumput sebagai biaya pokok produksi
perusahaan.
"Biaya lapangan menjadi biaya produksi. Biaya pemotongan rumput dan
lain-lain dimasukan ke harga pokok. Tujuannya adalah melakukan pembukuan
fiktif," terang Vincent.
Manipulasi juga dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan selalu
terlihat kurang mendapatkan untung. "Tiap kali selalu rugi. Kepala Marketing kok
tidak dipecat. Kerugiannya sampai pada puluhan juta dollar. Ini karena sebenarnya
untung," jelasnya.
Suwir Laut didakwa telah membuat laporan yang keliru tentang SPT
perusahaan sehingga menimbulkan potensi kerugian negara dari penerimaan pajak
senilai Rp 1,259 triliun.
Suwir Laut terancam hukuman enam tahun penjara karena kejahatan
berlanjut yang dilakukannya. Dalam dakwaan jaksa, Suwir dikatakan turut
1

menyuruh melakukan, turut melakukan, menganjurkan melakukan dan membantu


melakukan penggelapan pajak di beberapa perusahaan.
Suwir disebut merekayasa harga jual yang mengakibatkan keuntungan
perusahaan menjadi lebih kecil dari yang sebenarnya. Adanya rekayasa ini,
diperkuat dengan adanya pertemuan tertanggal 4,5 Agustus, 2 September, 18, 19
September 2002 antara Suwir Laut, Vincentius Amin Sutanto dan temantemannya. Pertemuan tersebut dengan agenda tax planning meeting membahas
pengecilan jumlah pajak perusahaan tersebut.
Selain itu dilakukan pula pembiayaan fiktif dengan menciptakan kerugian.
Cara ini dilakukan dengan cara perusahaan yang bernaung di bawah AAG, seolah
membuat kontrak ekspor penjualan minyak kelapa sawit mentah ke perusahaan di
Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian.
Namun, sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan, perusahaan
yang tergabung dalam AAG melakukan pembelian kembali oleh dengan harga
yang lebih tinggi. Perbuatan Suwir laut tersebut melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf
C junto pasal 43 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan dan Pasal 38 huruf b junto pasal 43 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair Pasal 39 Ayat (1) huruf C
UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang tata cara prosedur pembayaran pajak,
ancamannya enam tahun penjara dan denda empat kali kerugian pajak. (eh)
Sumber

http://nasional.vivanews.com/news/read/217279-vincent-

beberkan-kasus-pajak-asian-agri

ANALISIS KASUS

Terpidana pencucian uang PT Asian Agri Group (AAG), Vincentius Amin


Susanto, menjadi saksi dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Manajer
Pajak Asian Agri, Suwir Laut. Sesuai persidangan yang telah dilaksanakan
terungkap pengakuan bahwa PT Asian Agri Group (AAG), bahwa setiap tahunnya
selalu melaksanakan pertemuan perencanaan untuk menghemat pembayaran pajak
yang harus dibayarkan. Sesuai dengan pertemuan yang telah dilakukan Asian Agri
berusaha mengehemat pembayaran hamper 70 juta dolar per tahun.
Salah satu jalan untuk melakukan penghematan yaitu dengan pembukuan
fiktif. Cara pengehematan pembayaran pajak salah satunya dengan cara
memasukkan biaya pemotongan rumput sebagai biaya pokok produksi
perusahaan. Kemudian biaya lapangan menjadi biaya produksi. Biaya
pemotongan rumput dan lain-lain dimasukan ke harga pokok. Tujuannya adalah
melakukan pembukuan fiktif.
Manipulasi juga dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan selalu
terlihat kurang mendapatkan untung. Sehingga pajak yang dibayarkan akan
semakin sedikit. Suwir Laut didakwa telah membuat laporan yang keliru tentang
SPT perusahaan sehingga menimbulkan potensi kerugian negara dari penerimaan
pajak senilai Rp 1,259 triliun.
ANALISIS UU
Sesuai berita terkait maka Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair
Pasal 39 Ayat (1) huruf C UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang tata cara prosedur
pembayaran pajak, ancamannya enam tahun penjara dan denda empat kali
kerugian pajak. Karena kasus tersebut mencuat sebelum Undang-Undang No. 16
Tahun 2009 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terbit.
Akan tetapi jika ditilik dengan UU terbaru sesuai dengan Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Pasal 39 yaitu:

