Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin
hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi yang
saling menguntungkan antar negara. Transaksi internasional berupa import barang
dari luar negeri, ekspor barang ke luar negeri, adalah merupakan bagian dari
transaksi perdagangan internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah
seorang penduduk dari salah satu negara tersebut memperoleh penghasilan.
Penduduk yang memperoleh penghsilan tersebut disebut subyek pajak, sedangkan
hasil yang diperoleh adalah obyek pajak.
Disamping kerjasama ekonomi berupa perdagangan, kerjasama antar
negara juga menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan
kerjasama dibidang sosial budaya lainnya.
Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna
mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan antar negara tersebut, tidak terkecuali yang terkait
dengan aspek perpajakan.
Setiap penduduk asing di seluruh Dunia, tidak dilarang jika mereka ingin
melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal
di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan
pajak di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang dilakukan di Negara Indonesia
dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki Negara Indonesia sebgai
pemegang kedaulatan hukum dan wilayah, namun demikian juga harus
mempertimbangkan aspek perekonomian nasional dan hubungan kerjasama antar
negara.
Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau
seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara,
agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak

yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang


mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap
negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut.
Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk
badan/warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum
internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan
dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.
Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional
dirasa kurang memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak yang terlibat
dalam transaksi internasional. Sebagian masyarakat atau wajib pajak yang tidak
memahami pajak internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia
umumnya bukan subjek pajak terkait dengan aspek pajak internasional. Akan
tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau mempelajari tentang perpajakan yang
terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara lain, atau penduduk negara
lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna menambah
wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau
bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain.

BAB II
PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
A. Latar Belakang
Terpisah dari kemajuan, prakiraan dan perhitungan ekonomi dan
pengendalian permintaan atas barang dan jasa, terdapat kecenderungan bahwa
perekonomian nasional semakin saling bergantung kepada situasi Internasional,
terutama terhadap kiat atau kebijakan yang dilakukan oleh Negara lain. Apabila
hal itu dimaksudkan untuk memantapkan kesempatan kerja, stabilitas kerja atau
keseimbangan neraca pembayaran, adalah merupakan fakta bahwa keperluan
koordinasi aktif antarnegara dalam ekonomi dunia semakin meningkat. Interaksi
ekonomi antarnegara menjelma menjadi salah satu factor dominant pada masa
kini.
Globalisasi modal dapat terjadi baik melalui partisipasi langsung maupun
tidak langsung oleh badan privat dan public serta organisasi Internasional. Badan
usaha dapat didirikan dengan modal asing, kepemilikan (saham) pada suatu badan
ditransfer ke mancanegara (go internasional), perwakilan cabang usaha didirikan
di mancanegara, dan pinjaman tersedia oleh kreditor bagi debitor dengan tempat
tinggal yang berlainan Negara. Sains dan teknologi juga melibatkan aktivitas
lintas perbatasan. Hal ini nampak pada semakin banyaknya merek dagang atau
paten, proses manufaktur, pengetahuan dan pengalaman (know-how) dari bidang
industri, sains dan komersial menjadi tersedia secara lintas perbatasan.
Selain itu, sebagai akibat dari liberalisasi perjalanan orang antarnegara,
terdapat peningkatan mobilitas sumber daya manusia baik secara permanent
maupun temporer. Karyawan mencari tingkat hidup yang lebih baik, kondisi kerja
dan standar pengupahan, baik berdasarkan inisiatif pribadi maupun yang
dimutasikan oleh perusahaan untuk mencari dan memanfaatkan potensi (pangsa)
pasar mancanegara. Disamping alasan kekaryaan, perjalanan orang juga
ditumbuhkembangkan oleh kegiatan pariwisata yang semakin merebak selaras
dengan peningkatan kehidupan serta kemajuan komunikasi dan telekomunikasi.
Perjalanan atau pergerakan orang, modal dan jasa tersebut juga diikuti dengan

barang. Penyerahan barang dapat berasal dari Negara berkembang, terutama


bahan mentah baik berupa mineral maupun produk agraris, atau dari Negara maju,
terutama produk industri dan teknologi canggih.
Sehubungan dengan mobilitas Internasional, modal, orang, jasa dan barang
tersebut, selaras dengan fenomena perpajakan Internasional, pemajakan personal
per basis global oleh Indonesia dapat menimbulkan pajak berganda Internasional.
Sebagai tambahan beban usaha, apabila tidak diberikan keringanan, Pajak
Berganda Internasional ( PBI ) dapat menghambat mobilitas Internasional modal,
orang, barnag, jasa, dan sains dan teknologi.
B. Pengertian Pajak Berganda Internasional
Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation),
Knechtle dalam bukunya yang berjudul Basic Problems in Internasional Fiscal
Law (1979) memberikan pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan
pengertian pajak berganda, yaitu :
1.

Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan


pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas
suatu fakta fiskal.

2.

Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus


pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam
satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan
pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut

pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :


1.

Internal ( domestic )

2.

Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical,

horizontal dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).


Sementara itu, dalam kometar atas Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD
membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan
pajak ganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda yuridisial

terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama di
kenakan pajak lebih pleh lebih dari satu Negara, sedangkan pajaka berganda
ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak
atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang
menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan
pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para investor dan
pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus
investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan
atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik,
keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak
Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila
terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat
(negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang
melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the
international sphere).
Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai
terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat
akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai
pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada
dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam
ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat
pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang
bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan
terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara
lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak
dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara
sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang
dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder
(secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh
pembayar pajak.

Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara


pengekspor menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara
asal barang dan jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara
tujuan (destination principle; Pemajakan oleh negara tujuan atau negara
konsumen).
PBI

berkenaan

dengan

Pajak

Penghasilan,

sebagaimana

telah

dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara
negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak
pemajakan secara tidak bersamaan.
Contoh timbulnya PBI dapat diilustrasikan sebagai berikut
PERUSAHAAN M

Double
Taxation
M adalah sebuah perusahaan multinasional yang berkedudukan di negara
A dan empunyai cabang di negara B. Negara A menerapkan azas domisili dan azas
sumber secara bersamaan, demikian pula dengan negara B. Atas penghasilan M di
negara B dipungut pajak oleh negara A berdasarkan azas domisili, dan negara B
memungut pajak atas penghaasilan M yang sama berdasarkan azas sumber.
Dengan demikian penghasilan M tersebut dipungut pajak dua kali. Pemungutan
pajak atas pengasilan M itu mungkin saja tidak menimbulkan masalah sepanjang

negara A dan B menerpakan tarif pajak yang rendah dan terjangkau oleh M.
Apabila pajak ganda itu menjadi beban yang berat bagi M, maka haruslah dicari
jalan keluarnya.
C. Dimensi Internasional Aplikasi Yurisdiksi Pemajakan
a. Pemajakan atas Penghasilan dari Transaksi Transnasional
Transaksi transnasional dapat berupa transaksi keluar dari (outbound)
atau masuk ke (inbound) Indonesia. Pemajakan atas penghasilan dari transaksi
keluar merujuk kepada perlakukan perpajkan atas penghasilan yang diperoleh
atau diterima WPDN dari menjalankan usaha (melakukan kegiatan) atau dari
investasi di luar Indonesia. Karena mendasarkan

pada pertalian subjektif,

Indonesia dapat mengaplikasikan yurisdiksi pemajakan terhadap WPDN


dengan menjangkau objek yang berada di luar wilayah negara tersebut (ekstra
territorial). Atas transaksi keluar, Indonesia mengenakan pajak berdasarkan
yurisdiksi domisili. Semua WPDN dikenakan pajak atas penghasilan global
termasuk penghasilan dari usaha dan kegiatan serta investasi di mancanegara.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha di mancanegara, berdasarkan
argumen netralitas pemajakan atas sumber (source neutrality), Doernberg
(1989) berpendapat bahwa pajak seharusnya dihitung berdasarkan ketentuan
domestik. Namun, untuk keperluan praktis adiministratif, Keputusan Menteri
Keuangan

No.

