Anda di halaman 1dari 55

PERPAJAKAN

“KETENTUAN KHUSUS PPN DAN PPnBM”

(DOSEN : Dr. VINCE RATNAWATI, SE, M.Si, Ak, CA)

KELOMPOK 3 :
Ramsiah (2110247774)
Yona Lita (2110247775)
Qori Dasvina (2110247820)
Novia Alfiani Napitupulu (21102467839)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan....................................................................... 2
1.3 Rumusan Masalah..................................................................... 2
BAB II KETENTUAN KHUSUS PPN DAN PPnBM................................. 4
2.1 Fasilitas khusus di bidang PPN/PPnBM: tidak dipungut,
dibebaskan................................................................................. 4
2.2 PPN dan PPnBM atas penyerahan kepada pemungut pajak..... 26
2.3 Ketentuan atas Transaksi/ Industri Khusus............................... 36
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 55

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak Pertambahan NIlai (Value Added Tax) untuk pertama kali
diperkenakan oleh Carl Friedrich Von Siemens, seorang industrialis dan
konsultan pemerintah Jerman pada tahun 1919.Namun ironisnya justru
Pemerintah Prancis yang pertama kali menerpakan PPN dalam sistem
perpajakan pada tahun 1954, sedangkan Jerman baru menerapkannya pada
awal tahun 1968.Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985
menggantikan Pajak Penjualan (PPN) yang sudah berlaku di Indonesia sejak
tahun 1951. Proses penggantian ini merupakan salah satu rangkaian
perombakan sistem perpajakan nasional yang dikenal sebagai Tax Reform
1983. PPN menggantikan peranan PPN di Indonesia karena PPN memiliki
beberapa karakter positif yang tidak dimiliki oleh PPN. Legal karakter PPN
menggambarkan pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hokum yaitu suatu
jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan
kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-
pihak yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli atau
penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah). Apabila
penjual atau pengusaha jasa tidak memungut PPN dari pembeli atau penerima
jasa, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual aau pengusaha jasa, bukan
tanggung jawab pembeli atau penerima jasa. Negara (pemerintah) tidak dapat
minta pertanggungjawaban dari pembeli atau penerima jasa. Demikian pula
apabila pembeli atau penerima jasa sudah membayar PPN kepada penjual atau
pengusaha jasa, ternyaa oleh penjual aau pengusaha jasa (PPN tersebut) tidak
pernah dilaporkan kepada negara (pemerintah),sepenuhnya menjadi tanggung
jawab penjual atau pengusaha jasa. Apabila pembeli atau penerimajasa sudah
membayar PPN kepada penjual atau pengusaha jasa pada dasarnya sama
halnya dengan pembeli atau penerima jasa sudah membayar PPN tersebut
kekas negara.

1
Sejak diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2021, fasilitas di bidang PPN
yang dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak Dipungut, PPN
Dibebaskan dan PPN Ditanggung Pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan
fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN Masukan yang berhubungan dengan
perolehan BKP/ JKP tetap dapat dikreditkan. Dalam perencanaan pajak,
memaksimalkan pemanfaatan fasilitas tersebut akan memberi dampak pada
berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap barang yang
dibeli dari penjual minimal 11% dari harga jual, dan sebaliknya pemanfaatan
tersebut akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya secara
proporsional sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang baru dari produk
yang bersangkutan akibat dari efisiensi harga yang diperoleh. Memaksimalkan
fasilitas tersebut akan mendorong pembentukan harga barang di pasar lebih
murah sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat, omzet penjualan akan
meningkat yang bermuara pada perolehan profit dan setoran pajak juga akan
lebih besar.

1.2 Fungsi Pajak


Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk menambah pengetahuan
mahasiswa magister akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau
angkatan 31 terutama terkait dengan “ketentuan khusus PPN dan PPnBM”

1.3 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini terkait pembahsan
perlakukan khusus PPN dan PPnBM yang diantaranya meiliputi :
1. Fasilitas khusus dibidang PPN/PPnBM : tidak dipungut, dibebaskan
2. PPN dan PPnBM atas penyerahan kepada pemungut pajak
3. Ketentuan atas Transaksi/Industri/Khusus yang terdiri dari :
a. Apartemen, real estate dan konstruksi
b. Emas
c. Transaksi syariah
d. Pedagang Eceran (Retail)

2
e. Leasing
f. Kegiatan membangun sendiri

3
BAB II
KETENTUAN KHUSUS PPN DAN PPnBM

2.1 Fasilitas khusus di bidang PPN/PPnBM: tidak dipungut, dibebaskan


Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan
adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya
sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan,
harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan
dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas
perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan
dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, diberikan kepada:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak
tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk dalam Pajak Objektif yang
pemungutannya tidak memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak sebagai subjek
pajak. Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi
kewajiban memungut, menyetor, melapor melekat pada pihak yang menyerahkan
barang/jasa. PPN dilakukan secara berjenjang dari pabrikan sampai konsumen akhir

4
sehingga Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pemungut pajak harus menerbitkan
faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN. Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan baik atas konsumsi barang maupun
jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut
di tempat barang atau jasa dikonsumsi. Barang Kena Pajak adalah barang yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang.
Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, terdapat pula Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM). PPnBM ialah pajak yang dikenakan pada barang yang
tergolong mewah kepada produsen untuk menghasilkan atau mengimpor barang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. PPnBM hanya dikenakan 1 kali pada saat
penyerahan barang ke produsen. PPnBM merupakan pajak yang dikenakan
atas konsumsi barang yang tergolong mewah di dalam negeri. Tarif pajak yang
dikenakan atas Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah sebesar 11%
dan paling tinggi sebesar 200%. Adapun pertimbangan suatu barang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yaitu:
a. keadilan pembebanan pajak antara konsumen berpenghasilan rendah dengan
konsumen berpenghasilan tinggi
b. pengendalian konsumsi barang mewah
c. perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. pengamanan penerimaan negara

Pasal 9 UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mengatur mengenai jenis fasilitas
yang diterapkan yaitu Pajak Terutang Tidak Dipungut dan Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak. Perbedaan antara dua fasilitas tersebut terletak pada perlakuan
PPN Masukan yang berkaitan dengan kegiatan yang diberikan fasilitas. Pajak
Masukan untuk Pajak Terutang Tidak Dipungut dapat dikreditkan sedangkan Pajak
Masukan atas Pembebasan Pajak tidak dapat dikreditkan.

5
PAJAK TERUTANG TIDAK DIPUNGUT

1) Kawasan Berikat

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan


atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan
Berikat, Kawasan Berikat didefinisikan sebagai Tempat Penimbunan Berikat untuk
menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah
pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang
memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan
tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. Tempat Penimbunan
Berikat merupakan Kawasan Pabean dan sepenuhnya berada di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tempat Penimbunan Berikat dapat berbentuk:
a. Gudang Berikat;
b. Kawasan Berikat;
c. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat;
d. Toko Bebas Bea;
e. Tempat Lelang Berikat;
f. Kawasan Daur Ulang Berikat; atau
g. Pusat Logistik Berikat.

Fasilitas PPN dan PPnBM yang tidak dipungut pada Kawasan Berikat diberikan
atas:
a. Pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
(TLDDP) ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;
b. Pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih
lanjut;
c. Pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industry di
TLDDP atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak;

6
d. Penyerahan kembali BKPP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP di TLDDP atau
PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal;
e. Peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari
PDKB dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan lainnya dan
pengembalian ke PDKB asal.

Barang yang berasal dari luar daerah pabean yang dimasukkan dari Tempat
Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, atau kawasan
ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah ke Kawasan Berikat diberikan
penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, tidak dipungut Pajak Dalam Rangka
Impor, dan/atau tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Adapun barang yang
dibebaskan berdasarkan Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
65/PMK.04/2021 antara lain:
a. barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan
alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan
perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan
pada Kawasan Berikat;
b. barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;
c. barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;
d. Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau
e. Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.

Aktivitas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke luar daerah pabean,


Tempat Penimbunan Berikat lainnya, Kawasan Bebas, tempat lain dalam daerah
pabean, kawasan ekonomi khusus, dan/atau kawasan ekonomi lainnya yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat, barang dari aktivitas pengeluaran dapat
berupa:
a. Bahan Baku dan/ atau sisa Bahan Baku;
b. Bahan Penolong dan/ atau sisa Bahan Penolong;
c. pengemas dan alat bantu pengemas;
d. Hasil Produksi yang telah jadi maupun setengah jadi;

7
e. barang contoh;
f. Barang Modal;
g. peralatan perkantoran;
h. barang untuk keperluan dan/ atau hasil penelitian dan pengembangc.n
perusahaan;
i. sisa dari proses produksi; dan/ atau
j. sisa pengemas dan limbah.

Izin Pengusaha Kawasan Berikat atau izin PDKB diberikan kepada


perusahaan yang melakukan Kegiatan Pengolahan barang:
a. untuk tujuan ekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung;
b. untuk menggantikan barang impor (import substitution);
c. untuk mendukung hilirisasi industri; dan/atau
d. pada industri tertentu (industri penerbangan, perkapalan, kereta api, dan
pertahanan dan keamanan).
2) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) merupakan wilayah


geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan antara lain
memiliki potensi untuk cepat tumbuh, mempunyai sektor unggulan yang dapat
menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya, dan memerlukan
dana investasi yang besar bagi pengembangannya. Pada Keputusan Presiden
Nomor 150 Tahun 2000, untuk mengembangkan KAPET sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi, beberapa wilayah dalam KAPET dapat ditetapkan
sebagai Kawasan Berikat.
Terdapat beberapa daerah yang menjadi Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) yaitu:
1. Sanggau
2. Parepare
3. Buton, Kolaka, Kendari
4. Samarinda, Sanga-sanga, Muara Jawa, Balikpapan
5. Batulicin

8
6. Biak
7. Bima
8. Batui
9. Betano, Natarbora, Viqueque
10. Seram
11. Mbay
12. Bitung
13. Daerah Aliran Sungai Kahayan, Kapuas dan Barito

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, Pengusaha di


Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas
perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:
a. impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung
dengan kegiatan produksi;
b. impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
c. pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk
selanjutnya disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;
d. pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih
lanjut;
e. pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL
atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak;
f. penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak oleh
Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena
Pajak PDKB asal;
g. peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari
PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan
pengembaliannya ke PDKB asal.

9
3) Kawasan Bebas

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021, Kawasan


Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) adalah suatu kawasan yang
berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak
pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. KPBPB
diawasi oleh suatu dewan yang disebut Dewan Kawasan. Dewan Kawasan
dibentuk untuk menetapkan kebijakan umum, membina, mengawasi, dan
mengoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas. Pelaksanaan dan pengelolaan KPBPB dilakukan oleh
Badan Pengusahaan.
Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KPBPB diberikan fasilitas
dan kemudahan berupa:
a. pemasukan dan pengeluaran barang;
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPBPB wajib dilakukan
di Pelabuhan yang ditunjuk. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari
KPBPB hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan
Berusaha dari Badan Pengusahaan. Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan
berupa pemasukan Barang Konsumsi untuk kebutuhan Penduduk atau
pemasukan dan/atau pengeluaran barang, selain Barang Konsumsi untuk
kebutuhan Penduduk. Pengusaha hanya dapat memasukkan barang ke KPBPB
dari luar Daerah Pabean sesuai dengan Perizinan Berusaha dan barang yang
dimasukkan ke KPBPB hanya yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Pemasukan Barang Konsumsi harus memenuhi kriteria yaitu barang untuk
keperluan pemenuhan kebutuhan konsumsi Penduduk, tidak ditujukan sebagai
bahan baku atau bahan penolong industri, dan dikonsumsi di dalam KPBPB.

b. perpajakan;
Berdasarkan Pasal 49 PP Nomor 41 Tahun 2021, fasilitas perpajakan yang
diberikan antara lain:

10
1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam KPBPB dibebaskan dari pengenaan
PPN.
2) Pemasukan Barang Kena Pajak dan/atau barang dari luar Daerah Pabean ke
KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN dan/atau tidak dipungut PPh Pasal 22.
3) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pengusaha di KPBPB kepada pengusaha di
KPBPB lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN.
4) Penyerahan Barang Kena Pajak ke KPBPB oleh pengusaha Tempat Penimbunan
Berikat atau Pelaku Usaha di KEK kepada pengusaha di KPBPB tidak dipungut
PPN.
5) Penyerahan Barang Kena Pajak ke KPBPB oleh pengusaha di tempat lain dalam
Daerah Pabean kepada pengusaha di KPBPB tidak dipungut PPN.
c. kepabeanan;
Fasilitas kepabeanan diberikan atas pemasukan barang dari luar Daerah
Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, dan/atau KEK ke KPBPB melalui
Pelabuhan ditunjuk diberikan pembebasan bea masuk.
d. cukai;
Pemasukan Barang Kena Cukai dari luar Daerah Pabean dapat diberikan
fasilitas tidak dipungut cukai atau pembebasan cukai dalam hal digunakan
sebagai bahan baku dan/atau bahan penolong industri.
e. keimigrasian;
Bagi orang asing yang merupakan warga negara dari negara yang
memperoleh fasilitas bebas visa kunjungan singkat dapat diberikan visa
kunjungan saat kedatangan dalam rangka melakukan pekerjaan singkat atau
kunjungan bisnis guna pengembangan KPBPB.
Visa tinggal terbatas dapat diberikan kepada orang asing yang bermaksud
tinggal terbatas di KPBPB dalam rangka kegiatan tertentu.

4) Proyek Pemerintah Yang Sumber Dananya Berasal Dari Bantuan Luar


Negeri Berupa Pinjaman atau Hibah
Pembangunan nasional dalam rangka pemulihan kegiatan ekonomi serta
kelangsungan pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang belum dapat

11
sepenuhnya dapat dibiayai dari penerimaan dalam negeri, maka peranan dana
bantuan luar negeri baik berupa pinjaman luar negeri maupun hibah masih
diperlukan. Proyek Pemerintah Yang Sumber Dananya Berasal Dari Bantuan
Luar Negeri Berupa Pinjaman atau Hibah dilaksanakan dalam rangka
mempercepat pemulihan ekonomi.
Untuk itu pemberian fasilitas berupa Pajak Penghasilan ditanggung oleh
Pemerintah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan
dan pemasok (supplier) utama karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri,
masih perlu diberikan.
Adapun fasilitas yang diberikan terkait proyek pemerintah yang
pendanaan berasal dari luar negeri berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2001 antara
lain:
a. Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang atas impor dalam rangka
pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman
luar negeri, dibebaskan.
b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang atas impor serta penyerahan Barang dan Jasa dalam rangka pelaksanaan
Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri,
tidak dipungut.
c. Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai
dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh
Pemerintah.

5) Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas impor dan/atau penyerahan BKP


tertentu/penyerahan JKP tertentu
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor
Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak

12
Pertambahan Nilai, Alat angkutan tertentu yang atas impornya tidak dipungut
Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan
kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat
keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia yang diimpor oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
b. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan
kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat
keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan impor
tersebut;
c. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal
tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan
pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
perusahaan pelayaran niaga nasional, perusahaan penangkapan ikan nasional,
perusahaan penyelenggara jasa kepelabuhan nasional, dan perusahaan
penyelenggara jasa angkutan sungai, danau dan penyeberangan nasional, sesuai
dengan kegiatan usahanya;
d. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional;
e. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha
angkutan udara niaga nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan dan perbaikan pesawat udara kepada badan usaha angkutan udara
niaga nasional;

13
f. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
g. komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk
pembuatan: 1. kereta api; 2. suku cadang; 3. peralatan untuk perbaikan dan
pemeliharaan; dan/atau 4. prasarana perkeretaapian, yang akan digunakan oleh
Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan
Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Selain itu, terdapat pula alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan
kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat
keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan
manusia yang diserahkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
b. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal
tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan
pelayaran, dan alat keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan
oleh perusahaan pelayaran niaga nasional, perusahaan penangkapan ikan
nasional, perusahaan penyelenggara jasa kepelabuhan nasional dan perusahaan
penyelenggara jasa angkutan sungai, danau, dan penyeberangan nasional, sesuai
dengan kegiatan usahanya;
c. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang
diserahkan kepada dan digunakan oleh badan usaha angkutan udara niaga
nasional;

14
d. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha
angkutan udara nioBa nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan dan perbaikan pesawat udara kepada badan usaha angkutan udara
niaga nasional;
e. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
serta prasarana perkeretaapian yang diserahkan kepada dan digunakan oleh
Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan
Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
f. komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Badan
Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk
pembuatan: 1. kereta api; 2. suku cadang; 3. peralatan untuk perbaikan dan
pemeliharaan; dan/atau 4. prasarana perkeretaapian, yang akan digunakan oleh
Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan
Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. jasa yang diterima oleh perusahaan pelayaran niaga nasional, perusahaan
penangkapan ikan nasional, perusahaan penyelenggara jasa kepelabuhan
nasional, dan perusahaan penyelenggara jasa angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan nasional yang meliputi:
1) jasa persewaan kapal;
2) jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;
dan
3) jasa perawatan dan perbaikan kapal.

b. jasa yang diterima oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional yang
meliputi:
1) jasa persewaan pesawat udara; dan
2) jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara.

15
c. jasa perawatan dan perbaikan kereta api yang diterima oleh Badan Usaha
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum.

DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK

1) Pembebasan PPN Atas Impor Dan/Atau Penyerahan BKP Tertentu Yang


Bersifat Strategis
Pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan BKP yang bersifat
strategis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 Tentang Impor
Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis
Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Tujuan diberikannya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan
Nilai adalah dalam rangka keberhasilan sektor kegiatan ekonomi yang
berprioritas tinggi dalam skala nasional dengan tetap memperhatikan daya saing
nasional.
Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses
menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, termasuk yang atas impornya
dilakukan oleh pihak yang melakukan pekerjaan konstruksi terintegrasi, tidak
termasuk suku cadang;
b. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan,
baik penangkapan maupun budidaya;
c. jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
d. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pertanian;
e. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
atau perikanan;

16
f. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
g. pakan ikan;
h. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk
imbuhan pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian; dan
i. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk
perak batangan;
j. liquified natural gas.
Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses
menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, termasuk yang atas perolehannya
dilakukan oleh pihak yang melakukan pekerjaan konstruksi terintegrasi, tidak
termasuk suku cadang;
b. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan,
baik penangkapan maupun budidaya, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Pemerintah ini;
c. jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
d. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pertanian;
e. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
atau perikanan;
f. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
g. pakan ikan;

17
h. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk
imbuhan pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian;
i. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk
perak batangan;
j. unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui
kredit/pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi yang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
(1) luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan
tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
(2) pembangunannya mengacu kepada peraturan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
(3) merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang rumah susun; dan
(4) batasan terkait harga jual unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik dan
penghasilan bagi orang pribadi yang memperoleh unit hunian Rumah Susun
Sederhana Milik ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat
pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
k. Listrik, termasuk biaya penyambungan listrik dan biaya beban listrik, kecuali
untuk rumah dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) Voltase Amper;
dan
l. liquified natural gas.

Apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak mesin dan peralatan
pabrik diimpor dan diserahkan serta unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik
yang telah diberi fasilitas pembebasan pajak PPN tidak digunakan sesuai tujuan

18
awal dan dipindahtangankan, baik sebagian maupun seluruhnya, maka Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibebaskan atas impor dan/atau perolehan Barang
Kena Pajak tersebut wajib dibayar.

2) Pembebasan PPN Atas Impor Dan/Atau Penyerahan BKP


Tertentu/Penyerahan JKP Tertentu
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 Tentang Impor
Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Dan Atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impornya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai antara lain:
a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan
di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan
kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh
Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak lain yang ditunjuk oleh
Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan impor tersebut, dan
komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh PT
(PERSERO) PINDAD, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi
untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
b. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);
c. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
d. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;

19
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
f. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk
oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan
kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta
prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia; dan
g. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan
atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik
Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor
oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen
Pertahanan atau TNI.

Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai antara lain:
a. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok
boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya;
b. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan
di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli dan
kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diserahkan
kepada Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI, dan komponen atau bahan
yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT (PERSERO)
PINDAD untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);

20
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran
Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan
usahanya;
f. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan atau reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan Angkutan Udara
Niaga Nasional;
g. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT (PERSERO)
Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak
yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan
untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta
Api Indonesia;
h. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas
dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI.

Adapun untuk Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya


dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai antara lain:

21
a. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan Nasional, yang meliputi:
(1) Jasa persewaan kapal;
(2) Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;
(3) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
b. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi:
(1) Jasa persewaan pesawat udara;
(2) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara;
c. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO)
Kereta Api Indonesia;
d. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan Rumah
sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro,
asrama mahasiswa dan pelajar dan pembangunan tempat yang semata-mata
untuk keperluan ibadah;
e. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat
sederhana; dan
f. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan
dalam rangka penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik
Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.
Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula
atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya dalam
jangka 5 (lima) tahun sejak saat impor dan atau perolehan, maka Pajak
Pertambahan Nilai yang dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dialihkan penggunaannya atau
dipindahtangankan. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan

22
3) Pembebasan PPN/PPnBM Atas Pembelian Barang Yang Dilakukan Oleh
Perwakilan Negara Asing
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2020 tentang
Pemberian Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Kepada Perwaktlan Negara Asing
Dan Badan Internasional Serta Pejabatnya, Perwakilan Negara Asing adalah
perwakilan diplomatik dan/atau perwakilan konsuler yang diakreditasikan
kepada pemerintah Republik Indonesia, termasuk perwakilan tetap/misi
diplomatik yang diakreditasikan kepada Sekretariat Association of Southeast
Asian Nations, organisasi internasional yang diperlakukan sebagai perwakilan
diplomatik/konsuler, serta misi khusus, dan berkedudukan di Indonesia.
Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing serta
pejabatnya diberikan berdasarkan asas timbal balik.
Impor dan penyerahan barang yang dilakukan oleh Perwakilan Negara
Asing serta Pejabat Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta
Pejabat Badan Internasional dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah diberikan untuk transaksi paling sedikit sebesar:
a. batas minimum pembelian yang diberikan oleh negara asing, dalam hal batas
minimum pembelian yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang luar negeri lebih rendah dari batas rninimum
pembelian yang diberikan oleh negara asing tersebut.
b. batas minimum pembelian yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri, dalam hal batas
minimum pembelian lebih tinggi dari batas minimum pembelian yang diberikan
oleh negara asing tersebut.

Dalam hal Indonesia tidak memiliki kantor perwakilan di negara tertentu,


pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

23
Penjualan atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing serta Pejabat
Perwakilan Negara Asing di Indonesia dapat diberikan berdasarkan asas timbal
balik selayaknya Indonesia telah memiliki kantor perwakilan di negara tertentu
tersebut.

2.2 PPN dan PPnBM atas penyerahan kepada pemungut pajak


A. Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
Sebagai Pemungut PPN dan PPnBM
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022
pasal 16, bahwa istansi pemerintah ditunjuk sebagai pemungutan PPN atau PPN
dan PPnBM yang terutang atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena
pajak oleh PKP rekanan pemerintah kepada instansi pemerintah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
tidak termasukjumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan
merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya
lebih dari Rp2.000.000,00 (duajuta rupiah)
b. pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah
c. pembayaran untuk pengadaan tanah
d. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan
minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina
(Persero) yang meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina
Internasional, dan PT Elnusa Pertrofin
e. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan
telekomunikasi
f. pembayaran atas Jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan
g. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN

24
h. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi
Pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi
Pengadaan

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang


Mewah dilakukan pada saat pembayaran dengan cara pemotongan secara
langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.
Bendaharawan Pemerintah wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut dan disetor ke Kantor
Pelayanan Pajak dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara setempat, paling
lambat akhir bulan berikutnya setalah masa pajak berakhir dilakukan
pembayaran tagihan. Pelaporan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa Bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Adapun
tata cara pemungutan dan penyetoran PPN dan PPnBM oleh Bendaharawan
Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.03/2003 adalah sebagai berikut:

1) PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat
menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN baik
untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
2) SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah
yang bersangkutan, tetapi penandatangan SSP dilakukan oleh Bendaharawan
Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
3) Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan
Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak
4) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dibuat dalam rangkap 3
(tiga):

25
a. lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai Pernungut
PPN
b. lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
c. lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah
atau KPKN.
5) Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat dalam
rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPnBM disetor di Bank Persepsi atau
Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 untuk PKP rekanan Pemerintah.
b. lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPKN.
c. lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirikan pada SPT Masa PPN.
d. lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
e. lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
6) Dalam hal pemungutan oleh KPKN, SSP dibuat dalam rangkap 4 ( empat) yang
masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
b. lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPKN.
c. lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
d. lembar ke-4 untuk pertinggal KPKN.
7) Pada setiap lembar Faktur Pajak, oleh Bendaharawan Pemerintah yang
melakukan pemungutan wajib dibubuhi cap "Disetor tanggal ................. " dan
ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
8) Pada setiap lembar Faktur Pajak SSP, oleh KPKN yang melakukan pemungutan
dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
9) SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 dibubuhi cap "TELAH DI BUKUKAN" oleh
KPKN.
10) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau
PPN dan PPnBM.

26
Tata Cara Pelaporan

1) Bendaharawan Pemerintah
Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungutan dan penyetoran PPN
dan PPnBM diwajibkan melaporkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut dan
disetor, setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendaharawan
Pemerintah terdaftar dengan menggunakan formulir "Surat Pemberitahuan Masa
bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai" yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga)
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya bulan dilakukan
pembayaran tagihan, yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
a. lembar ke-1, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 untuk KPP.
b. lembar ke-2, untuk KPKN.
c. lembar ke-3, untuk arsip Bendaharawan Pemerintah.
2) KPKN
KPKN setiap hari kerja menyampaikan lembar ke-3 Faktur Pajak yang telah
dibubuhi catatan nomor dan tanggal advis kepada Kantor Pelayanan Pajak
dengan Surat Pengantar. Dalam hal tidak ada Faktur Pajak yang disampaikan
pada hari itu, Surat Pengantar tetap dibuat dengan catatan "Faktur Pajak
NIHIL".

B. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Dan
Kontraktor Atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber
Daya Panas Bumi
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tentang
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas
Bumi Dan Kontraktor Atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan
Sumber Daya Panas Bumi Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya

27
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Kontraktor atau Pemegang
Kuasa/Pemegang Izin dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah;
b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan
minyak oleh PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran atas rekening telepon;
e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan; dan/ atau
f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran

1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP
dan/atau JKP kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin.
2) Faktur Pajak dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.
3) SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP
serta identitas Rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Kontraktor
atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin sebagai penyetor atas nama Rekanan.
4) Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka
Rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur
Pajak.

28
5) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 3
(tiga):
a. lembar kesatu untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin;
b. lembar kedua untuk Rekanan; dan
c. lembar ketiga untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
6) SSP sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima)
dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar kesatu untuk Rekanan;
b. lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. lembar kelima untuk Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
7) Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin yang melakukan pemungutan
wajib membubuhkan cap "Disetor Tanggal ......" dan menandatanganinya pada
Faktur Pajak.
8) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau
PPN dan PPnBM.

Tata Cara Pelaporan

Pelaporan dilakukan setiap bulan ke KPP tempat Kontraktor atau Pemegang


Kuasa/Pemegang Izin terdaftar dengan menggunakan formulir "Surat
Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN" paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3
dan SSP lembar ke-5.

C. Badan Usaha Milik Negara


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
8/PMK.03/2021 tentang Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan nilai
dan pajak penjualan atas barang mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan

29
perusahaan tertentu ynag dimiliki secara langsung Badan Usaha Milik Negara
sebagai pemungut PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara
dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah;
b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan
minyak oleh PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran atas rekening telepon;
e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan; dan/atau
f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran

Badan Usaha Milik Negara wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah
dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. Pelaporan atas pemungutan dan penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dilakukan setiap bulan dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak

30
Pertambahan Nilai. Berikut tata cara pemungutan dan penyetoran PPN dan
PPnBM oleh BUMN:

1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP
dan/atau JKP kepada Badan Usaha Milik Negara.
2) Faktur Pajak dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.
3) SSP diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas Rekanan, tetapi
penandatanganan SSP dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai
penyetor atas nama Rekanan.
4) Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka
Rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur
Pajak.
5) Faktur Pajak dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar kesatu untuk Badan Usaha Milik Negara;
b. lembar kedua untuk Rekanan; dan
c. lembar ketiga untuk Badan Usaha Milik Negara yang dilampirkan pada SPT
Masa PPN bagi Pemungut PPN.
6) SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan
peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar kesatu untuk Rekanan;
b. lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. lembar kelima untuk Badan Usaha Milik Negara yang dilampirkan pada SPT
Masa PPN bagi Pemungut PPN.
7) Badan Usaha Milik Negara yang melakukan pemungutan harus membubuhkan
cap "Disetor Tanggal ......" dan menandatanganinya pada Faktur Pajak.
8) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau
PPN dan PPnBM.

31
Tata Cara Pelaporan

Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat


Badan Usaha Milik Negara terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak, dengan menggunakan formulir "Surat Pemberitahuan
Masa PPN bagi Pemungut PPN", dan dilampiri dengan Faktur Pajak lembar ke-
3 dan SSP lembar ke-5 dalam hal terdapat pemungutan PPN atau PPN dan
PPnBM.

2.3 Ketentuan atas Transaksi/ Industri Khusus :


2.3.1 Apartemen, real estate dan konstruksi
A. Apartemen
Dasar Hukum
a. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020 tentang Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis
Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
Tarif
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan
bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
20% (dua puluh persen), merupakan kelompok hunian mewah seperti rumah
mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga
jual sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau lebih.

32
B. Real Estate
Dasar Hukum
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.51/2002 Tentang
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Tanah Dan/Atau
Bangunan Oleh Pengusaha Bidang Real Estat Dan Industrial Estat.

C. Konstruksi
Dasar Hukum
UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Ketentuan Umum
1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan
konstruksi.
2. Pekerjaan Konstruksi adarah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi
pembangunan, pengoper, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan
kembali suatu bangunan.
3. Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan
layanan Jasa Konstruksi.
4. Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.

2.3.2 Emas
a. Dasar Hukum
Terkait transaksi emas, ketentuan berikut ini perlu menjadi rujukan :
1. Pasal 4A ayat (2) poin d Undang-undang nomor 42 tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
bahwa uang, emas batangan, dan surat berharga merupakan jenis barang
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Pasal 4A ayat (2) poin d UU HPP bahwa uang, emas batangan untuk
kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga merupakan jenis
barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

33
3. Pasal 2 PMK Nomor 30/PMK.03/2014 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Penyerahan Emas Perhiasan bahwa Penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa
yang terkait dengan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Emas Perhiasan terutang
Pajak Pertambahan Nilai.

b. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak


1. Emas Batangan, tidak dikenakan PPN sebagaimana ketentuan pasal 4A ayat 2
poin d UU PPN serta UU HPP yang menambahkan ketentuan untuk kepentingan
cadangan devisa Negara. Namun emas batangan dikenakan PPh Pasal 22 sesuai
dengan PMK No. 34/PMK.010/2017.
2. Emas Perhiasan, termasuk dalam objek PPN, sehingga setiap transaksi emas
perhiasan akan dikenai pajak. Pengusaha emas harus melakukan pemungutan
PPN atas penyerahan emas perhiasan pada transaksi yang terjadi. Dasar
Pengenaan Pajaknya adalah 20 % x Harga Jual/Transaksi, dan PPN
terutangnya adalah 11 % x DPP (Dasar Pengenaan Pajak) atau dengan
bahasa ringkasnya tarif efektif PPN-nya sebesar 2,2 % sebagaimana tertuang
dalam pasal 3 dan pasal 4 PMK Nomor 30/PMK.03/2014 tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Penyerahan Emas Perhiasan.
Pajak Masukan berkenaan dengan penyerahan Emas Perhiasan yang
dilakukan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang menggunakan Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak tidak dapat dikreditkan;
Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang memiliki lebih dari satu tempat
penjualan; dan salah satu tempat penjualan tersebut menggunakan Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), maka semua tempat penjualan yang lain
wajib menggunakan Nilai Lain sebagai DPP; dan penyerahan emas perhiasan
antar tempat penjualan tidak terutang PPN. Menggunakan mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan (PM) dan Pajak Keluaran (PK).
Untuk menghitung PPN yang terutang wajib menggunakan mekanisme
pengkreditan PM terhadap PK sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang

34
Nomor 18 Tahun 2000. - Wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di tempat PKP dikukuhkan.
c. Contoh Perhitungan PPN atas transaksi Emas Perhiasan.
ANTAM, Pegadaian atau Badan Usaha Emas lainnya:

Jual ke toko emas = 1.000.000


DPP = 1.000.000 x 20 % = 200.000
PPN 11% = 22.000 (PPN Keluaran yang disetor ke
Kas Negara)
Toko emas:
Beli perhiasan emas dari ANTAM, Pegadaian = 1.000.000
DPP = 1.000.000 X 20 % = 200.000
PPN 11% = 20.000 (PPN Masukan, tidak bisa
dikreditkan).
Jual ke konsumen = 5.000.000
DPP = 5.000.000 X 20 % = 1.000.000
PPN 11 % = 110.000 PPN Keluaran (setor ke negara)

2.3.3 Transaksi syariah


1. Untuk memberikan kepastian kegiatan usaha bank yang terutang dan tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dirjen Pajak telah memberikan penegasan
melalui Surat Edaran (SE) Nomor 121/PJ/2010 tanggal 23 November 2010 tentang
Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Usaha Perbankan.
2. Kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak
terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut:
a. jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan
imbalan berupa bunga, atau
b. jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah,
dalam hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan.

35
3. Kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang
PPN. Berikut ini disampaikan Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan
penyerahan jasa yang terutang PPN meliputi:
1) Memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;
2) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
3) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
4) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
5) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak;
6) Membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah
nasabahnya:
 surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat- surat
dimaksud;
 surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak
lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
 kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
 Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
 obligasi;
 surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
 instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun.
Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

4. Di samping usaha di atas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang
bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh
agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan

36
secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar
Ielang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya
kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Dalam
hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.
5. Bank yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang PPN, kecuali
pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang dan wajib membuat
Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak.
6. Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah melakukan kegiatan usaha
yang sama, perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Syariah tersebut adalah sama dengan perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank
Umum.
7. Perbedaan perlakuan antara transaksi konvensional dan transaksi berbasis syariah
juga disebutkan di penjelasan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut Pasal 31D
khusus bidang usaha berbasis syariah yaitu Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Penjelasan dari
Peraturan Pemerintah ini diantaranya menyebutkan:
Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi
berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi.
Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu
industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda
tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang
terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan
prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait
dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum

37
diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

Berikut ini adalah kutipan dari PP ini di anggap perlu :


a. Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang- Undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku
umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
b. Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga
memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan
total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan
pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli. Maka terhadap margin tersebut
diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan.
c. Jika peraturan perpajakan merupakan satu kesatuan, tidak dilihat secara
parsial, maka Pertaturan Pemerintah ini menegaskan bahwa pembiayaan bukan jual
beli sehingga atas transaksi pembiyaan murabahah tidak terutang PPN [bukan objek
PPN]. Disini, bank tidak ditempatkan sebagai penjual atau pembeli, tapi dianggap
sebagai lembaga keuangan.

2.3.4 Pedagang Eceran (Retail)


1. Pengertian Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE) merupakan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak.
Dalam peraturan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kriteria pedagang eceran

tercantum didalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012 Pasal 20 , Pedagang


eceran melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dengan cara:
a. Melalui tempat penjualan eceran, seperti toko atau kios, atau dengan cara
penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir;
b. Penjualan dilakukan secara eceran; spontan tanpa didahului dengan
penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang;

38
c. Umumnya pedagang ecer melakukan penyerahan barang kena pajak secara
tunai dan langsung.

Kemudahan perpajakan yang diberikan kepada pedagang eceran dengan


diizinkan untuk menerbitkan faktur pajak secara digunggung, arti dari digunggung
disini faktur pajak yang tidak diisi dengan nama/identitas pembeli dan tanda tangan
penjual. Faktur pajak jenis ini hanya digunakan oleh mereka yang menjadi pedagang
eceran, dasar hukum dari pembuatan faktur pajak di gunggung di Peraturan Dirjen
Pajak ( PER Dirjen) nomor 29 pada pasal 7.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak. (Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-58/PJ/2010).
PKP PE wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PKP PE paling sedikit
harus memuat keterangan :
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak;
b. jenis Barang Kena Pajak yang diserahkan;
c. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnya
Pajak Pertambahan Nilai dicantumkan secara terpisah;
d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan e. kode, nomor seri dan
tanggal pembuatan Faktur Pajak.

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa bon
kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti
penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. (2) Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk elektronik. (Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-03/PJ/2022).

39
(Pasal 7)(1)Jenis barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
wajib diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai BKP
dan/atau JKP yang diserahkan.
(2) Bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP berupa kendaraan bermotor baru
kepada Pembeli BKP untuk dilakukan registrasi kendaraan bermotor baru sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, jenis barang yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan keterangan yang paling sedikit memuat
informasi berupa merek, tipe, varian, dan nomor rangka kendaraan bermotor baru
dimaksud.
(3) Bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP berupa tanah dan/atau bangunan,
jenis barang yang dicantumkan dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan keterangan
yang paling sedikit memuat informasi berupa alamat lengkap tanah dan/atau
bangunan dimaksud.
(4) Bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP kepada Pembeli BKP di kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, keterangan jenis barang yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak wajib diisi dengan nama BKP sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode pos tarif sesuai dengan
buku tarif kepabeanan Indonesia.

2. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai


1) Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto; dapat menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan untuk
menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dengan cara sebagai
berikut:
 Pajak Keluaran (PK) = Nilai Peredaran Bruto dan atau Penerimaan Bruto
yang terutang PPN pada masa pajak yang bersangkutan (tidak termasuk PPN) x Tarif
PPN 11%.
 Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan adalah: Untuk penyerahan BKP
oleh Pedagang Eceran dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto adalah 80% x
Pajak Keluaran.

40
Contoh:
Nilai Peredaran Bruto BKP masa Juli 2002 (tidak termasuk PPN) = Rp
40.000.000,-
Catatan:
PKP wajib membuat catatan nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto yang
menjadi Dasar Pengenaan Pajak.
2) PKP Pedagang Eceran selain yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto wajib menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak
Masukan terhadap Pajak Keluaran sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang PK 11% x Rp 40.000.000, Rp.
4.000.000, PM yang dapat dikreditkan 80%xRp 4.000.000, Rp. 3.200.000, PPN yang
terhutang Rp. 800.000,dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 18
Tahun 2000. PPN yang terutang = Harga jual atas penyerahan barang dagangan x
Tarif PPN 11%
3. Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT MASA PPN)
 PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dan selain yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang
melakukan penyerahan BKP:
a. Wajib mengisi SPT Masa PPN beserta lampirannya (formulir 1107) dan
melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP PE dikukuhkan; dan
b. Wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang terutang serta
melaporkannya pada SPT Masa PPN.
 Slip Cash Register atau Segi Cash Register yang dibuat dapat diperlakukan sebagai
Faktur Pajak Sederhana.
 Apabila harga jual BKP sudah termasuk PPN, Slip Cash Register atau Segi Cash
Register wajib diberi keterangan “untuk BKP harga sudah termasuk
PPN”.
 Pencantuman alamat Pedagang Eceran pada Slip Cash Register atau Segi Cash
Register dapat disingkat.

41
Bagi pedagang eceran yang memiliki omzet di bawah Rp 4.800.000.000 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) akan digolongkan sebagai pengusaha kecil.
Golongan pengusaha kecil ini tidak diwajibkan untuk memungut pajak
pertambahan nilai (PPN).
Sedangkan bagi pedagang eceran yang memiliki omzet di atas Rp 4.800.000.000
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) masuk ke dalam golongan pengusaha
besar dan wajib hukumnya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
(PKP) dan diwajibkan untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari
konsumen. Sebagai pengusaha kena pajak (PKP), maka pedagang eceran ini
wajib memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11% (sepuluh persen)
dari total nilai penyerahan barang kena pajak.

2.3.5 Leasing
a. Dasar Hukum
1. Pasal 1A ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, diatur
bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, antara
lain adalah pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing). Selanjutnya, dalam penjelasannya, antara lain
dinyatakan bahwa dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi,
Barang Kena Pajak dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak
pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). Didalam UU
HPP pasal ini tidak mengalami perubahan;
2. Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, diatur
jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, antara lain adalah jasa
keuangan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 4A huruf d butir 3 huruf a) Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai dinyatakan bahwa sewa guna usaha dengan hak
opsi merupakan jasa pembiayaan yang termasuk dalam cakupan jasa
keuangan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

42
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
1169/Kmk.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing);
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-129/Pj/2010 Tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi Dan Transaksi Penjualan Dan Penyewagunausahaan Kembali.

b. Ketentuan Umum
1. Sewa-guna-usaha (Leasing ) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan
oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala;
2. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-
usaha;
3. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan
pembiayaan dari Lessor;
4. Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau
memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha;
5. Lessor hanya dapat melakukan transaksi leasing dengan lessee yang telah
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kemudian pihak lessee tidak boleh
melakukan leasing kembali kepada orang lain atas barang hasil leasing dari lessor.
Untuk menghindari hal tersebut, lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada
barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan mencantumkan nama dan alamat
lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat dalam perjanjian
leasing (ketentuan pasal 6 dan pasal 7 KMK No. 1169/KMK.01/1991).

c. Ketentuan PPN
1. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease)
Leasing dengan menggunakan hak opsi (finance Lease) ini merupakan hak lease
untuk membeli sejumlah barang modal atau memperpanjang jangka waktu
perjanjian Leasing. Dalam perlakuan lessee dalam PPh diatur dalam pasal 16

43
KMK-1169/KMK.01/1991 mengenai selama masa sewa lessee tidak
diperbolehkan untuk melakukan penyusutan barang modal yang sampai lessee
menggunakan hak opsi untuk membeli, kemudian saat lessee menggunakan hak
opsi untuk membeli barang modal tersebut lessee melakukan penyusutan
berdasarkan nilai sisa barang yang bersangkutan.
Syarat suatu leasing dapat dikategorikan sebagai leasing dengan hak opsi
sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 KMK No. 1169/KMK.01/1991 ialah sebagai
berikut:
 Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor.
 Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III,
dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan.
 Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor
kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan PPN (Ketentuan Pasal 15 KMK No.
1169/KMK.01/1991) . Dalam hal lessee melakukan sale and lease back dengan
ketentuan leasing dengan hak opsi, maka berlaku ketentuan berikut:
 Penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN
(bukan objek PPN) karena:
a) Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee,
yang dijual oleh lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee.
b) Lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa
bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan
tersebut.
c) Penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee kepada lessor pada
dasarnya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
 Penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee
(leaseback) merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN.

44
2. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease)
Leasing dengan tidak menggunakan hak opsi (Operating Lease) merupakan
perjanjian dimana lessee tidak diberikan hak untuk memberi barang modal
tersebut. 

Syarat suatu leasing dapat dikategorikan sebagai leasing tanpa hak opsi sebagaimana
tertuang dalam Pasal 4 KMK No. 1169/KMK.01/1991 ialah sebagai berikut :
 jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-gunausahakan
ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor ;
 perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi
lessee.

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor
kepada lessee, dikenakan PPN (Ketentuan Pasal 18 KMK No. 1169/KMK.01/1991)
. Dalam hal lessee melakukan sale and lease back dengan ketentuan leasing tanpa
hak opsi, maka berlaku ketentuan berikut:
 Penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) dikenai PPN
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 Penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor kepada lessee
(leaseback) dikenai PPN sebagaimana kegiatan usaha sewa menyewa pada
umumnya.

Ketentuan mengenai pajak leasing diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Dirjen
Pajak No. SE-129/PJ/2010 tanggal 29 November 2010. Berikut ini poin penting
dalam surat edaran tersebut:

1. Ketika Barang Kena Pajak (BKP) berupa barang modal yang menjadi objek
pembiayaan, berasal dari pemasok (supplier)

 BKP dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
pemasok (supplier) kepada pihak yang menyewa.

45
 Pemberi sewa tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP, karena dianggap hanya
menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN.
 PKP pemasok wajib menerbitkan faktur pajak kepada pihak yang menyewa
dengan menggunakan identitas pihak penyewa sebagai pembeli BKP/JKP.
 Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang dicantumkan dalam faktur pajak adalah
senilai harga jual dari PKP.
2. Ketika BKP berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari
persediaan yang dimiliki pihak penjual

 Pihak yang menyewakan pada dasarnya melakukan dua jenis


penyerahan, yaitu penyerahan jasa pembiayaan tidak dikenai PPN dan penyerahan
BKP yang merupakan objek PPN.
 Pihak yang menyewakan harus dikukuhkan sebagai PKP dan harus
menerbitkan faktur pajak atas penyerahan BKP.

2.3.6 Kegiatan membangun sendiri


a. Dasar Hukum
1. Pasal 16C UU PPN menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2010
Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Pascabencana Alam Di Wilayah Provinsi Sumatera Barat Dan Sebagian Provinsi
Jambi;
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012
Tentang Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-25/Pj/2012 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-23/Pj/2012 Tentang Tata Cara

46
Penetapan Secara Jabatan Atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan/ Atau Yang
Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun
Sendiri.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/2-13/ Tentang
Perubahan Atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2012
Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012
Tentang Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri.
b. Ketentuan Umum
1. Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
2. Kriteria bangunan atas membangun sendiri yang terkena pajak yaitu:
 Konstruksi bersifat permanen, dimana sebagian besar materialnya terbuat
dari batu bata, kayu, beton, besi baja, serta material sejenis yang bersifat kokoh. Hal
tersebut berlaku juga apabila konstruksi merupakan gabungan dari beberapa material
yang telah disebutkan.
 Digunakan, maksudnya adalah bangunan tersebut dapat dimanfaatkan
seperti hunian maupun tempat usaha pribadi misalnya ruko atau warung.
 Ukuran tertentu, Bangunan yang dibangun setidaknya memiliki luas
keseluruhan mencapai lebih dari 200 m2.
3. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu-kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan
tidak lebih dari dua tahun.

c. Saat Terutang PPN


Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai
pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. (Pasal 4
PMK No. 163 Tahun 2012).

d. Tarif PPN

47
PPN untuk kegiatan membangun sendiri adalah 2%. Tarif tersebut efektif yang
berasal dari tarif PPN sebesar 11% yang dikalikan berdasarkan Dasar Pengenaan
Pajak sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan,
tidak termasuk harga perolehan tanah. (Pasal 3 PMK No. 163 Tahun 2012).

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri (DPP
PPN KMS) dihitung dengan cara mengalikan angka 20% (dua puluh persen) dengan
jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, menggunakan formula perhitungan sebagai berikut: DPP PPN KMS =
20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan. (Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-23/PJ/2012).
Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan yang digunakan sebagai DPP PPN KMS dihitung dengan cara mengalikan
nilai terendah Harga Satuan Bangunan Gedung Negara berikut Koefisien Jumlah
Lantai Bangunan dengan luas bangunan keseluruhan objek PPN KMS, menggunakan
formula perhitungan sebagai berikut: Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan = Nilai Terendah Harga Satuan Tertinggi
Berdasarkan Klasifikasi Bangunan Gedung Negara x Koefisien x Luas Bangunan
Keseluruhan (Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-23/PJ/2012).
Koefisien Jumlah Lantai bangunan adalah faktor pengali sesuai dengan tabel
berdasarkan variasi jumlah lantai bangunan.
Luas Bangunan Keseluruhan adalah jumlah luas lantai bangunan termasuk teras,
balkon dan bangunan tambahan lainnya.

e. Pembangunan yang dilakukan Kontraktor


Apabila kontraktor merupakan Pengusaha Kena Pajak, wajib bagi kontraktor
memungut PPN atas nilai kontraknya. pemungutan PPN biasanya didasari Rencana
Anggaran Biaya (RAB) yang telah disepakati antara pihak yang membangun dan
kontraktor.

48
Sebaliknya jika kontraktor merupakan non-PKP, maka kontraktor tidak wajib
memungut PPN namun pemilik bangunan yang wajib menyetor dan melapor PPN
tersebut.

f. Cara Pembayaran
Berdasarkan PMK No. 163 tahun 2012, cara pembayaran PPN KMS bisa dilakukan
dengan cara berikut:
 Dilakukan setiap bulan sebesar 2% dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan pada tiap bulannya
 Pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak dengan kode: 411211 – 103
 Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama tempat
orang pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar, kolom NPWP yang
tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP pribadi atau badan tersebut.
 Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah KPP pratama yang berbeda
dengan KPP tempat pribadi atau badan, kolom NPWP diisi dengan: 00.000.000.0-
KPP-000 (KPP diisi dengan 3 digit kode KPP) dan pada kolom “penyetor” diisi
nama dan NPWP pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
 paling lambat pembayaran tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa
pajak. Anda bisa membayar ke bank persepsi atau kantor pos terdekat.

g. Cara Pelaporan
Bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan kegiatan membangun sendiri
wajib melaporkan PPN KMS menggunakan SPT masa PPN dan masa pelaporan
paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Wajib pajak berstatus PKP melaporkan SPT masa PPN dengan melampirkan
SSP lembar ketiga ke KPP terdaftar.
Apabila dilakukan pada wilayah berbeda dengan wilayah KPP terdaftar, Anda dapat
menambah laporan SSP lembar ketiga ke Kantor Pelayanan Pajak di wilayah Anda
membangun bangunan.

49
Orang pribadi atau badan bukan PKP yang melakukan pembayaran PPN terutang
atas KMS dan telah mendapatkan validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) dianggap telah melaporkan PPN sesuai tanggal validasi.
Jadi, jika Anda bukan PKP, validasi NTPN dari bank atau pos dianggap sebagai
bentuk pelaporan sehingga Anda tidak perlu lapor lagi ke kantor pajak.

h. Ketentuan Lain-lain
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara,
Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi.
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri:
a. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; maka jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang di bayarkan untuk membangun bangunan ditetapkan
secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung
Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan
Gedung Negara dan perubahan nya.
b. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau
yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak
lengkap, maka berlaku ketetapan sebagai berikut :
 Jika Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/ atau yang di bayarkan untuk
membangun bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan
Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data
nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau
 Jika Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/ atau yang di bayarkan untuk
membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan
Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data

50
atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang di bayarkan untuk
membangun bangunan.

i. Contoh Perhitungan PPN atas kegiatan membangun sendiri


Tuan Reno merupakan PKP memulai pembangunan sebuah rumah pribadi pada
tanggal 5 Oktober 2021 dengan Luas bangunan rumah adalah 310m².
Rincian biaya yang sudah dikeluarkan selama bulan Oktober ialah sebagai berikut:
 Pembelian tanah = Rp250.000.000
 Bahan baku bangunan = Rp80.000.000
 Upah mandor dan buruh bangunan = Rp20.000.000

Penyelesaian :
1.PPN terutang = 11% x DPP
= 11% x (20% x biaya pembangunan tidak termasuk tanah)
= 11% x (20% x (Rp80.000.000 + Rp20.000.000)
= 11% x Rp20.000.000
= Rp2.200.000

Setelah menghitung Pajak Pertambahan Nilai KMS terutang, segera membayar atau
menyetor pajak yang terutang ke bank persepsi atau kantor pos terdekat paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, yaitu tanggal 15
November 2021.

Wajib Pajak non PKP wajib melaporkan SSP lembar ketiga kepada KPP wilayah
KMS. Pelaporan paling lambat akhir bulan berikutnya. Wajib pajak berstatus PKP
melaporkan SPT Masa PPN dengan melampirkan SSP lembar ketiga ke KPP
terdaftar. Apabila KMS dilakukan di wilayah berbeda dengan wilayah KPP terdaftar,
maka ditambah melaporkan SSP lembar ketiga ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
KMS dilakukan.

51
DAFTAR PUSTAKA

Undang – undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana terkahir
diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1169/KMK.01/1991


Tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing);

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012 Tentang


Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri;

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/PMK.03/2014 Tentang


Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Emas Perhiasan;

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-25/PJ/2012 Tentang Perubahan Atas


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2012 Tentang Tata Cara
Penetapan Secara Jabatan Atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan/ Atau
Yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan Dalam Rangka Kegiatan
Membangun Sendiri;

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-129/PJ/2010 Tentang Perlakuan


Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi
Dan Transaksi Penjualan Dan Penyewagunausahaan Kembali;

52
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Di Ubah Terahir Dengan UU No 42 Tahun
2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.

Peraturan Mentri Keuangan Republik Indonesia No 5/PMK.010/2022 Tentang Pajak


Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Di Tanggung
Pemerintah Tahun Anggaran 2022.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/2-13/ Tentang Perubahan


Atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2012 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Tentang
Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri.
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-58/PJ/2010 Tentang Bentuk dan Ukuran
Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak bagi
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 Tentang Faktur Pajak.

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-leasing

https://www.thinktax.id/tax-flash/perlakuan-pph-dan-ppn-atas-leasing-sewa-guna-
usaha

53

Anda mungkin juga menyukai