1. Setiap orang yang dengan sengaja:


a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan
yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data

dari

pembukuan

diselenggarakan

secara

yang
program

dikelola
aplikasi

secara

elektronik

on-line

di

atau

Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau


i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak

pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak


selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi
atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
Oleh karena itu maka dengan Undang-Undang yang berlaku saat ini
perbuatan Suwir laut tersebut melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf F sehingga Suwir
Laut diancam dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama
enam tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Akan tetapi karena sesuai dengan Pasal II Undang-Undang No. 16 Tahun
2009 yang menyatakan bahwa :
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai
dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
Oleh karena itu maka Suwir Laut didakwa dengan dakwaan primair Pasal
39 Ayat (1) huruf C UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang tata cara prosedur
pembayaran pajak, ancamannya enam tahun penjara dan denda empat kali
kerugian pajak.

Akan tetapi sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku saat ini,


perbuatan Suwir laut tersebut melanggar Pasal 39 UU KUP 1984 ayat 1 huruf F
Setiap orang yang dengan sengaja :
a. .. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak beanr atau tidak lengkap;
b. ...... sehinga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
dipidana dengan pidan penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling
lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2(dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4(empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Berdasarkan pasal 39 UU KUP 1984 ini, PT Asian Agri data dituntut
dengan pidana tersebut di atas. Dengan begitu, pokok pajak dan sanksi yang harus
dibayarkan oleh PT Asian Agri adalah sekitar Rp 3,9 T Rp 6,5 T.
ANALISIS HUKUM
1. Terkait dengan aksinya ini, PT Asian Agri telah melanggar beberapa ketentuan
yang dimuat dalam beberapa pasal dalam KUHP dan KUP.
Pasal 263 ayat 1 KUHP berbunyi ;
Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau
yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memaki surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu. Diancam, jika pemakai tersebut dapat
menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun
2. Dalam hal ini PT Asian Agri telah dengan sengaja melakukan pemalsuan surat
yang

diperuntukkan

sebagai

bukti

pelaporan

penghitungan

dan/atau

pembayaran pajak. Surat yang dipalsu oleh PT Asian Agri adalah Surat
Pemberitahuan. Selain memalsukan suratdalam hal ini SPTPT Asian Agri
juga seklaigus sebagai pihak pengguna surat yang telah dipalsukan tesebut,
sehingga PT Asian Agri juga telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 263
ayat 2 KUHP yang berbunyi ;
diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah

benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
3. Selain melanggar pasal-pasal berkenaan dengan pemalsuan surat tersebut, PT
Asian Agri juga melanggar ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana
penggelapan, yakni KUHP pasal 372 yang berbunyi ;
barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapu yang ada dalam kekuasaanya
bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh
juta rupiah.
Pengakuan barang milik sendiri disiniyang terjadi dalam PT Asian
Agriadalah sejumlah uang yang sebenarnya merupakan pajak. pajak
tersebut seharusnya dibayarkan kepada kas negara dan menjadi milik negara
untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait dengan penggelapan pajak ini, PT Asian Agri dapat dituntut
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
enam puluh juta rupiah.
4. Pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan adalah pasal
374 KUHP yang berbunyi;
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya
terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
pencariannya atau karena mendapatkan upah untuk itu, diancam denga
pidana pejara paling lama lima tahun.

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK

Hasil Audit BPK Atas Kasus Pajak Asian Agri


Asian Agri Diduga Menggelapkan Pajak Rp1,4 Triliun. Namun, Penyidikan
Tidak Optimal.
Kamis, 27 Januari 2011, 12:51 WIB
Heri Susanto

VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit


atas proses pemeriksaan dan penyidikan pajak terhadap enam perusahaan. Hasil
pemeriksaan itu mengungkap proses pemeriksaan rupanya tidak efektif.
Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diterima VIVAnews.com,
pemeriksaan BPK tersebut lebih ditujukan untuk menilai kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, serta efektivitas proses pemeriksaan dan
penyidikan terhadap wajib pajak.
Asian Agri misalnya. Ini merupakan wajib pajak yang bergerak di sektor
perkebunan kelapa sawit. Asian Agri diduga menggelapkan pajak sejak 2002
hingga 2005 sebesar Rp1,4 triliun.
Dari hasil audit BPK terungkap, kinerja pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan pajak oleh Ditjen Pajak terhadap Asian Agri periode 2002-2005 yang
belum sepenuhnya efektif. Akibatnya, proses pemeriksaan atas kasus ini berjalan
berlarut-larut cukup lama.
Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan atas Asian Agri melebihi
ketentuan, yakni melewati dua bulan dan tidak didukung dengan usulan serta surat
persetujuan perpanjangan pemeriksaan. Akibatnya, pelaksanaan pemeriksaan

bukti awal tidak punya kepastian penyelesaian dan mengganggu efektivitas


penyelesaian tindak pidana perpajakan.
Pelaksanaan

penyidikan

dilakukan

oleh

Direktorat

Intelijen

dan

Penyidikan, namun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal


14 Mei 2007 hanya ditujukan kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, melalui Mabes
Polri, bukan disampaikan kepada Kejaksaan Agung. "Akibatnya, penyidikan
menjadi tidak efektif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum," kata BPK.
Ditjen Pajak telah mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan atas
permohonan perpanjangan pencegahan terhadap para tersangka tindak pidana
perpajakan dalam kasus Asian Agri.
Penyidik Pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan saat
melakukan penggeledahan pada keadaan perlu dan sangat mendesak sesuai surat
perintah tanggal 14 Mei 2007. Penggeledahan itu berlokasi di Marunda, Jakarta.
Selain itu, terdapat ketidaksesuaian alamat/lokasi penggeledahan antara
surat perintah penggeledahan yang menyebutkan kompleks Duta Merlin C33
Jakarta Barat dengan lokasi sebenarnya B33. Atas tindakan penggeledahan itu,
Wajib Pajak mengajukan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada Juni 2008. Putusan pra peradilan pada 1 Juli 2008 menyebutkan
tindakan penggeledahan tidak sah.
Atas putusan tersebut, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Namun, permohonan kasasi ditolak oleh PN Jaksel dan tidak
diteruskan ke MA karena tidak memenuhi syarat formal. "Akibatnya, proses
penyelidikan Ditjen Pajak terhadap Asian Agri menjadi tidak efektif."
Soal penyitaan, penyidik pajak telah melakukan penyitaan dalam keadaan
perlu dan mendesak pada 14 Mei 2007. Persoalannya, penyidik pajak baru
melaporkan pelaksanaan dan hasil penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri

untuk mendapat persetujuan pada 14 Agustus 2007 atau 90 hari setelah penyitaan,
padahal semestinya dua hari setelah penyitaan.
Atas penyitaan tersebut, Wajib Pajak kemudian mengajukan gugatan pra
peradilan pada Juni 2008 ke PN Jaksel. Pengadilan menyatakan penyitaan oleh
penyidik tidak sah. Atas putusan itu, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke
MA, namun kasasi tidak diproses PN Jaksel karena tidak memenuhi syarat formal.
Temuan BPK lainnya menyebutkan penyidik Ditjen Pajak melengkapi berkas
perkara P-19 melewati batas waktu yang ditentukan. Mereka juga belum
menyerahkan barang bukti dan tersangka atas berkas perkara yang sudah lengkap
(P-21) dalam kasus Pajak Asian Agri kepada Kejaksaan Agung.
"Akibatnya, proses penyidikan tidak optimal," kata BPK. Karena itu, BPK
meminta Dirjen Pajak segera memenuhi dan melengkapi berkas perkara seperti
diminta Kejaksaan Agung.

Tanggapan Ditjen Pajak


Atas hasil pemeriksaan BPK tersebut, Ditjen Pajak menanggapinya
sejumlah temuan tersebut. Soal jangka waktu pemeriksaan bukti permulaaan
misalnya. Ditjen Pajak menyatakan pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan
dalam tempo dua bulan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang
disesuaikan.
Namun, BPK tidak sependapat. BPK malah meminta Dirjen Pajak
memberi sanksi pejabat pajak yang membuat proses pemeriksaan melebihi batas
waktu. Soal penggeledahan dan penyitaan, Ditjen Pajak menjelaskan bahwa
penggeledahan di Marunda telah dibuatkan Berita Acara Penggeledahan pada 14
Mei 2007. Sedangkan untuk alamat di Duta Merlin baik di C-33 atau B-33, tidak

10

pernah dilakukan penggeledahan berdasarkan kesepakatan dengan Wajib Pajak


pada 15 Mei 2007.
Sementara itu, penyitaan dilakukan oleh penyidik pajak pada 14 Agustus
2007, bukan pada 14 Mei 2007 seperti disebutkan. Itu didasarkan pada Surat
Perintah Penyitaan pada 14 Agustus 2007.
Saat dihubungi, salah satu pejabat Raja Garuda Mas (induk usaha Asian
Agri), Tjandra Putra tidak mengangkat ponselnya. Sedangkan, pengacara Asian
Agri, Hinca Panjaitan juga belum bisa dimintai komentarnya saat dihubungi via
ponsel.
Penjelasan diperoleh dari humas Asian Agri, Fiona Mambu. Menurut dia,
kasus pajak Asian Agri sesungguhnya sudah masuk ranah pengadilan. Karena itu,
dia merasa lebih baik dibahas di pengadilan. "Kami tidak mau spekulasi, yang
jelas kami selalu kooperatif dan berharap diselesaikan secara adil dan tranparan
sesuai ketentuan yang berlaku."
Fiona mengakui mengacu pada berita-berita yang beredar, Asian Agri
memang dituduh menggelapkan pajak itu Rp1,4 triliun. Namun, dia berharap
Ditjen

Pajak

melakukan

hitung-hitungan

yang

adil

dan

transparan.

Penyelesaiannya juga harus mengacu aturan yang berlaku.


"Sebenarnya, kami melihatnya masalah perpajakan Asian Agri seharusnya
diselesaikan secara hukum administratif, bukan dengan pidana," kata Fiona. (art)
Sumber : http://us.nasional.vivanews.com/news/read/201621-hasil-audit-bpk-ataskasus-pajak-asian-agri

ANALISIS KASUS

Badan pemeriksa keuangan setelah mengaudit proses pemeriksaan dan


penyidikan kasus Asian Agri yang diduga telah menggelapkan pajak 2002-

11

2005 sebesar 1,4 triliun, menemukan bahwa terjadi ketidakefektifan


dikarenakan beberapa hal:
1. Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan lebih dari 2 bulan, serta tidak
didukung usulan dan surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan,
sehingga tidak ada kepastian penyelesaian dan tidak efektif.
2. SPDP (Surat Dimulainya Penyidikan Pajak) 14 Mei 2007 hanya ditujukan
pada Kejaksaan tinggi Jakarta, bukan pada Kejaksaan Agung, sehingga
tidak efektif dan berpotensi timbulnya gugatan hukum.
3. Penyidik pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan sesuai surat
perintah 14 Mei 2007.
4. Ketidaksesuaian lokasi penggeledahan. Berdasarkan surat perintah, lokasi
pengfeledahan di Komplek Duta Merlin C33 Jakarta Barat, sedangkan
lokasi sebenarnya ada di B33.
5. Berkaitan dengan penyitaan 14 Mei 2007, Penyidik pajak baru melaporkan
pelaksanaan dan hasil penyitaan pada ketua pengadilan negeri untuk
mendapat persetujuan pada 14 Agustus 2007, atau 90 hari kemudian, di
mana seharusnya 2 hari setelahnya.
6. Ditjen Pajak melengkapi berkas perkara P-19 melebihi batas waktu, serta
belum melengkapi barang bukti dan tersangka atas berkas perkara yang
sudah lengkap (P-21).
ANALISIS UU