164/KMK.04/2002memberikan

implikasi

bahwa

angka

penghasilan sumber mancanegara dihitung berdasarkan ketetapan (ketentuan)


pajak negara sumber.
Sehubungan dengan penghasilan dari investasi saham yang diterima
oleh badan WPDN terdapat perbedaan perlakuan antara investasi di dalam dan
di luar negeri. Berbeda dengan dividen dari investasi di dalam negeri, dengan
persyaratan tertentu yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4(3)(f) UU PPh,
dividen yang diterima dari sumber di luar Indonseia selalu dikenakan pajak, di
pihak lain, atas penghasilan dari transaksi ke dalam (inbound transactions),
selain penghasilan dari usaha dan kegiatan yang dikenakan pajak berdasar
criteria ambang batas (BUT), Indonesia menerapkan yurisdiksi sumber.

Penghasilan WPLN dari investasi di Indonesia dikenakan pajak bersarkan


sistem pemotongan (withholding system) dengan basis bruto dan tariff
proporsional (20%) atau sesuai dengan tariff P3B yang berlaku.
b. Keterbatasan Jangkauan Yurisdiksi
Pada dasarnya, menurut Knechtle (1979) setiap negara termasuk
Indonesia bebas dari pembatasan legal negara manca untuk merumuskan sistem
perpajakan yang diinginkannya. Sebagai negara berdaulat, Indonesia dapat
mengatur seberapa jauh jangakauan kewajiban perpajakan seseorang. Sesuai
dengan soverenitas fiskal yang dimiliki, negara tersebut dapat merumuskan
pemajakan terhadap subjek dan objek yang berada di luar wilayah
kedaulatannya. Namun pemikiran demikian, oleh Martha (1989) dianggap
suatu konsep yang kurang tepat. Yang tidak terbatas itu adalah soverenitas.
Pemikiran Martha didukung oleh Van Raad (1986) yang menyatakan bahwa
secara umum terdapat batas legal (legal restriction) atas pemajakan terhadap
orang probadi warga negara lain atau yang bertempat tinggal atau residen
negara lain dan objek di mancanegara. Pembatasan tersebut dapat berasal dari
hokum internasional atau supranasional atau dari ketentuan umum dari undangundang domestik negara dimaksud. Selain itu, penegakan(enforcement)
yurisdiksi fiskal dan hasil dari pelaksanaan klaim pemajakan mancanegara
akanterbentu dengan beberapa hambatan legal maupun faktual.
Secara faktual, pelaksanaan yurisdiksi pemajakan hanya dapat berlaku
efektif apabila subjek dan objek dimaksud berada di bawah wilayah kekuasaan
Indonesia. Apabila subjek dan objek tersebut berada di luar jangakauan
administrasi pajak, secara prkatis, pelaksanaan administrasi perpajakan
(penetapan, penagihan, pengawasan, dan sebagainya) akan banyak mengalami
kesulitan. Sangat kecil kemungkinannya untuk/dapat melaksanakan pemajakan
terhadap subjek yang baik secara personal maupun ekonomis tidak ada kaitan
dengan Indonesia.
Pelaksanaan kewenangan fiskal oleh suatu negara juga terhambat oleh
ketentuan hokum publik internasional yang menyatakan behwa suatu negara

hanya kompeten mengatur subyek atau obyek maupun kejadian yang


mempunyai kaitan dengan wilayahnya (knechtle 1979). Prinsip cakupan
territorial tersebut membatasi jangkauan aplikasi hokum admisitratif termasuk
hukum pajak suatu negara. Apabila tidak ada pengaturan dalam perjanjian
bilateral atau multilateral, kegiatan pelaksanaan pemajakan ke luar wilayah
dapat

menimbulkan

benturan

pengaturan

dengan

otoritas

pemajakan

mancanegara. Selain kesulitan dalam penagihan pajak domestik ke luar neger


(collection of domestic tax abroad), konfirmasi atau pembuktian fakta
perpajakan di luar negeri juga merupakan hal yang tidak mudah dilaksanakan.
Selain kedua pembatasan tersebut, secara legal sebagai penambah dari
pembatasan di atas, dalam ketentuan domestik (misalnya pidana) dalam rangka
melindungi kedaulatan suatu negara, kegiatan pencarian fakta (termasuk pajak),
tanpa sepengathuan negara, juga pada umumnya tidak diperbolehkan. Apalagi
menyangkut rahasia usaha dan profesi tentu tidak dengan mudah untuk dapat
diabaikan alasan tertentu untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan
nasionalnya.
D. Beberapa unsur Pajak Berganda Internasional ( PBI )
Apabila pemajakan berganda ( multiple ) dilakukan oleh beberapa
adminitrasi pajak ( berdasarkan yurisdiksi pemajakan domestic tiap Negara )
maka terdapat pajak berganda Internasional ( international double taxation).
Secara teoretis dan normative, istilah pajak berganda internasional
meliputi beberapa unsur, antara lain:
1.

Pengenaan Pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap criteria


identitas.

2.

Identitas subjek pajak (Wajib Pajak yang sama)

3.

Identitas objek pajak (objek yang sama)

4.

Identitas masa pajak

5.

Identitas (atau kesamaan) pajak


Selaras denga unsur-unsur tersebut, maka pajak internasional dapat terjadi

apabila beberapa negara mengenakan pajak yang sama (sejenis dan setara)

terhadap satu wajib pajak atas objek pajak yang sama untuk masa pajak yang
sama pula.
E. Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda Internasional
Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan
untuk mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang
atau objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi pemajakan
(tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan
konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle, 1979). Sehubungan
dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut empat teori jusitifikasi
legal hak pemajakan suatu negara:
a.

ealistis atau empiris,

b.

etis atau retributive,

c.

kontraktual, dan

d.

soveranitas.

Teori soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu


bentuk

pelaksanaan

dari

yurisdiksi

dan

yurisdiksi

merupakan

atribut

(kelengkapan) dari soveranitas. Sumber dari hak pemajakan (right to tax) suatu
negara berasal dari soveranitas (kedaulatan) negara tersebut. Sebagai kebutuhan
histories (akan adanya suatu negara), hak dan kewajiban utama suatu negara
adalah untuk mengamankan dan melestarikan keberadaannya. Untuk keperluan
itu, negara mempunyai hak untuk meminta sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa
saja yang berada di bawah kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori
retributive yang menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance)
yang

telah

dinikmati

seseorang

sebagai justifikasi

pemajakan,

dengan

mendasarkan pada asumsi bahwa keberadaan negara adalah masalah esensial


politis,

teori

soveranitas

cenderung

memberikan

justifikasi

pemajakan

berdasarkan keterkaitan politis (political allegiance) seseorang terhadap suatu


negara.
Dari

neksus

perpajakan

(keterkaitannya

dengan

pemajakan

asas

penghasilan), kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga


prinsip:

10

1.

kewarganegaraan,

2.

domisili (dan residensi), serta

3.

sumber penghasilan (termasuk kekayaan).

Sebagaimana sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan


ketentuan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya
berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif
(personal), dan (b) objektif. Pertalian subjektif memperhatikan status wajib pajak
(tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang
pribadi; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan). Pertalian objektif
mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan. Surrey (1987) dan
Tilinghast (1984) serta the American Law Institute (1987) menyatakan bahwa
yurisdiksi yang mendasarkan pada pertalian subjektif disebut yurisdiksi domisili
atau azas domisili (domicilary jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk
pada sumber penghasilan disebut yurisdiksi/azas sumber (source jurisdiction).
a. Azas Domisili
Pasal 2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili
terhadap orang pribadi dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1), nampak jelas
bahwa yang tersurat sebagai subjek pajak adalah termasuk warisan yang belum
terbagi dan bentuk usaha tetap (dalam model perjanjian perpajkan disebut
.permanent establishment.). Namun karena warisan yang belum terbagi pada
hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang pribadi ahli
waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk usaha tetap (BUT)
sebagai kriteria ambang batas pemajakan penghasilan usaha (dan kegiatan) dari
perusahaan luar negeri yang dapat merujuk kepada orang pribadi dan badan,
maka pada dasarnya subjek pajak yang sebenarnya adalah tetap orang pribadi
dan badan.
1. Orang Pribadi
Indonesia mempunyai yurisdiksi domisili atas orang pribadi dengan
status wajib pajak dalam negeri (istilah .dalam negeri. adalah setara
dengan .residen/penduduk yang dipakai oleh kebanyakan negara lain).

11

Pasal 2 (3) (a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah seseorang
merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:
a. tempat tinggal (domisili,
b. keberadaan/kehadiran (presensi), dan
c. niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kriteria domisili untuk menentukan status WPDN merupakan
tambahan oleh UU No. 10 tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat
(dalam UU No 7 tahun 1983) dan sekaligus memperluas yuridiksi domisili
pemajakan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2(6), apakah seseorang
bertempat tinggal di Indonesia ditentuka menurut keadaan yang
sebenarnya. Keadaan yang sebenarnya tersebut, misalnya, dapat berupa
petunjuk formal (kependudukan) atau substansial (keberadaan keluarga,
tempat tinggal, alamat tetap, atau kepentingan ekonomis dan sosial).
Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama lebih dari
183 hari) madih sapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila
keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan ha tersebut dan oleh
karenanya termasuk WPDN.
Apabila criteria domisili dapat bersifat subjektif formal, criteria
keberadaan kehadiran merupakan criteria yang bersifat obejktif kuantitatif.
Namun kedua criteria tersebut dibangun berdasar kterkaitan ekonomis
(economic allegiance) seseorang terhadap negara pemungut pajak,
sedangkan pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di
bangun berdasar keterkaitan politis (political allegiance).
2. Badan
Pasal 2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu yurisdiksi
domisili Indonesia atas badan yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b) tempat
kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di
Indonesia merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad
(1986) suatu badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status
hukum (kewarganegaraan atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum

12

siapa badan tersebut didirikan (.incorporated.). Setiap badan yang didirikan


di Indonesia dianggap bernasonalitas Indonesia.
Dengan demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian
(fiskal) nasionalitas. Akibatnya,

semua

badan yang

didirikan di

(berdasarkan hokum) Indonesia, tanpa memperhatikan tempat manajemen,


usaha atau kedudukannya (di mana pun berada), merupakan WPDN
Indonesia.
Namun dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan, seperti
penaftaran, asesmen, penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut
sama sekali tidak mempunyai perwakilan atau orang di Indonesia perlu
dicari upaya yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari ketentuan
tersebut.
b. Azas Sumber
Pasal 2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source
jurisdiction.) yang berlaku di Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima
secara global (misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad (1986)) yurisdiksi
sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsure: (a) menjalankan suatu
aktivitas ekonomi secara signifikan, dan (b) menerima atau memperoleh
penghasilan yang bersimber di negara tersebut.
UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu
aktivitas ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan BUT.
Apabila aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana
diatur dalam pasal 2(5), Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan
dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan atas usaha yang
dijalankan oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas ekonomi
ini dapat berupa; (a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan
(profesi atau pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum
tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent establishment (untuk usaha)
dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua

13

konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik
untuk usaha maupun pekerjaan bebas profesi).
Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada
suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan
milik bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut.
Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa Indonesia secara sah dapat
memungut pajak dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di
Indonesia.
F. Beberapa tipe Pajak Berganda Internasional ( PBI )
PBI timbul karena adanya benturan klaim pemajakan oleh beberapa
administrasi pajak sesuai dengan yurisdiksi pemajakan yang mereka miliki.
Beberapa tipe PBI :
1.

Faktual dan potensial


Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh beberapa
negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI faktual, hal tersebut akan
menyebabkan membesarnya beban pajak yang di tanggung oleh wajib pajak
(apabila dibandingkan dengan beban pajak yang harus ditanggung seandainya
pemajakan hanya di laksankan oleh satu negara saja). Apabila kedua negara
pemegang klaim pajak, hanya satu negara saja yang melaksanakan klaim
perpajakan tersebut maka akan terjadi apa yang disebut PBI potensial yang
artinya tidak akan menimbukan beban pajak yang besar bagi wajib pajak
karena hanya di laksanakan oleh satu negara saja.

2.

Yuridis dan ekonomis


Dalam pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan model yuridis
dan ekonomis. Yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau model) yang
sama dikenakan pajak di tangan (subjek) yang sma lebih dari satu negara. PBI
ekonomis timbul karena dua orang (yang secara yuridis) berbeda dikenakan
pajak atas penghasilan (model/objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara).

3.

Langsung dan tidak langsung

14

Apabila dua tau lebih ketentuan pajak dengan struktur yang sama atau berbeda
atas satu fenomena pajak yang sama pada satu wajib pajak yang sama
menimbulkan PBI langsung. Sedangkan PBI tidak langsung terjadi dari
pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI ekonomis)
G. Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
1. Dampak Pajak Berganda
Secara

ekonomis

pajak

merupakan

pengorbanan

suberdaya

(kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan


masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua
ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban ekonomi
terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah
mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri,
pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada
upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI
dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan menghambat
mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah
merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar
kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional.
Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas
PBI.
2. Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti
(1) pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya.
Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang
diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah
ini.
Pembebasan/pengecualian
Metode

pembebasan

(exemption)/pengecualian

(exclusion)

berupaya untuk sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut


menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan sekunder

15

(domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakannya dan


sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara sumber).
Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3) pajak.
Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan
terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional.
para duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan
hukum internasional mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya
dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja (sending state). Ketentuan
pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua
negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet)
Pembebasan objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan
full exemption atau exemption without progression, diberikan dengan
mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara
tersebut. Exemption without progression (eksemsi tanpa progresi)
maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul
dibebaskan

dari

pengenaan

pajak

dengan

mengeluarkannya

(mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga


tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif
pengenaan pajak negara domisili.
Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan
pajak (tax exemption) atau dikenal dengan exemption with progression.
Dalam metode ini, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap
dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan
penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi
penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global
dipertahankan. Apabila negara residen memperlakukan tarif sepadan
(prporsional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil.
Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan wajib pajak
apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut
dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan
global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara metode

16

pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak


(tax exemption).
Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak
progresif seperti Indonesia.
Kredit Pajak
Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode
Kredit Penuh (full tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas
(ordinary atau normal credit mothode) dan (3) Kredit Fiktif (mathcing
atau sparing credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan dengan
investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara
kredit langsung dan kredit tidak langsung.
Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak
yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak
domestik yang dialokasikan atas penghasilan tersebut.
Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit)
memberikan keringanan pajak berganda internasional yang berupa
pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada
penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1)
pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan
teoritis), dan (2) pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar
negeri (batasan faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam
penghasilan global.
Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri
diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara
bergabung (oveall) atau tiap negara (per country limitation). Pemberian
kredit

bergabung

lebih

menguntungkan

wajib

pajak

dengan

diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan


negatif dan (2) tarif tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah
maksimum pajak yang dapat dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan
dari anak perusahaan luar negeri yang berupa dividen, selain kredit atas

17

pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit) dapat pula diberikan
kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen
tersebut (indirect tax credit).
Metode Lainnya
Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda
internasional, selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku International
Juridicial Double Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa
metode sebagai berikut:
1.

Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber,

2.

Pembagian hak pemajakan (division of taxing power) dengan


penentuan tarif pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh
WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber,

3.

Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar


negeri yang harus diberikan oleh negara dimisili,

4.

Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu


(persentase) dari penghasilan luar negeri, dan

5.

Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation).


Sementara itu, beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan
dengan penghasilan termasuk;

Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai


dengan kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara
negara sumber dan domisili,

Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak


(deduction method) dan

Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah


tertentu (atau seluruhnya).

18

H. Implikasi penghindaran pajak berganda


Beberapa metode penghindaran PBI sebagaimana dibahas di muka
mempunyai implikasi baik bagi wajib pajak ( investor ), Negara sumber maupun
Negara domisili (penyedia keringan).
Pemberian keringan dalam bentuk pembebasan (exemption) baik objek
maupun pajak dapat mengeliminasi secara tuntas PBI karena pemajakan hanya
dilakukan oleh Negara sumber. Pelepasan pemajakan oleh Negara domisili
menyebabkan hilangnya potensi penerimaan Negara tersebut dari penghasilan
mancanegara.
Metode eksemsi didasarkan atas prinsip netralitas impor modal (netralitas
pasar internasional) yang secara otomatis mendorong mobilitas sumber dana ke
mancanegara. Hal ini dapat merupakan rangsangan untuk menanam modal di
Negara berkembang. Karena beban pajak hanya ditentukan oleh Negara temapt
penanaman modal, apabila beban tersebut lebih rendah daripada Negara domisili
dan Negara lainnya, investor memperoleh penghematan pajak.

Karena tidak

mengenakan pajak, adminitrasi pajak Negara domisili investor tidak direpotkan


dengan kekurang-lengkapan informasi pajak kecuali Negara tersebut menerapkan
metode eksemsi pajak dan terdapat kerugian mancanegara.
Dalam

rangka

peningkatan

penerimaan

pajak

dari

penghasilan

mancanegara, Negara domisili dapat menerapkan kebijakan pengurangan pajak


terhadap penghasilan luar negeri atau keringanan tarif pajak. Kedua metode
tersebut dapat menghambat minat investasi ke mancanegara terutama apabila
bebeas pajak disana sudah cukup tinggi. Namun hal demikian secara statuter tidak
akan mengurangi niat baik Negara sumber untuk memberikan keringan pajak
dalam rangka menarik investasi.

19

BAB III
TINJAUAN KASUS

Simulasi Kasus Pajak Internasional


Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak
penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar
100.000.000 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan
domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P)
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
Eksemsi pajak

200.000.000
100.000.000
300.000.000
75.000.000
(25.000.000)

100.000.000 75.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar

50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian


sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P)
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak Penghasilan kurang bayar:

200.000.000
(50.000.000)
150.000.000
37.500.000

25% x 150.000,000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian


sebagai konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya
dapat

mengurangi

berkesinambungan

penghasilan

kena

pajak

domestic.

Namun

pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti

secara
kembali

(recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya,


dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat

20

laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan


pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic (Negara P)
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)

250.000.000
(150.000.000)
400.000.000
100.000.000

Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri

150.000.000

Perhitungan rugi laba th lalu (50.000.000)


Basis penghitungan eksemsi
Eksemsi pajak
100.000.000 x 25%
Pajak Penghasilan kurang bayar

100.000.000
(25.000.000)
75.000.000

21

BAB IV
KESIMPULAN

Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang


menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan
pajak ganda internasional (international double taxation). Dampak kurang
kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas sumber
daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya
untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari
pengembangan hubungan ekonomi antarnegara.
Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut
sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian
keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama
dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya
dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan
harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu
diperoleh

berdasarkan

perundang-undangan

nasional

negara

tersebut.

Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat diungkapkan


kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badanbadan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak,
pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan
berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B.
Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional
dirasa kurang memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak yang terlibat
dalam transaksi internasional. Sebagian masyarakat atau wajib pajak yang tidak
memahami pajak internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia
umumnya bukan subjek pajak terkait dengan aspek pajak internasional. Akan
tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau mempelajari tentang perpajakan yang
terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara lain, atau penduduk negara

22

lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna menambah
wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau
bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain.

23

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, J.M. dan Tony Marsyahul. Perpajakan Internasional Sebagai Materi


Studi Di Perguruan Tinggi. Jakarta : PT Grasindo. 2008.
Brotodiharjo, R. Santoso. Pengantar Hukum Pajak. Bandung : PT Refika Aditama.
2003.
Gunadi. Pajak Internasional. Edisi Revisi (2007). Jakarta : Lambaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2014.
Setiawan, Agus. Perpajakan Internasional Di Indonesia. Jakarta : CV Panca Karya
Utama. 2006.
Soemitro, Rochmat. Hukum Pajak Internasional Indonesia Perkembangan Dan
Pengaruhnya. Bandung : Eresco. 1977.

24

Anda mungkin juga menyukai