DISUSUN OLEH :
3.
1.
AGIN SUGIWA
123150006
2.
ANNE KURNIYAWAN
123150017
FIFI CENDRAWATI
123150073
4.
JULIUS SANTOSO
123150081
5.
123150119
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam hal pelaksanaan perpajakan, kepentingan Wajib Pajak akan berbeda
dengan pemerintah. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya,
karena akan mengurangi kemampuan ekonomisnya; sedangkan pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah sebagian besar
dari pajak. Wajib pajak dapat menggunkan manajemen pajak untuk menerapkan
peraturan secara benar, mengefisienkan laba, dan meminimalkan beban pajak.
Manajemen
pajak
meliputi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan,
benar
melalui
perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan,
Contoh:
Total omzet penjualan dalam SPT PPh badan harus sama dengan total
omzet penjualan yang ada dalam akumulasi SPT masa PPN bulan
terakhir (masa pajak) pada akhir tahun pajak. Jika terjadi perbedaan,
perlu dilakukan equaliasi atau rekonsiliasi.
pajak) dan perencanaan pajak yang ditujukan untuk efisiensi angsuran Pajak
Penghasilan.
BAB II
TAX PLANNING PPH BADAN
1. Laba Fiskal vs Laba Komersial
Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba-rugi disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik. Laporan
keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiscal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara
standar akuntansi dan ketentuan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan
keuangan komersial adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal
didasarkan pada penerapan mekanisme atau prinsip taxable dan deductible.
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi)
merupakan prinsip yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada
umumnya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi
penghasilan yang tidak merupakan objek pajak, serta mengubah biaya yang tidak
boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, atau sebaliknya,
didasarkan pada ketentuan perpajakan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan
pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Prinsip
taxability
deductibility
yang
dianut
dalam
melakukan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya
adalah penjabaran dri ketentuan perpajakan yang diterapkan pada Pasal 4 ayat 1
dan 2 (penghasilan) dan Pasal 6 ayat 1 (biaya deductible), serta Pasal 9 ayat 1
(biaya non deductible) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan,
beserta peraturan pelaksanaannya, yakni:
1) Penghasilan yang menjadi objek (taxable income)
Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008.
3.
4.
5.
atau
permodalan
dalam
perusahaan
pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
2) Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam
Pasal 4 ayat 2 UU PPh No. 36 tahun 2008.
atau
pengalihan
penyertaan
modal
pada
perusahaan
penyerahan
Barang
Kena
Pajak
atau
Jasa
Kena
Pajak
Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas, menurut versi
perpajakan, dalam hal biaya administrasi biaya dan umum pada basis
akrual dibebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan basis kas
biaya tersebut baru dilaporkan pada saat terjadinya pembayaran. Dari
segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih basis akrual
daripada basis kas.
b. Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan. Pengecualian diberikan pada Wajib Pajak Orang Pribadi :
1) Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ; dan
2) Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran
bruto
tetrtentu
diwajibkan
untuk
menyelenggarakan
pembukuan.
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang
digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai
pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas, pencatatan meliputi : peredaran atau penerimaan bruto
dan penerimaan penghasilan lainnya.
b. Bagi wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan
dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai :
Penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang
merupakan objek Pajak Penghasilan.
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.
Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun wajib pajak orang pribadi
yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak enghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor
36 tahun 2008, menjadi kurang dari Rp. 4.800.000.000.000
Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib pajak,
apakah menggunakan pembukuan atau pencatatan, berikut ini contoh
analisis perbandingan pembukuan dan pencatatan.
Perhitungan Rugi Laba Tahun 2011
Kantor Notaris Badu
Pos Perkiraan
Penghasilan Bruto
Pencatatan
900.000.000
Pembukuan
900.000.000
495.000.000
720.000.000
180.000.000
18.480.000
476.520.000
18.480.000
161.520.000
Biaya 3M
Laba Bersih usaha
PTKP (mis.TK/1)
Penghasilan Kena Pajak
23.836.000
8.076.000
PPh Terutang
Norma pengitungan Penghasilan neto untuk Notaris di Jakarta = 55%
Perhitungan penghasilan neto notaris di Jakarta dengan Norma 55% : 55% x
Rp 900.000.000 = Rp 495.000.000
Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha
(pembukuan) = 15% x Rp 900 juta = Rp 180 juta
Dari contoh perhitungan diatas, lebih menguntungkan bagi Notaris
Badu
membuat
pembukuan
daripada
harus
menggunkaan
norma
Pencatatan
Tidak Boleh
Pembukuan
Bisa diperhitungkan
usaha
Diperhitungkan
Kompensasi kerugian
Tidak Boleh
Bisa dokompensasikan ke
Penetapan Penghasilan
Diperhitungkan
Sesuai Norma
tahun berikutnya
Sesuai kondisi riil :
Kena Pajak
Penghitungan
penghasilan pengeluaran
Penghasilan Neto
PPh tetap harus
deductible
PPh nihil
kerugian
akuntansi
komersial
yang
memperbolehkan
perusahaan
Perlakuan Perpajakan
Dasar acuannya adalah pasal 4 (3) hujuf d jo pasal 9 ayat 1 huruf d UU No
7 tahun 1983 yang telah dubah terakhir kalinya dengan UU No 36 tahun 2008
tentang PPh, yakni :
penghasilan
Jika diberikan dalam bentuk uang, maka apa yang diterima oleh karyawan
yang bersangkutan merupakan penghasilan, dan bagi perusahaan yang
bersangkutan merupakan biaya.
keluarganya;
pelayanan kesehatan;
pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
peribadatan;
pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan
fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.