Landasan Hukum yang dapat dipakai dalam kasus ini adalah:


1. Pasal 29 UU KUP tentang Pemeriksaan
2. Pasal 29AUU KUP tentang Pemeriksaan Terbuka
3. Pasal 30 UU KUP tentang Penyegelan
4. Pasal 31 UU KUP tentang Tata Cara Pemeriksaan
5. PMK 198/PMK.03/07 tentang Penyegelan
6. PMK 199/PMK.03/07 tentang Tata Cara Pemeriksan
7. PP 80 thn 07 tentang Hak Dan Kewajiban WP
8. SE-10/PJ.04/2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji
Kepatuhan WP
9. PER 19 thn 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksaan Pemeriksaan
Lapangan
10. PER 20 thn 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksaan Pemeriksaan Kantor

12

11. PER 9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan

WP
Berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UU KUP, Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor
(Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan)
yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa
jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun
untuk tahun berjalan. Maka, pemeriksaan yang diterapkan pada Asian Agri

adalah pemeriksaan lapangan, karena dilakukan di tempat wajib pajak.


Berdasarkan sifatnya, pemeriksaan yang diterapkan pada Asian Agri adalah
pemeriksaan khusus, di mana dilakukan setelah ada persetujuan atau instruksi
dari unit atasan (Direktur Jenderal Pajak atau kepala kantor yang
bersangkutan) dalam hal terdapat indikasi bahwa wajib pajak melakukan
tindak pidana dibidang perpajakan. Hal tersebut sesuai dengan dugaan bahwa
Asian Agri menggelapkan pajak sebesar Rp 1,4 triliun.

ANALISIS HUKUM

Jika pemeriksa pajak, dalam hal ini adalah Ditjen pajak terbukti melakukan
penundaan dalam proses pemeriksaan bukti permulaan, yaitu melebihi
ketentuan (lebih dari 2 bulan), dan tidak didukung dengan usulan, serta surat
persetujuan perpanjangan pemeriksaan, yang dapat mendatangkan kerugian
bagi negara, maka pemeriksa pajak telah melanggar Pasal 36A(1) UU KUP
Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung
atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang
perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.
Sesuai dengan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP), LPP yang
berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus
memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksaan (KPP), antara lain mengenai
berbagai faktor perbandingan, nilai absolute dari penyimpangan, sifat dari

13

penyimpangan, petunjuk atau temuan adanya penyimpangan, pengaruh


penyimpangan, dan hubungan adanya pemasalahan lainnya.

14

DAFTAR PUSTAKA

Anggadha, Arry dan Desy Afrianti. April 2011. Vincent Beberkan Kasus Pajak
Asian Agri "Tujuannya adalah melakukan pembukuan fiktif."
http://nasional.vivanews.com/news/read/217279-vincent-beberkan-kasuspajak-asian-agri [10 November 2016]
Susanto, Heri. Januri 2011. Hasil Audit BPK Atas Kasus Pajak Asian Agri Asian
Agri Diduga Menggelapkan Pajak Rp1,4 Triliun. Namun, Penyidikan
Tidak Optimal. http://us.nasional.vivanews.com/news/read/201621-hasilaudit-bpk-atas-kasus-pajak-asian-agri [10 November 2016]
Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
caraPerpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 tahun 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai