Anda di halaman 1dari 108

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan

Semester Ganjil 2016/2017,10/9-16.

A. Pendahuluan.

Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan


dengan dukungan dana yang besar, dana pembangunan itu dapat diperoleh dari berbagai
sumber baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan salah satu sumber dana tersebut
berasal dari pajak.

Pajak harus lebih diperdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sector riil, peranan
pajak semakin besar dan signifikan dalam menyumbang penerimaan Negara, hal ini dapat
dilihat dari terus meningkatnya pendapatan pemerintah dari pajak dalam APBN, yang
selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan maupun untuk
biaya rutin Negara. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan kesadaran dan kepedulian
masyarakat dalam membayar pajak, dengan segala upaya dilakukan pemerintah dalam
upaya meningkatkan pendapatan Negara dari pajak guna mencapai sasaran pembangunan
ekonomi yang disusun dengan semangat kebersamaan dan rasa optimis, namun tetap
dengan mempertimbangkan kondisi riil yang telah, sedang, dan akan dihadapi.

Semenjak reformasi perpajakan dijalankan dengan dikeluarkannya undang-undang


perpajakan yang baru pada tahun 1983, system perpajakan berubah office assessment
menjadi self assessment (misalnya untuk pajak pnghasilan dan pajak pertmbahan nilai),
dengan system yang baru ini wajib pajak memiliki hak dan kewajiban, baik dalam
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban perpajakannya. Hal ini
akan terlaksana dengan baik apabila wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan sesuai
undang-undang. Dilihat dari sudut pandang pemerintah, jika pajak yang yang dibayarkan
oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya mereka bayar, maka pendapatan ndegara
dari sector pajak akan berkurang, namun sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang
pengusaha atau wajib pajak , jika yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya
akan mengakibatkan kerugian.

Salah satu tujuan pengusaha adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau
investor, dengan cara memeksimalkan nilai perusahaan dengan cara memperoleh laba
maksimum, kinerja (performance) suatu perusahaan dapat mengungguli perusahaan lain
dengan mengimplementasikan strategi yang berbeda, misalnnya membuat produk
sedemikian rupa dengan harga yang lebih rendah; atau membuat produk sedemikian rupa
sehingga membuat konsumen bersedia membayar harga melampaui biaya untuk
menciptakan deferensiasi terhadap produk tersebut. Dua kiat bersaing itu menuntut strategi
bisnis yang berbeda, dan sasaran keunggulan biaya adalah menjadi pemimpin biaya dalam
industri, apabila perusahaan sudah dapat membangun posisi kepemimpinan biaya, maka
perusahaan dapat menggunakan keunggulannya itu untuk mengalahkan kompetitornya
melalui persaingan harga.

1
Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, dan mengingat besarnya tantangan dimasa
yang akan datang, dimana competitor bermunculan dari berbagai Negara dengan beragam
produk subsitusi yang saangat menarik dan kompetitif untuk dapat survai perusahaan
dituntut untuk menyesuaikan produknya dengan membangun posisi kepemimpinan biaya
sebagai basis strategi bisnisnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakaukan oleh perusahaan adalah meminimalkan beban
pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan karena pajak merupakan salah satu factor
pengurang laba. Besarnya pajak, sangat tergantung pada besarnya penghasilan dengan
semakin besarnyapenghasilan maka semakin besar pula pajak yang terutang (yang harus
dibayar). Oleh karena itu perusahaan membutuhkan perencanaan pajak atau tax planning
yang tepat agar perusahaan membayar pajak dengan efisien.

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langh-langkah


manajemen perpajakan yang baik, oleh karena itu manajemen perpajakan merupakan
upaya system matis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengendalian di bidang perpajakan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan
yang minimum, atau dengan kata lain bahwa manajemen perpajakan merupakan upaya
untuk mengimplementasikan fungsi manajemen agar dapat dicapai efektivitas dan efisien
pelaksanaan dan kewajiban perpajakan. Sedangkan perencanaan perpajakan atau tax
planning merupakan tahap awal untuk melakukan analisa secara system matis berbagai
alternative perlakukan perpajakan dengan tujuan mencaai pemenuhan kewajiban
perpajakan yang seminimal mungkin.

Dalam melaksanakan kewajiban pajak sehari-hari secara optimal, terdapat beberapa unsur
penting yang perlu diketahui setiap wajib pajak, pekerjaan perpajakan yang seharusnya
dijalankan oleh wajib pajak dapat dikelompokan kedalam beberapa kelompok, sebagai
berikut :

1. Tax compliance, adalah kegiatan untuk memenuhi aturan perpajakan, yang meliputi :
pengadministrasian, pembukuan, pemotongan/pemungutan pajak, penyetoran,
pelaporan, memberikan data untuk keperluan pemeriksaan pajak dan sebagainya.
Secara umum peraturan pajak akan dipatuhi oleh wajib pajak bila biaya untuk
mematuhinya (compliance cost) relative murah.

2. Tax Planning, adalah merupakan rangkaian straregi untuk mengatur akuntansi dan
keuangan perusahaan untuk meminimalkan kewajiban perpajakan dengan cara-cara
yang tidak melanggar peraturan perpajakan (in legal way), dalam arti yang lebih luas
meliputi keseluruhan fungsi manajemen perpajakan.

3. Tax Litigation, adalah merupakan usaha untuk menyelesaikan perselisihan atau


sengketa pajak dengan pihak lain, terutama kantor pajak, sengketa pajak terjadi karena
adanya perbedaan penafsiran atas suatu ketentuan perpajakan atau atas masalah-
masalah yang tidak ada aturannya secara jelas antara wajib pajak dengan fiskus dalam
pemeriksaan atau penelitian pajak. Di Indonesia tax litigation berhubungan dengan

2
permohonan peninjauan kembali untuk pembetulan atau pembatalan surat ketetapan
pajak, permohonan pengurangan sanksi perpajakan, pengajuan keberatan, banding
gugatan, dan cara-cara lain yang sesuai dengan undang-undang perpajakan.

4. Tax Researh, adalah merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi, atau
rekomendasi atas suatu permasalahan perpajakan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Menentukan fakta-fakta yang akan dianalisis.
b. Mengidetifikasi isu-isu pajak yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut.
c. Menentukan pihak-pihak yang dapat menjadi sumber data dan informasi.
d. Mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh.
e. Mengembangkan dan merumuskan konklusi dan rekomendasi.
f. Mengomunikasikan rekomendasi yang dibuat.

Jadi manajemen perpajakan merupakan bagian integral dari perencanaan strategis


perusahaan yang seharusnya sudah dimulai sebelum usaha dimulai, sedangkan
pelaksanaan manajemen perpajakan harus ekonomis, efesien, dan efektif. Perencanaan
perpajakan dimulai pada saat akan mendirikan perusahaan (pemilihan bentuk usaha,
pemilihan metode pembukuan, pemilihan lokasi usaha), saat menjalankan usaha
(pemilihan transaksi-transaksi yang akan dilakukan dalam operasionalnya perusahaan,
pemilihan metode akuntansi dan perpajakan, tanggung jawab terhadap stakeholder),
saat akan menutup usaha (restrukturisasi usaha/perusahaan, likuidasi, marger,
pemekaran, dan sebagainya).

B. Strategi Pajak

Strategi yang dapat ditempuh untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu :

1. Tax Saving
Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
Contoh : pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan
untuk dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh badan. Kebijakan
pemberian natura dapat diubah menjadi pemberian tidak dalam bentuk natura, dan
dimasukkan sebagai penghasilan karyawan sehingga dapat dikurangkan sebagai
biaya. Perlakuan ini akan mengakibatkan PPh badan turun, tetapi PPh Pasal 21
akan naik. Penurunan PPh badan akan lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal 21
(dengan asumsi perusahaan memperoleh laba kena pajak diatas Rp 100 juta dan
PPh badan tidak bersifat final).

2. Tax Avoidance
Tax Avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara
menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan
objek pajak.

3
Contoh : pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final,
untuk mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan, dapat dilakukan dengan cara
memberikan semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura,
mengingat pemberian natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan
merupakan objek PPh pasal 21. Missal pada saat perusahaan dalam kondisi rugi
secara fiscal, atau memiliki kompensasi kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif
besar ditahun-tahun sebelumnya.

3. Penundaan/Penggeseran Pembayaran Pajak


Penundaan/penggeseran pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa
melanggar peraturan pajak yang berlaku.
Contoh : ketika perusahaan harus membayar sejumlah imbalan jasa yang nilainya
cukup material atas suatu transaksi pembelian jaa professional atau jasa lain (yang
menjadi objek pemotongan withholding tax) yang transaksi pembayarannya
dilakukan pada akhir bulan, misalnya pada akhir bulan Agustus 2014, maka dengan
penundaan transfer pembayaran jasa 1 (satu) hari saja ke tanggal 1 September 2014
akan mengakibatkan penggeseran/penundaan pembayaran pajak selama 1 (satu)
bulan ke bulan berikutnya. Bukankah cara ini akan membantu posisi cash flow
perusahaan ?
4. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang diperkenankan
Wajib pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran yang
dapat dikreditkan. Sebagai contoh : PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari
Pertamina yang bersifat final jika pembelinya perusahaan yang bergerak di bidang
penyaluran migas. Tetapi jika pembelinya bergerak dibidang pabrikan, PPh Pasal
22 tersebut akan dikreditkan dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih
menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai biaya. Bila dibandingkan,
keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 75% dari nilai pajak yang dikreditkan,
maka seluruh jumlah pajak (100%) diklaim oleh wajib pajak. Akan tetapi bila
dibebankan sebagai biaya, maka dampak pengurangan pajaknya hanya sebesar
25%, itupun dengan asumsi bahwa biayanya merupakan deductible expenses.

5. Menghindari Pemeriksaan Pajak


a. Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke KPP yang
bersangkutan, apabila berdasarkan estimasi dalam tahun pajak yang
bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Pengajuan tersebut
dapat dilakukan paling cepat 3 (tiga) bulan setelah berjalannya tahun pajak dan
wajib pajak dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun
pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh terutang
yang menjadi dasar perhitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 (KEP-
537-PJ./2000). Pengajuan pengurangan pembayaran angsuran ini harus
melampiri :
- Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berjalan
- Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan

4
- Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang akan menjadi kelebihan
pembayaran pajak, apabila besarnya angsuran tidak dikurangi
- Bukti-bukti pembayaran pajak yang sudah dilakukan
b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan
melakukan impor. Permohonan ini harus melampiri :
- Proyeksi impor setiap bulan dalam tahun yang bersangkutan
- Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berjalan
- Proyeksi perhitungan PPh badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25,
serta PPh Pasal 22 yang menunjukan lebih bayar apabila dilakukan
pembayaran PPh Pasal 22
- Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan

6. Menghindari Pelanggaran Terhadap Peraturan Perpajakan


Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan
cara menguasari peraturan perpajakan. Dalam buku ini akan dibahas pula peraturan
pokok perpajakan, khususnya yang berbeda dengan kelaziman di bidang akuntansi
komersial.

C. Pengertian Manajemen Perpajakan (Tax Management)

Manajemen perpajakan adalah upaya menyeluruh yang dilakukan tax manager dalam
suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan
dari perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan
ekonomis, sehingga memberikan kontribusi maksimum bagi perusahaan.

Fungsi- Fungsi Manajemen Perpajakan

1. Tax Planning
Adalah usaha yang mencakup perencanaan perpajakan agar pajak yang dibayar
oleh perusahaan benar-benar efisien. Tujuan utama Tax Planning adalah mencari
berbagai celah yang dapat ditempuh dalam koridor peraturan perpajakan
(loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimal. Dalam
tax planning ada 3 macam cara yang dapat dilakukan wajib pajak untuk menekan
jumlah beban pajaknya, yakni :

a. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak), adalah strategi dan tehnik penghindaran


pajak dilakukan secara legaldan aman bagi wajib pajak karena tidak
bertentangan dengan ketentuan perpajakan, tehnik yang digunakan adalah
dengan memanfaatkan kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-
undang dan peraturan pderpajakan.
b. Tax Evasion (Penyelundupan Pajak), adalah strategi dan tehnik penghidaran
pajak yang dilakukan secara illegal (melawan undang-undang dan peraturan
perpajakan yang berflaku) dan tidak aman bagi wajib pajak, dan cara
penyelundupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan, karena

5
metode dan tehnik yang digunakan tidak berada dalam koridor undang-undang
dan peraturan perpajakan yang berlaku.
c. Tax Saving (Penghematan Pajak), adalah suatu tindakan lain dengan cara
melakukan penghematan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dengan ccara
yang legal dan aman karena dalam melakukannya tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Contoh bila kita belanja the botol di warung, tentu tidak aka nada pengenaan
Pajak Restoran atas konsumsi tersebut, namun bila kita belanja the botol di
restoran besar (hotel) , kita akan terbebani pajak restoran(yang sebenarnya
dapat dihindari) sebagai implikasi perpajakan.

2. Tax Administration/Tax Compliance, adalah usaha-usaha untuk memenuhi


kewajiban administrasi perpajakandengan cara menghitung pajak secara benar,
sessuai dengan ketentuan perpajakan, kepatuhan dalam membayar pajak dan
melaporkan tepat waktu sesuai deadline pembayaran dan pelaporan pajak yang
telah ditetapkan.

3. Tax Audit, adalah strategi dalam menangani pemeriksaan pajak, menanggapi hasil
pemeriksaan pajak maupun strategi dalam mengajukan surat keberatan atau surat
banding.

4. Other Tax Matters, adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan perpajakan,


seperti mengomunikasikan ketentuan-ketentuan system dan prosedur perpajakan
kepada pihak-pihak atau bagian-bagian lain dalam perusahaan, misalnya penerbitan
faktur pajak penjualan standar yang berhubungan dengan PPN, pemotongan
withhplding tax (PPh Ps. 23/26) yang berkaitan dengan jasa tehnik, jasa
manajemen, jasa kontruksi, dan jasa profesi serta objek withholding tax lainnya,
juga termasuk pelatihan bagi staf yang berkaitan dengan masalah perpajakan dan
lain-lain.

D. Motivasi Perencanaan Pajak


Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku wajib pajak untuk meminimumkan
kewajiban pembayaran pajak mereka, baik secara legal maupun ilegal, yang kita
sebut dengan propensity of dishonesty (diolah dari T.N. Srinivasan, “Tax Evasion :
A Model”, dalam Journal Of Public Economics,1973: 339-346) adalah sbb :
1. Tingkat kerumitan suatu peraturan (Complexity of rule)
Makin rumit peraturan perpajakan, muncul kecenderungan wajib pajak untuk
menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya (compliance cost) menjadi
tinggi.
2. Besarnya pajak yang dibayar (Tax required to pay)
Makin besar jumlah pajak yang harus dibayar, akan makin besar pula
kecenderungan wajib pajak untuk melakukan kecurangan dengan cara
memperkecil jumlah pembayaran pajaknya.
3. Biaya untuk negosiasi (Cost of bribe)

6
Disengaja atau tidak, kadang-kadang wajib pajak melakukan negosiasi dan
memberikan uang sogokan kepada fiskus dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakannya. Makin tinggi uang sogokan yang dibayarkan, semakin kecil
pula kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran.
4. Risiko deteksi (probability of detection)
Risiko deteksi ii berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah pelanggaran
ketentuan perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin rendah risiko
terdeteksi, wajib pajak cenderung untuk melakukan pelanggaran. Sebaliknya,
bila suatu pelanggaran mudah diketahui, wajib pajak akan memilih posisi
konservatif dengan tidak melanggar aturan.
5. Besarnya Denda (size of penalty)
Makin berat sanksi perpajakan yang bisa dikenakan, maka wajib pajak akan
cenderung mengambil posisi konservatif dengan tidak melanggar ketentuan
perpajakan. Sebaliknya makin ringan sanksi atau bahkan ketiadaan sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan wajib pajak, maka kecenderungan untuk
melanggar akan lebih besar.
6. Moral Masyarakat
Moral masyarakat akan memberi warna tersendiri dalam menentukan kepatuhan
dan kesadaran mereka dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah
untuk memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return). Karena pajak itu
mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi
perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan
pemanfaatan peluang atau kesempatan dalam ketentuan peraturan yang sengaja
dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek
yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan :
a. Perbedaan tarif pajak (tax rates)
b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax
base)
c. Loopholes, shelters, havens (Suandy, 2006:14)
Adanya perbedaan tarif pajak karena penerapan scheduler taxation tarif yang
diterapkan di Indonesia (yang bisa kita temukan dalam UU PPh Tahun
1983/1994/2000) akan memotivasi wajib pajak/perencana pajak untuk
mendesain tax planningnya sedemikian rupa pada besaran penghasilan kena
pajak dengan lapisan tariff yang paling rendah (low bracket), sebagaimana
diutarakan oleh Barry Bracewell-Milnes dalam bukunya The Economics of
International Tax Avoidance (1980) :

“The heavier the burden, the stronger the motive and the wider the scope for
tax avoidance, since the tax payer may avoid the higher rates of tax while still
remaining liable to the lower”

E. Manfaat Perencanaan Pajak

7
Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan
secara cermat :
1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsure biaya
dapat dikurangi.
2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan
pajak yang matang dapat diperkirakan kebutuhan kas untuk pajak, dan
menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran
kas secara lebih akurat.

F. Tujuan Perencanaan Pajak


Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari manajemen pajak/perencanaan
pajak yang baik adalah :
1. Meminimalisasi beban pajak yang terutang
Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa
usaha-usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup
pemajakan dan tidak melanggar peraturan perpajaka n.
2. Memaksimalkan laba setelah pajak
3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan
pajak oleh fiskus
4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang antara lain meliputi :
a. Mematuhi segala ketentuan administatif, sehingga terhindar dari pengenaan
sanksi, baik sanksi administrative maupun pidana,seperti bunga, kenaikan,
denda, dan hukum kurungan atau penjara.
b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan undang-undang perpajakan
yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian dan fungsi
keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh Pasal 21, pasal
22 dan pasal 23)

G. Persyaratan Tax Planning yang baik


Tax anagement/Tax Planning yang baik mensyaratkan beberapa hal :
1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan
Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan
tax evasion.
2. Secara bisnis masuk akal (reasonable)
Kewajaran melakukan transaksi bisnis harus berpegang kepada praktik
perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arm’s length price, atau harga
pasar yang wajar, yakni tingkat harta antara pembeli dan penjual yang independen,
bebas melakukan transaksi.
3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya: kontrak,invoice,
faktur pajak,PO dan DO)
Kebenaran formal dan materiil suatu transaksi keuangan perusahaan dapat
dibuktikan dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau Purchase

8
Order (PO) dari pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (Delivery Order), invoice,
faktur pajak sebagai bukti penagihan serta pembukuannya (general ledger).

H. Kapan dilaksanakan Tax Planning


Pajak itu melihat pada subjek yang sudah terbebani sebagai wajib pajak (WP) orang
pribadi atau badan sejak awal, misalnya perusahaan baru berdiri, kemudian mulai
berjalan, dan tidak lama bubar. Jadi walaupun sudah bubar, pajaknya belum selesai.
Maka planningnya dilakukan sepanjang usia perusahaan. Jadi sejak saat berdiri,
aktivitas manajemen sudah dimulai, banyak sekali tax management yang harus
dilaksanakan. Pada saat perusahaan bubar atau pada saat WP orang pribadi meninggal,
masalah pajaknya masih ada. Jadi pajak tidak habis karena WP meninggal, karena
warisan-warisan ini oleh fiskus masih diotak-atik.

I. Resistensi Pajak
Perlawanan terhadap pajak yang dilakukan wajib pajak merupakan hambatan dalam
pemungutan pajak, baik disebabkan oleh kondisi negara dan masyarakat, maupun oleh
usaha-usaha wajib pajak yang disadari atau tidak mempersulit pemasukan pajak
sebagai sumber penerimaan negara.

Ada dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan oleh warga negara menurut R.
Santoso Brotodiharjo (1993:13-14), yakni :
1. Perlawanan Pasif : meliputi hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan
pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan
intelektual dan moral penduduk, serta sistem dan cara pemungutan pajak itu sendiri.
2. Perlawanan Aktif : perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang
secara langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.

Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus yang biasanya
digunakan wajib pajak untuk menghindari pajak, yakni :
- Tax Avoidance (penghindaran pajak), adalah upaya penghindaran pajak yang
dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan
ketentuan perpajakan, dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung
memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-
undang dan peraturan perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang
terutang.
- Tax Evasion (penggelapan atau penyelundupan pajak) adalah upaya wajib pajak
menghindari pajak terutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan
yang sebenarnya. Cara ini tidak aman bagi wajib pajak, karena metode dan teknik
yang digunakan tidak berada dalam koridor undang-undang dan peraturan
perpajakan. Cara yang ditempuh berisiko tinggi dan berpotensi dikenai sanksi
pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, tax planner

9
yang baik, cara ini tidak direkomendasi untuk diaplikasikan. Tax evasion adalah
kebalikan dari tax avoidance.
- Tax saving (penghematan pajak), adalah upaya wajib pajak mengelak utang
pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada
pajak pertambahan nilainya, atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau
pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan
dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.

Dua cara yang dapat dilakukan oleh perencana pajak perusahaan, adalah tax saving dan
tax avoidance karena perbuatan seperti itu tidak melanggar undang-undang. Ada
kemiripan antara tax saving dan tax avoidance. Namun, secara teoritis pengertiannya
berbeda. Tax saving adalah usaha memperkecil jumlah pajak yang tidak termasuk
dalam ruang lingkup pemajakan, sedangkan tax avoidance adalah usaha yang sama
dengan cara mengeksploitasi celah-celah yang terdapat dalam undang-undang
perpajakan, karena aparat perpajakan todak dapat melakukan tindakan apa-apa. Pada
hakekatnya, tax avoidance merupakan perbuatan yang sifatnya mengurangi utang pajak
secara illegal dan bukan mengurangi kesanggupan atau kewajiban wajib pajak
melunasi pajak-pajaknya. Namun dalam melakukan tindakan tax avoidance ini harus
diupayakan agar tidak terperangkap dalam perbuatan tax evasion.

J. Cara-cara Pengelakan Pajak


Ada enam cara pengelakan pajak yang bisa dipraktikan, yaitu :
1. Penggeseran pajak (tax shifting)
2. Kapitalisasi (capitalization)
3. Transformasi (transformation)
4. Penyelundupan pajak (tax evasion)
5. Penghindaran pajak (tax avoidance)
6. Pengecualian pajak (tax exemption)
(Sophar, 1999 :489)

Penggeseran pajak (tax shifting) ialah pemindahan atau pentransferan beban pajak dari
subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau beban yang dikenakan
pajak mungkin sekali tidak menanggungnya. Ada dua jenis penggeseran pajak yang
sering dilakukan dalam pengelakan pajak :
1. Penggeseran pajak ke depan (forward shifting)
Penggeseran ini terjadi apabila pabrikan mentransfer beban pajaknya kepada penyalur
utama, pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen. Misalnya PPN. Penggeseran
ini mengakibatkan kenaikan harga sebesar pajak (PPN) yang dikenakan.
2. Penggeseran pajak ke belakang (backward shifting)
Penggeseran ini terjadi bilamana beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli
melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Penggeseran ini mengakibatkan pemotongan
harga jual sebesar pajak yang dikenakan kepadanya.

10
Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak yang besarnya sama dengan
jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi
jika pembeli harga tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban
pajak tidak menjadi tanggungan pembeli, maka beban pajak dialihkan kepada penjual.
Dengan demikian, harga beli harta menjadi berkurang. Kapitalisasi pajak ini dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk pengalihan pajak kebelakang.

Transformasi adalah cara pengelakkan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara
menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasanya dilakukan oleh
produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasar. Supaya
keuntungan perusahaan tidak berkurang maka beban pajak yang seharusnya dapat
ditransfer kepada konsumen, dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan.
Pengelakan pajak terjadi dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan
yang diperoleh melalui efisiensi produksi.

Tax avoidance menunjuk pada rekayasa tax affairs yang masih dalam bingkai ketentuan
perpajakan, sedangkan tax evasion berada diluar bingkai peraturan perpajakan, seperti
yang telah diuraikan diatas.

Pengecualian Pajak (Tax Exemption) adalah pengecualian pengenaan pajak yang


diberikan kepada perorangan atau badan berdasarkan undang-undang pajak.
Ada beberapa pengecualian pengenaan pajak yang diberikan oleh pemerintah sekarang ini,
misalnya :
- PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 yang diubah untuk ketiga kalinya
dengan PP No. 7 Tahun 2007 tentang Impor dan atau penyerahan barang kena pajak
tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan
nilai.
- Pasal 3 Undang-Undang PBB No.12 Tahun 1985 yang diubah dengan UU PBB No. 12
Tahun 1994 Tentang Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah objek pajak yang :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
social, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbalakala, atau yang sejenis dengan itu,
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
c. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat, berdasarkan asas perlakuan
timbal balik

11
d. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.

Selain karena adanya kesengajaan untuk mengurangi atau tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya, wajib pajak juga sering lalai dan baru sadar setelah ada pemeriksaan fiskus.
Kelalaian memenuhi kewajiban pajak yang harus dilakukan wajib pajak tidak saja terbatas
pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya, menurut Oliver Oldman
(Harnanto, 1994) kelalaian wajib pajak juga meliputi :
1. Ketidaktahuan (ignorance), yakni wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya
peraturan perpajakan tersebut.
2. Kesalahan (error), yakni wajib pajak paham undang-undang perpajakan tapi salah
dalam menghitung datanya.
3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yakni wajib pajak salah menafsirkan undang-
undang perpajakan.
4. Kealpaan (negliance), yakni wajib pajak alpa menyimpan buku beserta bukti-buktinya
secara lengkap

K. Rambu-rambu dalam penyusunan Tax Planning


Dalam strategi perpajakan, kita mengenal tax avoidance dan tax evasion. Dalam
praktik di lapangan, kedua metode penghindaran pajak tersebut tipis perbedaannya,
sehingga bisa terjadi bahwa apa yang pada awalnya didesain untuk melakukan tax
avoidance akhirnya terjebak melakukan tax evasion. Untuk menentukan legalitas tax
management/tax planning yang didesain, baik legal (tax avoidance) atau illegal (tax
evasion), rambu-rambu yang dapat dipakai adalah ketentuan pidana Pasal 38,
39,41,41A, 41B, dan 43 Undang-undang KUP No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan UU KUP No. 7 Tahun 2007.

L. Tahapan Pokok Tax Planning


Agar tax plan sesuai harapan, Barry Spitz (1983:86) mengemukakan tahapan-tahapan
yang harus ditempuh, yakni :
1. Analysis of the existing data base (melakukan analisis data base yang ada)
2. Design of one or more possible tax plans (membuat satu model atau lebih rencana
besarnya pajak)
3. Evaluating a tax plan (melakukan evaluasi atas perencanaan pajak)
4. Debugging the tax plan )mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana
pajak)
5. Updating the tax plan (memutakhirkan rencana pajak)

Tahapan Pertama – merupakan tahap analisis terhadap komponen-komponen yang


berbeda pengakuannya antara komersial dan fiskal, dan menghitung seakurat mungkin
beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Analisis ini dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara total pajak yang nantinya akan dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang
paling efisien.

12
Database yang harus dianalisis antara lain meliputi :
- Apakah terdapat kejanggalan atau komponen-komponen yang berbeda :
a. Dalam pembayaran dan pelaporan pajak bulanan PPh Psl. 21, PPh Badan dan
PPN.
b. Dalam pemotongan dan pelaporan pajak bulanan (PPh Psl. 23/26), PPh Psl. 4
(2)
c. Dalam SPT Tahunan PPh Psl 21 dan PPh Badan, dengan senantiasa
mengkaitkannya atau merekonsiliasikannya dengan pembukuan perusahaan
- Analisis implikasi fiskal atas suatu proyek yang sedang ditangani atau yang akan
datang

Tahapan Kedua - setelah melakukan tahapan awal, harus dibuat beberapa model
perencanaan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model perencanaan pajak
tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang
applicable dan paling efisien dan efektif untuk diimplementasikan. Contoh :
- Pemilihan bentuk usaha. Pada saat seorang investor akan memulai suatu usaha, dia
akan memilih bentuk usaha apa saja yang bisa memberikan hasil akhir (net profit
after tax) yang lebih besar buat dia, apakah perseroan terbatas (PT) , usaha
perorangan, atau firma/CV
- Bagi badan usaha yang telah go international atau perusahaan multinasional, treaty
shopping dapat dilakukan oleh para pengusaha dengan memanfaatkan tariff pajak
dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalam berbagai tax treaty yang telah disetujui
oleh masing-masing kepala negara, yang lebih menguntungkan mereka.

Tahapan Ketiga – tahap evaluasi perencanaan pajak


Tahap evaluasi yang sekaligus merupakan tahap pengendalian pajak ini merupakan
langkah akhir dalam manajemen pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk
memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Pengendalian
pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).
Dengan memperhatikan contoh diatas, pengendalian pajak dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Melakukan review atas pengkreditan Pajak Masukan, apakah faktur pajak yang
diterima memenuhi syarat sebagai faktur pajak standar
b. Melakukan review apakah faktur pajak telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu
c. Melakukan review apakah retur yang telah dicatat dan dilaporkan telah benar, baik
secara formal maupun materi.
Dalam tahap evaluasi perencanaan pajak, kita misalnya, dapat mengimplementasikan
program Tax Diagnostic Review (TDR), semacam program untuk menangani
kepatuhan wajib pajak yang dapat disusun sendiri oleh tax manager atau tax consultant
dari masing-masing perusahaan. Setelah menetapkan alternatif mana yang akan
digunakan, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil yang akan
diperoleh dari suatu perencanaan pajak.
Tujuan dilakukannya TDR adalah :

13
1. Untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2. Meminimalisasi terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan risiko perpajakan.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah adanya kemungkiman fiskus tidak setuju
dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible items) sehingga nantinya
akan merugikan perusahaan.
3. Meminimalisasikan sanksi perpajakan yang diakibatkan kesalahan pencatatan yang
dilakukan oleh unit bisnis dan kemudian memperbaikinya.
4. Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan
datang.
5. Mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan fiskus.

Tahapan keempat – dalam konsep manajemen, pengawasan atau pengendalian


(controlling) dapat dilakukan dengan dua cara, pengawasan preventif dan pengawasan
represif. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (tax plan) adalah
bentuk pengawasan refresif. Perencanaan pajak yang telah diimplementasikan harus
dimonitor dan di review terus dan dicari kelemahan dan kekurangannya. Terkadang ada
hal yang menyebabkan suatu rencana pajak memiliki kekurangan, baik yang
disebabkan adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya, sehingga
rencana pajak tersebut harus dikaji ulang dan bila ditemukan kelemahan harus segera
dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut agar rencana dan tindakan dapat
dilakukan tepat waktu. Penambahan biaya yang terjadi akibat adanya perubahan
rencana pajak harus diliat dari perspektif ekonomi, yakni bahwa benefit yang diperoleh
harus lebih besar dengan mengantisipasi kerugian yang akan timbul pada tingkat
kerugian yang minimum.
````````````````````````````````````
Tahapan Kelima – dalam melaksanakan perencanaan pajak, perlu diproyeksikan
perubahan yang terjadi saat ini dan yang akan datang dalam tax plan. Tax plan tersebut
harus terus dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan terkini, sehingga akibat yang
merugikan dari adanya perubahan dan perkembangan tersebut dapat sedini mungkin
diantisipasi. Dengan pemutakhiran, diharapkan perencanaan pajak yang sedang
berjalan tidak akan mengalami hambatan yang berarti.\
Sebagai bagian dari pemutakhiran tax plan tersebut, pengembangan rencana atau
perangkat tindakan dapat dilakukan, misalnya dengan mengadakan atau
mengintegrasikan sistem informasi (information system) yang memadai, dalam
kaitannya dengan penyampaian tax plan tersebut dan juga keefektifan pengendalian
pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan masalah-masalah
perpajakan yang dicantumkan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga tidak terjadi
pelanggaran ketentuan perpajakan.

14
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan
Semester Ganjil 2016/2017,17/9-16.

A. Harmonisasi Standar Akuntansi dan Undang-undang Perpajakan.

Undang-undang Pajak banyak mengacu pada standar metode akuntansi keuangan,


untuk menentukan saat di mana pendapatan atau penghasilan bruto, serta beban
pengurang penghasilan. Penghasilan adalah suatu aliran yang terjadi dari waktu ke
waktu dan untuk mengukurnya secara bermakna para akuntan membagi waktu kedalam
interval yang sama. Pembagian waktu demikian itu disebut konsep periodisasi, dan
interval waktu yang sama disebut periode akuntansi.Dengan ditetapkannya ketentuan-
ketentuan yang disebut prinsip, standar atau metode akuntansi kemudian diaplikasikan
untuk menentukan periode akuntansi dimana pendapatan atau penghasilan bruto dan
beban atau pengurang pnghasilan harus diakui dan dilaporkan.

Seperti halnya akuntansi keuangan, undang-undang perpajakan juga mendasarkan pada


suatu konsep dasar periode akuntansi sebagai acuan atau pedoman dalam menentukan
saat pengakuan terhadap penghasilan dan pengurang penghasilan atau beban.
Penghasilan merupakan suatu aliran yang tidak terputus dan dapat terjadi pada setiap
saat, sehingga jumlah yang pasti hanya dapat diketahui kelak pada saat kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh suatu entitas sebagai subjek atau waajib pajak dihentikan,
atau pada saat esistensi subjek atau wajib pajak dinyatakan berakhir. Untuk dapat
melakukan pengukuran, pencatatan, dan suatu laporan jumlah penghasilan akuntansi
membagi jangka waktu kelangsungan hidup setiap perusahaan sebagai entitas kedalam
berbagai interval waktu yang sama. Setiap interval (jangka) waktu dimana penghasilan,
pengurang penghaasilan dan beban diasosiasikan itu disebut periode akuntansi. Sekali
interval waktu tersebut ditetapkan, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dan lazim
disebut standar atau metode, dan tehnik akuntaansi diaplikasikan untuk menetapkan
periode di mana sejumlah penghasilan, pengurang penghasilan dan/atau beban harus
diasosiasikan.

Untuk tujuan pelaporan kepada pihak eksteren, laba atau rugi (selisih antara
pendapatan dengan beban atau biaya) dari perusahaan sebagai suatu kesatuan
akuntansi, pada umumnya diukur dan ditentukan untuk setiap jangka waktu misalnya

15
satu triwulan atau satu tahun. Sedangkan untuk pelaporan kepada manajemen, laba atau
rugi tersebut harus diukur atau ditentukan untuk setiap jangka waktu yang pendek,
misalnya bulanan atau mingguan. Karena fungsi dan tanggung-jawabnya, khususnya
yang berkatan dengan perencanaan dan pengendalian operasi perusahaan, manajemen
dapat saja menetapkan siklus atau periode pelaporan yang manapun, yang diyakini
mampu menyediakan informasi yang relevan dan bermanfaat baginya.

Interval waktu atau masa yang sama (yaitu tahunan) sebagai dasar perhitungan atas
pajak penghasilan yang terutang bagi setiap wajib pajak juga dianut oleh undang-
undang perpajakan (pasal 12 undang-undang nomor 7 tahun 1983), masa atau periode
perhitungan pajak demikian itu disebut sebagai tahun pajak. Prinsipnya bahwa tahun
pajak adalah tahun kalender atau tahun takwin dan dalam jangka waktu 12 bulan.

Suatu entitas sebagai wajib pajak diperkenankan untuk menggunakan tahun pajak
(masa perhitungan dan pelaporan pajak) yang tidak sama dengan tahun takwin atau
tahun kalender, misalnya tahun buku, namun untuk tujuan perhitungan dan pelaporan
pajaknya harus mengacu pada dua ketentuan tersebut, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut. Dengan tahun takwin (kalender) sebagai acuannya, maka penyebutan tahun
pajak senantiasa mengikuti tahun takwain; meskipun masa perhitungan pajaknya tidak
harus dimulai 1 Januari dan berakhir setiap tanggal 31 Desember, masa perhitungan
pajak itu sendiri tergantung pada apakah tahun pajak yang digunakan sama atau tidak
sama dengan tahun kalender. Untuk wajib yang menggunakan masa pembukuan (tahun
buku) sama dengan tahun kalender, maka tahun pajaknya adalah tahun kalender yang
bersangkutan, dengan masa perhitungan pajak dimulai pada setiap tanggal 1 Januari
dan berakhir pada tanggal 31 Desember pada tahun yang sama. Sedangkan bagi wajib
yang menggunakan masa pembukuannya (tahun buku) tidak sama dengan tahun
kalender, maka tahun pajaknya mengikuti tahun kalender yang didalamnya 6 bulan
pertama atau 6 bulan dari masa pembukuan tersebut, dengan masa perhitungan pajak
dimulai pada awal masa pembukuan sampai dengan akhir bulan yang ke 12. Jadi wajib
pajak yang harus mengisi dan menyampaikan SPT-Tahunan untuk tahun pajak
misalnya tahun pajak 2003 akan meliputi wajib pajak dengan masa pembukuan sebgai
berikut :

1. Wajib pjak dengan pembukuan sama dengan tahun kalender, untuk kelompok ini
masa perhitungan pajaknya akan mencakup masa 12 bulan yang dimulai sejak
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2003.
2. Wajib pajak yang masa penghitungannya tidak sma dengan tahun kalender, terdiri
dua kelompok wajib pajak yaitu :
a. Wajib pajak yang masa pembukuannya dumulai setelah tanggal 1 Juli 2002 dan
berakhir pada tanggal 30 Juni 2003, untuk kelompok wajib pajak ini masa
perhitungan pajaknya meliputi jangka waktu 12 bulan dimulai pada awal masa
pembukuannya.
b. Wajib pajak yang masa perhitungannya dimulai setelah tanggal 1 januari 2003
sampai dengan tanggal 1 Juli 2003 sehingga akan berakhir sebelum tanggal 30

16
Juni 2004, untuk kelompok wajib pajak ini, masa perhitungan pajaknya
meliputi jangka waktu 12 bulan dimulai pada awal masa pembukuannya.
Sebagai akibat, dari wajib pajak yang memulai masa pembukuannya dalam tahun 2003
justru tidak diwajibkan untuk mengisi dan meenyerahkan SPT tahunan untuk tahun
pajak 2003 yaitu para wajib pajak yang memulai tahun bukunya setelah tanggal 1 Juli
2003. Kewajiban untuk mengisi dan menyerahkan SPT Tahunan bagi kelompok wajib
pajak ini efektif pada tahun pajak 2004.

Seperti telah dikemukakan, bahwa pada dasarnya periode perhitungan pajak adalah
meliputi jangka waktu 1 tahun atau 12 bulan. Yang artyinya bahwa jangka waktu 12
bulan (tahun takwin) dipakai sebagai dasar untuk menentukan jumlah penghasilan kena
pajak, melaporkan, dan menentukan kewajiban atau jumlah pajak yang harus dibaya
oleh setiap wajib pajak pada setiap tahun pajaknya, ketentuan demikian itu dipakai
meskipun penghasilan yang didapat oleh wajib pajak hanya dalam jangka waktu
kurang dari 12 bulan dalam suatu tahun pajak.

B. Ketentuan Pembukuan dalam Perpajakan.

Surat pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk
melaporkan seluruh kegiatan usaha wajib pajak selama periode tertentu, juga
merupakaan sarana komunikasi antara wajib pajak dengan fiskus (petugas kantor
pajak) untuk mempertanggungjawabkan pemenuhan seluruh kewajiban perpajakan
perusahaan selama kurun waktu tertentu.

Dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak, SPT merupakan objek pemeriksaan, oleh
karena itu bagi wajib pajak yang wajib pembukuan disyaratkan harus melampirkan
laporan keuangan pada SPT Tahunan PPh wajib pajak badan sedangkan bagi wajib
pajak orang pribadi yang memenuhi syarat untuk tidak menyelenggarakan pembukuan,
wajib menyelenggarakan pencatatan dan melampirkan daftar/pderhitungan penghasilan
bruto pada SPT Tahunan untuk PPh Wajib Pajak orang pribadi.

Untuk dapat menyusun laporan keuangan, daftar/perhitungan penghasilan bruto dan


mengisi SPT dengan baik, maka sangat diperlukan adanya penyelenggaraan
pembukuan dan catatan yang baik oleh wajib pajak. Dan apabila kewajiban dalam
penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan ini tidak dipenuhi, maka besar
kemungkinan wajib pajak akan mengalami kesulitan pada saat menyusun Laporan
Keuangan dan mengisi SPT serta pada saat mempertanggungjawabkan kebenaran
pengisian SPT beserta lampirannya.

Disamping itu keberhasilan sitem self assessment yang berlaku saat ini sangat
tergantung pada penyelenggaraan akuntansi atau pembukuan yang memadai oleh wajib
pajak. Pembukuan yanag tidak baik akan menimbulkan banyak masalah baik antara
wajib pajak dengan petugas pajak, khususnya pada saat pelaksanaan pemeriksaan dan
penyidikan pajak maupun pada saat melakukan pengsian SPT dan lampirannya.

17
Apabila masyarakat wajib pajak tidak menyadari pentingnya pembukuan ini, hal itu
dapat merugikan wajib pajak itu sendiri, oleh karenanya, wajib pajak diminta
berpartisipasi positif dalam menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan secara baik
dan benar.

1. Pengertian Pembukuan dan Pencatatan.

Pengertian pembukuan menurut pajak berbeda dengan pengertian menurut


akuntansi. Menurut pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan perubahan terakhir Undang-undang Nomor 16
Tahun 2009 adalah sebagai berikut :

Menurut Pajak.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan yang berupa Neraca dan
Rugi-laba pada setiap tahun pajak berakhir.

Menurut Akuntansi.
Pembukuan adalah kegiatan mengumpulkan, mencatat, meringkas data transaksi
keuangan kedalam buku atau catatan yang telah disediakan serta pengendalian
proses akuntansi melalui prinsip pengendalian intern, pengukuran nilai transaksi
kedalam nilai moneter berdasarkan standar akuntansi yang berlaku, dan penyajian
hasil transaksi keuangan menjadi suatu informasi keuangan yang berguna bagi
pengambil keputusan. Informasi keuangan tersebut dikenal sebagai Laporan
Keuangan yang terdiri dari Neraca, Laporan Rugi-Laba, laporan Arus Kas dan
Penjelasan atas Laporan Keuangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, pengertian pembukuan untuk perpajakan lebih


mengacu kepada kebutuhan pengisian dan pelaporan SPT dan lampiran-
lampirannya. Laporan keuangan yang disyaratkan sebagai lampiran SPT juga hanya
Neraca dan Laporan Rugi-Laba, selanjutnyaa laporan ini disebut sebagai laporan
Fiskal. Karena yang penting dalam pembukuan untuk keperluan perpajakan adalah
bahwa pembukuan harus dapat dan mampu mendukung dan membuktikan
kebenaran angka-angka yang dilaporkan dalam SPT pada saat dilakukan
pemeriksaan atau penyidikan. Bagi wajib pajak yang melakukan pembukuan
berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum, cukup melakukan rekonsiliasi
fiscal saja, yaitu melakukan koreksi fiscal baik koreksi positif maupun koresi
negative atas elemen-elemen pada Neraca dan Rugi-Laba sesuai ketentuan
perpajakan yang berlaku.

Adapun pencatatan lebih sederhana dari pembukuan sebab objek yang dicatat
hanyalah transaksi omzet atau peredaran (penjualan) kotor sehari-hari, oleh karena

18
itu pengertian pencatatan menurut perpajakan adalah rekapitulasi atau daftar
penerimaan penghasilan dari penjualan atau sumber-sumber lainnya yang diterima
oleh wajib pajak sehari-hari.

2. Penggunaan Norma Penghitungan.

Pencatatan memang jauh lebih sederhana dari pada pembukuan karena wajib pajak
cukup mengadministrasikan terhadap peredaraan usaha saja, berhubung wajib pajak
tidak memiliki catatan atas biaya-biaya yang terjadi sebagai pengurang penghasilan
bruto maka untuk menghitung penghasilan neto wajib pajak dimaksud terhadap
setiap jenis penghasilan bruto yang diperoleh wajib pajak tersebut dikenakan tarif
dan norma penghitungan yang berlaku.

Dalam rangka pengawasan terhadap wajib pajak yang melakukan pencatatan, wajib
pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan maksudnya kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk menggunakan pencatatan dan norma penghitungan
penghasilan neto dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan. Apabila bagi wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan ternyata
tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (10)
Kitab Undang-undang Perpajakan (KUP) dan/atau tidak memberitahukan terlebih
dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan maka
wajib pajak yang memilih untuk menggunakan pencatatan tersebut akan
diperlakukan sebagai wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan dan
kepadanya akan dikenakan sanksi administrative berupa kenaikan sebesar 50% dari
PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak bersangkutan.

3. Syarat-syarat Pembukuan.

Dalam hal melakukan pembukuan wajib pajak harus memperhatikan hal-hal


sebagai berikut :
a. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau bahasa asing yang diijinkan oleh Menteri Keuangan;
b. Pembukuan harus meliputi seluruh usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan
oleh wajib pajak;
c. Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat asas;
d. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan keabsahannya;
e. Pembukuan harus dapat ditelusuri kembali apabila diperlukan;
f. Pembukuan harus ditutupi dengan membuat neraca dan perhitungan Rugi-Laba
pada setiap akhir tahun pajak.
Pada pasal 28 ayat (3) UUKUP menentukan bahwa pembukuan atau pencatatan
diselenggarakan dengan itikad baik dan harus mencerminkan keadaan usaha yang
sebenarnya.

19
4. Elemen Pembukuan.

Elemen-elemen pembukuan sesuai pasal 28 ayat (7) dapat diuraikan bahwa


pembukuan yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sebagai berikut :
a. Pembukuan tentang kas/bank, artinya bahwa keadaan kas/bank pada saat
periode tertentu dengan mencatat semua penerimaan dan pengeluaran kas/bank
pada sarana yang telah disediakan sehingga dapat diketahui saldo kas/bank pada
saat tertentu dan seluruh mutasi kas/bank selama periode tertentu dapat
diketahui.
b. Pembukuan tentang piutang, sehingga dari penghitungan tersebut dapat
diketahui hal-hal sebagai berikut :
1. Nama dan alamat lengkap debitur.
2. Jumlah piutang kepada masing-masing debitur.
3. Saat timbul maupun berkurangnya piutang.
4. Jenis piutang, misalnya piutang dagang, piutang kepada pegawai, piutang
kepada pemegang saham, piutang jangka panjang dan piutang jangka
pendek.
5. Hak penerimaan bunga.
6. Tanggal jatuh tempo piutang.
7. Jumlah piutang yang dapat dihapuskan.
8. Keterangan-keterangan lain yang berkaitan dengan piutang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tanggal


27 Pebruari 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
08/PJ.42/1999 tanggal 25 Februari 1999, tentang Penghapusan Piutang Tak
Tertagih yang boleh dikurangkan sebagai biaya, yang timbul di bidang usaha
bank, lembaga pembiayaan, industry, dagang dan jasa lainnya yang dapat
dibebankan sebagai biaya dalam menghitungan penghasilan kena pajak dengan
syarat :

1. Wajib pajak telah membebankan piutang tak tertagih tersebut sebagai


kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersil;
2. Menyerahkan nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih tersebut kepada
Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN);
3. Mengumumkan daftar nama-nama tersebut dalam suatu penerbitan;
4. Menyerahkan daftar piutang tak tertagih yang dihapuskan dengan
mencantumkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya serta dokumen lain
yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pajak.

c. Pembukuan tentang Persediaan.


d. Pembukuan tentang Harta yang dapat disusutkan/diamortisasi.
e. Pembukuan tentang harta lainnya.

20
f. Pembukuan tentang modal.
g. Pembukuan tentang penghasilan.

Undang-undang perpajakan mengatur pengertian penghasilan yang luas, yaitu


setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak itu sendiri. Penghasilan itu
dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak,
dapat dikelompokan menjadi :

1. Penghasilan dari pekerjaan bebas, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan public,
aktuaris, pengacara dan sebagainya.
2. Penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan.
3. Penghasilan dari modal, baik dari penghasilan berupa harta bergerak, seperti
bunga, dividen, royalty, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak
bergerak, sewa rumah.
4. Penghasilan lain-lain, misalnya dapat udian, menang lotre dan pembebasan
hutang.
5. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek Pajak dan Penghasilan-
penghasilan tertentu yang diatur secara khusus.

C. Pajak Tangguhan.

Definisi Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan


perpajakan dan pajak ini dekenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan dan
terdapat beberapa yaitu :

a. Pajak penghasilan final adalah pajak yang bersifat final, yaitu bahwa setelah
pelunasannya, kewajiban pajak yang telah selesai dibayar dan penghasilan yang
dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis pajak yang
lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final, pajak jenis ini
dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, karena transaksi atau usaha
tertentu.
b. Penghasilan kena pajak atau laba fiscal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss)
adalah laba atau rugi selama periode tertentu yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar pderhitungan pajak penghasilan.
c. Beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah
agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang
diperhitungkan dalam perhitungan laba atau rugi pada suatu periode tertentu.
d. Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) atas
penghasilan kena pajak pada periode tertentu.

21
e. Kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liabilities) adalah jumlah pajak
penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya
perbedaan temporer kena pajak.
f. Asset pajak tangguhan (deferred tax assets) adalah jumlah pajak penghasilan
terpulihkan (recoverable) pada pderiode mendatang sebbagai akibat adanya
perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
g. Perbedaan temporer (temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah
tercatat asset atau kewajiban dengan dasar pengenaan pajak (DPP)nya.
Perbedaan temporer dapat berupa :
1. Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah
perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak (taxable
amounts) dalam menghitung laba fiskal periode mendatang pada saat nilai
tercatat asset dipulihkan (recoverd) atau nilai tercatat kewajiban tersebut
dilunasi (settled);
2. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary
differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah
yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam perhitungan laba fiskal
periode mendatang pada saat nilai tercatat asset dipulihkan (recovered) atau
nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi.

Kewajiban pajak tangguhan, terjadi karena adanya perbedaan temporer kena pajak
yang timbul sebagai akibat dari madanya pemulihan suatu aktiva yang terkait
dengan penghasilan atau keuntungan, yang akan dikenakan atau terutang pajak
dalam periode setelah pengakuannya sebagai elemen laba-rugi akuntansi dan
pemulihan suatu aktiva yang terkait dngan biaya atau kerugian yang dapat
dikurangkan atau diakui sebagai biaya fiskal dalam periode sebelum pengakuannya
sebbagai elemen laba-rugi akuntansi. Semua perbedaan temporer kena pajak
(taxable temporary differences) harus diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan
kecuali untuk yang timbul dari goowill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan
atau diperllakukan sebagai biaya untuktujuan fiskal dan atau untuk pengakuan awal
aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang bukan merupakan transaksi
penggabungan usaha serta tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba
fiskal.

22
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan
Semester Ganjil 2016/2017,24/9-16.

A. Pengertian aktiva tetap.

Agar dapat menghasilkan produk untuk memenuhi tujuannya, perusahaan harus


memiliki asset, karena jika tidak memiliki asset maka tidak ada perusahaan yang dapat
menghasilkan suatu produk untuk dijual, yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Asset yang dimiliki oleh
perusahaan dapat dikelompokan kedalam beberapa kelompok sesuai dengan kreteria
yang dimiliki, mulai dari asset lancar, asset tidak berwujud dan asset berujud.

Setiap perusahaan akan memiliki jenis dan bentuk asset tetap yang berbeda satu dengan
lainnya, bahkan perusahaan yang bergerak dibidang yang sama belum tentu memiliki
asset tetap yang sama, apalagi perusahaan yang memiliki bidang usaha yang berbeda.
Umumnya asset tetap yang sering terlihat dapat berupa kendaraan, mesin, bangunan,
tanah dan sebbagainya. Walaupun setiap perusahaan memilki rincian asset yang
berbeda, terdapat kreteria yang dapat digunakan untuk menentukan suatu asset yang
dapat dikelompokan ke dalam beberapa kelompok.

Pengertian asset tetap adalah barang berwujud milik perusahaan yang sifatnya relatife
permanen dan digunakan dalam kegiatan normal perusahaan, bukan untuk diperjual
belikan. Sesuai pengertian tersebut, jelas bahwa tidak setiap asset perusahaan dapat
dikelompokan sebbagai asset tetap, untuk dapat dikelompokan sebagai asset tetap,
suatu asset harus memiliki kreteria sebagai berikut :

23
1. Berwujud, berarti asset tersebut berupa barang yang memiliki wujud fisik, bukan
sesuatu yang tidak memilki bentuk fisik seperti goodwill, hak paten dan sebagainya.
2. Umum lebih dari satu tahun, artinya bahwa asset tersebut harus dapat digunakan
dalam operasi perusahaan lebih dari satu tahun atau satu periode akuntansi,
walaupun memiliki bentuk fisik, namun jika masa manfaatnya kurang dari satu
tahun seperti kertas, tinta printer, pensil, penghapus, selotip dan sebaginya tidak
dapat dikategorikan sebagai asset tetap. Dan yang dimaksudkan dengan umur asset
tersebut adalah umur ekonomis, bukan umrur tehnis, yaitu jika waktu dimana suatu
asset dapat digunakan secara ekonomis oleh perusahaan.
3. Digunakan dalam operasi perusahaan, artinya barang tersebut harus dapat
digunakan dalam operasi normal perusahaan, yaitu dipakai untuk menghasilkan
pendapatan bagi perusahaan, jika suatu asset memiliki wujud fisik dan berumur
lebih dari satu tahun tetapi rusak dan tidak dapat diperbaiki sehingga tidak dapat
dipakai untuk operasional perusahaan, bukan karena umur tehnis, maka asset
tersebut harus dikeluarkan dari kelompok asset tetap.
4. Tidak diperjual-belikan, artinya bahwa suatu asset berwujud yang dimiliki
perusahaan dan umurnya lebih dari satu tahun, tetapi dibeli perusahaan dengan
maksud untuk dijual kembali, oleh karena itu asset ini tidak dapat dikatagorikan
sebagai asset tetap dan harus dimasukan ke dalam kelompok persediaan.
5. Material, artinya bahwa barang milik perusahaan yang berumur lebih dari satu
tahun dan digunakan dalam operasi perusahaan tetapi nilai atau harga per unitnya
atau harga totalnya relatif tidak terlalu besar dibandingkan dengan total asset
perusahaan, tidak perlu dimasukan sebagai asset tetap. Barang-barang yang bernilai
rendah seperti pulpen, sendok, piring, stepler, jam meja, dan sebagainya tidak perlu
dikelompokan sebagai asset tetap. Memang tidak ada ketentuan baku berapa yang
dapat ditetapkan minimal suatu barang agar dapat dikelompokan sebagai asset tetap,
namun setiap perusahaan dapat menentukan kebijakan masing-masing mengenai
kriteria tersebut.
6. Dimiliki perusahaan, artinya bahwa asset berwujud yang bernilai tinggi yang
digunakan dalam operasi perusahaan dan berumur lebih dari satu tahun, tetapi
disewa perusahaan dari pihak lain, barang tersebut tidak boleh dikelompokan
sebagai asset tetap, misal kendaraan sewaan, walaupun digunakan untuk
operasional perusahaan dalam jangka panjang, tetap tidak boleh diakui sebagai asset
tetap.

B. Pengelompokan, Penilaian dan Penyajian.

a. Pegelompokan.
Asset tetap dapat berupa kendaraan, mesin, bangunan, tanah dan sebagainya namun
dari berbagai jenis asset tetap yang dimiliki perusahaan untuk tujuan akuntansi
dapat dikelompokan kedalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Asset tetap yang umurnya tidak terbatas, seperti tanah tempat kantor atau
bangunan pabrik berdiri, lahan pertanian, dan lahan peternakan, asset jenis ini

24
adalah asset tetap yang dapat digunakan secara terus-menerus selama
perusahaan menghendakinya tanpa harus memperbaiki atau menggantinya.
2. Asset tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa manfaatnya
bisa diganti dengan asset lain yang sejenis, seperti bangunan, mesin, kendaraan,
computer, mebel, dan sebagainya. Aset tetap kelompok kedua ini adalah jenis
asset tetap yang memiliki umur ekonomis maupun umur tehnis yang terbatas,
oleh karena itu jika secara ekonomis sudah tidak menguntungkan atau beban
yang dikeluarkan daripada manfaatnya, maka asset tetap seperti ini harus diganti
dengan asset lain (asset baru).
3. Asset tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa manfaatnya
tidak dapat diganti dengan asset yang sejenis, seperti tanah untuk pertambangan
dan hutan, kelopok asset tetap ini yang ketiga merupakan asset tetap sekali
pakai dan tidak dapat diperbaruhi karena kandungan atau isi dari asset itulah
yang dibutuhkan, bukan wadah luarnya. Tanah yang digunakan untuk
pertambangan memang tetap masih ada saat kandungan emas atau minyaknya
habis, tetapi bukan tanah itu sendiri yang mendorong perusahaan membeli atau
berinvestasi, melainkan emas atau minyaknya habis. Memang hutan dapat
ditanami kembali tetapi memerlukan waktu yang sangat lama dan beban yang
sangat besar.

b. Penilaian dan Penyajian

Asset tetap yang dimiliki perusahaan biasanya mempunyai nilai yang cukup matrial
dibandingkan dengan total asset yang dimiliki perusahaan tersebut, oleh karena itu
metode penilaian dan penyajian asset tetap sebuah perusahaan akan berpengaruh
terhadap laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan, berkaitan dengan
penilaian dan penyajian asset tetap Standar Akuntansi Keuangan mengijinkan salah
satu dari dua metode yang dapat digunakan, yaitu :

1. Berbasis harga perolehan, adalah metode penilaian asset yang didasarkan pada
jumlah pengorbanan ekonomis yang dilakukan perusahaan untuk memperoleh
asset tetap tertentu sampai asset tetap tersebut siap digunakan, yang berarti
bahwa nilai asset tetap yang disajikan dalam laporan keuangan adalah jumlah
rupiah historis pada saat memperoleh asset tetap tersebut dikurangi dengan
akumulasi penyusutannya.
2. Berbasis revaluasi (nilai pasar), adalah metode penilaian asset yang didasarkan
pada harga pasar (market value) ketika laporan keuangan disajikan,
penggunakan metode ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang
nilai asset tetap yang dimiliki peruusahaan pada suatu waktu tertentu. Karena
nilai suatu asset tetap tertentu seringkali sudah tidak relevan dengan kondisi
ketika laporan keuangan disajikan oleh perusahaan. Sebagai contoh sebidang
tanah yang dibeli perusahaan 10 tahun yang lalu harganya pasti sudah berlipat
ganda pada saat ini, jika tanah tersebut disajikan dengan menggunakan biaya

25
historis, maka dianggap tidak mencerminkan lagi kondisi actual asset tetap
perusahaan ketika laporan keuangan disajikan.
Dilihat dari keemudahan untuk mendapatkan informasi tentang harga pasar
(market value) suatu asset tetap tertentu, asset tetap dapat dikelompokan
kedalam tiga tingkatan yaitu :
a. Asset yang harganya selalu tersedia setiap saat dan mudah diketahui,
sepertyi harga surat berharga di bursa efek, harga berbagai saham dan
obligasi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dapat dengan mudah diketahui
oleh siapa saja dan kapanpun diperlukan. Asset dalam kelompok ini mudah
sekali menggunakan nilai pasar sebagai dasar penilaian dan penyajiannya
karena ketersediaan data serta cukup objektif nilainya.
b. Asset yang harganya tidak selalu tersedia setiap saat dan tidak langsung
diketahui dengan mudah, seperti harga properti dan berbagai mesin yang
dimiliki perusahaan, untuk tanah dan bangunan yang dimiliki perusahaan
memang selalu memiliki nilai pasar, tetapi harganya akan selalu berbeda
antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan asset tetap tersebut. Untuk
menilai harga asset tetap tersebut datanya tidak selalu tersedia setiap saat,
walaupun di Indonesia dapat menggunakan nilai jual objek pajak (NJOP)
yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak untuk asset berwujud tanah, akan tetapi
untuk bangunan, mesin-mesin dan kendaraan mungkin harus menggunakan
jasa perusahaan appraisal/penaksir agar dapat dicantumkan dalam laporan
keuangan secara objektif.
c. Asset tetap yang harga pasarnya tidak tersedia dan dan tidak mudah
diketahui, asset tetap semacam ini biasanya dimiliki oleh sebuah perusahaan
karena pesanan khusus akibat keunikan usaha perusahaan tersebut, atau
karena hibah yang diberikan oleh pihak lain. Contohnya gedung pembeku
daging atau ikan, gedung pembeku semacam itu biasanya dibangun secara
khusus untuk kebutuhan perushaan pemasok daging atau ikan yang
harganya tidak tersedia di pasar. Bagi perusahaan yang memiliki bidang
usaha yang berbeda tidak akan memerlukan asset tetap semacam ini, oleh
karena itu asset tetap semacam ini sulit untuk menggunakan dasar market
value dalam penyajian asset tetap dilaporan keuangannya.

C. Penyusutan berdasarkan standar akuntansi keuangan.

1. Pengertian penyusutan adalah pengalokasian harga perolehan asset tetap


menjaddi beban ke dalam periode akuntansi yang menikmati manfaat dari asset
tetap tersebut.

Total pengeluaran yang terjadi pada suatu periode akuntansi untuk memperoleh asset
tetap tertentu tidak boleh dibebankan seluruhnya sebagai beban periode berjalan, jika
pengeluaran tersebut dibebankan seluruhnya pada periode berjalan akan berakibat
beban pada periode berjalan akan terlalu berat sedangkan beban periode berikutnya
yang ikut menikmati dan memperoleh manfaat dari asset tetap tersebut menjadi terlalu

26
ringan. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakadilan dalam proses pembebanan
suatu pengeluaran karena periode dimana asset tetap terseebut dibeli bebannya menjadi
terlalu besar, sedangkan periode berikutnya menjadi terlalu ringan. Karena itu agar
keadilan pembebanan pengeluaran dapat terjadi harus dilakukan penyusutan terhadap
asset tetap tersebut.

Terdapat tiga faktor yang perlu untuk dipertimbangkan dalam menentukan beban
penyusutan setiap periodenya :

a. Harga perolehan, yaitu keseluruhan uang yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu
asset tetap sampai siap digunakan oleh perusahaan.
b. Nilai sisa (residu), yaitu taksiran harga jual asset tetap pada akhir masa manfaatnya,
untuk setiap perusahaan akan memiliki taksiran yang berbeda satu dengan lainnya
atas ssuatu asset tetap yang sama, jumlah taksiran nilai residu juga akan sangat
dipengaruhi oleh unsur ekonomisnya seperti misalnya adanya inflasi, nilai tukar
mata uang, bidang usahanya dan sebagainya.
c. Taksiran umur kegunaan, yaitu taksiran masa manfaat dari asset tetap, masa
manfaat adalah taksiran umur ekonomis dari asset tetap tersebut bukan umur tehnis.
Taksiran masa manfaat dapat dinyatakan dalam satuan periode waktu, satuan hasil
produksi atau satuan jam kerja.
2. Metode perhitungan penyusutan.

Untuk mengalokasikan harga perolehan suatu asset tetap ke periode yang


menikmati asset tetap tersebut bukan hanya dapat digunakan satu metode saja,
tetapi ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung beban
penyusutan secara periodik, yaitu :

a. Penyusutan dengan metode garis lurus (straight line method), adalah metode
perhitungan penyusutan asset tetap dimana setiap periode akuntansi diberikan
beban yang sama secara merata, beban penyusutan ini dihitung dengan cara
mengurangi harga perolehan dengan nilai sisa (residu) dan dibagi dengan umur
ekonomis asset tetap tersebut
Rumusnya = Harga perolehan-Nilai residu/umur ekonomis asset tetap.
Contoh perhitungannya, P.T. Kimiawindo adalah produsen bahan kimia yang
berkedudukan di Jakarta, pada tanggal 1 April 2012 membeli mesin di Jepaang
dengan harga Rp.25.000.000, ongkos kirim Rp.45.000.000, bea masuk ke
Indonesia Rp.50.000.000 dan biaya pemasangan Rp.15.000.000,- sehingga
dengan total harga mesin setelah dipasang di pabrik sebesar Rp.360.000.000,-
dan dapat dioperasikan secara ekonomis selama 12 tahun atau 25.000 jam kerja
dalam tempo 12 tahun, mesin itu diperkirakan dapat digunakan untuk
menghasilkan bahan kimia sebanyak 30.000 ton dan pada tahun ke 12
diperkirakan mesin tersebut dapat dijual dengan harga Rp.60.000.000,-
Beban penyusutannya = 360.000.000 – 60.000.000 / 12 tahun = Rp.25.000.000,-

27
b. Penyusutan dengan metode jam jasa (service hour method), adalah metode
perhitungan penyusutan asset tetap dimana beban penyusutan pada suatu
periode akuntansi dihitung sesuai berapa jam periode akuntansi tersebut
menggunakan asset tetap itu. Semakin lama asset tetap digunakan dalam suatu
periode, semakin besar beban penyusutannya, demikian pula jika yang terjadi
sebaliknya.
Rumusnya = Harga perolehan-Nilai residu/taksiran jam pemakaian total.
Contoh perhitungannya, P.T. Kimiawindo membeli mesin pada tahun 2012 yaitu
sejak awal bulan April hingga bulan Desember 2012 mesin tersebut digunakan
selama 1.500 jam kerja, maka beban penyusutannya selama tahun 2012 dapat
dihitung sebagai berikut :
Beban penyusutannya = 360.000.000-60.000.000/25.000 jam kerja =
Rp.12.000,-
Karena mesin tersebut selama tahun 2012 digunakan selama 1.500 jam kerja
maka perhitungannya menjadi Rp.000 X 1.500 jam kerja = Rp.18.000.000,-
c. Penyusutan dengan metode hasil produksi, adalah metode perhitungan
penyusutan asset tetap dimana beban penyusutan pada suatu periode akuntansi
dihitung berapa banyak produk yang dihasilkan selama periode akuntansi
tersebut dengan menggunakan asset tetap tersebut. Semakin banyak produk
yang dihasilkan dalam suatu periode, semakin besar beban penyusutannya.
Besarnya beban penyusutan asset tetap dihitung dengan cara mengurangkan
taksiran nilai residu dari harga perolehannya, dan membagi hasilnya dengan
taksiran jumlah produk yang akan dihasilkan dari asset tetap tersebut selama
umur ekonomisnya. Dari hasil pembagian tersebut akan diketahui beban
penyusutan per unit produk, jumlah tersebut kemudian dijadikan dasar untuk
mengalikan dengan jumlah unit produk yang dihasilkan secara actual selama
suatu periode, sehingga diketahui beban penyusutan asset tetap pada suatu
periode tertentu.
Rumusnya = Harga perolehan-Nilai residu/taksiran jumlah total produk
yang dihasilkan.
Dari contoh soal tersebut diatas maka cara menghitung penyusutan metode hasil
produksi adlah sebagai berikut :
Beban penyusutan = 360.000.000 – 60.000.000/30.000 ton = Rp.10.000/ton.
d. Penyusutan dengan metode beban menurun (reducing charge method) terdapat
empat metode yaitu metode jumlah angka tahun (sun of yers digits method),
metode saldo menurun (declining balance method), saldo menurun berganda
(double declining balance method) dan tariff menurun (declining rate on cost
method) dari keempat metode tersebut yang akan di bahas adalah metode
jumlah angka tahun, adalah metode penyusutan asset tetap, dimana beban
penyusutan pada suatu periode akuntansi dihitung dengan cara mengalikan
harga perolehan asset tetap yang telah dikurangi dengan nilai sisanya dengan
bagian pengurang yang setiap tahunnya selalu berkurang. Bagian pengurang
tersebut dihitung dengan cara membagi bobot untuk tahun bersangkutan dengan
jumlah angka tahun selama umur ekonomis asset tetap tersebut.

28
Rumusnya = Harga perolehan-Nilai residu X bobot untuk tahun yang
bersangkutan/jumlah angka tahun umur ekonomisnya.
Contoh soal pada awal tahun 2013 P.T. Alam Sari membeli kendaraan untuk
operasional berupa kendaraan truk seharga Rp.500.000.000, secara tunai.
Kendaraan tersebut akan digunakan selama 5 tahun dan pada akhir tahun ke 5
kendaraan tersebut dijual dengan harga Rp.200.000.000,- hitung beban
penyusutannya :

Thn Bobo Bagian Perhitungan penyusutan Beban


t pengurang penyusutan
1 5 5/15 5/15 X (500.000.000-200.000.000) 100.000.000
2 4 4/15 4/15 X (500.000.000-200.000.000) 80.000.000
3 3 3/15 3/15 X (500.000.000-200.000.000) 60.000.000
4 2 2/15 2/15 X (500.000.000-200.000.000) 40.000.000
5 1 1/15 1/15 X (500.000.000-200.000.000) 20.000.000
Jumlah 15 15/15 Akumulasi penyusutan 300.000.000

Untuk menghitung jumlah bobot keseluruhan, jika jumlah tahun umur


ekonomisnya asset tetap tersebut cukup banyak, dapat menggunakan metode :
Jumlah angka tahun = n (n+1) dimana n = taksiran umur ekonomis asset tetap
2

= 5 (5+1) = 15
2

D. Penyusutan berdasarkan peraturan perpajakan.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, dan telah beberapakali dilakukan
perubahan, dengan perubahan terakhir Nomor 17 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000
tentang Pajak Penghasilan. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk lebih memberikan
keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak serta agar lebih dapat
diciptakan kepastian hukum. Pasal 11 ayat (1) bahwa penyusutan atas pengeluaran
untuk pembelian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali
tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
tersebut. Ayat (2) penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, selain bangunan dapat
juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tariff penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
azas. Ayat (3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pekerjaan harta tersebut. Ayat (4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak, wajib pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta

29
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

1. Penyusutan.

Harta yang dapat disusutkan adalah harta yang berwujud yang dimiliki dan
dipergunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dengan masa manfaat lebih dari satu tahun, kecuali tanah. Tanah tidak
dapat disusutkan kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan
atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah yang dipergunakan
oleh perusahaan genteng.

Namun dalam sistem penyusutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan


perpajakan, semua harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
dikelompokan menjadi 4 kelompok sesuai dengan masa manfaatnya, dan masing-
masing kelompok harta ditentukan prosentase penyusutannya. Dasar penyusutannya
dihitung dari nilai buku atau nilai perolehan (tergantung metode penyusutan yang
digunakan). Untuk golongan bangunan dasar penyusutannya ditetapkan 5% setiap
tahunnya.

Apabila terjadi penarikan harta berwujud dari pemakaian karena dihibahkan,


disumbangkan atau diwariskan, maka untuk memperoleh dasar penyusutan untuk
harta kelompok 1,2 dan 3 adalah jumlah sebesar harga sisa buku dari harta tersebut
dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan dan untuk harta
kelompok bangunan adalah jumlah sebesar harga perolehan dari harta tersebut
dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.

Apabila terjadi penarikan harta karena sebab biasa atau sebab luar biasa maka
penyusutannya dihitung sebagai berikut :
a. Harta berwujud dari kelompok 1,2 dan 3 karena sebab luar biasa, maka jumlah
sebesar harga sisa buku dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar
penyusutan dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan bagian kerugian
dalam tahun terjadinya penarikan harta tersebut. Dan jika terjadi penarikan
karena sebab biasa, maka penerimaan neto dari harta yang bersangkutan
dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.
b. Kelompok bangunan, oleh karena sebab luar biasa maupun sebab biasa maka
harga perolehan dikurangkan dari jumlah awal kelompok bangunan untuk
memperoleh dasar penyusutan, sedangkan jumlah sebesar harga sisa bukunya
dibebankan sebagai biaya pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.

2. Amortisasi.

a. Terhadap harga perolehan harta tak berwujud yang dipergunakan dalam usaha
atau pekerjaan bebas untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan

30
termasuk biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus
diamortisasikan sesuai dengan masa manfaatnya.
b. Biaya pendirian dan biaya perluasan diamortisasi dengan tarif pajak 50% dari
nilai buku, kecuali apabila wajib pajak menggap biaya tersebut sebagai biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, sehingga dapat
dibebankan seluruhnya sebbagai biaya pada periode yang bersangkutan.
c. Biaya untuk memperoleh hak-hak pengembangan selain minyak dan gas dan
hak pengusahaan hutan diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dan
setingi-tingginya 20% setahun, namun apabila pada akhir masa produksi biaya
tersebut belum habis diamortisasi maka sisa biaya yang belum diamortisasi
tidak diperbolehkan dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang
bersangkutan melainkan harus diamortisasi setingi-tingginya 20% setahun.
Apabila ternyata jumlah produksi sebenarnya lebih kecil dari pada jumlah
cadangan yang diperkirakan sehingga masih terdapat sisa biaya untuk
memperoleh harta tak berwujud (hak) yang belum diamortisasikan, maka sisa
biaya tersebut diperbolehkan untuk dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
d. Biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum masa operasi perusahaan yitu misalnya
untuk memperoleh hak atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun diamortisasikan saat perusahaan beroperasi. Penyusutan dan
amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak diperbolehkan melakukan penyusutan
mulai pada bulan harta tersebut mulai dipergunakan dalam perusahaan atau
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau
pada saat harta yang bersangkutan menghasilkan, sedangkan harta yang masih
dalam proses pengerjakan penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan harta tersebut.

E. Strategi dari perencanaan pajak.

1. Jurus perencanaan pajak.

Seperti pada banyak kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini, ada empat
modus yang digunakan wajib pajak dalam menyusun perencanaan pembayaran
pajaknya, namun sebagian wajib pajak melakukan perencanaan perpajakannya
dengan cara illegal (tax evasion) dengan prinsip :
a. Kalau bisa tidak membayar pajak sama sekali, walaupun cara ini tidak
melanggar Undang-undang Perpajakan, namun cara ini tidak direkomendasikan
karena sebagai warga Negara yang baik kita harus memahami bahwa Negara
kita sedang membutuhkan dana dari setoran pajak untuk membiayai
kelangsungan pembangunan.
b. Kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, mereka akan mengurangi
pembayaran pajaknya dengan tidak melanggar undang-undang perpajakan,

31
umumnya mereka memanfaatkan grea area ketentuan perepajakan yang
berlaku.
c. Kalau bisa digeser waktunya, karecna dari pada bayar sekarang lebih baik
membayar tahun depan, sehingga deengan demikian maka wajib pajak akan
dapat menikmati bunga uangnya jika jumlah uang tersebut diperhitungankan
sebagai investasi.
d. Jika ketiga-tiganya tidak ketemu, maka wajib pajak akan melakukan
pembayaran pajaknya.

2. Konsep perencanaan pajak.

Pada saat ingin mendirikan badan usaha sebelum dimulai harus dipertimbangkan
apakah badan usaha yang akan didirikan berbentuk badan hukum perseorangan atau
badan, karena jika usahanya berbentuk usaha perseorangan akan berlaku tarif
progresif, bila diestimasi penghasilannya Rp.50.000.000,- tarifnya 5%, namun jika
perorangan berlaku ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) misalnya
contoh PTKP tahun 2014 sebesar Rp.24.300.000/tahun untuk wajib pajak sendiri
(dengan maksimal 3 anak) atau Rp.2.025.000/bulan. Dan jika untuk pajak badan
tahun 20110 sebesar 25% dan tidk ada PTKP, dan jika sudah berbentuk badan
hukum harus dipertimbangkan lagi apakah berupa Firma atau Perseroan Terbatas
(PT) karena pengenaan pajaknya sama yang berbeda adalah konsekuensi
hukumnya.

Beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan pajak


perusahaan yaitu :

a. Maksimalkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan, seringkali bagian


pembukuan perusahaan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-
biaya tertentu, sehingga waktu dilakukan pemeriksaan oleh petugas kantor pajak
(fiskus) biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangankan, misalnya biaya
promosi, biaya pemasaran dan biaya keamanan di bukukan sebagai biaya
sumbangan. Karena berdasrkan Undang-undang Perpajakan sumbangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya sehingga tidak dapat menjadi pengurang
penghasilan perusahaan.
b. Merger antara perusahaan yang terus-menerus rugi dengan perusahaan yang
untung, dengan demikian secara kelompok perusahaan akan membayar pajak
atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya. Sesuai peraturan menteri
keuangan nomor 43/PMK.03/2008 pasal 3 antara lain, bahwa jika kedua
perusahaan tersebut digabungkan (meger) dengan menggunakan nilai buku,
tidak boleh mengkompensasikan atas kerugian atau sisa kerugian dari wajib
pajak yang menggabungkan diri atau waajib pajak yang melebur. Akumulasi
kerugian perusahaan yang merugi bisa dikompensasi dengan selisih lebih atas
penilaian kembali aktiva tetap hasil revaluasi aktiva tetap yang dilakukan

32
berdasarkan nilai pasar yang wajar dan atas selisih lebih setelah kompensasi
kerugian tersebut dikenai PPh final 10%.
c. Menunda penghasilan, misalkan buku perusahaan ditutup pada tanggal 31
Desember, pada bulan Desember tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak
atas laba akibat lonjakan permintaan tersebut sudah harus ddibayar paling
lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya. Disamping itu angsuran PPh pasal
25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar, namun bila
dimungkinkan pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen agar
penyerahan barang dilakukan pada awal Januari tahun berikutnya sebab dengan
demikian pembayaran pajaknya dapat ditunda satu tahun lagi.
d. Percepatan pembebanan biaya, pada akhir tahun fiscal sebaiknya dilakukan
review untuk melihat apakah ada biaya-biaya yang dapat dibebankan pada tahun
ini, misalnya biaya konsultan hukum, konsultan pajak dan auditor. Dengan
demikian seperti halnya dengan penundaan penghasilan perusahaan dapat
menunda pembayaran pajaknya selama satu tahun lagi.
e. Strategi efisiensi untuk menekan beban pajak perusahaan, adalah dapat
melakukan dengan cara merekayasa biaya-biaya yang berkaitan dengan
pembayaran kepada karyawan, tetapi hal ini sangat tergantung perusahaan,
misalnya
1. Perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak dan pengenaan PPh
badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin dalam memberikan
kesejahteraan kepada karyawannya yang berbentuk natura atau kenikmatan
karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, sebaiknya
dalam memberikan kesejahteraan karyawanya dalam bentuk natura atau
kenikmatan, karena pemberian natura atau kenikmatan kepada karyawan
tidak termasuk objek PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian
dan kenikmatan tersebut akan mempengaruhi besarnya PPh badan, karena
PPh badan final dihitung dari presentasi atas penghasilan broto sebelum
dikurangi biaya-biaya, dan bagi perusahaan yang masih rugi pemberian
natura atau kenikmatan akan menurunkan PPh pasal 21 sementara PPh
badannya tetap nihil.
f. Hindari beban orang lain untuk tidak menjadi beban sendiri, banyak kejadian
dalam praktek bisnis internasional, perusahaan local terpaksa menanggung
pajak yang seharusnya menjadi beban perusahaan yang ada di luar negeri
tersebut karena tidak teliti melihat klausul perpajakannya dalam kontrak
perjanjian. Ini dapat dihindari bila kita memahami aspek perpajakan
internasional, seperti Tax Treaty, misalkan pembelian barang dari luar negeri
tetapi bila penyerahan barang tersebut dilakukan didalam negeri (dalam daerah
pabean Indonesia) maka atas menyerahan barang kena pajak tersebut menjadi
terutang PPN.
g. Beberapa perangkat fasilitas perpajakan, dalam undang-undang perpajakan di
Indonesia khususnya undang-undang pajak peenghasilan dan undang-undang
PPN dan PPnBM, kita menjumpai beberapa fasilitas perpajakan antara lain :

33
1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal,
dibebankan selama enam tahun masing-masing sebesar 5%/tahun.
2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :

Kelompok Aktiva Masa Manfaat Tarif Penyusutan


Tetap Berwujud Met. Garis Lurus Met Saldo
Menurun
I. Bukan Bangunan :
Kelompok I 2 Tahun 50% 100%
Kelompok II 4 Tahun 25% 50%
Kelompok III 8 Tahun 12.5% 25%
Kelompok IV 10 Tahun 10% 20%

II. Bangunan :
Permanen 10 Tahun 10% -
Tidak permanen 5 Tahun 20% -

3. Pengenaan pajak penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek


Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tariff yang lebih
rendah menurut persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun, tetapi tidak lebih
dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut :
- Tambahan 1 tahun ; apabila penanaman modal baru pada bidang usaha
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 1 Tahun 2007, dilakukan
di kawasan industry dan kawasan berikat.
- Tambahan 1 tahun ; apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500
(lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-
turut.
- Tambahan 1 tahun ; apabila penanaman modal baru memerlukan investasi
atau pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan social di lokasi usaha
paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,-
- Tambahan 1 tahun; apabila mengeluarkan biaya penelitian dan
pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau
efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun.
- Tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen
hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak
tahun ke 4 (empat).
5. Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi sumbangan penanggulangan
bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas
pendidikan dan sumbangan pembinaan olahraga (Pasal 6 ayat (1) huruf I, J,
K,L dan M UU PPh No 36 Tahun 2008)

34
6. Atas impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 7 Tahun 2007).
7. Barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ke kawasan berikat diberi
penangguhan bea masuk; dan atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka
Impor (Pasal 14 PP No. 32 Tahun 2009 Jo PP No. 2 Tahun 2009).
8. Atas impor barang untuk keperluan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak dan gas bumi yang diimpor oleh kontraktor bagi hasil (production
sharing contract) minyak dan gas bumi diberikan fasilitas pembebasan bea
masuk dan pajak dalam rangka impor,yakni PP N,PPn BM,dan PPh
Pasal 22 Impor, tidak dipungut (Pasal 2 Per Menkeu No 20/PMK.010/2005)
9. PPN tidak dipungut atas penyerahan avtur kepada maskapai penerbangan
untuk keperluan penerbangan internasional, sepanjang perjanjian pelayanan
transportasi udara mencantumkan atas timbale balik (Pasal 2 PP No. 26
Tahun 2005).
10. Bebas Pajak (PPN, PPn BM, PPh Pasal 22) untuk proyek pembangunan
Pulau Bintan dan kawasan pendukung sekitarnya (Pasal 1 PP No.30 Tahun
1995).
11. Percepatan restitusi untuk WP patuh. Dari semula 1 tahun menjadi 1 bulan
(PER-1/PJ/2008)
Kesemuanya ini merupakan cost driver (pemacu biaya) yang bisa menjadi
penyebab produk cost perusahaan berbeda dengan pesaingnya dalam industri
tertentu.

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan


Semester Ganjil 2016/2017,01/10-16.

A. Revaluasi Aktiva Tetap.

Bila SPT Tahunan Badan yang melampirkan Laporan Keuangan Fiskal sudah
dimasukan ke Kantor Pelayayan Pajak setelah berakhirnya masa pajak tahunan yang
bersangkutan, maka pada saat itu juga terdapat pengakuan secara fiskal (sebelum
pemeriksaan pajak) apakah perusahaan mengalami kerugian atau mendapatkan laba
usaha. Laba/rugi fiskal tersebut sebenarnya adalah hasil dari perhitungan laba/rugi
komersial setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal baik positif maupun

35
negatif. Jika pengeluaran yang diperkenankan, setelah dikurangkan dari penghasilan
bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto
atau laba fiskal selama 5(lima) tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Untuk menyiasati kerugian perusahaan dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan


terdapat beberapa strategi yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan kelangsungan
hidup perusahaan dari kerugian yang lebih parah antara lain :

1. Melakukan revaluasi aktiva tetap, hal ini perlu dilakukan karena ada
ketidaksesuaian yang cukup materiil antara unsur biaya dengan penghasilan yang
diakibatkan adanya perkembangan atau fluktuasi harga baik harga barang atau
fluktuasi nilai tukar mata uang yang tinggi. Jadi tindakan revaluasi dimaksudkan
agar perusahaan dapat melakukan perhitungn biaya dan penghasilan secara wajar
yang dapat mencerminkan kemampuan dan nilai perusahaan yang sesungguhnya,
manfaat dari revaluasi bagi perusahaan sebagai berikut :

a. Posisi kekayaan perusahaan yang tercermin dalam neraca perusahaan akan


menunjukan posisi yang sama atau mendekati harga pasar yang wajar, sehingga
nilai solvabilitas perusahaan akan semakin tinggi dimata investor atau calon
investor dan pemakai laporan keuangan tersebut, karena semakin solvable suatu
perusahaan akan semakin tinggi tingkat kepercayaan para investor atau calon
investor terhadap bonafiditas perusahaan dan akan semakin tinggi pula nilai
perusahaan yang dicerminkan dengan semakin baiknya nilai saham perusahaan
(bagi perusahaan yang telah Tbk) tercatat di pasar modal.
b. Terjadi peningkatan struktur modal (capital structure) sendiri, dimana debt to
equity racio (DER) atau perbandingan antara pinjaman (debt) dengan modeal
sendiri (equity) menjadi membaik. Dengan membaiknya DER tersebut
perusahaan akan lebih mudah menarik dana melalui pinjaman dari pihak ketiga
atau melalui emisi saham untuk meningkatkan likuiditasnya.
c. Perhitungan biaya dan penghasilan dilakukan secara lebih wajar, karena
perhitungan harga pokok akan menghasilkan nilai yang mendekati harga pokok
yang wajar.

Dalam melakukan revaluasi, kita harus mempertimbangkan beberapa hal anatara


lain sebagai berikut :

1. Apakah perusahaan mengalami rugi atau laba fiscal ?


2. Apakah rugi fiscal tersebut sudah pernah dikopensasi kerugian di tahun-tahun
sebelumnya dan kapan batas terakhir kopensasi kerugian tersebut.
3. Bgaimana dampak revaluasi tersebut terhadap bebap pajak di masa yang akan
datang.

B. Tarif PPh atas Revaluasi Aktiva Tetap.

36
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap adalah merupakan objek pajak
penghasilan sesuai undang-undang perpajakan Nomor 36 tahun 2008 Pasal 4 m yaitu
atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap tersebut nilai sasa buku fiskal semula
dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%, namun sesuai peraturan
menteri keuangan nomor 79/PMK.03/2008 dan pasal 4m undang-undang perpajakan
nomor 36 tahun 2008 jo. Peraturan dirjen pajak nomor PER-12/PJ/2009 jo. SE-
56/PJ/2009, untuk hal tersebut contohnya sebagai berikut :

P.T. ABC pada awal tahun 2006 membeli aktiva tetap berupa mesin pabrik seharga
Rp.920.000.000, dari data pembukuan diinformaasikan perusahaan dalam melakukan
penyusutan menggunakan metode penyusutan garis lurus dan digolongkan dalam aktiva
tetap kelompok 2 (yaitu dengan masa manfaat 8 tahun), pada awal tahun 2010
perusahaan jasa penilai (appraiser) yang diakui pemerintah (telah mendapatkan ijin dari
pemerintah) melakukan penilaian yang hasil peneilainnya dilaporkan bahwa nilai wajar
mesin saat ini sebesar Rp.700.000.000,-

Apakah perusahaan P.T. ABC sebaiknya melakukan revaluasi ? jika :

a. P.T. ABC tidak mengalami rugi fiskal.


b. P.T. ABC mengalami rugi fiskal pada tahun 2006 sebesar Rp.800.000.000 dan
hingga tahun 2010 bari dilakukan kompensasi kerugian sebesar Rp.500.000.000,
sedangkan laba tahun berjalan tahun 2011 dipredeksi swebesar Rp.500.000.000,-

Jawabannya adalah sebagai berikut :

a. Bila P.T. ABC tidak mengalami rugi fiskal sampai dengan tahun 2010.

Perhitungannya :

Harga perolehan mesin 920.000.000


Akumulasi penyusutan dari tahun 2006-2010 (5/8 x 920.000.000) 575.000.000
Nilai buku mesin 345.000.000
Nilai revaluasi mesin 700.000.000
Selisih lebih penilaian kembali 355.000.000

Selisih lebih penilaian kembali tersebut buklanlah perkiraan pendapatan bagi


perusahaan, tetapi terwujud dalam penambahan atau penurunan nilai aktiva tetap
akibat revaluasi, serta perkiraan lawanya (contra account) dibukukan dalam akun
modal (equitas) dengan nama “selisih penilaian kembali aktiva tetap” sehingga
penyusutan ditahun berikutnya didasarkan atas nilai baru setelah revaluasi. Atas
selisih lebih penilaian kembali tersebut dikenakan PPh final 10% atau sebesar
Rp.35.500.000,-

37
Oleh karena perusahaan tidak mengalami rugi fiskal, maka pertimbangannya adalah
dengan cara membandingkan nilai tunai (present value) dari kenaikan biaya
penyusutan setelah dilakukan revaluasi dengan cash flow, perusahaan yang
keluarkan untuk membayar PPh final. Bila nilai penyusutan tersebut lebih besar dari
PPh final 10%, maka tidakan revaluasi tersebut dapat dijalankan sebagai berikut :

b. Bila perusahaan mengalami rugi fiskal.

Perhitungannya sebagai berikut.

Rugi fiskal tahun 2006 Rp.800.000.000,-


Kompensasi kerugian terhadap laba tahun 2011 Rp.500.000.000,-
Kompensasi kerugian yang hangus bila
perusahaan tidak melakukan revaluasi Rp.300.000.000,-

Sesuai pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan, kompensasi kerugian ditetapkan seelama 5(lima) tahun dan kompenasi
kerugian terhadap laba perusahaan telah dilaksanakan dari tahun 2006 hingga tahun
2010 atau sama dengan 4(empat) tahun tinggal sisanya selama 1(satu) tahun lagi.
Keadaan yang demikian dari pada kompensasi kerugian tersebut hangus lebih baik
perusahaan melakukan revaluasi pada tahun 2011, karena “selisih lebih dari hasil
penilaian kembali”tersebut harus dikompensasi dulu terhadap rugi fiskal sehingga tidak
dikenakan PPh final, namun jika tidak dilakukan revaluasi, maka perusahaan akan rugi
karena kompensasi kerugian yang hangus sebesar Rp.300.000.000,- Untuk itu
bagaimana caranya perusahaan melakukan revaluasi ? dan apa dampaknya terhadap
PPh final ?, caranya adalah bahwa :

Selisih lebih penilaian kembali Rp.355.000.000,-


Rugi fiskal tahun 2011 Rp.800.000.000,-
Selisih lebih penilaian kembali (net) setelah kompensasi Rp.445.000.000,-

Artinya dari contoh tersebut diatas, laba perusahaan melakukan revaluasi, maka
perusahaan tidak perlu membayar PPh final sebesar 10% karena akun selisih lebih dari
penilaian kembali (net) setelah kompensasi dilakukan masih terdapat sisa negatife,
maka tambahan biaya yang timbul dari selisih lebih penilaian kembali sebesar
Rp.355.000.000 tersebut dapat dibiayakan secara bertahap melalui penyusutan sesuai
dengan umur aktiva tetap yang bersangkutan setelah revaluasi.

C. Penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.

Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan dengan ketentuan sebbagai berikut :

38
1. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak termasuk perusahaan
yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa inggris dan
mata uang dolar AS, dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi kewajiban pajaknya
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian
kembali.
2. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan dilakukan
terhadap seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan dan hak guna usaha, tidak termasuk tanah yang terletak atau
berada di Indonesia, dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
3. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajjakan tidak dapat
dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5(lima) tahun terhitung sejak
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang penilaian kembali
aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
4. Sisa kerugian tidak dapat diperhitungkan lagi dalam penentuan pajak penghasilan
yang bersifat final atas penilaian kembali aktiva tetap perusahaan yang dilakukan
untuk tujuan perpajakan.
5. Pelunasan pajak penghasilan yang bersifat final yang terutang dalam rangka
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dapat dilakukan secara angsuran dalam
jangka waktu paling lama 12(dua belas) bulan.
6. Perusahaan yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap harus mendapatkan
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak dengan cara mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak yang membawahi kantor pelayanan
pajak tempat perusahaan tersebut terdaftar (KPP domisili) dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 (SE-56/PJ 2009 jo PER-12/PJ/2009 jo PMK
No.79/PMK.03/2008)

Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku fiskal
semula, dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%, selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap dapat dikapitalisasi kepada pemegang saham, dan saham
tersebut dapat dibagikan kepada pemegang saham berupa saham bonus.
Saham bonus yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap yang
dibagikan kepada pemegang saham, bukan merupakan dividen sehingga tidak
dikenakan pajak penghasilan sesuai PP Nomor 138/2000 pasal 1.

D. Pengukuran aktiva tetap sesuai PSAK Nomor 16 yang berbasis IFRS.

Dengan diberlakukannya PSAK Nomor 16 yang berbasis IFRS (International Financial


Reporting Standards) yang telah berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2008 sebagai
konsekfensi adanya kesepakantan pemerintah Indonesia sebagai anggota G 20 Forum,
maka penyesuaian tersebut telah menghadirkan sejumlah perubahan dalam pengukuran

39
aktiva tetap. Perubahan yang cukup mendasar justru terjadi pada aturan main
pengukuran asset atau aktiva tetap setelah pengakuan awal. Diantara perubahan
tersebut, sekarang ini suatu entitas/perusahaan/badan diberi kesempatan untuk
menentukan kebijakan akuntansinya dalam mengukur aktiva tetap setelah pengakuan
awal. Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi
sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh
asset tetap dalam kelompok yang sama sesuai PSAK Nomor 16 paragraf 29 (berbunyi :
suatu entitas harus memiliki model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai
kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh asset tetap
dalam kelompok yang sama).

Model revaluasi, adalah setelah diakui sebagai asset tetap, maka suatu asset tetap yang
nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasi yaitu nilai
wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penysutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan
dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastkan bahwa jumlah tercatat tidak
berbeda secara material dari jumalh yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar
pada tanggal Neraca.

Frekfensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu asset tetap yang
direvaluasi, jika nilai wajar dari asset tetap yang direvaluasi berbeda secara material
dari jumlah tercatatnya maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa asset tetap
yang mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif sehingga
dengan demikian perlu dilakukan revaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti
ini tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan, namun
demikian asset tetap tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap 3(tiga) atau 5(lima)
tahun sekali.

Apabila suatu asset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi
diperlukan dengan cara disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam
jumlah tercatat bruto dari asset tetap sehingga jumlah tercata asset tetap revaluasi sama
dengan jumlah revaluasinya, metode ini sering digunakan apabila asset tetap yang
direvaluasi dengan cara memberi indek untuk menentukan biaya pengganti yang telah
disusutkan atau dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari asset tetap dan jumlah
tercatat neto setelah eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasi dari asset
tetap tersebut dan metode ini sering digunakan untuk bangunan. Jumlah penyesuaian
yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan membentuk
bagian dari kenaikan atau penurunan dalam jumlah tercatat asset tetap meningkat atau
menurun akibat revaluasi maka peningkatan atau penurunannya diakui dalam laporan
rugi-laba.

Sebelum model biaya dan model revaluasi tersebut diimplementasikan, revaluasi aktiva
tetap dalam akuntansi cenderung tidak diperkenankan kecuali ditentukan berdasarkan
peraturan pemerintah karena PSAK hanya menganut konsep historical cost

40
berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Dengan aturan main yang baru
inirebvaluasi aktiva tetap bisa dilakukan setiap saat entitas tersebuit mengalami
perubahan nilai wajar aktiva tetap secara signifikan dan fluktuatif.

Contoh, pada awal tahun 2009 P.T. ABC yang bergerak dibidang usaha perkebunan
kelapa sawit membeli traktor dengan harga perolehan sebesar Rp.600.000.000. Mesin
traktor tersebut masuk dalam kelompok II dalam undang-undang pajak penghasilan
(PMK Nomor 96/PMK.03/2009) dengan masa manfaat 8 tahun, dan untuk penyusutan
aktiva tetapnya P.T. ABC menggunakan metode garis lurus, dengan asumsi tidak ada
nilai residu.

Pengakuan awal di P.T. ABC


Harga perolehan mesin traktor yang dibeli tanggal 2 – 1 - 2009 Rp.600.000.000,-
Akun penyusutan mesin traktor sampai dengan tanggal 31-12-2010 Rp.150.000.000,-
Nilai buku (book value) per tanggal 31 – 12 – 2010 Rp.450.000.000,-

Jurnal penyesuaiannya tahun 2009 dan tahun 2010 :


Tanggal 31 Desember 2009
Beban penyusutan mesin traktor Rp. 75.000.000,-
Akumulasi Penyusutan mesin traktor Rp. 75.000.000,-
Tanggal 31 Desember 2010
Beban penyusutan mesin traktor Rp. 75.000.000,-
Akumulasi Penyusutan mesin traktor Rp. 75.000.000,-

Dalam rangka pengukuran asset tetapnya setelah pengakuan awal, direksi P.T. ABC
memutuskan untuk menggunakan model revaluasi terhitung awal tahun 2011.
Berdasarkan revaluasi asset tetap per 31 Desember 2010 diketahui nilai wajar mesin
traktor tersebut sebesar Rp.550.000.000, oleh sebab itu untuk mengukur asset tetapnya
dibukukan sebagai berikut :

Jurnal penyesuaian per 31 – 12 – 2010


Alternatif 1 = Akumulasi penyusutan mesin traktor Rp.100.000.000,-
Surplus revaluasi Rp.100.000.000,-

Alternatif 2 = Akumulasi penyusutan mesin traktor Rp.150.000.000,-


Mesin traktor (600.000.000 – 550.000.000) Rp. 50.000.000,-
Surplus revaluasi
Rp.100.000.000,-

E. Perlakuan akuntansi terhadap Surplus Revaluasi.

Dalam PSAK Nomor 16 yang menyatakan bahwa Jika jumlah asset tetap tercatat
meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut lasung dicatat di kredit pada ekuitas pada
bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba-

41
rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai asset tetap akibat revaluasi yang pernah
diakui sebelumnya dalam laporan laba-rugi. Dan jika asset tetap tercatat turun akibat
revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba-rugi, namun penurunan nilai
akibat revaluasi tersebut langsung di debit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi
selama perusahaan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk asset
tersebut.
Mengacu pada pasal 5 PMK Nomor 79/PMK.03/2008 mengenai pengenaan PPh yang
bersifat final sebesar 10% atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap, maka pencatatan
akuntansinya adalah sebagai berikut :

Jurnal penyesuaian per 31 – 12 – 2011


Alternatif 1 = Akumulasi penyusutan mesin traktor Rp.100.000.000,-
Surplus revaluasi Rp.90.000.000,-
Utang PPh final Rp.10.000.000,-

Alternatif 2 = Akumulasi penyusutan mesin traktor Rp.150.000.000,-


Mesin traktor (600.000.000 – 550.000.000) Rp. 50.000.000,-
Surplus revaluasi Rp.
90.000.000,-
Utang PPh final (10% X Rp.100.000.000) Rp.10.000.000,-

Metode apapun yang akan diamplikasikan apakah cost model atau revaluation model,
sebelum diputuskan sebaiknya setiap entitas selektif menimbang plus minusnya
masing-masing metode, dilihat dari aspek perpajakannya, biaya atau compliance
costnya, cash flownya dan penyajian dalam laporan keuanganya.

F. Penggabungan usaha (merger).

Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha, penggabungan usha adalah
penggabungan dari dua atau lebih wajib pajak badan yang modalnya terbagi atas saham
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak
mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil, sementara itu untuk peleburan usaha adalah
penggabungan dari dua atau lebih wajib pajak badan yang modalnya terbagi atas saham
dengan cara mendirikan badan usaha baru (Permenkeu No.43/PMK.03/2008).

Pada industri perbankan, peristiwa penggabungan usaha ini banyak dilakukan para
pembisnis perbankan setelah krisis perekonomian terjadi diwilayah ekonomi Asia
Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 yang berdampak pada terjadinya kemelut
industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak bank menghadapi masalah bahkan
koleps akibat krisis tersebut, dalam rangka pengupayakan penyelamatan dari bank-
bank yang masih bertahan dilakukan dengan cara “restrukturisasi finansial” atau
dengan merger atau akuisisi.

42
Proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk mempercepat penyelesaian
kemelut keuangan di salah satu bank peserta, dengan melakukan merger dan akuisisi
akan diperoleh peningkatan modal perusahaan sehingga CAR(capital adequacy ratio)
akan meningkat sehingga dapat memanage biaya serta memperbesar margin bunga
pinjaman. Untuk itu wajib pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai
buku dengan beberapa ketentuan seperti yang tercantum dalam Peraturan menteri
Keungan Nomor 43/PMK.03/2008) sebagai berikut :

1. Wajib pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku tidak boleh
mengkompensasikan kerugian ( sisa kerugian) dari wajib pajak yang
menggabungkan diri atau wajib pajak yang dilebur.
2. Wajib pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta
tersebut sesuai nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau
pihak-pihak yang mengalihkan.
3. Sebaliknya, jika penyusutan atas harta yang diterima bagi pihak yang menerima
pengalihan harta tersebut dilakukan pencatatanya berdasarkan masa manfaat yang
tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak
yang mengalihkan.

Dalam rangka melakukan penggabungan (merger) atau peleburan usaha (kosolidasi),


wajib pajak juga dapat mengajukan permohonan pengurangan Bea Peroleehan Ha katas
Tanah dan Bangunan bila terjadi pengalihan ha katas tanah atau bangunan sesuai
peraturan Dirjen Pajak Nomor 29/PJ/2009, dengan persyaratan sebagai berikut :

1. Mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak dengan melampirkan alas an dan


tujuan melakukan merger dan atau melakukan pemekaran usaha.
2. Melunasi seluruh utang pajak dari tiap-tiap badan usha yang terkait.
3. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Sehubungan dengan permohonan kepada Dirjen Pajak tersebut, terhadap wajib pajak
dilakukan pemeriksaan rutin dengan mendasarkan pada data SPT rugi tidak lebih bayar,
dan data wajib pajak badan yang melakukan penggabungan usaha, peleburan,
pemekaran, pemecahan usaha, pengambilalihan usaha dan likuidasi/penutupan usaha.

G. Menunda biaya penyusutan.

Menunda biaya penyusutan harta berwujud hanya diperbolehkan bagi wajib pajak yang
bergerak dalam bidang usaha tertentu dengan kreteria bahwa harta berwujud tersebut
berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok
dalam bidang usaha tertentu, yaitu :

1. Bidang usha kehutanan, yang meliputi tanaman kehutanan, kayu.


2. Bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras.
3. Bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan.

43
Dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dapat melakukan penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
telah ditentukan bagi harta tersebut.
b. Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut termasuk di dalamnya
biaya pembelian bibit, biaya untuk memperbesar dan memelihara bibit, tetapi
tidak termasuk sebagai pengeluaran biaya yang berhubungn dengan tenaga
kerja.
c. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut
dimulai pada bulan produksi komersial, yakni bulan dimana penjualan mulai
dilakukan.

Berdasarkan persetujuan Dirjen Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan


pada bula harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai
menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai produksi dan tidak
dikaitkan dengan saat diterima atau diperoleh penghasilan.

Contoh P.T. ABC yang bergerak di bidang perkebunan tanaman ubi-casava yang
merupakan bahan baku tapioka, membeli traktor pada bulan Maret 2005. Traktor
tersebut memiliki masa manfaat ekonomisnya selama 8 tahun (golongan II), masa
panen hanya 9 bulan, sehingga perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen)
pada bulan Januari 2006, dengan persetujuan Dirjen Pajak, penyussutan traktor
tersebut dapat dilakukan mulai bulan Januari 2006, maka permohonan untuk
menunda penyusutan harus ndisampaikan oleh wjib pajak dalam tahun dilakukan
pengeluaran untuk pembelian mesin tersebut. Penundaan penyusutan adalah salah
satu cara untuk menggeser beban perusahaan ke masa pajak berikutnya, sehingga
akan mengurangi kerugian wajib pajak dari tahun yang sedang berjalan.

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan

44
Semester Ganjil 2016/2017,08/10-16.

A. Sewa Guna Usaha.

Pengertian sewa guna usaha adalah perjajian antara perusahaan sewa guna usaha
(lessor) yang menyewakan dan penyewa guna usaha (lessee) yang menyewa untuk
menyewa guna usaha suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih atau ditentukan
oleh penyewa guna usaha. Menurut Surat Keputusan menteri Keuangan Nomor 1169
Tahun 1991, adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.

Penyewa guna usaha (lessee), adalah perusahaan atau perorangan yang


menggunakan peralatan/barang modal dengan pembiayaan dari pihak perusahaan
sewa guna usaha.

Perusahaan sewa guna usaha (lessor), adalah perusahaan sewa guna usaha yang
melakukan pembiayaan peralatan/barang modal kepada perusahaan atau
perorangan sebagai penyewa guna usaha.

Hak kepemilikan atas barang modal tersebut ada pada perusahaan sewa guna usaha,
sedangkan penyewa guna usaha hanya menggunakan barang modal tersebut
berdasarkan pembayaran uang sewa guna usaha yang telah ditentukan oleh perusahaan
sewa guna usaha untuk suatu jangka waktu tertentu. Pada akhir periode sewa guna
usaha, penyewa guna usaha mempunyai hak opsi untuk membeli barang modal tersebut
dengan nilai sisa (umumnya berkisar 10%) atau mengembalikan barang tersebut kepada
perusahaan sewa guna usaha. Perjanjian sewa guna usaha tidak dapat dibatalkan,
kecuali ada kejadian kelalian. Dalam pembiayaan melalui sewa guna usaha ini terdapat
3(tiga) aspek yaitu :
1. Dana dari pemilik modal yang tadinya menganggur atau tak dapat disalurkan untuk
investasi maupun kelebihan likuiditas dari sektor perbankkan dapat diaktifkan dan
disalurkan melalui perusahaan sewa guna usaha.
2. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi barang-barang
modalnya, karena perusahaan sewa guna usaha dapat membiayaan seluruh investasi
untuk keperluan tersebut, selain itu juga keuntungan dalam perpajakannya.
3. Adanya sewa guna usaha dalam sistim moneter ini menambah pilihan pembiayaan
usaha disamping cara-cara pembiayaan konvensional yang ada.

Bagan alur sewa guna usaha.


Modal A.
1. Penyewa guna usaha menghubungi perusahaan sewa guna usaha untuk
melakukan pembelian peralatan/barang melalui kontrak sewa guna usaha,
perusahaan sewa guna usaha menyerahkan barang.

45
2. Setelah barang diterima, penyewa guna usaha melakukan pembayaran cicilan
pada perusahaan sewa guna usaha.
Model A
(1) kontrak sewa guna usaha Perusahaan
Penyewa Sewa Guna
Guna Usaha (2) Pembayaran cicilan
Usaha

Model B
1. Penyewa guna usaha melakukan negosiasi pembelian barang dengan pemasok.
2. Penyewa guna usaha memilih untuk memanfaatkan pembiayaan sewa guna
usaha, maka dibuat kontrak sewa guna usaha dengan perusahaan sewa guna
usaha.
3. Perusahaan sewa guna usaha memberikan order pembelian barang kepada
pemasok.
4. Penyerahan barang dari pemasok ke pihak penyewa guna usaha.
5. Perusahaan sewa guna usaha melakukan pembayaran atas pembelian barang
kepada pemasok.
6. Penyewa guna usha sesuai dengan kontrak sewa guna usaha akan melakukan
pembayaran cicilan kepada perusahaan sewa guna usaha.
Model B
Penyewa (1) Negosiasi untuk membeli Pemasok
Guna (3) penyerahan barang
Usaha

(2) kontrak sewa guna usaha (3) order

(6) Perusahaan (5) pembayaran


Pembayaran cicilan sewa guna
usaha

B. Keuntungan dan Kelemahannya Pembiayaan Sewa Guna Usaha.

Pembiayaan melalui sewa guna usaha ini tentu mengandung keuntungan, kerugian,
kebaikan dan juga kelemahan, terdapat beberapa keuntungan pembiayaan sewa guna
usaha antara lain :
1. Kuntungannya.
a. Adanya tambahan sumber dana, dengan cara sewa guna usaha, penggunaan
perlatan barang modal dapat diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang seperti
halnya kalau dengan cara pembiayaan untuk memperoleh barang modal, maka
banyak perusahaan yang menggunakan strategi pembiayaan dengan kombinasi
sewa guna usaha dengan cara pembiayaan konvensional lainnya.
b. Kemampuan untuk memperoleh pinjaman, sebagai tambahan sumber dana maka
cara sewa guna usaha sebagai pembiayaan tidak akan menurunkan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh pinjaman atau plafon pinjaman perusahaan

46
karena sewa guna usaha dinyatakan secara terbuka dalam laporan keuangan
perusahaan.
c. Kepastian, suatu perjanjian sewa guna usaha adalah pembiayaan untuk jangka
menengah, dan perjanjian sewa guna usaha tidak dapat dibatalkan secara
sepihak jika terjadi perubahan dalam perekonomian maupun kebijakan moneter
dengan memaksa penyewa guna usaha untuk membayar kembali semua
angsuran sewa guna usaha yang terhutang, kecuali adanya kejadian kelalaian
oleh penyewa guna usaha.
d. Perlindungan terhadap inflasi, artinya bahwa dalam perekonomian yang dilanda
inflasi, cara pembiayaan sewa guna usaha atas peralatan/barang modal dengan
kontrak harga berdasarkan yang berlaku pada hari ini, maka semua
pembayaraan cicilan/angsuran yang ditetapkan pada saat kontrak sewa guna
usaha ditutup.
e. Tingkat pembayaran cicilan, tingkat pembayaran cicilan/angsuran disesuaikan
dengan tingkat penerimaan yang dihasilkan dari pemakaian peraltan/barang
yang disewa guna usahakan.
f. Pembatasan angsuran, artinya bahwa pembelian atas peralatan/barang modal
yang tidak ada dalam rencana anggaran atau dalam pengeluaran modal dapat
diperoleh melalui sewa guna usaha dimana pembayaran-2 angsuran sewa guna
usaha digolongkan sebagai biaya operasional perusahaan bukan untuk
kepentingan investasi.
g. Pembiayaan untuk semua kebutuhan, artinya bahwa pembiayaan melalui cara
sewa guna usaha kadang kala mencapai seluruh kebutuhan dana yang
diperlukan untuk memperoleh peralatan/barang modal yang disewa guna usaha
tanpa adanya uang muka dan biasanya cicilan pertama yang didalamnya biaya-
biaya yang timbul untuk mendapatkan peralatan/barang modal tersebut,
sedangkan jika cara pembiayaan melalui kredit bank diperlukan adanya uang
muka.
h. Tingkat suku bunga tetap atau mengambang untuk pembayaran sewa guna
usaha, artinya bahwa dalam sewa guna usaha adanya keluwesan/fleksibel dalam
penggunaan beban bunga apakah dengan suku bunga tetap atau mengambang
sehingga ada alternatif pilihan bagi penyewa guna usaha, dengan mengetahui
perkembangan suku bunga dimasa datang maka penyewa guna usaha dapat
memilih alternatif beban suku bunga yang tepat agar terhindar adanya fluktuasi
tingkat suku bunga.

2. Kelemahannya.

a. Bagi penyewa guna usha adalah :


1. Suku bunganya lebih tinggi bila dibandingkan suku bunga kredit di bank.
2. Adanya jaminan tambahan seperti sertifikat tanah mapun deposito.
3. Tidak ada masa tenggang, jadi sudah harus mulai membayar pada saat
penandatanganan kontrak dilaksanakan.
b. Bagi perusahaan sewa guna usaha.

47
1. Risiko yang melekat pada peralatan/barang modal itu sendiri, kemungkinan
adanya kenakalan penyewa guna usaha untuk menjual dan dijual/sewa balik
peralatan/barang modal tersebut kepada perusahaan sewa guna usaha yang
lain, atau sebaliknya peralatan/barang tersebut milik perusahaan sewa guna
usaha lain tetapi dijual dan sewa balik kepada perusahaan sewa guna usaha
lain tanpa diketahui karena sifat dan lokasi peralatan barang itu sendiri.
2. Adanya fluktuasi suku bunga, artinya bahwa dapat menimbulkan risiko
bunga bagi perusahaan penyewa guna usaha, karena antara investasi
perusahaan sewa guna usaha dalam peralatan/barang modal yang disewa
guna usahakan dengan sumber dana pembelenjaan tidak sesuai
(ketidaksesuaian antara investasi dengan pembelanjaan dalam jangka waktu
tertentu).

C. Jenis-jenis sewa guna usaha.

Sewa guna usaha seperti hutang jangka panjang, dimana perusahaan dapat memperoleh
penggunaan aktiva tetap tertentu dengan serangkaian surat perjajian secara periodik,
terdapat beberapa jenis sewa guna usaha yaitu sebagai berikut :
1. Jual dan sewa balik (sale and leaseback), artinya bahwa dalam transaksi jual dan
sewa balik ini peralatan/barang modal itu sendiri sudah ada pada penyewa guna
usaha. Penyewa guna usaha menjual kepada perusahaan sewa guna usaha dan
serentak atau pada saat yang sama mengadakan lease dari perusahaan sewa guna
usaha atas peralatan/barang modal tersebut, penyewa guna usaha memperoleh harga
jual yang wajar dari perusahaan sewa guna usaha dan mempunyai kewajiban untuk
membayar cicilan/angsuran sewa guna usaha kepada perusahaan sewa guna usaha.
2. Sewa guna usaha biasa (operating lease), adalah sewa guna usaha biasa yang
merupakan suatu perjanjian dimana peralatan/barang yang disewa guna usha tidak
seluruhnya diamortisasikan untuk jangka waktu sewa guna usaha diperjanjikan dan
perusahaan sewa guna usaha tidak mengharapkan keuntungan dari uang sewa guna
usaha selama sewa guna usaha, tetapi mengharapkan keuntungan dari penjualan
peralatan/barang tersebut setelah jangka waktu sewa guna usaha berakhir. Biasanya
peralatan/barang seperti ini adalah peralatan/barang yang bertehnologi tinggi.
3. Sewa guna usaha pembiayaan (financial lease), artinya dalam perjanjian sewa guna
usaha seperti ini, penyewa guna usaha bertanggung jawab untuk pemeliharaan dari
peralatan/barang modal tersebut. Jenis sewa guna usaha pembiayaan sering juga
disebut sewa guna usaha bayar penuh dimana jumlah pembayaran selama periode
tertentu dari penyewa guna usaha adalah sama jumlahnya dengan amortisasi dari
jumlah uang yang dikeluarkan oleh perusahaan sewa guna usaha.

Dari ketiga jenis transaksi sewa guna usaha tersebut diatas, sesungguhnya sewa guna
usaha pembiayaan hampir sama seperti mejual dan sewa balik dan perbedaan yang
penting adalah terletak pada peralatan/barang yang disewa guna usaha, dimana
peralatan/barang tersebut adalah baru bagi sewa guna usaha pembiayaan dimana sewa
guna usaha membelinya dari distributor atau pabrik untuk dipakai oleh penyewa guna

48
usaha. Sedangkan untuk jual dan sewa balik peralatan/barang modal sudah ada pada
penyewa guna usha, jenis sewa guna usaha yang berlaku atau yang sering terjadi di
Indonesia adalah sewa guna usaha pembiayaan, jual dan sewa balik.

PSAK No.30 mengelompokan transaksi sewa guna usaha, berhubung dasar


pertimbangan utama yang digunakan adalah azas makna ekonomi, maka suatu transaksi
sewa guna usaha akan dikelompokan sebagai sewa guna usaha modal/capital bagi
penyewa guna usaha atau sewa guna usaha pembiayaan bagi perusahaan sewa guna
usaha apabila memenuhi kreteria sebagai berikut :
a. Penyewa guna usha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewa guna
usaha pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama
pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usha ditanda-tangani.
b. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah
dengan nilai sisa yang mencakup pengembalian harga perolehan peralatan/barang
modal yang disewa guna usahakan serta bunganya, sebagai keuntungan perusahaan
sewa guna usaha yang dibayar penuh.
c. Masa sewa guna usaha minimum 2(dua) tahun.
Jikalau salah satu kreteria tersebut diatas tidak terpenuhi, maka transaksi sewa guna
usaha dikelompokan sebagai transaksi sewa guna usaha biasa.

D. Dampak dari sewa guna usaha pada pembiayaan yang akan datang.

Karena sewa guna usaha merupakan suatu bentuk pembiayaan maka akan
mempengaruhi pembiayaan yang akan datang, pembayaran sewa guna usaha
merupakan pengeluaran yang mengurangi pajak seperti ditunjukan dalam daftar laba-
rugi. Perlakuan akuntansi oleh penyewa guna usaha untuk sewa guna usaha
modal/capital (capital lease) sebagai berikut :

1. Transaksi sewa guna usaha diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan
kewajiban pada awal masa sewa guna usaha sebesar nilai tunai dari seluruh
pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar
oleh penyewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha. Selama masa sewa
guna usaha setiap pembayaran sewa guna usaha di alokasikan dan dicatat sebagai
angsuran pokok kewajiban sewa guna usaha dan beban bunga berdasarkan tingkat
bunga yang diperhitungkan terhadap sisa kewajiban penyewa guna usaha.
2. Tingkat diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari pembayaran
sewa guna usaha adalah tingkat bunga yang dibebankan oleh perushaan sewa guna
usaha atau tingkat bunga yang berlaku pada awal masa sewa guna usaha.
3. Aktiva yang disewa guna usahakan harus diamortisasi dalam jumlah yang wajar
berdasarkan taksiran masa manfaatnya.
4. Jikalau aktiva yang disewa guna usahakan dibeli sebelum masa berakhirnya masa
sewa guna usaha, maka perbedaan antara pembayaran yang dilakukan dengan sisa
kewajiban dibebankan atau dikreditkan pada tahun berjalan.

49
5. Kewajiban sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan jangka
panjang sesuai dengan praktek yang lazim untuk jenis usaha penyewa guna usaha.
6. Dalam hal dilakukan “jual dan sewa balik” maka transaksi tersebut harus
diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan
transaksi sewa guna usaha. Selain antara harga jual dan nilai buku aktiva yang
dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang
ditangguhkan. Oleh karena itu amortisasi atas keuntungan atau kerugian yang
ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva
yang disewa guna usaha apabila ‘sewa balik’ merupakan ‘sewa guna usaha
modal/capital atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila sewa balik
merupakan sewa guna usaha biasa.

E. Sewa guna usaha biasa.

Pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan merupakan biaya sewa guna usaha
yang diakui dan dicatat berdasarkan penyusutan metode garis lurus selama masa sewa
guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha dilakukan dalam jumlah yang
tidak sama setiap periodenya. Oleh karena itu perlakukan akuntansinya yang dilakukan
oleh perusahaan sewa guna usaha pembiayaan adalah :

1. Penanaman neto dalam aktiva yang disewa guna usahakan harus diperlakukan dan
dicatat sebagai penanaman neto sewa guna usaha. Jumlah penanaman neto tersebut
terdiri dari jumlah piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang
akan diterima oleh perusahaan sewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha
dikurangi dengan pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui dan dicatat
sebagai simpanan jaminan.
2. Selisih antara piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan
harga perolehan aktiva yang disewa guna usahakan diperlakukan sebagai
pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui.
3. Pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara
konsisten sebagai pendapatan tahun berjalan berdasarkan suatu tingkat
pengembalian berkala atas penanaman neto perusahaan sewa guna usaha.
4. Apabila perusahaan sewa guna usaha menjual peralatan/barang modal kepada
penyewa guna usaha sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, maka perbedaan
antara harga jual dengan penanaman neto dalam sewa guna usaha pada saat
penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian
pada periode berjalan.
5. Pendapatan lain yang diterima sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha harus
diakui dan dicatat sebagai pendapatan periode berjalan.

Sedangkan untuk sewa guna usaha biasa adalah :

1. Peralatan/barang modal yang disewa guna usahakan harus diperlakukan dan dicatat
sebagai aktiva sewa guna usaha berdasarkan harga perolehan.

50
2. Pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa
guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa guna usaha. Pendapatan
sewa guna usaha harus diakui dan dicatat berdasarkan penyusutan metode garis lurus
sepanjang masa sewa guna usaha meskipun pembayaran sewa guna usaha mungkin
dilakukan dalam jumlah yang tidak sama setiap periodenya.
3. Penyusutan yang disewa guna usahakan harus dilakukan dalam jumlah yang layak
berdasarkan taksiran masa manfaatnya.
4. Jika aktiva yang disewa guna usahakan dijual maka perbedaan antara nilai buku dan
harga jual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian pada tahun
berjalan.

F. Perlakuan perpajakan.

Analisis ekonomi pendanaan dengan menggunakan fasilitas sewa guna usaha tidak dapat
dilepaskan dari peraturan perpajakan yang dikenakan atas lessor maupun atas lessee,
pada umumnya peraturan perpajakan yang diberlakukan adalah bahwa pembayaran sewa
guna usaha yang dilakukan oleh lessee merupakan komponen biaya, oleh karena itu
maka komponen tersebut dapat dipergunakan untuk menambah beban (biaya), yang
akhirnya dapat digunakan untuk mengurangi pendapatan, dengan demikian jumlah
pendapatan berkurang sehingga jumlah pajaknyapun jadi berkurang.

Sedangkan bagi lessor, aktiva tetap tersebut merupakan milik mereka, sehingga lessor
dapat melakukan penyusutan yang dibebankan sebagai biaya penyusutan, oleh karena itu
beban penyusutan tersebut dapat digunakan sebagai beban biaya yang kemudian dapat
digunakan untuk menambah biaya sehingga pendapatan akan berkurang yang akhirnya
akan mengurangi beban pajak yang harus dibayar kepada Negara.

51
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan
Semester Ganjil 2016/2017,15/10-16

A. Perencanaan pajak untuk PPh 21/26

Pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan
wajib pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh
pasal 21, adalah pajak atas penghasilan yang bderupa gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri seperti yang diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Bila penerima penghasilan tersebut adalah wajib pajak orang pribadi
(WPOP) seebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN), maka akan ddikenakan PPh pasal
21, sedangkan apabila penerima penghasilan adalah orang pribadi yang berstatus
sebbagai subjek pajak luar negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan
dikenai PPh pasal 26.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Taahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


yang mulai berlaku tahun 2009 yang ketentuan pelaksanaannya PPh pasal 21 diubah
dan disesuaikan dengan Undang-undang yang baru tersebut. Adapun dasar hukum
pengenaan PPh pasal 21 yang semula berlaku tahun 2009 adalah beberapa undang-
undang perpajakan, peraturan menteri keuangan dan beberapa peraturan direktur
jenderal pajak yang sampai sekarang masih berlaku.

Pemotongan PPh Pasal 21.

Pemotongan PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 sesuai Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-31/PJ./2012 meliputi :

1. Pemberi kerja yang terdiri dari :


a. Orang pribadi dan badan hukum.
b. Cabang perwakilan atau untuk dalam hal yang melakukan sebagaian atau
seluruh adaministrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain yang dilakukan oleh cabang, perwakilan atau
unit tersebut.
c. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang
kas pada pemerintah pusat termasuk institusi TNI/Polri, pemerintah daerah,
istansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang melakukan pembayaran

52
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
d. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua.
e. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar :
1. Honorarium, komisi, fee atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk
dan atas nama persekutuannya.
2. Honorarium, komisi, fee atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status subjek pajak luar negeri,
3. Honorarium, komisi, fee atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
pelatihan dan magang.
f. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan yaitu membayar honorarium, hadiah, atau
pengghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam
negeri berkenanaan dengan suatu kegiatan.

2. Subjek Pemotongan PPH pasal 21/26.

Subjek pajak yang dipotong PPh pasal 21 atau pasal 26 yang biasa disebut subjek
pajak pemotongan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan demngan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegiatan. Penerima
penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan atau pasal 26 sesuai Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-31/PJ./2012 adalah orang pribadi yang merupakan :

a. Pegawai.
b. Penerima uang pesangon pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, meliputi :
1. Tenaga ahli yanag melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
2. Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang filem, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru filem, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pelukis dan seniman lainnya.
3. Olahragawan.
4. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
5. Pengarang, penterjemah dan peneliti.

53
6. Pemberi jasa dalam segala bidang, termasuk teknik komputer dan system
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan social serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitian.
7. Agen iklan.
8. Pengawas atau pengelola proyek.
9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara.
10. Petugas penjaja barang dagangan.
11. Petugas dinas luar dari perushaan asuransi.
12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direc selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sewagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
e. Mantan pegawai.
f. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaanya dalam suatu kegiatan, antara lain :
1. Peserta perlombaan dalam segala bidang diantaranya perlombaan olah raga,
seni ketangkasan, ilmu pengetahuan, tehnologi dan perlombaan lainnya.
2. Peserta rapat konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.
3. Peserta atau anggota dalam kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu.
4. Peserta pendidikan dan pelatihan.
5. Peserta kegiatan lainnya.

3. Objek PPh pasal 21.

Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 adalah :
a. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 sesuai Per-Dirjen
Pajak Nomor Per-31/PJ./2012 adalah sebagai berikut :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus yang pembayaranya
melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pewagai berhenti bekerja.
4. Penghasilan pegawai tiddak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian. Upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang
dibayarkan secara bulanan.
5. Imbalan kepada yang bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehungan jasa yang dilakukan.

54
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan
yang sama.
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantem, grafitasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai atau
penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh menteri keungan.
b. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bnentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh :
Wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau wajib
pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan
khusus.
c. Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing
perhitungan PPh 21 dan atau PPh pasal 26 di dasarkan pada nilai tukar (kurs)
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dilakukan
pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
d. Perhitungan PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 atas penghasilan berupa
penerimaan dalam bentuk natura adan atau kenikmatan lainnya yang di
dasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian natura dan atau kenikmatan yang diberikan.

4. Yang bukan Ojek PPh pasal 21 :

Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21
sesuai Per Dirjen Nomor Per-31/PJ./2012 adalah :

a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi yaitu:


asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kecuali
natura atau kenikmatan yang diberikan oleh wajib pajak atau diberikan oleh
wajib pajak yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan norma
perhitungan khusus (deemed profit).
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh menteri keuangan dan jaminan hari tua kepada penyelenggara
jamsotek yang dibayar oleh pemberi kerja.
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia

55
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
e. Beasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf I Undang-
undang Pajak Penghasilan tahun 2008, sesuai dengan PMK
No.246/PMK.03/2008 penghasilan berupa beasiswa yang diterima/diperoleh
warga negara Indonesia dari wajib pajak pemberi beasiswa dalam rangka
mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, dikecualikan dari objek PPh
seepanjang penerima beasiswa tidak punya hubungan istimewa dengan pemilik,
komisaris, direktur atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa.
f. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. “ Pajak yang
ditanggung oleh Pemberi Kerja” adalah pajak terutang atas penghasilan
karyawan tetap yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi kerja,
sehingga termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja
berbeda dengan pemberian tunjangan pajak.

B. Kebijakan/Metode pemotongan PPh pasal 21.

Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan
PPh pasal 21 yang dapat dipilih oleh wajib pajak adalah :

1. PPh pasal 21 yang ditanggung karyawan (potong gaji), adalah metode gross, dalam
hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu
sendiri sehingga benar-benar mengurangi penghasilan, istilah yang sering
digunakan adalah bahwa PPh pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan, adalah metode net, dalam hal ini
jumlah PPh pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan sebagai
pemberi kerja itu sendiri. Dengan demikian gaji yang diterima oleh karyawan
tersebut tidak dikurangi dengan PPh pasal 21 karena perusahaan yang menanggung
biaya/beban PPh pasal 21. Perhitungan PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan
tersebut tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak
dimasukan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh pasal 21.
3. PPh pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan, metode ini biasanya disebut
dengan metode gross up, artinya jika PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk
tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan
dan dikenakan PPh pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPH pasal 21 dilakukan
dengan cara gross up dimana besarnya tunjangan pajak sama dengan PPh pasal 21
terutang untuk masing-masing karyawan.

Sepintas lalu kebijakan PPH pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena
penghasilan karyawan akan bertambah besar sebbagai akibat dari penambahan
tunjangan pajak. Namun beban perusahaan tersebut akan tereliminasi karena PPh pasal
21nya dapat dibiayakan. Disamping memberi tunjangan PPh pasal 21 yang beswarnya
sama dengan PPh terutang untuk maing-masing karyawan (metode gross up)

56
perusahaan juga dapat memberikan tunjangan PPh pasal 21 yang besarnya berbeda
dengan PPh terutang. Dalam hal besarnya PPh pasal 21 yang terutang lebih besar dari
pada tunjangan PPh pasal 21 maka kekurangannya dapat ditanggung karyawan dengan
cara dipotong gaji atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh
perusahaan, maka perlakukan perpajakannya menjadi non deductible expenses.

C. Tata cara penghitungan PPh pasal 21.

1. Untuk pegawai tetap perhitungannya adalah penghasilan kena pajak = penghasilan


bruto – biaya jabatan – pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
2. Untuk penerima pensiunan yang diterimanya secara berkala adalah penghasilan
kena pajak = penghasilan bruto – biaya pension – pendapatan tidak kena pajak
(PTKP).
3. Pegawai tidak tetap, penghasilan pegawai tidak tetap yang dibayarkan bulanan atau
pegawai tidak tetap lainnya yang jumlah kumulatif penghasilan yang diterima
sebulan melebihi PTKP sebulan untuk diri wajib pajak sendiri/TKO adalah
penghasilan kena pajak = penghasilan bruto- PTKP.
4. Bagi yang bukan pegawai, seperti halnya distributor MLM atau direct selling,
petugar dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai, penjaja barang dagangan
yang tidak berstatus pegawai, dan penerima peenghasilan bukan pegawai lainnya
yang menerima penghasilan dari pemotongan PPh pasal 21 secara
berkesinambungan dalam 1(satu) tahun kalender, perhitungannya adalah
penghasilan kena pajak = penghasilan bruto- PTKP yang dihitung bulanan.
5. Bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upah satuan atau
upah borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan
melebihi PTKP sebulan untuk diri wajib pajak atau TKO, perhitungannya adalah
penghasilan kena pajak = penghasilan bruto – batasan pasal 21 ayat (4) yitu batasan
penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai pasal 21 ayat (4) adalah
Rp.150.000/hari, namun jika jumlah kumulatif dalam sebulan melebihi
Rp.1.320.000, maka pengurangnya adalah PTKP sebenarnya.

D. Pengurang PPH pasal 21 yang diperbolehkan.

1. Biaya jabatan, artinya bahwa pengurang ini diperbolehkan tanpa memandang


apakah yang bersangkutan memiliki jabatan atau tidak, hal ini hanya boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap yang bersangkutan, karena
dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dari pekerjaan/jabatannya, sesuai Per-Menkeu Nomor 252/PMK/2009 besarnya
biaya jabatan 5% dan setinggi-tingginya Rp.6.000.000/tahun atau
Rp.500.000/bulan.
2. Biaya pensiun, artinya bahwa boleh dikurangkan dari penghasilan bruto seorang
pensiunan yang berupa uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan)
karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang
peensiun.

57
3. Iuran yang terkait dengan gaji, adalah iuran yang dibayar oleh pegawai kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan atau badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan
dana pensiun yang pendiriaanya telah disahkan oleh menteri keuangan.
Pengurangan penghasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran yang ditanggung
atau dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukan bagi pegawai
tetap, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Iurn pensiun yang terkait dengan gaji dan dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
b. Iuran tunjangan hari tua (THT) kepada badan penyelenggara Taspen dan
Jamsostek.
Iuran pensiun atau THT/JHT yang sebagian ditanggung oleh pemberi kerja dan
sebagian oleh karyawan sendiri, yang dihitung sebagai pengurang penghasilan
bruto karyawan dalam perhitungan PPh pasal 212 hanya bagian yang dibayar
sendiri oleh karyawan.
4. Penghasilan tidak kena pajak (PTKP), adalah penghasilan tidak kena pajak dalam
perhitungan PPh pasal 21 merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak
bagi orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tretap (termasuk
pensiunan) pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai (termasuk pegawai
harian lepas) dan distributor multilevel marketing atau direct selling maupun
kegiatan sejenisnya denga ketentuan yang berbeda-beda.
5. Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi wajib pajak luar negeri, artinya
bahwa PPh pasal 26 dengan tariff 20% X penghasilan bruto, kecuali bila ada tax
treaty dari Negara yang bersangkutan, maka tarif berdasarkan tax treaty yang
menjadi pedoman.

E. Rekonsiliasi objek PPh pasal 21.

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek pajak PPH pasal 21 telh dipotong
pajaknya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal
dari akun neraca akun biaya, dan jika penghitungan PPh pasal 21 dilakukan oleh bagian
SDM, maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM (seperti bagian gaji)
dengan data yang ada di bagian akuntansi/keuangan seperti buku besar. Rekonsiliasi ini
sangat berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh
objek pajak PPh pasal 21 telah dipotong pajaknya. Hal semacam ini akan memudahkan
wajib pajak ketika diperiksa petugas pajak nantinya.

Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum yaitu
taxability-deductibility. Namun bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan
yang menjadi objek pajak PPh pasal 21) dan untuk perusahaan menjadi deductible
expense (biaya) dan sebaliknya jika karyawan merupakan non taxable income
(penghasilan yang bukan objek pajak PPh pasal21) maka bagi perusahaan menjadi non
deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini sangat bergantung pada kebijakan yang
ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut, senantiasa akan terdapat pihak

58
yang dikenai pajak, apakah bagi karyawan dalam bentuk PPh pasal 21 atau
diperusahaan dalam bentuk PPh badan.

Namun demikian terdapat bebderapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut yang
diatur secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada
karyawan yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible
expense atau terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi
diperusahaan bersifat non deductible expense

F. Strategi memaksimalkan pengurangan.

Terdapat beberapa strategi untuk melakukan pengurangan PPh pasal 21 yaitu :


1. Prinsip taxability deductibility, adalah suatu prinsip yang menjelaskan tentang pos-
pos yang dapat/tidak dapat dikenakan pajak penghasilan (objek pajak dan bukan
objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang dapat/tidak dapat dibebankan sebagai
biaya (pengurang penghasilan bruto) yang mekanismenya jika pada pihak pemberi
kerja imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka
pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya
jika pada pihak karyawan pemberian imbalan penghasilan tersebut bukan
merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan
(bukan pengurang penghasilan bruto).
2. Prinsip taxability deductibility adalah merupakan prinsip dasar yang lazim
diterapkan dalam perencanaan pajak yang pada umumnya dilakukan dengan
mengubah atau mengkoversikan penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi
penghasilan yang bukan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak
boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi
terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau konversi tersebut.
Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar, lebih kecil atau
sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiscal yang tentunya harus
dipertimbangkan mana yang menguntungkan perusahaan.
Jika kondisi keuangan perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar,
salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji pengeluaran
perusahaan mana yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan
kepada karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam bentuk natura (benefit
in kind). Prinsip taxability-deductibility mengenai imbalan (natura/uang)
Jenis imbalan Perlakuan biaya bagi perusahaan PerlakuanPPh ps 21
atau pemberi kerja bagi penerima
Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable
Imbalan dalam bentuk natura Non deductible Non taxable

Contoh penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in


kind) kepada para pegawai yaitu pada tahun 2015 PT.ABC menyediakan dokter dan
obat-obatan dengan cuma-cuma untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya yang
berjumlah 1.000 orang, juga ongkos melahirkan yang jumlah totalnya misalnya

59
Rp.360.000.000 setahun atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan setiap
pegawai perbulan berjumlah (1/12 X Rp.360.000.000) : 1.1000 = Rp.30.000.000,-
atau sama dengan jumlah Rp.1.000 per orang perhari. Upah rata-rata pegawai
diasumsikan masih sebatas UMR.

Sebelum tax planning, berdaarkan pasal 4 ayat (3) huruf (d) Undang-undang pajak
Penghasilan bahwa benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat-obatan)
sebesar Rp.360.000.000,- bukan merupakan objek pajak penghasilan (non taxable)
sehingga tidak dikenakan pajak penghasilan. Sebaliknya dari sudut pandang
perusahaan yang mengeluarkan biaya secara komersil pengeluaran sebesar itu
merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghaliran perusahaan, namun
secara fiskal (pasal 9 ayat (1) huruf (e) undang-undang pajak penghasilan
merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible) sehingga harus
dilakukan koreksi fiskal. Konsekuinsinya karena biaya tersebut merupakan biaya
fiskal yang tidak boleh dikuraangkan maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh
Dirjen Pajak menimbulkan tambahan pajak berupa pajak badan (PPh Badan) tahun
2015 yaitu sebesar 25% X Rp.360.000.000,- = Rp.90.000.000,-

Sesudah tax planning, dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau
kenikmatan (seperti dokter dan obat-obatan) menjadi tunjangan kesehatan (uang)
maka secara fiskal (pasal 4 ayat (1) huruf (a) undang-undang pajak penghasilan
tunjangan kesehatan tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak(taxable) dan dilain pihak berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf (a) biaya
tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan
(deductible).

Solusi yang dianjurkan untuk menghindari koreksi fiskal tersebut PT.ABC


sebaiknya memberikan tunjangan kesehatan berupa uang sebagai pengganti biaya
penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan cuma-cuma yang hanya akan
menambah penghasilan pegawai yang akan dikenakan pajak (taxable) sebesar
Rp.360.000.000 dan bagi perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh
dikurangkan dan akan menambah jumlah biaya secara fiskal.

Jika kita bandingkan dengan kita memberikan tunjangan (uang) dengan


memberikan natura maka pajak yang dapat dihemat sebesar Rp.270.000.000,-
perhitungannya sebagai berikut 25% X Rp.360.000.000 = Rp.90.000.000,- atau
penghematannya sebesar Rp.360.000.000 – Rp.90.000.000 = Rp.270.000.000,-
Sedangkan dampak pajak PPh pasal 21 bagi pegawai yang bersangkutan dengan
adanya penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan menjadi
tunjangan kesehatan, yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan,
praktis tidak ada beban tambahan pajak, karena penghasilannya masih dibawah
penghasilan Tidak Kena Pajak. Dan ditinjaau dari segi komersil, biaya fiskal yang
besar tersebut tampaknya seperti suatu pemborosan atau inefisiensi karena adanya
kebijakan pemberian tunjangan kesehatan, namun harus pula diperhatikan bahwa

60
kebijakan itu akan berdapak pada laba sebelum pajaknya menjadi lebih kecil dan
selanjutnya beban PPh badan yang terutang pun menjadi kecil. Namun yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi perpajakan bukankah satu-satunya
alat pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini menghambat
strategi komersil lainnya tetapi harus saling bersinergi untuk mencapai tujuan
perusahaan.

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan


Semester Ganjil 2016/2017,5/11-16

A. Withholding tax.

Withholding tax, adalah suatu cara yang dilakukan oleh pemerintah (Dirjen Pajak)
untuk memungut pajak dengan mewajibkan wajib pajak melakukan
pemungutan/pemotongan atas pajaknya dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan
kewajiban wajib pajak untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak dan
selanjutnya menyetorkan dan melaporkan ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan
ketentuan perpajakan.

Dengan cara ini pemerintah akan lebih mudah dan hemat dalam mengumpulkan pajak
tanpa harus susah payah dan menggunakan biaya yang besar, oleh karena itu tugas
pemerintah cukup mengawasi saja dan bila ada wajib pajak yang tidak menjalankan
dengan benar, dirjen pajak tinggal menerapkan sanksi administrasi yang akan
menambah pemasukan atau penerimaan kas Negara. Berbeda dengan pemerintah
memberikan self assessment kepada wajib pajak yang diberi kepercayaan penuh kepada
wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya
sendiri, maka dengan withholding tax wajib pajak diwajibkan untuk
memotong/memungut, menyetorkan dan mengadministrasikan pajak pihak lain atau
pihak ketiga. Namun dalam prekteknya masih banyak wajib pajak yang tidak memiliki
informasi yang lengkap mengenai pajak apa saja harus dipotong/dipungut, sehingga
sering kali ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan
pemotongan/pemungutan PPh pasal 22, maka konsekuensi yang harus dihadapinya
adalah wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak atau kurang
dipungut atau dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi.

61
Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah suatu pajak yang dipungut/dipotong yang dilakukan
oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi lainnya. PPh pasal 22
dikenakan terhadap pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah atau
kegiatan impor atau kegiatan dibidang usaha tertentu dan PPh pasal 22 ini dibayarkan
dalam tahun berjalan melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan kepada pihak-
pihak tertentu.

Dalam pajak penghasilan pasal 22 ada tiga hal yang menjadi fokus pemungutan
pajaknya yaitu :
1. Bendaharawan pemertintah pusat atau pemerintah daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas penyerahan barang yang dapat sebagai pajak penghasilan pasal 22.
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor yang biasa disebut PPh pasal 22 atas impor.
3. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang tertentu misalnya industri semen, industri rokok kretek atau
rokok putih, industri kertas, industri baja, industri otomotif, penjualan hasil
produksi pertamina dan penyaluran oleh bulog.

B. Pemotongan dan pemungutan PPh pasal 22.

Tata cara pemotongan/pemungutan PPh pasal 22 adalah didasarkan atas suatu


pungutan, dalam arti setiap terjadi transaksi pembayaran, maka wajib pajak akan
dipungut PPh pasal 22 pihak lain yang disebut sebagai pemungut PPh pasal 22, oleh
karena itu menteri keuangan dapat menetapkan :

1. Bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran


atas penyerahan barang.
2. Badan-badan tertentu untuk memungut/memotong pajak dari wajib pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong mewah.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2013 yang menyebutkan bahwa
pemungutan/pemotongan PPh pasal 22 terdiri dari :

1. Bank devisa dan Direkltorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, Instansi, atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang.
3. Bendahara pengeluaran yang berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).

62
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Bayar yang
di delegasikan oleh Kuasa Pengguna Anggaran, yang berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian suatu barang kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (PL).
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung
yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, diataranya :
a. PT. Pertamina (pesero), Perusahaan Listrik Negara (pesero), PT. Peusahaan Gas
Negara (pesero) Tbk, PT.Telekomunikasi Indonesia (pesero) Tbk, PT.Garuda
Indonesia (pesero) Tbk, PT. Pembangunan Perumahan (pesero) Tbk, PT. Wijaya
Karya (pesero) Tbk, PT.Adhi Karya (pesero) Tbk, PT. Hutama Karya (pesero),
PT. Krakatau Steel (pesero).
b. Bank-bank badan usaha milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan atau bahan-bahan keperluan kegiatan usahanya.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi yang atas penjualan produknya kepada
distributor di dalam negeri.
7. Agen tunggal pemegang merek (ATPM), agen pemegang merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri.
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas.
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengepul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

PPh pasal 22 yang berkaitan dengan pembayaran atas penyerahan barang yang
bersumber dari APBN atau APBD pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Anggaran, Bendaharawan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan BUMN
atau BUMD, sedangkan PPh pasal 22 atas impor pemungutannya dilakukan oleh Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai.

PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi, pemungutannya dilakukan oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri
baja, industri otomotif dan farmasi, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak,
atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri atau pertamina dan badan usaha selain
pertamina yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas atas
penjualan hasil produknya serta badan urusan logistik (BULOG) atas penyerahan gula
pasir dan tepung terigu.
PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 PPh Pasal 22
Bendaharawan Impor Usaha Tertentu
Jenis PPh Pasal 22

63
pemungut PPh pasal 22
Dirjen Badan usaha yang
anggaran, Bank Devisa, ditunjuk oleh
Bendaharawan, Dirjen Bea dirjen pajak
BUMN, dan Cukai
BUMD

C. Bendaharawan.

Objek pemungutan PPh pasal 22 bendaharawan adalah penyerahan barang dan jasa
yang dibiayai dari APBN atau APBD, yaitu pembelian barang yang dikenakan PPH
pasal 22 adalah pembelian barang yang dilakukan oleh :

1. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), bendahara pemerintah baik pusat atau


daerah yang melakukan pembayaran atau belanja daerah.
2. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber
dari anggaran belanja Negara dan atau belanja daerah.
3. Bank Indonesia (BI) perusahaan pengelola asset (PPA), badan urusan logistik
(BULOG), PT.Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT.Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina
dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang sumber dananya
dari APBN maupun dari NON APBN.

Wajib pajak yang termasuk sebagai wajib pajak PPh pasal 22 adalah badan usaha
maupun perseorangan yang pada prinsipnya merupakan rekanan pemerintah yang
menerima pembayaran untuk penyerahan barang atau jasa yang dibiayai oleh
APBN/APBD.

Pemungutan PPh pasal 22 Bendaharawan atau saat terutang PPh pasal 22


bendaharawan terjadi saat pembayaraan oleh bendaharawan pemerintah. Direktorat
Jenderal Anggaran, Bendaharawan pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD harus
memungut dan menyetorkan pemungutan PPh pasal 22 ke Kantor Pos dan Giro atau
bank-bank persepsi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah di isi oleh dan atas nama
rekanan (badan usaha yang menyerahkan barang) serta ditanda tangani oleh
Bendaharawan, SSP berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Pelaporan harus
disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari (14 hari kerja) setelah masa pajak
berakhir.

Pungutan PPh pasal 22 Bendaharawan adalah sebesar 1,5% dari harga penjualan, harga
penjualana yang dimaksud disini adalah harga jual kepada bendaharawan pemerintah,
apabila harga jual di dalamnya termasuk PPN dan atau PPNBM maka PPN dan atau
PPNBM ini harus dikeluarkan dahulu dari perhitungan PPh pasal 22 bendaharawan, hal
ini dimaksudkan untuk menghindari pemungutan pajak terhdap barang tertentu (pajak

64
berganda). Khusus wajib pajak yang tidak dapat menunjukan NPWPnya maka akan
dikenakan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal.

Contoh, misalnya PT. Dewantara Jaya melakukan penjualan kendaraan kepada Pemda
Semarang dengan nilai transaksinya sebesar Rp.130.000.000,- dan dibayar melalui
bendaharawan dinas, yaitu :
1. Jika nilai transaksi sebesar Rp.130.000.000, nilai tersebut tidak termasuk PPN dan
PPNBM, maka PPh pasal 22 bendaharawan adalah Rp.1.950.000,- (Rp.130.000.000
X 1,5%).
Atas pemungutan PPh pasal 22 bendaharawan ini, PT. Dewantara Jaya hanya
menerima kas sebesar Rp.128.050.000 (Rp.130.000.000 – Rp.1.950.000),
selanjutnya PPh pasal 22 ini oleh bendaharawan Pemda Semarang diserahkan ke
kas Negara.

2. Jika nilai transaksi sebesar Rp.130.000.000, termasuk PPN 10% dan PPNBM 20%,
maka harus dihitung nilai jual di luar PPN dan PPNBM yaitu Rp.100.000.000,-
yaitu (100/130 X Rp.130.000.000) oleh sebab itu pemungutan PPh pasal 22
bendaharawan adalah sebesar Rp.1.500.000 ( 1,5% X Rp.100.000.000) PPh pasal
22 bendaharawan adalah Rp.1.950.000,- (Rp.130.000.000 X 1,5%).

D. PPh Pasal 22 Impor.

Objek pemungutan PPh pasal 22 impor adalah penghasilan neto dari pemasukan
barang di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh importir, dan terdapat dua jenis
importir yaitu importir yang memiliki angka pengenal impor (API) dan yang tidak
memiliki angka pengenal impor, adalah nomor identitas seorang importir yang
dikeluarkan oleh Dirjen Bea dan Cukai. Perbedaan ini akan mempengaruhi tarif
yang digunakan untuk pemungutan PPh pasal 22 impornya, tarifnya sebagai berikut
:
1. Importir yang memiliki API ini akan dikenakan tarif PPh pasal 22 sebesar 2,5%
dari nilai impornya.
2. Importir yang tidak memiliki API akan dipungut PPh pasal 22 sebesar 7,5% dari
nilai impornya.
3. Yang tidak dikuasai, besarnya tarif PPh pasal 22 adalah 7,5% dari nilai lelang.

Tarif diatas akan dinaikan 100% khusus bagi wajib pajak tidak mampu menunjukan
atau tidak memiliki NPWP. Dasar perhitungan PPh pasal 22 adalah penghasilan
neto dari pemasukan barang yang biasa disebut sebagai nilai impor. Berikut ini
adalah istilah-istilah yang biasa digunakan dalam impor barang :
1. Free On Board (FOB), adalah harga faktur sudah termasuk penyerahan barang
sampai dengan tempat barang tersebut dikirimkan atau dengan kata lain bahwa
harga perolehan barang tersebut berdasarkan nilai mata uang pengekspor.

65
2. Cost (C) adalah harga perolehan barang yang telah disesuaikan dengan mata
uang Negara pengimpor, dan dihitung dari besarnya harga perolehan dikalikan
kurs yang berlaku.
3. Freight (F) atau biaya tambang yang merupakan biaya pengiriman yang
dinyatakan dalam bentuk prosentase, dan dihitung dari prosentase tertentu
dikalikan dengan costnya.
4. Insurance (I), yaitu nilai asuransi barang yang diimpor yang dinyatakan dalam
bentuk proseentase, asuransi akan diperhitungkan sebagai nilai impor jika
asuransi dibayar diluar negeri, sedangkan jika asuransi dibayar didalam negeri,
maka asuransinya tidak akan diperhitungkan sebagai nilai impor, sedangkan
besarnya asuransi dihitung dari prosentase tertentu dikalikan costnya.
5. Bea masuk dan bea masuk tambahan dihitung dari prosentase tertentu dikalikan
cost + Insurance + Freight (CIF) atau cost + Freight (CF).
6. Besarnya nilai impor ditentukan sebesar C+I+F (jika asuransi dibayar diluar
negeri atau C + F (jika asuransi dibayar didalam negeri) ditambah dengan bea
masuk dan bea masuk tambahan.

Contohnya importir PT. Paca Niaga sebagai perusahaan pemegang API, mengimpor
barang berupa lampu Kristal dari Amerika Serikat dengan FOB sebesar US $ 5.000
(kurs yang berlaku saat itu Rp.10.000). Dengan bea masuk dan bea masuk
tambahan sebesar 20% dan 10%, asuransi dibayar diluar negeri sebesar 0,5% biaya
tambang sebeasr 5%, hitung berapa besar nilai impornya?

Cost = US $ 5.000 X 10.000,-……… Rp. 50.000.000,-


Freight = 5% X 50.000.000,- …………. Rp. 2.500.000,-
CF ……… Rp.52.500.000,-
Insurance = 0,5% X Rp.52.500.000 ……. Rp. 252.500,-
CIF …….. Rp.52.762.500,-
Bea masuk = 20% X Rp.52.762.500 …… Rp. 10.552.500,-
Rp. 63.315.000,-
Bea masuk tambahan 10% X 52.762.500 .. Rp. 5.276.250,-
Jadi nilai importnya Rp.68.591.250,-

Maka PPh pasal 22 nya 2,5% X Rp.68.591.250,- = Rp.1.714.781,25.

PPh pasal 22 impor terutang pada saat masuk pelabuhan, yaitu ketika membayar
bea masuk, jika bea masuk ditunda atau dibebaskan maka PPh pasal 22 impornya
terutang atau dilunasi ketika penyelesaian pemberitahuan impor untuk dipakai
(PIUD). Sedangkan pemungutannya dilakukan melalui Bank Devisa dengan
menggunakan SSP (surat setoran pajak) atau dipungut secara kolektif ke Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, namun jika apabila impornya tidak menggunakan LKP
(laporan kebenaran pemeriksaan).

E. PPh pasal 22 usaha Tertentu.

66
Objek pajak PPh Pasal 22 Usaha Tertentu adalah penjualan hasil produksi atau
penyerahan barang yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di industri semen,
industry rokok, industri kertas, industri baja, industri otomotif, industri perdagangan
minyak dan gas, usaha perdagangan gula pasir dan tepung terigu.
1. Industri Semen
Tariff PPh Pasal 22 untuk industri semen sebesar 0,25% dari dasar pengenaan pajak
(DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bersifat tidak final. Pemungutan untuk
industri semen dilakukan pada saat terjadinya penjualan semen atau penyerahan
semen.
2. Industri Kertas
Tarif industri kertas sebesar 0,1% dari DPP PPN dan bersifat tidak final.
Pemungutan dilakukan pada saat terjadinya penjualan, dan dipungut oleh badan
usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
3. Industri Baja
Tarif pemungutan PPh pasal 22 untuk industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN dan
bersifat tidak final. Pajak akan dipungut atas penjualan hasil produksi hulu,
produksi antara dan produksi hilir. Untuk industri baja, jika badan usaha bergerak di
industri hulu maka badan usaha yang bersangkutan akan ditunjuk sebagai pemungut
PPh Pasal 22.
4. Industri Otomotif
Tarif PPh Pasal 22 untuk industri otomotif sebesar 0,45% dari DPP PPN dan
bersifat tidak final. Pemungutan dilakukan pada saat terjadi penjualan kendaraan
bermotor baik kendaraan bermotor roda dua maupun lebih yang terjadi di dalam
negeri.
5. Pertamina dan Minyak
Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur dan
atau agennya dipungut PPh Pasal 22 sebesar yang tercantum dalam Tabel dibawah
ini.
Tabel Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Minyak dan Gas

Jenis Tarif Dasar Pengenaan Pajak


Premium
- SPBU Swasta 0,30% Penjualan atau Rp 2.100,00 per KL
- SPBU Pertamina 0,25% Penjualan atau Rp 1.750,00 per KL

Solar
- SPBU Swasta 0,30% Penjualan atau Rp 1.140,00 per KL
- SPBU Pertamina 0,25% Penjualan atau Rp 950,00 per KL

Premix
- SPBU Swasta 0,30% Penjualan
- SPBU Pertamina 0,25% Penjualan

Minyak Tanah 0,30% Penjualan atau Rp 912,00 per KL


67
Gas LPG 0,30% Penjualan atau Rp 2.250,00 per KL
Pelumas 0,30% Penjualan

Keterangan : KL = Kilo Liter

PPh Pasal 22 dipungut oleh Pertamina maupun Badan Usaha selain Pertamina yang
bergerak dibidang bahan bakar minyak dan gas.
6. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan sebesar 2,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
Pembelian ini biasanya dilakukan oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam
sector perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditujukan oleh
Direktur Jendral Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau
ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
7. Atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
8. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihan lebih dari Rp
10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih
dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc sebesar 5% dari
harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

F. Pengecualian PPh Pasal 22

Pengecualian atas PPh Pasal 22 Bendaharawan meliputi:


1. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja
negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 10.000.000,00 (bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah)
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik,gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos dan telepon juga dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22.
3. Pembayaran/pencairan dana jarring pengaman sosial oleh kantor
perbendaharaan dan kas negara.
Pengecualian PPh Pasal 22 atas impor terdiri dari :
1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut harus

68
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jendral Pajak.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) :
a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbale balik
b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan
tidak memegang Paspor Indonesia.
c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial dan
kebudayaan.
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain
semacamnya yang terbuka untuk umum.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
f. Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat
lainnya
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah
h. Barang pindahan
i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan pabean
j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum
k. Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer termasuk suku cadang yang
diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara
l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara
m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program pecan imunisasi nasional
n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyebrangan, kapal pandu,kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran dan atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan niaga
nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional
p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor dan digunakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional.
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta
Api Indonesia
r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan dana batas dan photo udara
wilayah negara republic Indonesia yang dilakukan oleh tentara nasional
Indonesia.

69
3. Dalam hal impor jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
4. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor
5. Impor kembali yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan.
Pengecualian atas PPh Pasal 22 Usaha Tertentu meliputi: pembayaran untuk
pembelian gabah dan atau beras oleh bulog.

G. Sifat Pemungutan

Pemungutan PPh Pasal 22 dapat bersifat final dan tidak final. Jenis PPh Pasal 22
yang pemungutannya bersifat Final adalah : (a) PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil
produksi industry baja, (b) PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi Pertamina
atau badan usaha lain yang sejenis kepada penyalur atau agen.
Sedangkan PPh Pasal 22 yang pemungutannya bersifat tidak final adalah ;
a. PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi Pertamina atau badan usaha lain
yang sejenis kepada pembeli lain (pabrikan)
b. PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi industri semen
c. PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi industri kertas
d. PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi industri otomotif
e. PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dibayar dengan dana dari
APBN/APBD
f. PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan oleh instansi atau badan
usaha tertentu sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan atas pemungut
pajak
g. PPh Pasal 22 atas impor barang
h. PPh Pasal 22 atas pembelian barang-barang atau ekspor hasil industry oleh
eksportir industri perkebunan, perhutanan, pertanian dan perikanan.

H. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan

Tata cara pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 sesuai dengan
pembagiannya dijelaskan sebagai berikut :
1. PPh Pasal 22 Bendaharawan
Atas penjualan yang dananya diperoleh dari APBN atau APBD maka
bendaharawan pemerintah akan memungut PPh Pasal 22 dari penjual. PPh Pasal
22 ini akan disetorkan ke kas negara oleh bendaharawan pemerintah dengan
menggunakan surat setoran pajak (ssp)
2. PPh Pasal 22 Impor
Impor dilengkapi dengan LKP (Laporabn Kebenaran Pemeriksaan) PPh Pasal
22 disetor oleh importer ke bank devisa dengan menggunakan formulir SSP
yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Jika Impor tidak dilengkapi dengan

70
LKP PPh Pasal 22 maka dipungut dan disetor oleh Direktorat Jendral Bea dan
Cukai.
Direktorat Jendral Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22
atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke
Kantor Pos dan Giro atau bank- bank persepsi, dan harus melaporkan hasil
pemungutannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak secara mingguan selambat-
lambatnya tujuh haris setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 Usaha Tertentu
Badan usaha yang bergerak di bidang industry semen, rokok, kertas, baja dan
otomotif yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak harus memungut
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya didalam negeri. Badan usaha
tersebut harus menyetorkan secara kolektif pemungutan PPh Pasal 22 selambat-
lambatnya tanggal lima belas bulan takwim berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa selambat-
lambatnya dua puluh hari setelah masa pajak berakhir.
PPh Pasal 22 dari penyerahan oleh pertamina atas hasil produksinya, dari
penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selainpertamina, dan
dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog, dipungut dengan cara
dilunasi sendiri oleh wajib pajak ke bank persepsi atau kantor pos dan giro
sebelum surat perintah pengeluaran barang ditebus, dengan menggunakan SSP
yang juga merupakan bukti pungutan pajak. Pelaporan dilakukan dengan
menyampaikan SPT masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah masa
pajak berakhir.

Materi Kuliah Manajemen Perpajakan


Semester Ganjil 2016/2017,12/11-16.

A. Perencanaan PPN.

Pemerintah terus melakukan pembaruan dan penyempurnaan terhadap UU PPN No. 8


Tahun 1983, perubahan terakhir adalah UU PPN No.42 tahun 2009 yang meningkatkan
adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan pajak pertambahan nilai. Sejak
diterbikannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturtan dirjen pajak yang
dikeluarkan dan telah mengalami revisi yang mengubah ketentuan mengenai
pembuatan kode faktur pajak,saat terutang pajak dan saat pembuatan faktur pajak, maka
pelaporan PPN secara manual atau melalui data elektronik (e-SPT) dan yang
disampaikan lewat e-filing, adanya kewajiban untuk menyampaikan surat
pemberitahuan kode cabang atau penandatanganan faktur pajak.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap tambahan
nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak, PPN ini di
kenakan pada setiap mata rantai produksi. Setiap penyerahan barang kena pajak (BKP)
yang bukan merupakan pengecualian barang kena pajak akan dikenakan PPN, kecuali

71
penyerahan barang kena pajak kepada makelar, untuk jaminan utang-piutang atau
penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang
jika terdapat ijin pemusatan tempat pajak terutang.

Barang kena pajak adalah semua barang berwujud dan tidak berwujud yang menurut
ifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak yang
dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM. Pada dasarnya semua barang dan
jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenai pajak
pertambahan nilai (PPN) kecuali jenis barang dan jenis jasa sdebagaimana ditetapkan
dalam pasal 4 A UU No.8 Tahun 1983 tetang pajak pertambahan nilai barang/jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah sebagai mana telah beberapa kali diubah dengan
perubahan terakhir No.42 tahun 2009.

Dikecualikan sebagai barang kena pajak yaitu :


1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya yang meliputi :
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung
oleh masyarakat;
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), granit, gips, kalsit,
kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir kerikil, pasir
kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah dialome,
tanah liat, tawas (alum), tras,yarosit, zeolite, basal dan trakkit;
e. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara; dan
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak serta
bijih bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yaitu :
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai;
f. Garam baik yang beryodium maupun yang tidak berjodium;
g. Daging yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses di
sembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas/tidak dikemas,
digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain dan/atau direbus;
h. Telor yaitu telor yang tidak diolah, termasuk telor yang dibersihkan, diasinkan,
atau dikemas;
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas maupun tidak dikemas;

72
j. Buah-buahan, yaitu buah-buah segar yang dipetik baik yang telah melalui
proses, cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, degrading, dikemas atau tidak
dikemas;
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
catering.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat bderharga.

Sedangkan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan
terhadap barang kena pajak yang tergolong mewah (BKPTM), dasar hokum PPN dan
PPnBM adalah UU No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua dari UU No.6 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan penjualan atas Barang
Mewah.

PPN hanya dikenakan atas transaksi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP),
yang tergolong PKP adalah pengusaha yang melakukan :

1. Penyerahan barang kena pajak (BKP) dan atau penyerahan jasa kena pajak (JKP)
didalam daerah Pbean dan atau melakukan ekspor barang kena pajak berwujud,
ekspor jasa kena pajak dan/atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud.
2. Pengusaha kecil yang memilik dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, wajib
melaporkan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang terutang

Yang dimaksud dengan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan
suatu perikatan atau perbuatan hokum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedianya barang untuk dipakai termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN,
pengecualian Jasa Kena Pajak yang mengacu pada pasal 4A UU No.8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
sebagaimana telah bebarapa kali diubah dengan perubahan terakhir dengan UU NO.42
tahun 2009 yang terdiri dari :

1. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi jasa dokter umum, dokter spesialis, dan
dokter gigi; jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisoterapi,
jasa kebidanan dan dukun bayi; jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, jasa
rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium; jasa psikolog
dan psikiater dan jasa pengobatan alternative termaasuk yang dilakukan oleh
paranormal.
2. Jasa pelayanan social meliputi; jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; jasa
pemadam kebakaran; jasa memberi pertolongan pada kecelakaan; jasa lembaga

73
rehabilitasi; jasa penyediaan rumah duka atau jasa mepakaman, termasuk
crematorium dan jas di bidang olah raga kecuali yanag bersifat komersil.
3. Jasa pengiriman surat dengan prangko, meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko
tempel.
4. Jasa keuangan meliputi; jasa penghimpun dana dari masyarakat berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu; jasa penempatan dana, meminjam dana/meminjamkan
dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel atas unjuk, cek atau sarana lainnya.
5. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa sewa
guna usaha dengan hak opsi; anjak piutang; usaha kartu kredit dan/atau pembiayaan
konsumen; jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia dan jasa penjaminan.
6. Jasa asuransi, merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa dan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen
asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
7. Jasa keagamaan, meliputi jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah
atau dakwah; jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan jasa lainnya dibidang
keagamaan.
8. Jasa pendidikan, meliputi penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan jasa
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
9. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja
seni dan hiburan.
10. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi
baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan
dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
11. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
12. Jasa tenaga kerja, meliputi ; jasa tenaga kerja, jasa penyediaan tenaga kerja
sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil
kerja dari tenaga kerja tersebut; dan jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
13. Jasa perhotelan, meliputi ; jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel,
rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap ; dan jasa penyewaan ruangan
untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel, rumah penginapan, motel, losmen dan
hostel.
14. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
seperti pemberian izin mendirikan bangunan (IMB), pemberian ijin usaha

74
perdagangan, pemberian nomor pokok wajib pajak dan pembuatan kartu tanda
penduduk (ktp)
15. Jasa penyediaan tempat parker yang dilakukan oleh pemilik tempat parker dan/atau
pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
16. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
17. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
18. Jasa boga atau catering

SISTEM PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Penyerahan barang/jasa yang dikenakan PPN harus memenuhi tiga syarat berikut ini :
1. Barang/jasa yang diserahkan merupakan barang kena pajak atau jasa kena pajak
2. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Pajak pertambahan nilai dikenakan atas setiap tambahan nilai dari suatu produk atau
jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Pajak pertambahan nilai dikenakan
pada setiap rantai produksi maupun distribusi baik pabrikan, agen utama maupun
distributor utama. Karena sistem pemungutannya yang hanya dikenakan terhadap setiap
pertambahan nilai maka dalam perhitungan pajaknya menggunakan mekanisme kredit
pajak. Kredit pajak dalam pajak pertambahan nilai adalah dengan mengurangkan pajak
keluaran dengan pajak masukan.
Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak.
Sedangkan pajak keluaran adalah pajak pertambahan nilai yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Jika
pajak masukan lebih kecil dari pajak kelauran maka akan timbul pajak kurnag bayar
(hutang pajak pertambahan nilai) sedangkan jika pajak masukan lebih besar dari pajak
keluaran maka akan timbul pajak lebih bayar (piutang pajak pertambahan nilai).
Pajak Masukan < Pajak Keluaran Hutang PPN
Pajak Masukan > Pajak Keluaran Piutang PPN
Jika timbul hutang PPN maka wajib pajak diharuskan untuk menyetorkan PPN yang
terutang ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos. sedangkan jika yang
timbul adalah piutang PPN maka wajib pajak yang bersangkutan berhak untuk
mengajukan restitusi (pengembalian kelebihan pajak) atau mengajukan kompensasi
terhadap hutang PPN yang timbul pada periode selanjutnya.

FAKTUR PAJAK
Untuk membuktikan adanya pajak masukan dan pajak keluaran diperlukan suatu
dokumen yang disebut faktur pajak. Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang
dibuat oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena
pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak (JKP).
Pengusaha kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap (1) penyerahan barang
kena pajak; (2) penyerahan jasa kena pajak; (3) ekspor barang kena pajak tidak
berwujud; dan/atau (4) ekspor jasa kena pajak. Faktur pajak harus dibuat pada :

75
1. Saat penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan barang kena pajak dan/atau sebelum penyerahan jasa kena pajak;
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan
tersendiri.
Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat faktur
pajak yang seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan faktur pajak.
Pengusaha kena pajak dapat membuat 1 (satu) faktur pajak meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan kepada pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena
pajak yang sama selama 1 bulan kalender yang disebut dengan faktur pajak gabungan.
Faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan barang
kena pajak dan/atau jasa kena pajak.
Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam faktur pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
2. Setiap faktur pajak harus menggunakan kode dan seri faktur pajak yang telah
ditentukan di dalam peraturan direktur jendral pajak
3. Bentuk dan ukuran formulir faktur pajak disesuaikan dengan kepentingan
pengusaha kena pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain
selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam butir a di atas. Pengadaan formulir
faktur pajak dilakukan oleh pengusaha kena pajak
4. Faktur pajak paling sedikit dibuat dalam rangkap dua yaitu lembar ke-1 : untuk
pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti pajak masukan. Lembar ke-2 : untuk
PKP yang menerbitkan faktur pajak standar sebagai bukti pajak keluaran. Dalam hal
faktur pajak dibuat lebih dari dua rangkap, maka harus dinyatakan secara jelas
penggunaannya dalam lembar faktur pajak yang bersangkutan.
5. Faktur pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas,benar dan atau tidak
ditandatangani termasuk kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri
merupakan faktur pajak cacat;
6. PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat (dapat lebih
dari 1 orang termasuk yang diberikan kuasa) yang berhak menandatangani faktur
pajak disertai contoh tanda tangannya kepada kepala kpp di tempat pkp dikukuhkan
paling lambat pada saat pejabat tang berhak menandatangani mulai menandatangani
faktur pajak cacat
7. Faktur penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan
ketentuan pada huruf a di atas dapat dipersamakan sebagai faktur pajak
8. Atas faktur pajak yang cacat atau rusak, atau salah dalam pengisian atau penulisan
atau yang hilang, pkp yang menerbitkan faktur pajak tersebut dapat membuat faktur
pajak pengganti.
Dokumen tertentu yang diperlukan sebagai faktur pajak paling sedikit harus memuat (1)
nama, alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan; (2) nama pembeli BKP

76
atau penerima JKP; (3) jumlah satuan barang apabila ada; (4) dasar pengenaan pajak; dan
(5) jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah :


1. Pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh
pejabat yang berwenang dari direktorat jendral bea dan cukai dan dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
2. Surat perintah penyerahan barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh
Bulog/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
3. Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA
untuk penyerahan bahan bakar minyak dan/atau bukan bahan bakar minyak;
4. Tanda pembayaran atau kwitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
5. Tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill) atau delivery bill, yang
dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
6. Nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhan;
7. Tanda pembayaran atau kwitansi listrik
8. Pemberitahuan ekspor jasa pajak/barang kena pajak tidak berwujud yang dilampiri
dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pemberitahuan ekspor jasa kena pajak/barang kena pajak tidak berwujud, untuk
ekspor jasa kena pajak/barang kena pajak tidak berwujud;
9. Pemberitahuan impor barang (pib) dan dilampiri dengan surat setoran pajak, surat
setoran pabean, cukai dan pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh
Direktorat Jendral Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor barang kena pajak, dan
10. Surat setoran pajak untuk pembayaran pajak pertambahan nilai atas pemanfaatan
barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean.
Pengusaha kena pajak akan dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan
Pajak apabila tidak membuat Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan
melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.

PERHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Pajak pertambahan nilai dihitung berdasarkan tariff pajak pertambahan nilai dikalikan dasar
pengenaan pajaknya. Tarif pajak pertambahan nilai adalah 10%. Dasar pengenaan pajak
yang digunakan untuk penyerahan barang kena pajak adalah sebesar jumlah harga jual,
penggantian, nilai impor,nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan peraturam
menteri keuangan.
1. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang kena pajak (bkp), tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut undang-undang PPN dan potongan harga
yang dicantumkan dalam faktur pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak (JKP),
ekspor jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut undang-undang ppn dan potongan harga

77
yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan jasa kena pajak dan/atau
oleh penerima manfaat barang kena pajak tidak berwujud.
3. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikarenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut undang-undang PPN.
4. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak
dengan keputusan menteri keuangan. Nilai lain yang ditetapkan sebagai dasar
pengenaan pajak adalah sebagai berikut :
a. Untuk pemakai sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
b. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau
penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga
jual rata-rata;
d. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
e. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harg jual eceran;
f. Untuk barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar
g. Untuk penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan barang kena pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
h. Untuk penyerahan barang kena pajak melalui juru lelang adalah harga lelang
i. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih, atau
j. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Misalnya selama bulan oktober 2012 Saudara Ahmad membeli bahan baku kain sebesar
Rp 10.000.000,00 dan biaya tenaga kerja yang dibayarkan bulan Oktober 2012 adalah
Rp 30.000.000,00. Penjualan selama bulan tersebut sebesar Rp 60.000.000,00.
Besarnya PPN masukan untuk suatu pabrikan adalah sumber daya untuk menghasilkan
produk, sehingga PPN masukan yang diperhitungkan adalah Rp 1.000.000,00 (10% x
Rp 10.000.000,00). Tenaga kerja tidak dimasukan dalam perhitungan PPN masukan
karena tenaga kerja termasuk pengecualian jasa kena pajak.
PPN Keluaran diambil dari PPN dikalikan dengan penjualannya, sehingga PPN
keluaran saudara Ahmad adalah Rp 6.000.000,00 (10% x Rp 60.000.000,00)
Dengan PPN masukan sebesar Rp 1.000.000,00 dan PPN keluaran Rp 6.000.000,00
maka PPN yang masih harus dibayar (PPN terhutang) oleh saudara Ahmad adalah Rp
5.000.000,00.

78
Contoh lain, PT Perwita Java memiliki empat departemen produksi, yaitu departemen
A, departemen B, departemen C, departemen D. departemen A mengolah kapas mentah
menjadi kapas yang siap diolah, sedangkan departemen B mengolah kapas dari
departemen A menjadi benang. Benang selanjutnya akan diolah oleh departemen C
menjadi kain. Departemen terakhir akan mengolah kain menjadi pakaian jadi. Selama
bulan desember 2008, transaksi pembelian, harga transfer, dan harga jual antar
departemen adalah sebagai berikut :
Kapas dibeli dari petani kapas seharga Rp 30.000.000,00 kemudian kapas olahan
ditransfer ke departemen B dengan harga Rp 35.000.000,00. Benang ditransfer dengan
harga Ro 45.000.000,00 dan kain ditransfer dengan harga Rp 60.000.000,00, sedangkan
harga jual baju adalah Rp 80.000.000,00.
Dari data diatas, sebelum menghitung PPN masukan dan PPN keluaran, tiap
departemen perlu mengetahui harga beli dan harga jual antar departemen.

Tabel 11.1 Daftar harga beli dan harga jual


Harga Beli Harga Jual
Departemen A Rp 30.000.000,00 Rp 35.000.000,00
Departemen B Rp 35.000.000,00 Rp 45.000.000,00
Departemen C Rp 45.000.000,00 Rp 60.000.000,00
Departemen D Rp 60.000.000,00 Rp 80.000.000,00

Setelah diketahui nilai jual dan nilai beli masing-masing departemen maka bisa
ditentukan PPN masukan dan PPN keluarannya.
Tabel 11.2 Daftar PPN
PPN Masukan PPN Keluaran PPN Terutang
Departemen A Rp 3.500.000,00 Rp 3.500.000,00
Departemen B Rp 3.500.000,00 Rp 4.500.000,00 Rp 1.000.000,00
Departemen C Rp 4.500.000,00 Rp 6.000.000,00 Rp 1.500.000,00
Departemen D Rp 6.000.000,00 Rp 8.000.000,00 Rp 2.000.000,00

PPN masukan untuk departemen A adalah Nihil. Hal ini karena pembelian yang
dilakukan oleh departemen A adalah kapas yang merupakan hasil pertanian yang
merupakan pengecualian barang kena pajak. Dari perhitungan di atas PPN terutang
untuk departemen A sebesar Rp 3.500.000,00; departemen B sebesar Rp 1.000.000,00;
departemen C sebesar Rp 1.500.000,00; dan departemen D sebesar Rp 2.000.000,00.

PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH (PPNBM)


Pajak penjualan barang mewah merupakan pungutan pajak tambahan disamping pajak
pertambahan nilai atas konsumsi barang. Berbeda dengan pajak pertambahan nilai yang
dipungut pada setiap rantai produksi dan distribusi, pajak penjualan barang mewah
(PPnBM) hanya dikenakan satu kali, yaitu pada tingkat pabrikan, pada saat penyerahan
oleh pabrikan barang kena pajak tergolong mewah (BKPTM) atau saat impor BKPTM.
Oleh karena hanya dipungut satu kali pada tingkat pabrikan maka dalam pajak
penjualan barang mewah tidak dikenal adanya kredit pajak masukan.

79
Dasar pertimbangan dikenakan pajak penjualan barang mewah adalah, yang pertama
perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dengan konsumen berpenghasilan tinggi. Hal ini untuk mewujudkan salah satu
fungsi pajak, yaitu fungsi mengatur dengan tujuan untuk menyeimbangkan tingkat
sosial dan ekonomi masyarakat dengan harapan ketimpangan dalam masyarakat dapat
ditekan serendah mungkin. Dasar pertimbangan kedua adalah perlu adanya
pengendalian pola konsumsi atas BKPTM dan pertimbangan yang ketiga adalah untuk
melindungi produsen kecil.
Pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dihitung berdasarkan tariff PPnBm dikalikan
dengan dasar pengenaan pajaknya. Tariff untuk PPnBM bervariasi dari
10%,20%,30%,40%,50% hingga 75% tergantung jenis BKPTM sebagaimana diatur
oleh keputusan menteri keuangan.
Misalnya, pabrikan ALVA memproduksi televise berwarna. Selama bulan Mei 2013
terjual 500 televisi dengan harga perunit rp 1.250.000,00. Tariff PPnBM untuk televise
adalah 10%.
Total penjualan pabrikan ALVA selama bulan November 2013 adalah Rp
625.000.000,00 (500 unit x Rp 1.250.000,00), sehingga PPnBM yang harus ditanggung
oleh pabrikan ALVA atas penjualan 500 unit televisi adalah Rp 62.500.000,00.

MEKANISME PPN DAN PPNBM


PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan masa pajak. Misalnya masa pajak
januari 2008, penyetoran paling lambat tanggal 15 februari 2008 dan harus dilaporkan
dalam SPT masa dan disampaikan kepada kantor pelayanan pajak setempat selambat-
lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Sedangkan untuk PPN dan PPnBM
yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar sesuai batas waktu
yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
Jika impor, maka PPN atau PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran bea masuk, dan apabila pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan,
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
PPN atau PPnBM yang dipungut bendaharawan pemerintah, harus disetor selambat-
lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir dan harus
dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir. Jika dipungut
selain bendaharawan pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pajak pertambahan nilai harus disetor
dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan jika pemungutannya
dilakukan oleh direktorat jendral bea dan cukai sedangkan PPN dari penyerahan gula
pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) harus dilunasi sendiri
oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus dan harus
dilaporkan dalam SPT masa dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-
lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.

80
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan
Semester Ganjil 2016/2017,19/11-16.

A. Pendahuluan.

Belakangan ini banyak pemberitaan tentang temuan kasus korupsi pajak, termasuk
kasus penyelundupan pajak (tax evasion) yang dinilai tidak tanggung-tanggung, hal
seperti ini juga banyak terjadi dinegara-negara lain baik dinegara maju dan apalagi
dinegara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena sistem perpajakan kita
sangat lemah, oleh karena itu pemerintah selalu berupaya secara terus menerus untuk
melakukan penyempurnaan, walaupun demikian selama peluang untuk melakukan
kolusi antara wajib pajak dengan pemeriksa pajak masih tetap terbuka maka wajib
pajak nakal akan selalu mencara cara untuk menghindari pajak sehingga dengan
demikian hal ini menjadi factor pemicu yang dapat mendorong wajib pajak untuk
mencoba “mengakali” pembukuannya.

Untuk kepentingan budgetair, otoritas pajak mengemban tugas yang cukup berat untuk
meningkatkan penerimaan negara dari sudut perpajakan dalam rangka untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan serta meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan

81
masyarakat. Akibatnya sektor pajaklah yang paling sering merevisi peraturan untuk
mendukung suksesnya pelaksanaan tugas tersebut. Tetapi disisi lain kita tahu pula akan
kepentingan wajib pajak bagaimana mengurangi beban pajak demi efisiensi
pengeluaran dalam operasional usahanya, yang jelas akan bertentangan dengan misi
budgetair, oleh karena itu dituntut kesadaran para wajib pajak untuk bersikap jujur dan
transparan dalam melaporkan semua hasil usahanya, sehingga kondisi yang
dipertentangkan yang menjadi dispute antara wajib pajak dengan petugas pajak yang
sering terjadi dapat dihilanghkan.
Selama cara-cara yang ditempuh oleh wajib pajak mengembosi penerimaan negara dari
sektor pajak atau diluar koridor undang-undang perpajakan aparatur perpajakan akan
makin intensif melakukan pemeriksaan.

Menurut pasal 1 angka 25 undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan


umum dan tata cara perpajakan, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun
dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
professional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajibab perfpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan undang-undang perpajakan.

Pada umumnya yang menjadi objek pemeriksaan pajak adalah surat pemeritahuan
tahunan (SPT) pajak yang disampaikan oleh wajib pajak, pengisian surat
pemberitahuan tahunan pajak itu sendiri didasarkan pada pembukuan yang
diselenggarakan oleh wajib pajak, sehingga menjadi penting bagi wajib pajak untuk
merapikan dan memutakhirkan pembukuannya agar lebih mudah ketika menghadapi
pemeriksaan. Untuk melaksanakan pembukuan di Indonesia harus didasarkan pada
standar akuntansi keuangan yang berlaku yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) yang mendapatan persetujuan dari instansi pemerintah dalam hal ini
adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia, namun untuk tujuan perpajakan
perlu diadakan beberapa penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan ketentuan
perpajakan.

B. Kebijakan pemeriksaan pajak.

Sebagai upaya untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak, Direktorat
Jenderal Pajak tentunya tidak sembarangan dalam menentukan kebijakan pemeriksaan
dalam bidang perpajakan, hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
yaitu :

1. Adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan ini meliputi


keterbatasan kuantitas maupun kualitas, dari segi kuantitas jumlah karyawan di
dirjen pajak masih kurang memadai untuk melakukan pangawasan terhadap wajib
pajak yang sedemikian banyak, dari jumlah yang ada tidak seluruhnya bertugas
sebagai pemeriksa pajak. Dan dari segi kualitas jumlah karyawan dirjen pajak yang
berbendidikan S1, S2, dan S3 jauh lebih sedikit dibandingkan lulusan program

82
diploma ke bawah. Dengan segala keterbatasannya maka tidak mungkin bagi dirjen
pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap seluruh wajib pajak dan dirjen pajak
selalu mengupayakan untuk memeriksa wajib pajak yang potensial, yang artinya
bahwa dari hasil pemeriksaan terhadap wajib pajak tersebut diperkirakan akan
menghasilkan koreksi pajak yang signifikan dan mampu dibayar pajaknya.
2. Untuk memaksimalkan estimasi wajib pajak potensial, artinya bahwa dirjen pajak
harus berupaya secara optimal untuk menjaringnya sehingga pendapatan dari sektor
pajak lebih meningkat dari tahun ke tahun, dengan cara mengembangkan bank data
yang tertuang dalam surat edaran dirjen pajak Nomor SE-19/PJ.42/1992 Tnggal 7
Juli 1992 tentang Pemanfaatan Data Prioritas sebagai dasar pemeriksaan. Dengan
dikembangkannya bank data tersebut diharapkan berbagai hal yang dilakukan wajib
pajak untuk mengelak kewajiban perpajakannya dapat diketahui oleh dirjen pajak.
3. Untuk menghindari penyalagunaan wewenang pemeriksaan pajak, dirjeen pajak
membuat aturan main internal yang cukup berat, misalkan dalam melakukan
pemeriksaan terhadap wajib pajak tertentu khususnya pemeriksaan PPh badan atau
pemeriksaan lengkap tidak dapat ditentukan oleh kepala kantor pelayanan pajak
(KPP) atau kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak (karipka). Yang menentukan
apakah wajib pajak tertentu dapat diperiksa (khususnya PPh badan dan pemeriksaan
lengkap) adalah kanwil dirjen pajak dan direktur P4 (pemeriksaan, penyidikan dan
penagihan pajak). Kepala KPP atau Karipka dapat mengusulkan agar wajib pajak
tertentu dipriksa, namun keputusan atas usulan tersebut sepenuhnya berada pada
kanwil dan direktur P4. Aturan ini penting agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
petugas pajak lebih khusus aparat pelaksana di KPP dan Karipka yang berhadapan
langsung dengan wajib pajak yang berada dalam wilayah kerjanya tidak akan
dipriksa dan sebaliknya, KPP ataupun Karipka tidak dapat sewenang-wenang
menentukan wajib pajak yang ingin diperiksa.

C. Kreteria pemeriksaan dan Jenis pemeriksaan

Untuk melakukan pemeriksaan pajak terlebih dahulu harus ditetapkan kreteria-2 yang
mendasari pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan rutin, adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak
sehubungan dengan pemenuhan hak dan atau pelaksanaan kewajiban perpajakan
atau karena diwajibkan oleh undang-undang KUP
2. Pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil analisis
risiko (risk based selection) terhadap ketidak patuhan wajib pajak, analisis risiko
adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan wajib pajak
yang dapat menimbulkan kerugian pada penerimaan pajak.
3. Jenis pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan yaitu
pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di kator dirjen pajak dan
pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan,
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal wajib pajak atau tempat
lain yang ditentukan oleh dirjen pajak.

83
D. Ruang lingkup pemeriksaan.

1. Semua jenis pajak (all taxes) yang meliputi PPh badan/orang pribadi, PPN, PPh
pemotongan/pemungutan, dan lain-lain baik untguk satu atau beberapa masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
2. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib
pajak harus dilakukan dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Kalau dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 jenis
pemeriksaan pajak dibedakan antara pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor dan
pemeriksaan lapangan juga dibedakan antara pemeriksaan lengkap dan pemeriksaan
sederhana lapangan, maka dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
199/KMK.03/2007 yang telah direvisi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
82/KMK.03/2011 jenis pemeriksaan hanya membedakan pemeriksaan lapangan dan
pemeriksaan kantor, karena pemeriksan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan wajib pajak dapat dilakukan dengan kreteria dalam hal wajib
pajak :
a. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang
telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajaknya.
b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi.
c. Tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran.
d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
e. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kreteria seleksi berdasarkan
hasil analissis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban
perpajakan wajib pajak yang tidak dipenuhi sesuai undang-undang perpajakan.

E. Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain.

Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melakukan ketentuan
undang-undang perpajakan dapat meliputi, penentuan pencocokan, atau pengumpulan
materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksaanuntuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, dilakukan dengan kreteria
sebagai berikut :
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib pajak.
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
4. Wajib pajak mengajukan keberatan.
5. Pengumpulan bahan guna menyususn Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
6. Pencocokan data atau alat keterangan.
7. Penentuan waajib pajak berlokasi di daerah terpencil.
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang pajak pertambahan nilai.
9. Pemeriksaan dalam rangka penaguhan pajak.

84
10. Penentuan saat produksi dimulai atau perpanjangan jangka waktu kopensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.
11. Memenuhi permintaan informasi dari Negara mitra perjanjian Penghidaran Pajak
Berganda. Dan pemeriksaan untuk tujuan lain dengan kreteria sebagaimana
dimaksud diatas dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau
Pemeriksaan lapangan.

F. Strategi umum dalam menghadapi pemeriksan pajak.

Pemeriksaan pajak dilakukan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan


kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain, berdasarkan undang-undang perpajakan,
berikut ini beberapa tips menghadapi pemeriksaan pajak yaitu :
1. Bila terjadi kelebihan pajak, agar diajukan klaim atau restitusi pajak dan jangan
merasa alergi atau takut dengan pemeriksaan pajak, selama tidak berbuat curang
dan asalkan administrasi pembukuan diselenggarakan dengan rapi.
2. Pemeriksaan pajak tidak hanya didasarkan pada SPT lebih bayar, walaupun laporan
audit memberikan opini wajar tanpa pengecualian karena setelah memasukan SPT
dapat saja dilakukan Pemeriksaan Sederhana Kantor selama 2 bulan.
3. Yang penting persiapan pembukuan yang rapi, lakukan pembukuan dengan baik,
benar dan jujur. Tutup celah-celah kelemahan dalam pembukuan yang dapat
menimbulkan koreksi fiskal, misalnya dalam menggunakan istilah.
4. Membuat rekonsiliasi komersial fiskal sesuai aturan, karena akan muncul koreksi
yang dedanya cukup besar.
5. Gunakan konsultan pajak sebagai mitra diskusi seputar perpajakan dan pada saat
diperiksa, karena konsultan pajak yang terdaftar dan bersertifikat dapat memberikan
maaukan dalam menghadapi pemeriksaan pajak.
6. Menghindari penyelesaian dibawah tangan dengan aparat pemeriksa pajak, dirjen
pajaktidak pernah mentoleransi prilaku semacam itu, kalaupun harus nmembayar
pajak karena ketidak tahuan dalam penerapan peraturan, ajukan saja permohonan
penghapusan atau keringan denda. Dirjen pajak sessuai dengan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang pasti akan mengabulkan permohonan yang diminta
berdasarkan rasa keadilan, bila bukti-bukti yang diajukan menguatkan hal tersebut.
7. Melakukan penelitian kembali atas penemuan kewajiban perpajakan yang selama
ini telah dilaksanakan (tax review), apabila memang masih ditemukan adanya
kesalahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut maka segera lakukan
pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
8. Menyiapkan sikap mental dan berpikir positif bahwa pemeriksa pajak juga manusia
yang dapat berbuat salah dalam menjalankan tugasnya sehingga tidak perlu ditakuti
dan sebaliknya sebagai wajib pajak juga jangan merasa bersalah karena hanya akan
melemahkan bargaining position dimata aparat pemeriksa pajak. Oleh karena itu
jangan melakukan pemeriksa sebagai musuh, tetapi sebagai mitra dan terbuka untuk
melakukan kompromi (dalam arti yang positif) untuk mencairkan dispute yang
terjadi.

85
9. Selalu taat pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan dengan cara
illegal (tax evasion), tindakan ini merupakan perbuatan kreminal karena menyalahi
aturan.
Contohnya kasus penggelapan pajak antara lain :
a. Melaporkan omzet atau penjualan lebih kecil dari yang seharusnya.
b. Transaksi ekspor fiktif.
c. Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan.
d. Menggelembungkan biaya perfusahaan dengan membebankan biaya fiktif.
e. Melakukan mark up nilai barang yang diimpor.
Perusahaan dapat memanfaatkan celah dari undang-undang perpajakan agar
dapat membayar pajak secara efisien tanpa menyalahi ketentuan yang berlaku.
10.Menyimpan seemua dokumen perusahaan minimal hingga masa kedaluarsa pajak.
11. Melakukan tax review untuk menguji apakah sudah memenuhi kewajiban
perpanjakannya.
12. Menguasai peraturan perpajakan dengan baik dengan cara meng-update aturan
pajak dan aturan pemeriksaan pajak, terutama untuk digunakan dalam berargumen
dan berkomunikasi dengan aparat pajak dalam rangka melaksanakan Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) untuk mempertahankan besarnya
pajaka yang sudah dibayar agar tidak harus membayar tambahan beban pajak lagi.
13. Merespon sikap dan perfilaku aparat pajak secara bijak agar tidak salah ucap atau
salah langkah untuk menghindari sentiment negatif pada saat pemeriksaan
berlangsung.
14. Jangan memberikan informasi secara sukarela (bila tidak diminta) kepada aparat
pajak.
15. Belajar dari pengaalaman buruk dimasa lalu untuk memahami bagaimana
penerapan learning system yang benar agar ketekoran (kerugian) besar dari pajak
tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
16. Pergunakan hak wajib pajak saat-saat terakhir dengan sebaik-baiknya untuk
pembelaan diri wajib pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan (PAHP) dan penyampaian tanggapan tertulis. Ajukan surat
permohonan pembahasan dengan tim quality assurance dalam hal masih terdapat
perbedaan pendapat dalam risalah PAHP tersebut. Segeralah membuat surat
sanggahan atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dengan argument yang
tepat, jangan ditunda-tunda bila tidak menyetujui sebagaian atau seluruh hasil
pemeriksaan. Gagal dalam memaksimalkan upaya wajib pajak dalam kesempatan
terakhir tersebut akan berdampak pada pengenaan tambahan pajak yang lebih besar
dan harus dipikul oldeh wajib pajak.

86
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan
Semester Ganjil 2016/2017,26/11-16.

A. Pajak penghasilan untuk badan hukum.

Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan
dikenakan atas penghaasilan kena pajak perusahaan, untuk menetapkan penghasilan
kena pajak harus dihitung terlebih dahulu adalah beberapa penghasilan bruto yang
menjadi objek pajak dan kemudian dikurangkan dengan pengeluaran-pengeluaran yang
boleh dikurangkan dari penghasilan brutonya tersebut. Selisih atas keduanya adalah
laba kena pajak yang menjadi objek pengenaan pajak penghasilan. Tentu saja terdapat
perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK atau biasa disebut secara komersil

87
dengan versi fiskal, akantetapi perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangkan karena
masing-masing memiliki tujuan penggunaan yang berbeda meskipun pengukuran
profitnya diperoleh dari sumber data yang sama, yaitu dari laporan keuangan komersil.

Sebagai contoh laporan keuangan komersil yang telah diaudit oleh kantor akuntan
publik yang telah terdaftar disyaratkan secara formal harus dipenuhi pada saat
perusahaan mengajukan permohonan kredit dari Bank. Tanpa dokumen tersebut
permohonan akan ditolak oleh bank. Disisi lain laporan keuangan fiskal sebagai prodak
akuntan untuk kdepentingan pajak secara khusus digunakan untuk membuat SPT
tahunan badan yang bersangkutan, namun sumber data atau informasi tersebut tidak
bisa terlepas dari kewajiban wajib pajak badan untuk melakukan pembukuan atau
pencatatan sesuai dengan ketentuan pasal 28 UU KUP No.28 Tahun 2007, untuk dapat
menghitung Penghasilan Kena Pajak secara benar dan akurat.

Terdapat ada beberapa elemen dasar yang menjadi penyebab perbedaan antara lain :
1. Tentang penghasilan atau pendapatan, ada yang merupakan objek pajak dan ada
yang bukan objek pajak;
2. Tentang penghasilan yang merupakan objek pajak ada yang dikenakan PPh yang
bersifak tidak final dan ada yang tidak;
3. Tentang biaya atau pengeluaran, ada yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto, ada yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
4. Terdapat beberapa perbedaan metode pembukuan atau pencatatan antara akuntansi
dan fiskal ini, misalnya metode penyusutan, amortisasi, penilaian persediaan dan
pencadangan
5. Tentang pemilihan pembukuan atau pencatatan terkait dengan apakah wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurtut
ketentuan perpajakan diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, sehingga diperbolehkan
menggunakan pencatatan.
6. Tentang penyelenggaraan pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas
dengan pilihan pengguna stelsel akrual atau stelsel kas.
Menyusun perencanaan pajak untuk PPh Badan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa
memperhatikan faktor jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh Badan
memiliki keterkaitan atau iterdependensi dengan PPh pasal 21, pasal 22, 23/26, PPh finl
dan juga PPN, berikut contoh-contoh yang harus diperhitungkan yaitu :
1. Total omzet penjualan dalam SPT PPh badan harus sama dengan total omzet
penjualan yang ada dalam akuntansi SPT Masa PPN bulan terakhir (masa pajak)
pada akhir tahun pajak, jika terjadi perbedaan perlu dilakukan equalisasi atau
rekonsiliasi.
2. Ketika perusahaan memilih apakah menerapkan metode net atau gross up pada saat
penghitungan PPh pasal 21, hal ini akan mempengaruhi PPh badan.
3. Pengeluaran biaya untuk gaji/upah, honorarium dan sebagainya yang menyangkut
kesejahteraan karyawan yang tercantum dalam SPT PPh badan pada tahun yang

88
bersangkutan harus sama dengan dasar pengenaan pajak (DPP) PPh pasal 21 berupa
penghasilan bruto yang dibayarkan kepada pegawai dan yang menerima
penghasilan lainnya, dan jika terjadi perbedaan perlu dilakukan equalisasi atau
rekonsiliasi.
4. Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada pegawai yang adalah
merupakan non deductible expenses tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal
sesuai dengan pasal 9 ayat 1 huruf (e) UUPPh, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan dengan Peraturan menteri Keuangan (PMK
No.82/PMK.03/2011).
5. Didalam laporan keuangan/neraca terdapat Pajak Penghasilan pasal 22/23/26 yang
menjadi dasar perhitungan PPh badan yang terutang, bila pendapatan perusahaan
sudah dikenakan PPh final maka tidak dihitung lagi sebagai penghasilan kena pajak
yang terutang PPh badan contohnya pendapatan bunga deposito.

B. Laba fiscal vs Laba komersial.

Laporan keuangan komersil yang berupa neraca dan laba-rugi disusun berdasarkan
prinsip-prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik, sejak tahun 1995 prinsip-2
yang berlaku di Indonesia adalah standar akuntansi keuangan (SAK), dari laporan
keuangan komersial tersebut dapat dihitung laba komersial atau penghasilan seccara
akuntansi (accounting income). Laba komersial inilah yang menjadi ukuran yang
digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan/stakeholder, para investor (pemegang
saham) atau calon investor, para kreditur termasuk perbankan, untuk kepentingan pasar
modal (bursa efek), rapat umum pemegang saham (RUPS) dan kepentingan bisnis
lainnya.

Laporan keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara
standar akuntansi dan ketentuan perpajakan, dengan kata lain laporan yang disusun
khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan
perpajakan yang biasa disebut laporan keuangan fiskal. Laporan keuangan fiskal
disusun tanpa harus merubah data base pembukuan atau tidak perlu dibuat suatu system
akuntansi khusus untuk keperluan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan komersial dengan laporan
keuangan fiskal adalah penyusunan laporan keuangan fiskal yang didasarkan pada
penerapan mekanisme atau prinsip taxable dan deductible (taxability-deductibility
mechanism).

Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi) merupakan prinsip
yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah
penghasilan yang merupakan objek pajak (taxable) menjadi penghasilan yang tidak
merupakan objek pajak (non taxable), serta mengubah biaya yang tidak boleh

89
dikurangkan (non deductible) menjadi biaya yang boleh dikurangkan (deductible), atau
sebaliknya, didasarkan pada ketentuan perpajakan dengan konsekuensi terjadinya
perubahan pajak terutang akibat perubahan tersebut.

Implementasi dari konsep taxability deductibility, juga berarti bahwa biaya-biaya baru
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dari pihak pembayar apabila pihak penerima
uang atas biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan kemudian
penghasilan tersebut dikenai pajak. Perhitungan laba komersial mengacu pada konsep
matching of cost with revenue (pengaitan biaya dengan pendapatan), konsep ini
melibatkan pengakuan penghasilan dan beban secara gabungan atau bersamaan yang
dihasilkan secara langsung dan bersama-sama dari peristiwa lain yang sama. (IAI,
PSAK per 1 Juli 2009). Apabila pengakuan suatu pendapatan ditunda, maka
pembebanan biayanya juga akan ditunda sampai saat diakuinya pendapatan tersebut.

Laba kena pajak atau penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihitung
berdasarkan ketentuan perpajakan, prinsip taxablility deductibility yang dianut dalam
melakkan penghitungan penghasilan kena pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya
adalah penjabaran dari ketentuan perpajakan yang diterapkan pada pasal 4 ayat (1) dan
(2) (penghasilan) dan pasal 6 ayat (1) biaya deductible serta pasal 9 ayat (1) (biaya non
deductible) sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan
perubahan terakhir Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan
beserta peraturan pelaksanaannya yaitu :

1. Penghasilan yang menjadi objek (taxable income).

Penghasilan yang menjadi obkjek pajak yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) UU
PPh Nomor 36 Tahun 2008, adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk :

a. Penggatian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya.

90
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apapun
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan diantara pihak-pihak yang
bersangkutan.
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
f. Bunga termasuk premium, diskonto,dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintahan.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. Asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
s. Surplus bank Indonesia.

2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final


Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat 2
UU PPh No. 36 tahun 2008.
Penghasilan dibawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

91
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi
b. Berupa hadiah undian
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative
yang diperdagangkan dibursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan atau bangunan;
dan penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
pemerintah.

3. Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)


Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat 3 UU PPh No. 36
Tahun 2008, sebagai berikut :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Warisan
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang
dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan
asuransi beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha

92
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif.
k. Dihapus
l. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan
atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun
sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan
sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.

4. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)


Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam pasal 6 UU PPh
No. 36 Tahun 2008.
Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkna penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, termasuk :
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain :
1. Biaya pembelian bahan

93
2. Berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
3. Bunga, sewa dan royalty
4. Biaya perjalanan
5. Biaya pengolahan limbah
6. Premi asuransi
7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan
8. Biaya administrasi
9. Pajak, kecuali pajak penghasilan
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
dan pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing
f. Penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada direktorat jendral pajak
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau
instansi pemerintah yang menagani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu
4. Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) huruf k, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
peraturan menteri keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan peraturan pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah

94
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah.

5. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)


Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 UU
PPh No 36 tahun 2008 sebagai berikut :
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang, polis dan
pembagian sisa hasil koperasi
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen dan perusahaan pajak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial
3. Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syarat diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna
dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
wajib pajak yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf I sampai huruf m, serta zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkna peraturan pemerintah.
h. Pajak penghasilan

95
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak
atau orang yang menjadi tanggunagnnya
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh
dibebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final
o. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh pasal
26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang pajak penghasilan
tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan objek pajak.

3. Tax Planning dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan


Strategi yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu berkaitan dengan upaya wajib
pajak untuk mengefisiensikan PPh badan dengan penerapan tax planning yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perusahaan. Masing-masing perusahaan
mempunyai karakter masalah yang berbeda-beda sesuai nature of business
perusahaan tersebut, sehingga dalam melakukan perencanaan pajak kita juga tidak
boleh men generalisasi permasalahan, tapi fleksibel mengikuti alurnya dengan focus
kepada pencapaian tujuan yang kita inginkan.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisienkan pembayaran
PPh Badan :
1. Memilih sistem pembukuan yang tepat
2. Memilih metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud
3. Memilih metode penilaian persediaan yang tepat
4. Pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau
cash.
5. Memilih metode pemotongan PPh Pasal 21 yang tepat (lihat uraian penulis
tentang perencanaan PPh Pasal 21).

1. Memilih Sistem Pembukuan yang tepat


a. Metode Penghitungan Penghasilan dan Biaya (stelsel akrual vc stelsel kas)

96
Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual
(accrual basis) atau stelsel kas (cash basis)
Menurut stelsel akrual, penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui
pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan
kapan biaya itu dibayar secara tunai.
- Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan
berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya
dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT)
dan real estate
- Pemungutan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah
menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan
barang kena pajak atau jasa kena pajak meskipun pembayaran atas penyerahan
tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor
barang kena pajak.
Meskipun stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila
benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya
baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam
suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan dan restoran, yang tenggang
waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung
lama.
Penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel
campuran. Oleh karena itu, untuk penghitungan pajak penghasilan dengan
memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh


penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga
pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten)

Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas; menurut versi perpajakan,
dalam hal biaya administrasi dan umum pada basis akrual dibebankan pada saat
timbulnya kewajiban, sedangkan pada basis kas biaya tersebut baru dilaporkan pada
saat terjadinya pembayaran. Dari segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan
memilih basis akrual daripada basis kas.

97
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Perpajakan tahun 1983, seluruh wajib pajak
badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan (pasal 28 ayat 1 KUP). Hanya
wajib pajak perorangan yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
1,8 miliar yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan bruto dengan
menggunakan “norma penghitungan penghasilan neto” (peraturan pemerintah no. 27
tahun 2007), mereka inilah yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan (pasal 28 ayat 2 KUP).

b. Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan


Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dan wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pengecualian diberikan pada wajib pajak orang pribadi;
1. Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; dan
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas
Namun, disadari bahwa tidak semua wajib pajak mampu menyelenggarakan
pembukuan. Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto
tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi
wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, direktur jendral pajak menerbitkan norma penghitungan.
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran
atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang digunakan sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan
objek pajak dan atau yang dikenai pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas, pencatatan yang meliputi, peredaran atau penerimaan bruto dan
penerimaan penghasilan lainnya
b. Bagi wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai, penghasilan bruto,
pengurang dan penghasilan neto yang merupakan objek pajak penghasilan
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.

Besarnya peredaran bruto dalam 1 tahun bagi wajib pajak orang pribadi yang boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) UU Nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir

98
dengan pasal 14 ayat 2 UU Nomor 36 tahun 2008, menjadi kurang dari Rp
4.800.000.000.
Untuk dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan neto, wajib pajak orang
pribadi harus memberitahu direktur jendral pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Untuk melihat mana yang paling
menguntungkan bagi wajib pajak, apakah menggunakan pembukuan atau pencatatan,
berikut ini contoh analisis perbandingan pembukuan dengan pencatatan.

Perhitungan Rugi Laba Tahun 2011


Kantor Notaris Badu
Pos Perkiraan Pencatatan Pembukuan
Penghasilan 900.000.000 900.000.000
Biaya 3M 720.000.000
Laba Bersih Usaha 495.000.000 180.000.000
PTKP (mis. TK/1) 18.480.000 18.480.000
Penghasilan Kena Pajak 475.520.000 161.520.000
PPh Terutang 23.826.00 8.076.000

Norma Penghitungan Penghasilan netto untuk Notaris di Jakarta = 55%

Perhitungan penghasilan neto notaries di Jakarta dengan norma 55% : 55% x Rp 900
juta = Rp 495.000.000
Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha (pembukuan) =
15% x rp 900 juta = Rp 180 juta.

Dari contoh perhitungan diatas, lebih menguntungkan bagi notaries badu membuat
pembukuan daripada harus menggunakan norma penghitungan penghasilan neto
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, karena PPh terutangnya lebih rendah.
Keuntungan menyelenggarakan pembukuan dapat dilihat dari perbandingannya
dengan pencatatan berikut ini :

Uraian Pencatatan Pembukuan


Harga pokok dan biaya Tidak boleh Bisa diperhitungkan
usaha diperhitungkan (pengeluaran yang deductible)
Kompensasi kerugian Tidak boleh Bisa dikompensasikan ke tahun
diperhitungkan berikutnya
Penetapan penghasilan Sesuai norma Sesuai kondisi riil :
kena pajak penghitungan penghasilan-pengeluaran
penghasilan deductible
neto
Bila perusahana PPh tetap harus PPh nihil
mengalami kerugian dibayar sesuai
norma
Materi Kuliah Manajemen Perpajakan

99
Semester Ganjil 2016/2017,10/12-16.

A. Hubungan istimewa.
1. Pengertian hubungan istimewa menurut PSAK
a. Pengertian hubungan istimewa adalah bila satu pihak mempunyai kemampuan
untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak
lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional.
b. Trasnsaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan.
c. Pengendalian adalah kepemilikan langsung melalui anak perusahaan dengan
lebih dari setengah hak suara dari suatu perusahaan, atau suatu kepentingan
substansial dalam hak suara dan kekuasaan, untuk mengarahkan kebijakan
keuangan dan operasi manajemen perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau
suatu perjajian.
d. Pengaruh signifikan adalah penyertaan dalam pengambilan keputusan kebijakan
keuangan dan operasi suatu perusahaan tetapi tidak mengendalikan perusahaan
itu, dalam hal pengaruh signifikan dapat dijalankan dengan berbagai cara, antara
lain berdasarkan perwakilan dalam dewan komisaris atau penyertaan dalam
proses perumusan kebijakan, transaksi antar perusahaan yang material,
pertukaran karyawan tingkat manaajerial, atau ketergantumngan pada informasi
teknis. Pengaruh signifikan dapat diperoleh berdasarkan kepemilikan bersama,
sesuai anggaran dasar atau suatu perjanjian.
2. Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
a. Perusahaan yang melaui satu atau lebih perantara (intermediaries)
mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada dibawah pengendalian
bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, dan sub-sub
yang ada dibawahnya)
b. Perusahaan asosiasi (associated company).
c. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu
kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh signifikan, dan
keluarga dekat dari perorangan tersebut.
d. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan suatu kegiatan
perusahaan pelapor yang meliputi dewan komisaris, direksi dan manajer dari
perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.
e. Perusahaan, dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang mempunyai
pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut.
f. Dalam mempertimbangkan setiap kemungkinan hubungan istimewa, perhatian
diarahkan pada substansi hubungan, bukan hanya pada bentuk hukumnya.
3. Pihak-pihak yang bukan mempunyai hubungan istimewa.
a. Penyandang dana.
b. Serikat dagang.

100
c. Layanan umum (public utilities).
d. Kementerian dan instansi pemerintah dalam pelaksanaan urusan normal dengan
perusahaan pelapor (meskipun pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan
suatu perusahaan atau ikut serta dalam suatu proses pengambilan keputusan).
e. Satu-satunya pelanggan, pemasok, pemegang hak franchise, distributor atau
perwakilan/agen umum dengan siapa suatu perusahaan mengadakan transaksi
usaha dengan volume yang signifikan, semata-mata karena ketergantungan
ekonomis yang diakibatkan oleh keadaan.
4. Pengertian hubungan istimewa menurut Fiskus.
Menurut pasal 18 ayat (4) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan
perubahan ke empat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak
penghasilan yang mengatur hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan (3a) pasal 18 ayat (4) pasal 9 ayat (1) huruf (f) dan pasal 10 ayat (1)
dianggap ada hubungan istimewa apabila :
a. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih, misalnya PT. X
memiliki sahan 55% di PT. Y dan PT. Y memiliki 50% pada PT. Z sehingga
dengan demikian hubungan antara PT. Y dengan PT. Z disebut memiliki
hubungan istimewa karena penyertaan saham (tidak langsung) PT. X di PT. Y
lebih dari 25% yakni 27,5% atau %%5 X 50%.
b. Hubungan istimewa seperti dimasud diatas dapat mempengaruhi harga, yaitu
adanya kemungkinan harga ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal
demikian maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga pasar yang
wajar yang berlaku dipasar bebas.
5. Perpajakan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
a. Undang-undang pajak penghasilan (UUPPH) tahun 1983 pasal 9 ayat (1)
mengatur bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib
pajak dalam negeri dan yang berbentuk usaha tetap, tidak boleh dikurangkan
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali jumlah yang melebihi
kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan dalam:
1. Hubungan istimewa, dapat terjadi pembayaran imbalan yang berkaitan
kepada pegawai yang juga pemegang saham, karemna pada dasarnya
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang
jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan
ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
2. Misalkan seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan
hukum memberikan jasa kepada badan tersebut dengan imbalan jasa sebesar
Rp.5.000.000, apabila untuk jasa yang sama diberikan oleh tenaga ahli lain
yang setara hanya dibayar sebesar Rp.2.000.000, maka jumlah sebesar

101
Rp.3.000.000 tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Tetapi tenaga ahli yang
juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah selisihnya Rp.3.000.000 itu
dianggap sebagai dividen.
b. Undang-undang Pajak Penghasilan (UUPH) Nomor 10 Tahun 1994 pada pasal
10 menentukan bahwa harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi
jual-beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan atau diterima sedangkan apabila terdapat hubungan
istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima :
1. Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak
pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi
pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterma. Termasuk dalam
harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan
biaya pemasangan.
2. Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa maka bagi pihak
pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi
pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima,
adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan
harga perolehannya menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan
dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa,
oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai
penjulan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
3. Pasal 18 ayat (4) UUPPH tahun 1983 mengisyaratkan bahwa perhitungan
kembali penghasilan (karena adanya transfer pricing) hanya dapat dilakukan
apabila diantara para pelaku terdapat hubungan istimewa, secara pejoratif
(negative) transfer pricing sering dikaitkan dengan rekayasa harga secara
sistematis dengan maksud mencari penghematan pajak dan peningkatan laba
usaha. Disparitas beban pajak antar negara biasanya memicu penyimpangan
transfer pricing dari harga pasar yang wajar, sehingga adanya kemungkinan
terjadinya penggeseran basis pajak ke salah satu atau beberapa negara
dengan beban pajak yang rendah.
6. Metode penentuan harga transfer (transfer pricing).
Sebelum diterbitkan PER-22/PJ/2013 dalam penentuan harga wajar atau laba wajar
wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode penentuan harga transfer yang
paling sesuai (the most appropriate method) dengan menggunakan PER-32/PJ/2011
sebagai berikut :
a. Metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (comparable uncontrolled price/CUP) adalah metode penentuan harga
transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang
sebanding. Misalkan PT. X menjual barang ke PT.Y (tidak terdapat hubungan

102
istimewa) seharga Rp.500.000, PT. X juga menjual barang yang sama ke PT. Z
(mempunyai hubungan istimewa) seharga Rp.400.000,- Perlakuan pajaknya
adalah sebagai berikut, harga jual barang yang dianggap wajar adalah harga
yang diberlakukan kepada pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
(PT.Y) yakni Rp.500.000, oleh karena itu metode harga sebanding (eksternal)
sangat sulit diterapkan dalam prakti, karena rumitnya faktor kesebandingan
yang harus diperhatikan, sehingga fiskus cenderung menggunakan metode biaya
plus atau harga jual minus.
b. Metode harga penjualan kembali (resale price method/rpm) adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi
laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, asset dan risiko atas penjualan
kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan
istimewa atau penjualan kembali produk yang dilkukan dalam kondisi wajar.
Contoh PT. A (redeller) membeli barang X dari PT. B merupakan manufaktur
(terdapat hubungan istimewa dengan PT.A) seharga Rp.100.000.000, kemudian
PT. A menjual barang tersebut kepada pembeli independen yaitu PT. C dengan
harga Rp.120.000.000, yakni dengan menambah mark-up 20% dari harga pokok
pembeliannya, kalau laba dari perusahaan sejenis atas barang X adalah 25% dari
harga jual, maka laba kotor tersebut seharusnya sebesar Rp.30.000.000,
bagaimana perlakukan perpajakannya?
Perlakuan perpajakannya adalah transfer pricing (TP) atas barang tersebut dari
PT. B ke PT. A harga yang wajar adalah Rp.90.000.000 yakni (100%-25%) X
Rp.120.000.000, yang berarti bahwa sebesar Rp.100.000.000 merupakan bukan
harga yang wajar.
c. Metode biaya-Plus (cost plus method) adalah metode penentuan harga transfer
yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain
dari tingkat sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha.
Contoh PT. X menjual bahan baku dan bahan pembantu kepada PT. Y dengan
harga harga Rp.100.000.000, PT. X membeli barang tersebut dari pihak
independen dengan harga Rp.80.000.000. Kalau laba kotor pembanding dari
barang XX tersebut 40% dari harga pokok, berarti harga jual yang wajar atas
barang PT. X adalah Rp.100.000.000 + (40% X Rp.150.000) = Rp.112.000,-
d. Metode pembagian laba (profit split method) adalah metode penentuan harga
transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method base) yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang
akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut
dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi, yang
memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan

103
tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa, dengan menggunakan metode kontribusi atau metode pembagian sisa
laba.
e. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) adalah
metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan
prosentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap dasar lainnya atas
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
prosentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan
pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau presentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.

B. Perdagangan internasional dan perusahaan multinasional.

Seiring dengan berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional memberikan


dampak signifikan kepada ekonomi suatu negara, ekonomi suatu kawasan maupun
ekonomi dunia secara keseluruhan. Perkembangan yang cepat dalam hal tehnologi,
transportasi dan komunikasi telah mendorong meningkatnya perdagangan internasional,
perusahaan multinasional (multinational enterprises) sebagai pelaku perdagangan
internasional memanfaatkan perkembangan tehnologi, transportasi dan komunikasi
untuk menjalankan grup usahanya di beberapa negara. Dengan menjalankan di berbagai
negara, perusahaan multinasional akan mendapatkan keuntungan atas skala ekonomi
terhadap barang yang diproduksi ataupun dijual, memperluas pangsa pasar (market
share) skaligus meningkatkan efisiensi dalam manajemen rantai suplai (supply chain
management) untuk grup usaha secara keseluruhan.

Mengingat bahwa perusahaan multinasional melakukan operasi di beberapa negara


yang memiliki ketentuan tentang adanya tarif pajak yang berbeda-beda terhadap risiko
bagi administrasi (tax administration) disetiap negara tentang adanya kemungkinan
upaya penghindaran pajak melalui transaksi antara perusahaan multinasional yang
tergabung dalam suatu grup usaha yang berkedudukan dinegara yang berbeda, pada
umumnya upaya pengindaran pajak dapat dilakukan antra lain dengan melakukan
penggeseran laba (profit shifting) dari suatu negara ke negara lain melalui transfer
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berkedudukan di negara
yang berbeda (cross border transaction). Pergeseran laba juga dapat terjadi yaitu antara
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang
sama (domestic transaction) dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang
disebabkan antara lain, dalam hal perlakukan pengenaan pajak penghasilan final atau
tidak final pada sektor usaha tertentu, perlakukan pengenaan pajak penjualan atas
barang mewah, atau transaksi yang dilakukan dengan wajib pajak kontraktor kontrak
kerja sama migas. Secara universal, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa (dalam satu grup usaha) dikenal sebagai transaksi afiliasi (affiliated
transaction), sedangkan harga yang ditentukan dalam transaksi afiliasi secara umum
dikenal sebagai penetuan harga transfer (transfer pricing)

104
C. Hubungan istimewa.

Dalam pemeriksaan transfer pricing, definisi hubungan istimewa mengacu pada


peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu konsep hubungan istimewa diatur dalam pasal
18 ayat (4) UUPPH dan pasal 2 ayat (2) UUPPN yang menyatakan bahwa hubungan
istimewa dianggap ada apabila :
1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada wajib pajak lain, hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih, atau hubungan antara dua wajib
pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau kesamping satu derajad;
4. Hubungan istimewa diantara wajib pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan tehnologi walaupun terdapat hubungan
kepemilikan;
5. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada
dibawah penguasaan yang sama.

D. Pemeriksaan transfer pricing.

Pemeriksaan adalah serangkaian suatu kegiatan untuk menghimpun, mengelola data,


keterangan dan bukti-bukti yang ada dan dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan yang telah ditetapkan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan atau untuk tujuaan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam pemeriksaan transfer
pricing, tahapan yang harus dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap
persiapan, tahapan pelaksanaan dan tahapan pelaporan.
1. Tahap persiapan pemeriksaan transfer pricing adalah tahapan yang dilakukan sesuai
dengan tata cara pemeriksaan yang berlaku, hal yang perlu diperhatikan adalah
pemeriksa pajak seharusnya mengumpulkan dan mempelajari data wajib pajak
terkait hubungan istimewa dengan lawaan transaksinya.
2. Tahap pelaksanaan pemeriksaan transfer pricing terdiri dari menentukan
karakteristik usaha wajib pajak, memilih metode transfer pricing dan menerapkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam pelaksanaan pemeriksaan transfer
pricing, pemeriksa pajak perlu memperhatikan dokumen yang menjadi dasar
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi dengan pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
3. Tahaap pelaporan pemeriksaan transfer pricing dilakukan sesuai dengan tata cara
pemeriksaan yang berlaku.
E. Metode pemeriksaan transfer pricing.

105
Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi wajib pajak dengan pihak afiliasi dapat
dilaksanakan dengan cara menguji terhadap harga atau laba baik ditingkat laba kotor
(grass profit) maupun ditingkat laba bersih usaha (net operating income), dan setelah
melakukan analisis kesebandingan (comparability analysis), pengujian atas penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan dengan menetapkan metode transfer
pricing. Dalam pemeriksaan terhadap transaksi afiliasi yang melibatkan pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, penentuan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta penentun utang sebagai modal dilakukan dengan menggunakan
metode-metode, antara lain metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya plus, metode pembagian laba dan
metode laba bersih transaksional serta metode –metode lainya sebagaimana yang
dimaksud pada pasal 18 ayat (3) UUPPh dan penjelasannya.

Penerapan metode transfer pricing dilakukan bersamaan dengan pemilihan pihak yang
akan diuji (tested party), pihak yang diuji dapat merupakan wajib pajak yang sedang
dipriksa, dalam hal ini maka tested party adalah juga merupakan audited party, pihak
yang diuji dapat pula dipilih dari lawan transaksi audited party, sehingga tested party
berbeda dengan audited party.

1. Metode perbandingan harga yang idependen adalah metode penentuan harga


transfer yang membandingkan harga barang atau jasa dalam transaksi afiliasi
dengan harga atau jasa dalam transaksi independen.
2. Metode harga penjualan kembali adalah metode penentuan harga transfer yang
menentukan harga pembelian barang dan jasa dari pihak afiliasi dengan
mengurangkan laba kotor pihak independen yang sebanding dari harga jual kembali
barang dan jasa kepada pihak independen.
3. Metode biaya plus adalah metode penentuan harga transfer yang menambahakan
laba kotor dari transaksi independen yang sebanding terhadap biaya yang
ditanggung dalam transaksi afiliasi.
4. Metode laba bersih transaksional adalah metode penentuan harga transfer yang
menggunakan indicator tingkat laba transaksi independen yang sebanding untuk
menentukan laba bersih usaha transaksi afiliasi.

F. Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi harta tak berwujud.

Langkah-langkah pengujian atas transfer harta tak berwujud yang dilakukan oleh wajib
pajak adalah sebagai berikut :
1. Mengidetifikasi keberadaan setiap harta tak berwujud yang memberikan kontribusi
terhadapat keberhasilan suatu produk di pasar, identifikasi ini dapat dilakukan
melalui analisis fungsi pengidentifikasian, kemudian pemeriksa pajak diharapkan
memiliki pemahaman yang baik tentang usaha wajib pajak.

2. Mengidetifikasi nilai harta tak berwujud dan menentukan pihak-pihak yang


memberikan kontribusi terhadapat pembentukan harta tak berwujud, hal ini perlu

106
dilakukan agar dapat diketahui apakah wajib pajak di Indonesia ikut berkontribusi
terhadap pembentukannya sehingga berhak menerima hasil atas ekploitasi harta tak
berwujud tersbut.
3. Mempelajari apakah benar-benar telah terjadi transfer harta tak berwujud dalam
transaksi tersebut, analisis terhadap hal itu saat terjadinya transfer harta tak
berwujud dalam transaksi independen dapat dijadikan pedoman.
4. Menentukan kopensasi yang wajar untuk setiap harta tak berwujud yang ditransfer,
hal ini dilakukan dengan mengacu kepada pasar dimana harta tak berwujud
digunakan dan memandingkan dengan transaksi pembanding.

G. Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi pembayaran bunga.

Pinjaman adalah pinjaman yang diberikan oleh suatu pihak dalam suatu grup usaha
kepada anggota lainnya, pada transaksi pinjaman suatu grup, kompensasi yang
diberikan umumnya dapat berupa antara lain tingkat suku bunga atau biaya jaminan
dalam hal pinjaman digaransi oleh perusahaan grup yang dibebankan kepada peminjam.
Metode yang dapat digunakan untuk menguji transaksi pembayaran bunga adalah
metode perbandingan harga antara pihak yang independen, untuk itu hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi
pinjaman intra grup antara lain :
1. Melakukan analisis atas kebutuhan hutang;
2. Memastikan bahwa pinjaman dari pihak afiliasi benar-benar terjadi;
3. Melakukan pengujian kewajaran perbandingkan utang terhadap modal;
4. Melakukan pengujian kewajaran tingkat suku bunga atau biaya lainnya terkait
pinjaman intra grup.

H. Advance pricing agreement (APA).

Adanya kekhawatiran dari administrasi pajak bahwa transfer pricing akan dimanfaatkan
wajib pajak untuk menggerus potensi penerimaan pajak dari suatu negara ke negara
lain, sehingga dipandang perlu untum membuat APA untuk mengatasi masalah
penentuan harga pasar yang wajar, kesepakatan tentang harga transfer (advance pricing
agreement/APA) adalah perjanjian Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak dan atau
otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3a) UUPPH
untuk menyepakati kreteria-kreteria dan atau menentukan harga wajar atau laba wajar
dimuka para pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Oleh karena itu wajib pajak
dapat mengajukan permohonan kesepakatan harga transfer kepada dirjen pajak sesuai
dengan ketentuan sebagai upaya untuk menghindari permasalahan yang timbul dalam
transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.

107
108

Anda mungkin juga menyukai