Anda di halaman 1dari 17

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………1

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………1

1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………………………2

1.3. Tujuan Penyusunan …………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

2.1. Definisi Investigasi........................................................................................................3

2.2. Tujuan Investigasi..........................................................................................................3

2.3. Prinsip Investigasi..........................................................................................................8

2.4. Aksioma Dalam Investigasi...........................................................................................9

2.5. Prosedur Pelaksanaan Investigasi................................................................................10

2.6. Predication..................................................................................................................11

2.7. Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana..................................................................12

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................14

3.1. Kesimpulan..................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum memulai suatu investigasi, pimpinan perusahaan atau lembaga perlu


menetapkan apa yang sesungguhnya ingin dicapai dari investigasi itu. Investigasi merupakan
proses yang panjang, mahal, dan bisa berdampak negatif terhadap perusahaan atau stakeholders-
nya. Proses yang panjang dan lama, diikuti dengan banyaknya pihak (baik intern maupun
ekstren) yang terlbiat atau dilibatkan, menyebabkan investigasi itu menjadi mahal. Perusahaan
juga harus menyediakan banyak sumber daya atau harus meng-commit sumber daya yang akan
disediakan.

Reputasi perusahaan juga bisa hancur kalua pengungkapan investasi ini tidak
dikomunikasikan dengan baik. Contoh: obat yang sudah kadaluarsa dan seharusnya dihancurkan,
justru dijual oleh pegawai bagian gudang. Kecurangan ini dapat menjadi bencana bagi
konsumen. Namun kalua hasil investigasi dikomunikasikan dengan baik, maka hubungan antara
perusahaan dan konsumen (atau stakeholder lainnya) justru dapat mencegah hancurnya reputasi
perusahaan. Oleh karena itu, tujuan dari suatu investigasi harus disesuaikan dengan keadaan
khusus yang dihadapi, dan ditentukan sebelum investigasi dimulai.

Investigasi dan pemeriksaan fraud digunakan silih berganti sebagai simonim. Idealnya
ada kesamaan makna konsep-konsep auditing dan hukum; namun dari segi filsafat auditing dan
filsafat hukum, hal itu tidaklah mungkin. Ada sebab lain kenapa harmonisasi antara konsep-
konsep hukum dan auditing tidak dapat berjalan. Hukum Indonesia, khususnya hukum pidana
dan hukum acara pidana, masih berasal dari hukum Napoleonic. Sedangkan konsep=konsep
akuntansi dan auditing diadopsi dari Amerika Serikat. Karena perbedaan yang penting antara
konsep-konsep auditing dan hukum, pemeriksa fraud perlu memahami kedua-duanya.

Dalam filsafat auditing, ada konsep due audit care, prudent auditor, seorang professional
yang berupaya menghindari tuntutan dengan tuduhan teledor (negligent) dalam melaksanakan
tugasnya. Untuk itu, pemeriksa fraud atau investigator perlu mengetahui tiga aksioma dalam
pemeriksaan fraud. Suatu investigasi hanya dimulai apabila ada dasar yang layak, yang dalam
2

investigasi dikenal sebagai predicaton. Dengan landasan atau dasar ini, seseorang investigator
mereka-reka mengenai apa, bagaimana, siapa dan pertanyaan lain yang diduganya relevan
dengan pengungkapan kasusnya.

I.2. Rumusan Masalah

Oleh karena masalah yang dikemukakan di atas terlalu luas dan supaya tidak
menyimpang dari materi maka penyusun merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan investigasi?


2. Apa tujuan dari investigasi?
3. Apa prinsip-prinsip dalam investigasi?
4. Bagaimana aksioma dalam investigasi?
5. Bagaimana prosedur pelaksanaan investigasi?
6. Apa yang dimaksud dengan predication?
7. Bagaimana pemeriksaan dalam hukum acara pidana?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui definisi investigasi


2. Untuk mengetahui tujuan dari investigasi
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam investigasi
4. Untuk mengetahui aksioma dalam investigasi
5. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan investigasi
6. Untuk mengetahui definisi predication
7. Untuk mengetahui pemeriksaan dalam hukum acara pidana
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Investigasi

Menurut Bastian (2002), investigasi adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup


tertentu, periodenya tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area pertanggungjawaban yang
diduga mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit
berupa rekomendasi untuk ditindak lanjuti berganting pada derajat penyimpangan wewenang
yang ditemukan.

Menurut Rosjidi (2001), menjelaskan investigasi adalah audit dengan tujuan khusus yaitu
untuk membuktikan dugaan penyimpangan dalam bentuk kecurangan (fraud), ketidakteraturan
(irregulaties), pengeluaran ilegal (illegal expendation) atau penyalah gunaan wewenang (abuse
of power) di bidang pengelolaan keuangan Negara yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
korupsi, kolusi atau nepotisme yang harus diungkapkan oleh auditor serta ditindaklanjuti oleh
instansi yang berwenang, kejaksaan atau kepolisian berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

Dari definisi di atas audit investigasi dapat disimpulkan bahwa audit investigasi
merupakan suatu cara untuk mendeteksi dan memeriksa kecurangan terutama laporan keuangan
yang sedang atau sudah terjadi.

2.2. Tujuan Investigasi

Di bawah ini bermacam-macam alternatif mengenai tujuan investigasi yang diambil dari
K.H. Spencer Pickeet dan Jennifer Pickett, Financial Crima Investigation and Control (2002):

1. Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras bahwa


manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajiban fidusianya. Kewajiban
fidusia ini termasuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan oleh karyawannya.

2. Memeriksa, mengumpulkan, dan menilai cukupnya dan relevannya bukti. Tujuan ini
akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan
4

hakim di pengadilan. Konsepnya adalah forensic evidence, dan bukan sekedae bukti
audit.

3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah. Misalnya dalam pemberitaan di
media massa bahwa karyawan di bagian produksi menerima uang suap. Tanpa
investigasi, reputasu dari semua karyawan di bagian produksi akan tercemar. Investigasi
mengungkapkan siapa yang bersalah. Mereka yang tidak bersalah terbebas dari tuduhan
(meskipun perguncingan sering kali tetap tidak terhindari).

4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. Banyak bukti
dalam kejatan keuangan berupa dokumen. Kalau banyak dokumen disusun untuk
menyembunyikan kejahatan, atau kalua dokumen ini dapat memberi petunjuk kepada
pelaku dan penganngung jawab kecurangan, maka tujuan dari investigasi ini adalah
menjaga keutuhan dokumen. Ruang kerja harus diamankan, tidak boleh ada orang masuk
keluar tanpa izin, dokumen harus diindeks dan dicatat.

5. Menemukan aset yang digelaplan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang
terjadi. Ini meliputi penelusuran rekening bank, pembekuan rekening, izin-izin untuk
proses penyitaan dan atau penjualan aset, dan penentuan kerugian yang terjadi.

6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku
kejahatan, mengerti kerangka acuan dari investigasi tersebut; harapannya adalah bahwa
mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu. Teknik pelaksanaanya adalah
dengan “dengar pendapat terbuka” yang menghadirkan orang luar sebagai panelis. Orang
luar ini biasanya orang terkemuka dan terpadangan. Hal ini umumnya dilakukan apabila
“operasi tertutup dan rahasia: (covert operation) gagal mengungkapkan kecurangan yang
berdampak luas.

7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya. Ada dua versi
dari pendekatan ini. Pertama, lakukan penuntutan tanpa pandang bulu, berapa pun besar
biayanya, siapa pun pelakunya (penjahat besar maupun kecil). Hal ini akan mengirimkan
pesan kepada seluruh karyawan dan pihak luar, bahwa perusahaan atau lembaga itu
serius dalam mengejar si penjahat. Kedua, kejar si penjahat untuk mengembalikan dana
5

atau aset yang dicurinya, dan kemudian minta dia mengundurkan diri atau diberhentikan.
Pendekatan kedua, lebih “tenang”, tidak ada gembar-gembor.

8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. Sepeti pada butir di atas, tujuan
utamanya adalah menyingkirkan “buah busuk” agar “buah segar” tidak ikut busuk.
Pendekatannya adalah pendekatan disiplin perusahaan. Pembuktian terhadap tindak
kejahatan ini mungkin tidak akan lolos di sidang pengadilan. Akan tetapi pembuktian di
sini diarahkan kepada penerapan peraturan intern perusahaan.

9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan. Kecurangan


menggerogoti sumber daya perusahaan, dan umumnya pemulihan kerugian ini tidak ada
atau sangat sedikit. Pendekatan ini mengnetikan kerugian lebih lanjut dan menutup
celah-celah peluang (loopholes) terjadinya kejahatan.

10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan. Apakah invetigasi akan diperluas
atau diperdalam, atau justru dibatasi lingkupnya. Kadang-kadang suatu investigasi
dilaksanakan secara tentative atau ekspolartif dan bertahap. Dalam invesitgasi ini laporan
kemajuan memungkinkan evaluasi, apakah kita akan melanjutkan. Kalau “iya”
bagaimana lingkupnya.

11. Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan, sesuai
dengan buku pedoman. Tujuan semacam ini bisanya didasrkan atas pengalaman buruk.
Di masa lalu, misalnya, tujuan daripada investigasi adalah untuk menangkap pelakunya.
Ketika investigasi dilakukan secara gencar, investigasnya “kebablasan” dan
pelaksanaanya melanggar ketentuan.

12. Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan
mengenai investigasi atas dugaan kejahatan menghasilkan temuan baru yang melahirkan
dugaan tambahan atau suatu dugaan baru. Investigasi pertama diikuti dengan investigasi
berikutnya, dan seterusnya, secara iterative memperluas pemahaman investigator
mengenai berapa dalamnya masalah yang dihadapi. Konsultasi, diskusi, dan presentasi
dari temuan-temuan secara berkala (mingguan, misalnya), merupakan ciri-ciri khas dari
pendekatan ini.
6

13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum tindak lanjut yang
tepat dapat diambil. Ini biasanya merupakan tujuan investigasi dalam hal pelaku
tertangkap tangan, seperti dalam kasus pencurian di supermarket. Umumnya kejahatan di
tempat kerja tidak memiliki ciri kasus ini karena karyawan dikenal atau mempunyai
identitas yang disimpan dalam catatan perusahaan. Akan tetapi dalam kajehatan tertentu,
misalnya penggelapan uang yang melibatkan pihak-pihak di luar perusahaan, pendekatan
ini sangat tepat.

14. Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan sumber daya dan
terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin. Pendekatan ini berupaya mencari
pemecahan yang optimal dalam kasus yang terjadi.

15. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat
keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil. Hasil investigasi sering
kali ditindaklanjuti secara emosional. Kalua karyawan itu disukai oleh atasan atau rekan
sekerjanya, pimpinan cenderung “memaafkan” perbuatannya dan tidak memanfaatkan
peluang untuk memperbaiki sistem yang berhasil “dijebolnya”. Sebaliknya, kalua
pimpinan atau rekan sekerjanya tidak menyukai si pelaku kecurangan, pimpinan
cenderung menghukumnya seberat-beratnya. Kedua sikap tadi akan merugikan
perusahaan. Dengan memperoleh gambaran yang layak (fair) maka pimpinan secara
sadar membuat keputusan tentang siapa yang melakukan investigasi (harus seorang
profesional) dan bagaimana tindak lanjutnya.

16. Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun
tertulis, baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menanggapinya
secara tepat. Investigasi yang didasrkan pada tujuan ini, tidak akan menelan mentah-
mentah “fakta” yang diajukan dalam tuduhan itu. Fokusnya adalah pada konteks tuduhan
itu dan apakah tuduhan itu akan dianggap serius.

17. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. Hal ini sangat penting ketika
moral kerja merupakan kunci keberhasilan dalam perusahaan atau tim kerja.

18. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga. Tujuan dari investigasi ini tentunya
bukan untuk melindungi lembaya yang Sebagian besar memang sudah korup. Kalau
7

tujuan ini ditetapkan dalam kondisi semacam ini, maka yang terjadi adalah
persekongkolan jahat atau kolusi. Tujuan investigasi di atas sangat tepat apabila
kejahatan dilakukan oleh segelintir orang, padahal reputasi perusahaan secara
keseluruhan terancam.

19. Mengikuti seluruh kewajiban hukum dan mematuhi semua ketentuan mengenai due
diligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi)

20. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik. Kita umumnya menyadari akan
perlunya ketentuan perundang-undangan dipatuhi, dan konsekuensi terhadap
pelanggarannya. Namun, lebih sulit mengikuti kewajiban etika. Dalam situasi di mana
pelaku kecurangan “pasrah”, ia sering kali mengikuti kehendak sang investor. Dalam
kondisi seperti ini, si investigator lupa akan kode etiknya, sekadar karena pada saat itu si
“terduga” tidak mempertanyakan sikap dan tingkah si investigator. Sering kali
kepasrahan si “terduga” diikutu dengan arogansi si investigator, menyuburkan praktik-
praktik pelanggaran kode etik. Dengan menetapkan tujuan investigasi ini, perusahaan
ingin memastikan bahwa investigator senantiasa mengikutu kode etik yang sudah
ditetapkan.

21. Menentukan siapa pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya. Prakarsa ini
bermaksud untuk menyeret si pelaku ke pengadilan pidana, misalnya pengadilan tindak
pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu pengumpulan bukti yang cukup untuk proses
penyidikan yang diikuti dengan penuntutan dan selanjutnya proses pengadilan. Dengan
demikian, seluruh daya dikerahkan disertai publisitas penuh, yang sangat sejalan dengan
kebijakan “tanpa ampun” (zero-tolerance policy).

22. Mengumpulkan bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan yang tidak
terpuji. Ini serupa dengan tujuan dalam butir 21 di atas, dengan perbedaan bahwa butir
ini diproses melalui ketentuan administratif atau pradata.

23. Mengidentifikasi praktik manajemen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau


perilaku yang melakukan tanggung jawab. Seorang karyawan di bagian pengadaan
berkolusi dengan pemasok. Hal ini memungkinkan karyawan memperkaya dirinya
sendiri, yang dipakaianya untuk pembelian property mewah. Investigasi dilakukan dalam
8

dua tahap. Tahap pertama diarahkan kepada pelaku. Sedangkan tahap kedua, kepada
atasnnya. Tahap kedua ingin menjawab pertanyaan: Mengapa atasannya tidak melihat
petunjuk awal (anak buah bertambah kekayaan dalam jangka waktu pendek), ataukan
sekurang-kurangnya mewawancarai anak buahnya. Tujuan investigasi dalam butir ini
adalah untuk tahap kedua tadi

24. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau lembaga ini tidak
tertangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik. Gaya kerja “serbu dan
tangkap” atau “tangkap dulu, jelaskan kemudia” sering kali rawan terhadap
kemungkinan perusahaan dituntut. Oleh karena itu, tujuan investigasi ini harus jelas dan
ditegaskan sebelum investigasi dilakukan.

25. Mengidentifikasi saksi yang melihat atau mengetahui terjadinya kecurangan dan
memastikan bahwa mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan
terhadap si pelaku. Tujuan ini berkatian dengan petunjuk bahwa si pelaku
mengidentifikasi orang-orang yang secara potensial bisa menjadi saksi, baik dalam
proses penyidikan maupun dalam sidang pengadilan. Perlindungan terhadap para saksi
ini dapat mendorong mereka memberikan keterangan, petunjuk, atau bukti yang
diperlukan.

26. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan


ini dengan tepat. Dalam jangka panjang, manajemen risiko yang baik yang akan
mencegah atau mengurangi terjadinya kecurangan.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat adanya berbagai tujuan dalam melakukan suatu
investigasi. Istilah investigasi dalam penggunaan sehari-hari, memberi kesan seolah-olah hanya
ada satu jenis. Jenis yang kita kenal umumnya adalah dalam konteks tindak pidana korupsi.
Tujuan akhirnya, menjebloskan koruptor ke penjara dan/atau mendapatkan kembali Sebagian
atau seluruh hasil jarahannya. Pemilihan di antara berbagai alternatif tujuan investigasi,
tergantung dari organisasi atau lembaganya serta mandate yang dipunyai, jenis dan besarnta
kecurangan, dan budaya di lembaga tersebut. Tanggung jawab untuk menentukan tujuan yang
ingin dicapai dalam suatu investigasi terletak pada pimpinan.
9

2.3. Prinsip Investigasi


Menurut M Tuanakotta (2010) mengumukakan bahwa prinsip-prinsip investigasi yaitu:

1. Investigasi adalah tindakan mencari kebenaran.

2. Kegiatan investigasi mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat


mendukung fakta yang dipermasalahkan.

3. Semakin kecil selang antara waktu terjadinya tindak kejahatan dengan waktu untuk
merespon maka kemungkinan bahwa suatu tindak kejahatan dapat terungkap akan
semakin besar.

4. Auditor mengumpulkan fakta-fakta sehingga bukti-bukti yang diperoleh tersebut dapat


memberikan kesimpulan sendiri atau bercerita.

5. Bukti fisik merupakan bukti nyata. Bukti tersebut sampai kapanpun akan selalu
mengungkap hal yang sama.

6. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan sangat dipengaruhi
oleh kelemahan manusia.

7. Jika auditor mengajukan pertanyaan yang cukup kepada sejumlah orang yang cukup,
maka akhirnya akan mendapatkan jawaban yang benar.

8. Informasi merupakan nafas dan darahnya investigasi.

2.4. Aksioma Dalam Investigasi

Aksioma adalah pernyataan (proposition) yang tidak dibuktikan atau diperagakan dan
dianggap sudah jelas dengan sendirinya (self-evident). Kebenaran dari proposisi ini tidak
dipertanyakan lagi (taken for granted). Aksioma merupakan titik tolak untuk menarik
kesimpulan tentang kebenaran yang harus dibuktikan (melalui pembentukan teori). Menurut
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) ada tiga aksioma dalam melakukan investigasi,
yaitu:

1. Kecurangan itu tersembunyi (Fraud is Hidden)

Kecurangan memiliki metode untuk menyembunyikan seluruh aspek yang mungkin dapat
mengarahkan pihak lain menemukan terjadinya fraud tersebut. Upaya-upaya yang
10

dilakukan oleh pelaku kecurangan untuk menutupi kecurangannya juga sangat beragam,
dan terkadang sangat canggih sehingga hampir semua orang (Auditor Investigatif) juga
dapat terkecoh.

2. Melakukan pembuktian dua sisi (Reserve Proof)

Auditor harus mempertimbangkan apakah ada bukti-bukti yang membuktikan bahwa dia
tidak melakukan kecurangan. Demikian juga sebaliknya, jika hendak membuktikan
bahwa seseorang tidak melakukan tindak kecurangan, maka harus mempertimbangkan
bukti-bukti bahwa yang bersangkutan melakukan tindak kecurangan.

3. Keberadaan suatu Kecurangan (Existence of Fraud)

Adanya suatu tindak kecurangan atau korupsi baru dapat diperiksa jika telah diputuskan
oleh hakim melalui proses pengadilan. Dengan demikian, dalam melaksanakan audit
investigasi, seorang auditor dalam laporannya tidak boleh memberikan opini mengenai
kesalahan atau tanggung jawab salah satu pihak jawab atas terjadinya suatu tindak
kecurangan atau korupsi.

Auditor hanya mengungkapkan fakta dan proses kejadian, beserta pihak- pihak yang
terkait dengan terjadinya kejadian tersebut berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkannya.

2.5. Prosedur Pelaksanaan Investigasi

Adapun prosedur audit investigasi dilakukan melalui lima tahapan, yaitu:

1. Penelahaan informasi awal

Tahap awal yang dilakukan oleh auditor investigasi dengan menelaah informasi yang
berasal dari pengaduan masyarakat, media massa, cetak, dan visual, pihak lembaga, pihak
aparat penegak hukum, serta hasil audit reguler. Apabila informasi-informasi yang telah
diperoleh dan ditelaah maka auditor investigatif akan memutuskan apakah telah cukup
bukti atau alasan untuk melakukan audit investigasi dalam pembuktian kecurangan.
11

2. Perencanaan pemeriksaan
Pada proses ini pemeriksaan melakukan penelaahan atas pengendalian intern dan
menentukan kekuatan dan kelemahan pengendalian intern, merancang scenario kerugian
dari indikasi korupsi, dan memprogram pembagian tugas tim audit.

3. Pelaksanaan pemeriksaan

Pada tahapan pelaksanaan dilakukan, pembicaraan pendahuluan dengan auditan,


melaksankan audit secara flexible dan mengembangkan teknikteknik audit, menelaah
ketentuan/perundang- undangan, mencari dokumen dan arus uang.

4. Laporan pemeriksaan

Pada tahapan laporan pemeriksaan dilakukan, penentuan tujuan pelaporan, menyusun


laporan hasil investigasi, menyusunnya tepat waktu. Dalam tahapan ini, pemeriksaan
membangun skenario terburuk dari penyimpangan yang hendak diungkap dan mencari
bukti yang dapat diterima secara hukum atas skenario tersebut dengan menggunakan
teknik-teknik audit di atas.

5. Tindak lanjut pemeriksaan

Pada tahapan tindak lanjut ini, dilakukan : pemberian saran dan rekomendasi,
pemantauan tindak lanjut, pengakuan tanggung jawab auditor. Pada tahapan ini proses
sudah diserahkan dari tim audit kepada pemimpinan organisasi dan secara formal
selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil Audit
Investigatif kepada pangguna laporan diharapkan sudah memasuki pada tahap
penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam peradilan, tim audit
investigasi dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan keterangan ahli jika
diperlukan.

Dalam hal seorang auditor investigasi menggunakan teknik audit yang mencakup 7 hal
(Tunanakota, 2010), yaitu:

1. Memeriksa fisik (physical examination).

2. Meminta konfirmasi (confirmation).

3. Memeriksa dokumen (documentation).


12

4. Review analitikal (analytical review).

5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditee (inquines of the auditee).

6. Menghitung kembali (reperformance).

7. Mengamati (observation).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa auditor investigasi harus melakukan
prosedur tersebut secara bertahap dalam pelaksanaan audit investigasi untuk pembukitan
kecurangan. Apabila auditor investigasi telah melakukan proses-proses di atas, maka auditor
tersebut dapat dikatakan telah memiliki kemampuan yang memadai.

2.6. Predication

Langkah pertama akuntan forensic dalam audit investigasinya adalah Menyusun


predication. Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication adalah keseluruhan dari
peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang
membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehati-hatian yang
memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akan berlangsung. Predication
adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan
tanpa adanya predication yang tepat. Setiap investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan
bahwa kasus ini berakhir dengan suatu litigasi. Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa
belum memiliki bukti yang cukup.

Investigasi dengan pendekatan teori fraud meliputi Langkah-langkah sebagai berikut:

1. Analisis data yang tersedia.

2. Cipatakn (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis di atas.

3. Uji atau tes hipotesis tersebut

4. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujain sebelumnya.


13

2.7. Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana


Pembahasan mengenai pemeriksaan fraud adalah dari kaidah-kaidah auditing. Padahal,
pemeriksaan fraud dimaksudkan untuk pembuktian di pengadilan. Idealnya, pendekatan auditing
dan hukum berjalan seiring. Namun, latar belakang kedua bidang ilmu ini berbeda. Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982) mengatur tahapan hukum
acara pidana sebagai berikut:

1. Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan


suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya penyidikan dilakukan. Penyelidikan tidaklah berdiri sendiri atau terpisah dari
penyidikan, melaikan merupakan satu rangkaian yang mendahului Tindakan penyidikan
lainnya, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Wewenang
penyeluduk seperti mencari keterangan dan barang bukti sudah memasuki ruang lingkup
pembuktian. Kalau keterangan yang diperoleh dari beberapa orang saling bersesuaian
satu sama lain, apalagi kalua ada keterkaitan dengan barang bukti yang ditemukan, maka
penyelidik dapat menduga terlah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya penyidikan
dapat dilakukan.

2. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan


bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan
tersangkanya. Dalam hal penyidik (kepolisian atau kejaksaan) berpendapat bahwa dari
bukti-bukti yang dikumpulkan secara maksimal ternyata tidak terdapat cukup bukti atau
terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana (korupsi) maka mereka berwenang
menghentikan penyidikan.

3. Penuntutan

Penuntutan adalah Tindakan penuntut umum yang melimpahkan perkara ke pengadilan


negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum acara pidana,
dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hekim di sidang pengadilan. Setelah
penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
14

penyidik, segera menentukan apakah berska perkara sudah atau belum memenuhi syarat
untuk dilimpahkan ke pengadilan.

4. Pemeriksaan di sidang pengadilan

Seperti pada tahap-tahap sebelumnya, acara pemeriksaan di sidang pengadilan tidak lain
berkenaan dengan pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan
diperiksa kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti.

5. Putusan pengadilan

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan
yang lain.

6. Upaya hukum

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan penunjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk mengajukan
kasasi demi kepentingan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang.

7. Pelaksanaan putusan pengadilan

8. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan


15

BAB III
KESIMPULAN

Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umunya


pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku. Adanya
berbagai tujuan dalam melakukan suatu investigasi, oemilihan di antara berbagai alternatif tujuan
investigasi, tergantung dari organisasi atau lembaganya serta mandate yang dipunyai, jenis dan
besarnta kecurangan, dan budaya di lembaga tersebut.

Auditor investigasi harus melakukan prosedur tersebut secara bertahap dalam


pelaksanaan audit investigasi untuk pembukitan kecurangan. Apabila auditor investigasi telah
melakukan proses-proses di atas, maka auditor tersebut dapat dikatakan telah memiliki
kemampuan yang memadai.
16

DAFTAR PUSTAKA

Tuanakotta, T. M. (2010). Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. In T. M.


Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai