Anda di halaman 1dari 36

TAX PLANNING PPh BADAN

DISUSUN OLEH :

3.

1.

AGIN SUGIWA

123150006

2.

ANNE KURNIYAWAN

123150017

FIFI CENDRAWATI

123150073

4.

JULIUS SANTOSO

123150081

5.

RIA FITRIA ANDRIANI

123150119

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRISAKTI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam hal pelaksanaan perpajakan, kepentingan Wajib Pajak akan berbeda
dengan pemerintah. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya,
karena akan mengurangi kemampuan ekonomisnya; sedangkan pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah sebagian besar
dari pajak. Wajib pajak dapat menggunkan manajemen pajak untuk menerapkan
peraturan secara benar, mengefisienkan laba, dan meminimalkan beban pajak.
Manajemen

pajak

meliputi

perencanaan,

pengorganisasian,

pengarahan,

pengkoordinasian dan pengawasan. Upaya untuk meminimalkan pajak sering


disebut sebagai teknik perencanaan pajak. Teknik ini merujuk pada proses
rekayasa usaha dan transaksi, agar utang pajak bereda dalam jumlah minimal,
tetapi masih dalam bingkai peraturan.
Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang menekankan
kepada pengendalian setiap transaksi yang memiliki konsekuensi pajak. Tujuan
tindakan ini adalah mengefisienkan jumlah pajak yang di transfer ke pemerintah,
melalui penghindaran pajak/tax avoidance, bukan penyelundupan pajak/tax
evasion (Mohammad Zain, 2003).
Dalam hal pelaksanaan administrasi perpajakan, terdapat perbedaan
kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah. Wajib pajak berusaha untuk
membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti
mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di lain pihak pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, yang sebagian
besar berasal dari penerimaan pajak. Adanya perbedaan kepentingan ini
menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran
pajak, baik secara legal maupun illegal, hal ini dimungkinkan jika ada peluang
yang dapat dimanfaatkan baik karena kelemahan peraturan pajak maupun sumber
daya manusia (fiskus).

Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan peraturan perpajakan secara


benar dan usaha efisiensi laba usaha serta untuk meminimalisasi beban pajak,
Wajib Pajak dapat menggunakan salah satu cara di dalam perpajakan yang dikenal
dengan manajemen pajak, yaitu suatu upaya memenuhi kewajiban perpajakan
dengan

benar

melalui

perencanaan,

pengorganisasian,

pengarahan,

pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan, sehingga beban pajak


yang ditanggung perusahaan dapat diminimalkan guna memperoleh laba dan
likuiditas yang diharapkan tanpa melanggar Undang-Undang yang berlaku. Upaya
untuk meminimalisasi pajak ini sering disebut dengan teknik perencanaan pajak.
Teknik ini merupakan bagian dari manajemen pajak yang merujuk pada proses
merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar hutang pajak berada dalam
jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun
perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan
kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga dapat
menghindari pemborosan sumber daya. Bila hal ini telah dilakukan, tidak bisa
dimungkiri pelaksanaan administrasi perpajakan yang efisien dapat kita peroleh.
Prinsip efisiensi yang diterapkan dalam badan usaha untuk mengurangi
segala macam biaya juga diterapkan untuk pajak. Berdasarkan kenyataan bahwa
peraturan perpajakan sedemikian kompleks dan dinamis, maka untuk mengurangi
beban pajak diperlukan suatu manajemen pajak yang antara lain melalui fungsi
perencanaan pajak (Basri Musri, 2004).
Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
Terdapat perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal,
tetapi perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangan karena masing-masing
memiliki tujuan penggunaan yang berbeda, meski pengukuran profitnya diperoleh
dari sumber data yang sama, yakni laporan keuangan komersial.
Menyusun perencanaan pajak PPh Badan tidak bisa berjalan sendirisendiri tanpa memfaktorkan jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh
badan memiliki keterkaitan atau interdependensi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal
23/26, PPh Final dan juga PPN.

Contoh:

Total omzet penjualan dalam SPT PPh badan harus sama dengan total
omzet penjualan yang ada dalam akumulasi SPT masa PPN bulan
terakhir (masa pajak) pada akhir tahun pajak. Jika terjadi perbedaan,
perlu dilakukan equaliasi atau rekonsiliasi.

Ketika perusahaan memilih apakah menerapkan metode net atau gross


up pada saat menghitung PPh Pasal 21, keputusan itu akan
berpengaruh pada besarnya PPh Badan.

Pengeluaran biaya gaji upah, honorarium, dan sebagainya yang


menyangkut kesejahteraan karyawan yang tercantum dalam SPT PPh
Badan tahun yang bersangkutan harus sama dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) PPh Pasal 21 berupa penghasilan bruto yang dibayarkan
kepada pegawai dan penerima penghasilan lainnya. Jika terjadi
perbedaan, perlu dilakukan equalisasi atau rekonsiliasi.

Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada pegawai


adalah non deductible exspenses, tidak bisa diperlakukan sebagai biaya
fiscal sesuai pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, kecuali penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
PMK-82/PMK.03/2011.

Di dalam laporan keuangan/neraca terdapat Pajak Penghasilan Pasal


22/23/26 yang menjadi dasar perhitungan PPh Badan yang terutang.
Bila pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh final, tidak dihitung
lagi sebagai penghasilan kena pajak yang terutang PPh Badan,
contohnya adalah pendapatan bunga deposito bank.

Perhitungan PPh sesungguhnya mencakup periode satu tahun pajak,


namun demikian, berdasarkan ketentuan UU PPh dalam tahun berjalan terdapat
kewajiban untuk mengangsur Pajak Penghasilan. Dengan demikian, terdapat 2
(dua) perencanaan pajak yang perlu diperhatikan yaitu perencanaan pajak yang
ditujukan kepada Pajak Penghasilan yang terutang (untuk cakupan satu tahun

pajak) dan perencanaan pajak yang ditujukan untuk efisiensi angsuran Pajak
Penghasilan.

BAB II
TAX PLANNING PPH BADAN
1. Laba Fiskal vs Laba Komersial
Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba-rugi disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik. Laporan
keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiscal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara
standar akuntansi dan ketentuan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan
keuangan komersial adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal
didasarkan pada penerapan mekanisme atau prinsip taxable dan deductible.
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi)
merupakan prinsip yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada
umumnya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi
penghasilan yang tidak merupakan objek pajak, serta mengubah biaya yang tidak
boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, atau sebaliknya,
didasarkan pada ketentuan perpajakan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan
pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Prinsip

taxability

deductibility

yang

dianut

dalam

melakukan

penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya
adalah penjabaran dri ketentuan perpajakan yang diterapkan pada Pasal 4 ayat 1
dan 2 (penghasilan) dan Pasal 6 ayat 1 (biaya deductible), serta Pasal 9 ayat 1
(biaya non deductible) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan,
beserta peraturan pelaksanaannya, yakni:
1) Penghasilan yang menjadi objek (taxable income)
Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008.

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap


tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal;
2.

Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang


saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya;

3.

Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,


pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4.

Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,


atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5.

Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian


atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan,

atau

permodalan

dalam

perusahaan

pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
2) Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam
Pasal 4 ayat 2 UU PPh No. 36 tahun 2008.

Penghasilan dibawah ini dapat dikenakan pajak bersifat final:


a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham

atau

pengalihan

penyertaan

modal

pada

perusahaan

pasanganya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.


d. Penghasilan dan transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan pesewaan tanah
dan atau bangunan; dan penghasilan tertentu lainya, yang diatur
dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

3) Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)


Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam pasal 4 ayat 3
UU PPh No. 36 Tahun 2008, sebagai berikut:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, atau
sumbangan wajib keagamaan.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil.
c. Warisan.
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari
wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberihkan oleh atau wajib
pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak
yang menggunak norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1. Dividenn berasal dari cadangan laba ditahan.
2. Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen ,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau dioperoleh dana pensiun yang pendirianya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
i. Penghasilan daroi modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif.
k. Dihapus.
l. Pengahasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan

menjalankan usaha kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan


usaha tersebut:
1. Merupakan usaha mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuanya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membeidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuanya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4) Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expense)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam
Pasal 6 UU PPh No. 36 Tahun 2008.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. Biaya pembelian bahan.
2. Berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang.
3. Bunga, sewa, dan royalti.
4. Biaya perjalanan.

5. Biaya pengolahan limbah.


6. Premi asuransi.
7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
8. Biaya administrasi.
9. Pajak, keculain PPh.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirianya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magan dan pelatihan.
h. Piutang yang nyatanya tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
3. Telah diserahkan perkara penagihanya kepada pengadilan negeri.
4. Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k, yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penangulangan bencana nasional yang
ketentuan ya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuanya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuanya diatur dengan
peraturan pemerintah.

l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuanya diatur dengan Peraturan


Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5) Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expense).
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur
dalam Pasal 9 UU PPh No. 36 tahun 2008 sebagai berikut:
a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apa pun seperti dividen.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hakm opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan pajak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh BPJS.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Cadangan bkiaya rekilamasi untuk usaha pertambangan.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri.
d. Premi asuransi perusahaan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang
pribadi, keculai dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihutang
sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
e. Pergantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

g. Harta yang dihibahkan.


h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib
pajak atau menjadi prang tanggunganya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi brupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunya masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak.
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pengahasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
o. Pajak yang ditanggung oleh pemeberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26
ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak
Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk
pemotongan pajak.
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki atau tidak diperhunakan
dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak.
2. Tax Planning dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan
Beberapa upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisiensikan
pembayaran PPh Badan :
1. Memilih sistem pembukuan yang tepat
2. Memilih metode penyusustan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak
berwujud
3. Memilih metode penilaian persediaan yang tepat.
4. Pemilihan pemberin kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura
atau cash.

5. Memilih metode pemotongan PPh Pasal 21 yang tepat (lihat urauan


penulis tentang perencanaan PPh Pasal 21)
1. Memilih sistem pembukuan yang tepat
a. Metode Penghitungan Penghasilan dan Biaya (stelsel akrual vs
stelsel kas)
Menurut stelsel akrual, penghasilan diakui pada waktu diperoleh
dan biaya diakui pada waktu terutang, jadi, tidak tergantung kapan
penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan
adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentasi tingkat
penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi
dan metode laian yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estate.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada
saat

penyerahan

Barang

Kena

Pajak

atau

Jasa

Kena

Pajak

meskipunpembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau


belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Menurut stesel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
pabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode
tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar
telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan
stelsel campuran. Oleh karena itu, untuk penghitungan pajak Penghasilan
dengan memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi
seluruh penjulan baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam
menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh
pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang harus dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas, menurut versi
perpajakan, dalam hal biaya administrasi biaya dan umum pada basis
akrual dibebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan basis kas
biaya tersebut baru dilaporkan pada saat terjadinya pembayaran. Dari
segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih basis akrual
daripada basis kas.
b. Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan. Pengecualian diberikan pada Wajib Pajak Orang Pribadi :
1) Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ; dan
2) Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran

bruto

tetrtentu

diwajibkan

untuk

menyelenggarakan

pembukuan.
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang
digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai
pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas, pencatatan meliputi : peredaran atau penerimaan bruto
dan penerimaan penghasilan lainnya.
b. Bagi wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan
dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai :
Penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang
merupakan objek Pajak Penghasilan.
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.

Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun wajib pajak orang pribadi
yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak enghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor
36 tahun 2008, menjadi kurang dari Rp. 4.800.000.000.000
Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib pajak,
apakah menggunakan pembukuan atau pencatatan, berikut ini contoh
analisis perbandingan pembukuan dan pencatatan.
Perhitungan Rugi Laba Tahun 2011
Kantor Notaris Badu
Pos Perkiraan
Penghasilan Bruto

Pencatatan
900.000.000

Pembukuan
900.000.000

495.000.000

720.000.000
180.000.000

18.480.000
476.520.000

18.480.000
161.520.000

Biaya 3M
Laba Bersih usaha
PTKP (mis.TK/1)
Penghasilan Kena Pajak

23.836.000
8.076.000
PPh Terutang
Norma pengitungan Penghasilan neto untuk Notaris di Jakarta = 55%
Perhitungan penghasilan neto notaris di Jakarta dengan Norma 55% : 55% x
Rp 900.000.000 = Rp 495.000.000
Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha
(pembukuan) = 15% x Rp 900 juta = Rp 180 juta
Dari contoh perhitungan diatas, lebih menguntungkan bagi Notaris
Badu

membuat

pembukuan

daripada

harus

menggunkaan

norma

penghitungan penghasilan neto dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,


karena PPh terutangnya lebih rendah.
Keuntungan menyelenggarakan pembukuan dapat dilihat dari
perbandingannya dengan pencatatan berikut ini :
Uraian
Harga Pokok dan biaya

Pencatatan
Tidak Boleh

Pembukuan
Bisa diperhitungkan

usaha

Diperhitungkan

(Pengeluaran yang deductible)

Kompensasi kerugian

Tidak Boleh

Bisa dokompensasikan ke

Penetapan Penghasilan

Diperhitungkan
Sesuai Norma

tahun berikutnya
Sesuai kondisi riil :

Kena Pajak

Penghitungan

penghasilan pengeluaran

Bila perusahaan mengalami

Penghasilan Neto
PPh tetap harus

deductible
PPh nihil

kerugian

dibayar sesuai norma

2. Pemilihan Metode Penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva


tidak berwujud
Metode penyusutan aktiva tetap diatur dalam PSAK NO.16 berbeda
dengan

akuntansi

komersial

yang

memperbolehkan

perusahaan

menggunakan metode garis lurus (straight line methode), metode saldo


menurun (diminishing balance method), metode jumlah unti (sum of the
unit method), metode penyusutan aset dipilih berdasrakan ekspektasi pola
konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset, maka untuk tujuan
perpajakan perusahaan hanya boleh memilih metode garis lurus atau
metode saldo menurun.
Sesuai pasal 11 Undang Nomor 7 tahun 1983 yang diubah terakhir kali
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai Pajak
Penghasilan, di mana metode penyusutan yang diperbolehka berdasarkan
ketentun ini, dilakukan dengan :
a. Metode garis lurus atau straight line method
Metode ini menghasilkan pembebanan yang tetap selama masa umur
manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah; atau
b. Metode saldo menurun atau diminishing balance method
Metode ini menghasilkan pembebanan yang menurun selama masa umur
manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku.
Masing-masing metode penyusutan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya dan pilihan penggunaannya tergantung pada kepentingan
pemakainya (user)
Misalnya untuk kepentingan pemegang saham (dividen) lebih cenderung
menggunakan metode penyusutan garis lurus karena akan lebih
menguntungkan bagi wajib pajak dari segia laba komersialnya.

Dibandingkan dengan metode garis lurus, metode saldo menurun akan


menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada tahun awal pembelian
atau perolehan aktiva tetap dan kemudian akan makin menurun pada
tahun-tahun berikutnya (walaupun pada akhir umur ekonomis aktiva
tersebut jumlah akumulasi penyusutan kedua metode tersebut akan sama)
sehingga perolehan profit pada tahun pertama akan lebih rendah. Namun
bila kedua metode tersebut dilihat dari future value atas penyusutan
fiskalnya, maka hasilnya akan berbeda.
3. Memilih Metode Penilaian Persediaan
Sesuai pasal 10 ayat (6) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai pajak penghasilan, di
mana metode penilaian persediaan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan
sebagai berikut :
Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan.
Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama (FIFO).
Penggunaan metode penilaian persediaan harus dilakukan secara taat asas.
4. pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
natura atau cash.
Pemberian natura atau kenikmatan untuk kesejahteraan karyawan tidak cocok
dalam kondisi sebagai berikut :
1. Pada perusahaan yang sedang menderita kerugian.
2. Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final.
Terdapat banyak cara untuk mengoptimalkan kesejahteraan karyawan,
dengan memanfaatkan peluang efesiensi beban pajak yang berkaitan dengan
pengeluaran biaya berikut ini:
1. PPh pasal 21 karyawan

Pilihan terhadap metode PPh 21 Pasal 21 karyawan dapat berupa :


Bila beban PPh Pasal 21 sepenuhnya menjadi tanggungan
karyawan.
Bila karyawan diberi tunjangan PPh pasal 21.
Bila PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan.
2. Pengobatan/kesehatan karyawan
Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh perusahaan dalam
memberikan fasilatas pengobatan untuk kesehatan karyawannya.
a. Reimbursement kwitansi biaya medikal dari dokter/klinik/rumah
sakit.
b. Karyawan diberi tunjangan pengobatan atau kesehatan (mediccal
allowance) setiap bulan, sakit maupun tidak sakit.
c. Karyawan berobat di rumah sakit/klinik/dokter langganan dan
pengembalian obat dari apotik langganan.
d. Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik berikut dokter.
3. Pembayaran Premi asuransi untuk pegawai
Sesuai pasal 6 ayat (1) a UU PPh No. 36 Tahun 2008, pembayaran premi
asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan (deductible), tetapi bagi pegawai
yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan (taxable).
4. Iuran Pensiun dan Iuran JHT/THT yang dibayar oleh perusahaan
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum
disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

5. Perumahan untuk karyawan


Beberapa alternative fasilitas perumahan yang diberikan oleh perusahaan
karyawannya untuk kesejahteraan karyawannya :

Penempatan pada rumah dinas yang dibuat/dibeli oleh perusahaan

Penempatan pada rumah dinas yang disewa oleh perusahaan


Perusahaan memberikan penggantian sewa rumah dinas yang dibayar
oleh karyawan, penggantian ini dimasukkan ke dalam tunjangan

perumahan bagi pegawai


Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan

Perlakuan Perpajakan
Dasar acuannya adalah pasal 4 (3) hujuf d jo pasal 9 ayat 1 huruf d UU No
7 tahun 1983 yang telah dubah terakhir kalinya dengan UU No 36 tahun 2008
tentang PPh, yakni :

Pembayaran untuk pekerjaan/jasa dalam bentuk natura kepada karyawan


tidak dapat dipotongkan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak dari perusahaan yang bersangkutan, sedangkan
bagi karyawan yang menerima pemberian tersebut tidak merupakan

penghasilan
Jika diberikan dalam bentuk uang, maka apa yang diterima oleh karyawan
yang bersangkutan merupakan penghasilan, dan bagi perusahaan yang
bersangkutan merupakan biaya.

6. Transportasi untuk Karyawan


Dasar pengaturannya adalah Surat Dirjen Pajak No.S-1215/PJ.23/1984
yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.42/PJ.23/1984, dengan
menyatakan bahwa masalah transportasi secara keseluruhan telah diatur dalam
Surat Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Tenaga Kerja R.I tanggal 7 Juni
1984 nomor S-336/PJ.23/1984, yang intinya adalah sebagai berikut :

Biaya eksploitasi kendaraan antar jemput karyawan merupakan biaya

perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan.


Seluruh biaya eksploitasi dan depresiasi untuk kendaraan perusahaan yang
dikuasai/dipegang oleh karyawan tertentu/dibawa pulang setelah jam kerja
merupakan biaya perusahaan dan bagi karyawan bukan merupakan

penghasilan karena merupakan kenikmatan.


Tunjangan transport yang diberikan kepada karyawan untuk keperluan
pergi dan pulang kantor merupakan penghasilan bagi karyawan dan biaya
bagi perusahaan.

Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya biaya


transport, hotel, dan sebaginya merupakan biaya perusahaan dan bukan
penghasilan karyawan, sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsur
pengeluaran untuk keperluan pribadi.

7. Pakaian seragam untuk Karyawan


Kriteria yang diisyaratkan oleh fiskus mengenai pemberian natura ini
adalah sebagai berikut :

Pemberian natura yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi


kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang menerimanya
adalah :
a) Pemberian/penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh
pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
b) Penggantian/imbalan dalam bentuk natura / kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah
tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan didaerah tersebut.
c) Pemberian natura/kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamata kerja atau karena

sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.


Pemberian natura yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagi sarana keselamatan kerja/karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannnya, meliputi pakaina dan peralatan untuk keselamatan
kerja, pakaian seragam satpam. Pengertian keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan terkait dengan keamanan/keselamatan pekerja yang diwajibkan
oleh Departemen tenaga kerja dan transmigrasi/pemerintah daerah
setempat (Peraturan Dirjen Pajak No. PER-51/PJ./2009)

8. Perjalanan Dinas Karyawan


Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya biaya tiket
pesawat, hotel, transportasi , dan sebagainya merupakan biaya perusahaan dan
bukan penghasilan karyawan, sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsurunsur untuk keperluan pribadi.

Namun, dalam praktiknya, ada pemberian uang saku (travelling


Allowwence) yang didalamnya terdapat komponen biaya perjalanan dinas, dan
karena pemeberian ini dibayarkan secara tunai sebagai uang saku, maka
pemebrian tersebut dikategorikan sebagai penghasilan bagi karyawan yang
bersangkutan. Bila perusahaan menginginkan agar travelling allowence tersebut
dapat dibiayakan (deductable) dalam laporan keuangan fiskal perusahaan, maka
travelling allowence tersebut harus dimasukkan dalam SPT PPh Pasal 21 atas
nama karyawan yang bersangkutan sebagai unsur tambahan penghasilannya yang
dikenai PPh Pasal 21.
9. Bonus dan jasa Produksi
Ada beberapa trik yang harus diperhatikan dalam pemberian bonus dan grafitikasi,
tantiem dan jasa produksi kepada komisaris, direksi, atau pegawai sebagai
berikut :
1) dalam pemberian bonus dan grafitikasi, tantiem dan jasa produksi
tersebut, biusa diperlakukan sebagai biaya perusahaan bilaman
dibebankan dalam biaya tahun berjalan. Namun bila dibebankan ke
dalam pos laba ditahan, maka tidak bisa diakui sebagai biaya
perusahaan.
2) Tantiem adalah bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan
komisaris dari pemegang saham yang didasarkan kepada persentase
tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak, tidak dapat dibebankan
sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan kena Pajak dan bagi
penerimanya merupakan penghasilan dan dikenakan PPh Pasal 21.
3) Untuk keperluan perencanaan pajak, harus dihindari pembeyaran gaji,
bonus, gratifikasi jasa produksi yang melebihi kewajaran kepada
pemegang saham yang juga menjadi komisaris atau pegawai karena
pembayaran tersebut merupakan dividen dan tidak boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan, sehingga dipotong PPh Pasal 25/26.
10. Pemberian Natura di daerah tertentu dan atau terpencil
Pemberian natura atau kenikmatan di daerah tertentu/terpencil, diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.03/2009 dan Peraturan Dirjen Pajak
No.51/PJ./2009.

1. Pengertian daerah tertentu atau terpencil:


a. Daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya
kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik
melalui darat, laut maupun udara sehingga untuk mengubah potensi
ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata,
penanaman modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa
pengembalian yang relatif panjang.
b. Termasuk daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50m yang
di dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
2. Pemberian natura atau kenikmatan yang boleh dibebankan sebagai biaya
adalah:
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/ atau minuman bagi seluruh
Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, meliputi:
1) pemberian makanan dan/ atau minuman yang disediakan oleh
pemberi kerja di tempat kerja.
2) pemberian kupon makanan dan/ atau minuman bagi Pegawai yang
karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian,
meliputi pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas
luar lainnya.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerahh tertentu
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut.
3. Penggantian atau imbalan adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk:
1) tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan
2)
3)
4)
5)
6)

keluarganya;
pelayanan kesehatan;
pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
peribadatan;
pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan
fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.

c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam


pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kelja atau karena
sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, meliputi; pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan
(satpam), sarana antat jemput pegawai, serta penginapan untuk awak
kapal, dan yang sejenisnya.
4. Pengeluaran perusahaan dalam bentuk natura di atas bukan merupakan
penghasilan karyawan.
5. Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun,
yang berlaku sejak tahun pajak diterbitkannya keputusan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali. Jangka waktu perpanjangan adalah 5 (lima)
tahun.
6. Permohonan keputusan tentang penetapan daerah tertentu/terpencil
diajukan kepada Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat Wajib
Pajak yang bersangkutan terdaftar.

3. Formula Perhitungan Pajak Penghasilan


1
2
3
4

Jumlah seluruh penghasilan (worldwide income)


-/-: Penghasilan yang bukan objek PPh (non taxable)
Penghasilan bruto (1-2)
-/-: Biaya fiskal yang boleh dikurangkan (deductible)
(Koreksi biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan dari

5
6
7
8
9
10
11

total biaya)
Penghasilan neto (3-4)
-/-: Kompensasi kerugian
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WPOP)
Penghasilan Kena Pajak/PhKP (taxable income) (5-6-7)
Tarif PPh Pasal 17 dan 31E
Pajak Penghasilan terutang (tarif x PhKP)
-/-: kredit pajak

12

PPh kurang bayar/lebih bayar (10-11)

Pasal 4 ayat 1
Pasal 2 ayat 3
Pasal 6 ayat 1, Ps. 11&11A
Pasal 9 ayat 1 & 2

Pasal 6 ayat 2
Pasal 7 ayat 1
Pasal 17 dan 31E
Pasal 21 (WPOP) Ps. 22, 23,
24, 25
Pasal 28, 28A, 29

Dengan adanya UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut tarif PPh Badan yang
berlaku adalah tarif tunggal sebesar 25% semenjak tahun 2010, 2011, 2012,
sehingga untuk meminimalisasi PPh Badan yang terutang, strategi perencanaan
pajak

di

optimalkan

dengan

upaya

meminimalkan

beban

pajak

dan

memaksimalkan biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta memaksimalkan


penghasilan yang ditangguhkan atau dikecualikan dari pengenaan pajak.
Perencanaan pajak bersifat dinamis, membutuhkan keahlian dalam bidang
perencanaan pajak dengan cara mendalami dan mempelajari masalahnya secara
berkesinambungan, serta melakukan penelitian yang kontinyu yang dipadu
dengan terapan ide-ide dan teknik-teknik perencanaan pajak. Begitu juga interaksi
dengan undang-undang pajak yang juga menyangkut pendekatan internal dan
alternatif-alternatif kebijakan yang dapat mengarahkan ke tujuan meminimalkan
beban pajak, karena perencanaan pajak itu pada hakikatnya merupakan hasil
penelitian yang didesain untuk suatu kejadian atau transakasi finansial sehingga
dalam penstrukturan fakta-fakta hasil penelitian tersebut harus dilakukan secara
berhati-hati sebelum peristiwanya terjadi.
Secara bertahap dianjurkan melakukan langkah-langkah berikut ini:
-

Mempelajari pokok permasalahannya secara komprehensif

Review keinginan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan


pengeluaran pajak minimal atau berupa keuntungan bebas pajak (tax
exemption) melalui tindakan atau persyaratan yang ditemukan.

Mencari data sebanyak mungkin berkenaan dengan permasalahan


tersebut.

Teliti dan tentukan fakta-fakta yang relevan, kemudian buat asumsiasumsi yang harus disusun dan tentukan peraturan perpajakan yang
sesuai dengan situasi semacam itu.

4. Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh


pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
1)

SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun


berjalan,

2)

Kenaikan laba pada tahun yang lalu,

3)

Kenaikan pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D)

Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak,
perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat
perusahaan terdaftar. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25
sebagaimana dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh
yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau
diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun
pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat
permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan
tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh
Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari
tahun pajak yang bersangkutan. Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan
mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk
tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali
berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan
sendiri atau Kepala KPP terdaftar.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Analisis Perencanaan Pajak
Setelah dilakukannya koreksi fiskal terjadi perbedaan pada laba sebelum
pajak, dimana yang dihasilkan makin meningkat. Untuk mengatasi kenaikan laba
maka biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dijadikan biaya pengurang
bruto (biaya fiskal). Perencanaan pajak yang dilakukan menggunakan cara-cara
yang legal dan sesuai dengan peraturan perpajakan. Cara yang dilakukan adalah
menghindari sanksi-sanksi perpajakan dengan melihat celah-celah didalam
peraturan-peraturan yang ditetapkan. Perencanaan-perencanaan yang mungkin
dapat diterapkan oleh perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Jika biaya listrik dan telepon digunakan untuk kegiatan operasional
perusahaan, maka perusahaan dapat pengurangan penghasilan bruto.
Perusahaan melakukan koreksi positif karena biaya telepon yang
dikeluarkan perusahaan untuk biaya pulsa 3 orang karyawan dengan 3
jabatan sebesar Rp 300.000,00 per bulan dan tergantung kebutuhan
pemakaian

dalam

kegiatan

operasional

perusahaan.

Biaya

dapat

dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari biaya perolehan


yang sebagaimana telah dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pajak No. KEP-220/PJ/2002 tentang perlakuan penghasilan atas biaya
pemakaian telepon seluler. Perencanaan pajak seharusnya dilakukan
perusahaan adalah menggantikan biaya voucher handphone para karyawan
dengan tunjangan lain dalam bentuk uang tunai, hal ini bisa menjadi
penambahan penghasilan tetapi bagi perusahaan menjadi pengurang
penghasilan sehingga dapat menghemat beban pajak penghasilan. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 tentang biayabiaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, salah satunya
adalah tunjangan dalam bentuk uang tunai.

2.

Biaya pemeliharaan kendaraan bermotor perlu dikoreksi sebesar 50%.


Perencanaan pajak dilakukan untuk biaya pemeliharaan kendaraan
bermotor agar seluruh biaya pemeliharaan dapat menjadi pengurang
penghasilan bruto dengan cara memberikan tunjangan lain-lain dalam
bentuk uang tunai kepada karyawan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1)
a Undang-Undang PPh tentang biaya-biaya yang menjadi pengurang
penghasilan bruto, salah satunya adalah tunjangan dalam bentuk uang
tunai.

3. Biaya entertainment sebesar Rp 20.310.900,00 tahun 2013. Maka


perencanaan pajak dilakukan perusahaan dengan membuat daftar
nominatif biaya entertainment agar biaya tersebut tidak dianggap fiktif
sehingga bisa dibiayai perusahaan untuk mengurangi penghasilan bruto.
Daftar nominatif dibuat secara lengkap atas transaksi yang terjadi dan
dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh.
4. Untuk biaya rumah tangga kantor dikeluarkan perusahaan dalam rangka
memenuhi setiap kebutuhan dan keperluan perusahaan seperti tissue,
pewangi ruangan, alat kebersihan, alat tulis kantor (ATK) dan lain
sebagainya tidak dapat dijadikan biaya dalam laporan keuangan pajak.
Biaya ini merupakan biaya yang masuk dalam grey area, sehingga
berpotensi untuk dilakukan koreksi fiskal positif. Oleh karena itu
perencanaan

pajak

dilakukan

atas

biaya

rumah

tangga

dengan

melampirkan bukti-bukti yang terkait dengan transaksi, maka biaya rumah


tangga kantor dapat diakui sebagai biaya karena perpajakan mengakui
suatu transaksi apabila transaksi mempunyai bukti-bukti yang mendukung.
5. Biaya dikeluarkan perusahaan dalam rangka kesejahteraan karyawan.
Karyawan merupakan aset penting perusahaan, oleh karena itu tidak heran
kalau

setiap

perusahaaan

mengeluarkan

biaya

tambahan

untuk

meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Tapi perlu diperhatikan bahwa


tidak semua biaya dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Karena
itu,

sebaiknya

perusahaan

mengupayakan

semaksimal

mungkin

memberikan kesejahteraan kepada karyawannya dalam bentuk tunjangan

karena biaya ini merupakan biaya fiskal sesuai dengan pasal 6 ayat (1)
huruf

Undang-Undang

PPh.

Perusahaan

menetapkan

sistem

reimbursement dalam biaya kesehatan karyawan, dimana biaya ini harus


dilakukan koreksi fiskal positif karena merupakan pemberian natura atau
kenikmatan kepada karyawan sesuai dengan pasal 9 ayat (1) huruf e
Undang-Undang

PPh.

Perencanaan

pajak

seharusnya

dilakukan

perusahaan dengan memberi tunjangan kesehatan bagi karyawan. Bagi


karyawan tunjangan bisa menjadi tambahan penghasilan sesuai dengan
KEP-545/PJ/2000 bagi perusahaan menjadi pengurang penghasilan bruto
(deductible expense) sesuai dengan pasal 6 ayat (1) a Undang-Undang
PPh.
6. Untuk biaya lain-lain yang sebagian besar mencakup sumbangan dan
hibah yang dikeluarkan perusahaan tidak boleh dijadikan sebagai
pengurang bruto, karena sumbangan tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha perusahaan.
2. Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Sesudah Perencanaan Pajak
Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian laba komersial yang berbeda
dengan ketentuan fiskal yang dapat menghasilkan penghasilan neto dan laba
sesuai ketentuan pajak. Rekonsilisasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena
terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial)
dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial ditujukan
untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial sektor swasta, sedangkan
laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Penyebab
perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal karena
terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi,
perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan
penghasilan dan biaya.
Berikut ini adalah tabel laporan laba-rugi CV. Sahabat Sejati Palembang
yang disusun dengan laporan keuangan komersil dan laporan koreksi fiskal.

Perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan tahun 2013 yaitu dengan


cara membuat daftar nominatif untuk biaya entertainment sebesar Rp 20.310.900,sehingga dapat menjadi biaya fiskal atau dikoreksi negatif, pulsa/voucher
karyawan dikoreksi 50% Rp 5.400.000,- BBM dan service kendaraan (motor dan
mobil) dikoreksi 50% sebesar Rp 10.702.356,- biaya ini dijadikan tunjangan lainlain dalam bentuk uang tunai sehingga seluruh biaya ini dapat dikoreksi negatif.
Sebenarnya masih banyak biaya-biaya komersil tahun 2013 yang dikoreksi positif
dapat menjadi koreksi negatif sehingga megurangi laba sebelum pajak seperti
biaya rumah tangga kantor, biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam rangka
kesejahteraan karyawan yaitu seragam karyawan, dan biaya lain-lain yang
sebagian besar mencakup pemberian sumbangan, tetapi dengan keterbatasan
pengetahuan bagian keuangan perusahaan biaya-biaya tersebut tidak dilakukan
koreksi.
Dari data di atas kita dapat menghitung besarnya PPh Badan yang terutang
sebagai berikut:

3. Pembahasan Analisis Sebelum dan Setelah Perencanaan Pajak


Dikarenakan Penghasilan Bruto Perusahaan dibawah Rp 4.800.000.000,menurut Pasal 31E, dapat menggunakan perhitungan sebagai berikut dibawah ini:

Adanya perencanaan pajak pada tahun 2013 ini maka banyak hal yang
mempengaruhi PPh Badan yang terutang. Pajak terutang jauh lebih kecil dari
sebelumnya senilai Rp 7.557.213,- dan di analisis lebih kecil sebesar Rp 977.142,dengan nilai persentasi penghematan sebesar 87.1 %.
Penghematan PPh Badan tersebut diperoleh karena biaya-biaya komersil
dapat dimaksimalkan untuk dikoreksi fiskal sehingga jumlah PPh Badan terutang

dapat diminimalkan. Hal ini mempengaruhi laba bersih setelah pajak dan menjadi
menurun dari Rp Rp 24.686.897 menjadi Rp 3.192.004,- dan memperoleh
penghematan PPh Badan senilai 87.1% .
4. Keefektifan Perencanaan Pajak Yang Diterapkan CV. Sahabat Sejati
Ada beberapa usaha yang dilakukan CV. Sahabat Sejati dalam
meminimalkan beban pajak dengan beberapa hal seperti dibawah ini :
1. Analisis

biaya

komersil

yang

disinkronisasikan

dengan

analisis

perhitungan fiscal agar nilai beban pajak dapat lebih minimal.


2. Mengontrol dan memonitoring setiap pelaksanaan perencanaan pajak
setiap periodenya..
Berdasarkan dari analisis data yang dilakukan maka perencanaan pajak
yang dilakukan CV. Sahabat Sejati Palembang dapat meminimalkan laba sebelum
pajak sehingga dapat menghemat beban pajak terutangnya, tahun 2013 laba
komersil sebelum pajak Rp 70.089.146,- setelah dikoreksi fiskal menjadi Rp
32.244.110.

BAB IV
KESIMPULAN
Perencanaan pajak yang efektif dapat dihasilkan melalui analisis terhadap
laporan keuangan dengan cara melakukan koreksi yang maksimal terhadap
laporan keuangan seperti dengan penyesuaian biaya-biaya komersil dapat
dimaksimalkan untuk dikoreksi fiskal dengan mengikuti peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Linawati, et. al. 2015. Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam
Meminimalisir Koreksi Fiskal. Jurnal STIE MDP Palembang
Pohan, Chairil Anwar. 2016. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak
dan Bisnis. Penerbit Gramedia Pustaka Umum
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


Zain, M. 2003. Manajemen Perpajakan. Penerbit Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai