Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah PPN dan
PPnBM pada Program Diploma IV Akuntansi Perpajakan Sekolah
Vokasi Universitas Diponegoro

Disusun oleh Kelompok 1:

1. Wahyu Setyo U. (40011421655006)


2. Ananda Osa P. (40011421655007)
3. Silvira Chandra C. D. (40011421655009)
4. Adinda Putri D. (40011421655010)
5. M. Aqilah R. B. (40011421655017)
6. Abryel Oktavian (40011421655023)

PROGRAM DIPLOMA 4 AKUNTANSI PERPAJAKAN


SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
A. DASAR HUKUM
Undang-Undang (UU) yang mengatur pengenaan PPN dan PPnBM adalah
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). UU Nomor 8 Tahun 1983 ini juga
dikenal dengan nama UU PPN. Dalam perjalanannya Undang – Undang Nomor
8 Tahun 1983 mengalami perubahan hingga akhirnya menjadi UU Nomor 42
Tahun 2009, yang juga disebut UU PPN. Perubahan terakhir ini ditetapkan
sebagai dasar hukum PPN dan PPnBM.

B. PENGERTIAN
1. Pajak Pertambahan Nilai merupakan:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
3. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke
dalam Daerah Pabean.

2
4. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan
Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah
Pabean.
5. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di
luar Daerah Pabean.
6. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke
luar Daerah Pabean.
7. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai guna
baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang
pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
8. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan
atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
9. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau ekspor Jasa Kena Pajak.
10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan
takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.

3
C. PAJAK KONSUMSI

1. Definisi Pajak Konsumsi


Pajak konsumsi merupakan bagian dari pajak pertambahan nilai yang
dikenakan pada pembelian barang termasuk makanan. Pajak yang dikenakan
untuk pembelian makanan di toko dan restoran. Konsumen
dikenakan pajak pertambahan nilai atas transaksi ini. Hal ini tidak berlaku pada
jasa katering maupun jasa boga.
a. Pengertian Jasa Boga atau Katering
Pengertian Jasa Boga atau Katering tertuang ke dalam Pasal 1 PMK
Nomor 18/ PMK.010/ 2015. Jasa Boga atau Katering merupakan jasa
penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan
perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian untuk
disajian di lokasi tertentu yang dikehendaki oleh pemesan jasa boga.
Penjualan makanan dan/ atau minuman yang dilakukan melalui tempat
penjualan berupa toko, kios dan lainnya untuk menjual makanan dan/ atau
minuman, baik penjualan secara langsung maupun secara tidak langsung
(pesanan), dikecualikan dari pengertian jasa boga atau katering.
Dari penjelasan di atas, kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan
minuman) oleh Bendahara Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung
atau rumah makan bukan termasuk Jasa Boga atau Katering. Sedangkan yang
termasuk jasa boga atau katering adalah, apabila pengadaan makanan atau
minuman ke penyedia Jasa Boga atau Katering (Wajib Pajak Orang Pribadi
atau Wajib Pajak Badan).
b. Tidak Dikenakan Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai
Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh
Bendahara Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung atau rumah
makan maupun ke penyedia Jasa Katering tidak terutang PPN, sehingga tidak
ada kewajiban pemungutan PPN. Ketentuan pajak konsumsi ini dapat dilihat

4
kembali dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Pasal 4
A ayat 3 huruf Q. Dalam aturan perpajakan ini, disebutkan bahwa Jasa Boga
atau Katering termasuk ke dalam jasa tertentu yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
c. Kewajiban Menghitung dan Membayar PPh Pasal 23
Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh
Bendahara Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung atau rumah
makan maupun ke penyedia Jasa Katering terutang PPh Pasal 23. Ketentuan
ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/ PMK.03/ 2015
Pasal 1 Ayat 6 Huruf J.
Aturan perpajakan ini menyebutkan bahwa Jasa Boga atau Katering
termasuk ke dalam jenis jasa lain yang dikenakan PPH Pasal 23. Dengan
demikian, bendahara wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 dengan
tarif pajak 2% x Jumlah Jasa Boga atau Jasa Katering. Apabila
rekanan tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 sebesar 4 % x
Jumlah Jasa Boga atau Jasa Katering.

2. Dasar Hukum Pajak Konsumsi


Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
18/PMK/010/2015 Pasal 1 ayat 1 dan 2 disebutkan:
a. Jasa boga atau katering termasuk jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai.
b. Jasa boga atau katering merupakan jasa penyediaan makanan dan minuman
yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan,
penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh
pemesan.

5
Disebutkan bahwa jenis jasa ini tidak dikenai PPN. Selain itu, jasa boga atau
katering yang dimaksud juga tidak melakukan penjualan di tempat seperti toko,
kios, dan sejenisnya.
Ketentuan mengenai jasa boga atau katering tidak dikenakan PPN juga
tertuang dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 4 A ayat
3 huruf q, sehingga, ketentuan pajak konsumsi mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 pasal 1 ayat 6 huruf aj, yang mana
menyebut jasa boga atau katering termasuk dalam jenis jasa yang dikenakan PPh
Pasal 23. Disinilah yang menjadi kewajiban bendahara untuk memotong dan
menyetorkan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah jasa boga atau katering.
Namun, jika Anda tidak memiliki NPWP, maka besaran yang harus dipotong
mencapai 4% dari jumlah jasa boga atau katering.
a) Cara Menghitung Pajak Konsumsi
Contoh: PT A menyelenggarakan rapat kerja untuk 50 peserta dengan harga
paket konsumsi sebesar Rp50.000 per orangnya.
Perhitungan Pajak Konsumsi
1) Pertama, yang perlu dihitung adalah jumlah total pengeluaran untuk jasa
boga atau katering:
Rp50.000 x 50 orang = Rp2.500.000
2) Dari jumlah total di atas, dikenakan potongan PPh Pasal 23 sebesar 2%
karena PT A memiliki NPWP, maka perhitungannya:
Rp2.500.000 x 2% = Rp50.000
3) Namun, jika PT A tidak memiliki NPWP, besaran potongan PPh Pasal 23
sebesar 4%, sehingga perhitungannya menjadi:
Rp2.500.000 x 4% = Rp100.000

D. MEKANISME PEMUNGUTAN
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN adalah sebagai berikut:

6
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari
pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari harga jual
atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2. Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (BUMN,
kontraktor dan pemegang izin kontrak kerja sama, bendaharawan
pemerintah, dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), PPN yang
terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP
Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN
tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP
penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke
kas negara.
3. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak
Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang
harus dibayar (hutang pajak).
4. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP
yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan, yang
sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang
dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
5. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran
lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas
Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar
dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat di kompensasi ke masa
pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku.
6. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) setiap bulan ke Kantor

7
Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.

E. METODE PERHITUNGAN
Dalam menghitung PPN, menggunakan rumus : Tarif PPN x Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Untuk Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan nilai
uang berupa jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai
lain yang dijadikan sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

1) Jenis dan Tarif Dasar Pengenaan Pajak


a) Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual, karena penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-
Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
b) Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.
Biaya tersebut antara lain biaya pengangkutan, biaya asuransi, biaya
bantuan teknik, biaya pemeliharaan, biaya pengiriman, dan biaya garansi.
c) Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan perundang-undangan pabean untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
Nilai Impor = Cost + Insurance + Freight (CIF) + Bea Masuk.

8
d) Nilai Ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e) Nilai Lain
Nilai lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. Pengenaan dengan menggunakan
nilai lain diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
567/KMK.04/2000.
2) Tarif PPN
1. Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri
2. Tarif khusus 0% diterapkan atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP)
berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP).
3. Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5%
dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

F. KARAKTERISTIK
Karakteristik terhadap Pajak Pertambahan Nilai diantaranya:

1. Merupakan Pajak Atas Konsumsi


Pajak ini akan dikenakan pada pihak konsumen atau orang yang
membeli barang dan tidak untuk dijual kembali. Hal ini berarti bahwa yang
memiliki tanggung jawab untuk membayar beban PPN adalah konsumen
akhir.
2. Merupakan Pajak Tidak Langsung
Pajak ini dikenakan kepada pihak konsumen akhir yang membeli barang
kena pajak. Sedangkan pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan
penyetoran pajak bukanlah konsumen akhir bersangkutan, namun pengusaha

9
yang menjual barang tersebut. Hal tersebut merupakan kategori pajak tidak
langsung, karena berbeda antara penyetor dan pihak yang membayarkannya.

3. Merupakan Pajak Objektif


PPN umumnya tidak akan melihat dari sisi sebagai subjek pajak, akan
tetapi dari sisi sebagai objek pajak. Setiap konsumen, yang melakukan
transaksi pembelian atas barang yang dijual akan dikenai tarif PPN yang
sama. Tarif PPN tersebut akan disesuaikan dengan harga barang atau jenis
transaksi jasa yang dilakukan.
4. Penggunaan Tarif Tunggal
Berbeda dengan PPh 21 yang memiliki perhitungan progresif, PPN
memiliki tarif dasar tunggal yakni sebesar 10%. Konsumen akhir adalah
pihak yang akan bertanggung jawab atas pembayaran pajak sebesar 10% dari
nilai transaksi tersebut.
5. Pajak Konsumsi BKP atau JKP di Dalam Negeri
Pajak ini hanya akan dikenakan atas konsumsi barang atau jasa kena
pajak di dalam negeri seperti transaksi impor. Selain itu, pajak ini juga akan
diterapkan atas pemanfaatan barang atau jasa yang tidak berwujud diluar
daerah kepabeanan yang dimanfaatkan di dalam negeri.
6. Bersifat Multi Stage Levy
PPN akan dikenakan atau dipungut pada setiap tahapan jalur produksi
dan distribusi, mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga pedagang
kecil atau pengecer. Meskipun pajak ini dikenakan pada setiap mata rantai
produksi dan distribusi, namun tidak akan menimbulkan efek pemungutan
pajak ganda. Karena mekanisme pajak yang menganut sistem
pengkreditan yaitu pajak keluaran dan pajak masukan.
7. Indirect Subtraction Method

10
Mekanisme perhitungan didalam PPN menggunakan metode
pengurangan secara tidak langsung. Hal tersebut berarti bahwa pihak
pengusaha kena pajak bisa mengkreditkan pajak masukan atas barang atau
jasa kena pajak yang berbeda.

11

Anda mungkin juga menyukai