5
6
7
8
9
10
11
total biaya)
Penghasilan neto (3-4)
-/-: Kompensasi kerugian
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WPOP)
Penghasilan Kena Pajak/PhKP (taxable income) (5-6-7)
Tarif PPh Pasal 17 dan 31E
Pajak Penghasilan terutang (tarif x PhKP)
-/-: kredit pajak
12
Pasal 4 ayat 1
Pasal 2 ayat 3
Pasal 6 ayat 1, Ps. 11&11A
Pasal 9 ayat 1 & 2
Pasal 6 ayat 2
Pasal 7 ayat 1
Pasal 17 dan 31E
Pasal 21 (WPOP) Ps. 22, 23,
24, 25
Pasal 28, 28A, 29
Dengan adanya UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut tarif PPh Badan yang
berlaku adalah tarif tunggal sebesar 25% semenjak tahun 2010, 2011, 2012,
sehingga untuk meminimalisasi PPh Badan yang terutang, strategi perencanaan
pajak
di
optimalkan
dengan
upaya
meminimalkan
beban
pajak
dan
Teliti dan tentukan fakta-fakta yang relevan, kemudian buat asumsiasumsi yang harus disusun dan tentukan peraturan perpajakan yang
sesuai dengan situasi semacam itu.
2)
3)
Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak,
perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat
perusahaan terdaftar. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25
sebagaimana dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh
yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau
diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun
pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat
permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan
tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh
Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari
tahun pajak yang bersangkutan. Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan
mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk
tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali
berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan
sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Analisis Perencanaan Pajak
Setelah dilakukannya koreksi fiskal terjadi perbedaan pada laba sebelum
pajak, dimana yang dihasilkan makin meningkat. Untuk mengatasi kenaikan laba
maka biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dijadikan biaya pengurang
bruto (biaya fiskal). Perencanaan pajak yang dilakukan menggunakan cara-cara
yang legal dan sesuai dengan peraturan perpajakan. Cara yang dilakukan adalah
menghindari sanksi-sanksi perpajakan dengan melihat celah-celah didalam
peraturan-peraturan yang ditetapkan. Perencanaan-perencanaan yang mungkin
dapat diterapkan oleh perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Jika biaya listrik dan telepon digunakan untuk kegiatan operasional
perusahaan, maka perusahaan dapat pengurangan penghasilan bruto.
Perusahaan melakukan koreksi positif karena biaya telepon yang
dikeluarkan perusahaan untuk biaya pulsa 3 orang karyawan dengan 3
jabatan sebesar Rp 300.000,00 per bulan dan tergantung kebutuhan
pemakaian
dalam
kegiatan
operasional
perusahaan.
Biaya
dapat
2.
pajak
dilakukan
atas
biaya
rumah
tangga
dengan
setiap
perusahaaan
mengeluarkan
biaya
tambahan
untuk
sebaiknya
perusahaan
mengupayakan
semaksimal
mungkin
karena biaya ini merupakan biaya fiskal sesuai dengan pasal 6 ayat (1)
huruf
Undang-Undang
PPh.
Perusahaan
menetapkan
sistem
PPh.
Perencanaan
pajak
seharusnya
dilakukan
Adanya perencanaan pajak pada tahun 2013 ini maka banyak hal yang
mempengaruhi PPh Badan yang terutang. Pajak terutang jauh lebih kecil dari
sebelumnya senilai Rp 7.557.213,- dan di analisis lebih kecil sebesar Rp 977.142,dengan nilai persentasi penghematan sebesar 87.1 %.
Penghematan PPh Badan tersebut diperoleh karena biaya-biaya komersil
dapat dimaksimalkan untuk dikoreksi fiskal sehingga jumlah PPh Badan terutang
dapat diminimalkan. Hal ini mempengaruhi laba bersih setelah pajak dan menjadi
menurun dari Rp Rp 24.686.897 menjadi Rp 3.192.004,- dan memperoleh
penghematan PPh Badan senilai 87.1% .
4. Keefektifan Perencanaan Pajak Yang Diterapkan CV. Sahabat Sejati
Ada beberapa usaha yang dilakukan CV. Sahabat Sejati dalam
meminimalkan beban pajak dengan beberapa hal seperti dibawah ini :
1. Analisis
biaya
komersil
yang
disinkronisasikan
dengan
analisis
BAB IV
KESIMPULAN
Perencanaan pajak yang efektif dapat dihasilkan melalui analisis terhadap
laporan keuangan dengan cara melakukan koreksi yang maksimal terhadap
laporan keuangan seperti dengan penyesuaian biaya-biaya komersil dapat
dimaksimalkan untuk dikoreksi fiskal dengan mengikuti peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Linawati, et. al. 2015. Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam
Meminimalisir Koreksi Fiskal. Jurnal STIE MDP Palembang
Pohan, Chairil Anwar. 2016. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak
dan Bisnis. Penerbit Gramedia Pustaka Umum
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan