Anda di halaman 1dari 11

Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Di Luar

Daerah Pabean
BERNADETH GRENY (6160301180160)
RAYN KEVIN YUSUF (6160301190019)
KASMA TANDI RAPA (6160301190038)
Pendahuluan

Kaidah destinasi adalah kaidah pengatur pembagian yurisdiksi pemungutan pajak antar negara yang
implementasinya, di satu pihak, sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak yang dimaksudkan membebani
pembelanjaan penghasilan, tapi di lain pihak menjamin terselenggaranya pemungutan pajak di pasar internasional
oleh negara-negara tersebut, secara netral.

Yang dimaksud netralitas itu tidak hanya netralitas pajak terhadap produk dan konsumsi produk, tetapi juga
netralitas pajak terhadap kedaulatan negara-negara dalam memajaki objek pajaknya. Netralitas perpajakan
harus bisa menjamin netralitas perekonomian, yang intinya semua berkaitan dengan efisiensi
perekonomian.

Suparmoko, MA, Ph.D dalam bukunya “Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik” edisi 4 (1987) mengutip
5 (lima) keuntungan dari Sistem PPN. Dari lima keuntungan tersebut, tiga diantaranya merupakan komponen
pokok yang menyangkut netralitas, yaitu :

 Netral dalam persaingan dalam negeri yang menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam
sistem perdagangan dalam negeri
 Netral dalam perdagangan nasional (ada jaminan dalam hal ekspor – impor)
 Netral bagi pola konsumsi
Perlakuan cakupan perngusaha yang menjadi Pengusaha Kena Pajak, baik ke hilir maupun ke hulu, sangat
menentukan netralitas PPN terhadap pasar bebas tempat pajak itu dipungut. Namun kebenaran atau norma yang
mendasari perluasan cakupan tersebut sesungguhnya bukan dikarenakan adanya kebutuhan akan peningkatan
penerimaan negara, melainkan lebih karena penerapan azas persamaan kewajiban memungut pajak bagi para
pengusaha.

Di satu sisi perluasan pengenaan PPN dapat meningkatkan netralitas Undang-Undang PPN terhadap
kebebasan para penggusaha untuk memilih cara memproduksi dan atau mendistribusikan barang dan jasa,
sehingga membuka peluang untuk pesaingan usaha yang lebih wajar, dan efisien. Namun, bagaimanapun juga
ketidaksetaraan perlakuan perpajakan juga merupakan isu penting yang mencerminkan kekurangnetralan pajak,
sehingga kaidah netralitas pajak bisa menjadi terganggu.
Permasalahan dalam Perlakuan PPN

Mata Rantai Jalur Produksi atau Jalur Distribusi

Distributo
Pabrikan Agen Retailer Konsumen
r (trade)

Sifat multi stages dari indirect substraction method yang dianut dalam UU PPN No. 8 Tahun 1983, sebagaiman telah
diubah dengan UU PPN No. 11 tahun 1994 dan UU PPN Nomor 18 tahun 2000, adalah mempermudah pengawasan dalam
sistem pemungutan PPN karena transaksi dari seorang Subjek Pajak yang mungkin lolos dari pemajakan, masih mungkin
dipajaki melalui pemajakan atas transaksi dari Subjek Pajak lain pada mata rantai produksi atau distribusi berikutnya.

Bila pabrik tersebut berasa di luar Daerah Pabean Indonesia, maka penyerahan barang dilakukan sesuai dengan kontrak
jual beli antara pabrikan dengan agen di Indonesia berdasarkan kondisi incoterms yang disepakati, seperti syarat FOB,
CIF, Door to Door, Loco gudang pembeli atau Prangko gudang penjual, dsb, yang kesemuanya ini akan menentukan saat
dan tempat atau tanggung jawab penyerahan barang tersebut, termasuk harga penyerahannya serta pengenaan impor duties
(Bea masuk, PPN dan Ppn Bm, PPh Pasal 22).
Kompleksitas dalam proses penyerahan barang yang menyangkut saat dan tempat penyerahan ini, dalam praktiknya
banyak terjadi, dan implementasi terhadap regulasi perpajakan memerlukan perangkat hukum yang lebih pasti untuk
menjamin netralitas dari sistem perpajakan yang dianut.

ILUSTRASI:
PT User (Indonesia) selaku user yang berkedudukan di Kalimantan, membuat perjanjian pembelian barang “BKP”
dengan mengeluarkan purchase order (PO) kepada supplier-nya (PT Kasma) yang berkedudukan di Jakarta. Rupanya PT
Trader tidak bekerja sendiri, karena dia masih harus memesan barang tersebut dari PT Agen (berkedudukan di Jakarta)
yang bertindak sebagai Exclusive Sole Agent dari principal-nya di luar negeri yang merupakan produsen barang “BKP”.
PT User mempunyai “Regional Logistic Base” yang terdaftar resmi untuk penerimaan barang di Singapura, dan PT
User juga mempunyai kontrak kerja penunjukan PT W sebagai International Freight Forwarder (IFF) yang mewakili
secara resmi PT User untuk menerima barang “BKP” di Regional Logistic Base Singapura, untuk secepatnya diterbangkan
ke Kalimantan agar tidak terjadi delayed penerimaan barang.
Dalam instruksi yang tercantum di PO, disebutkan bahwa barang “BKP” tersebut diserahterimakan oleh pabrikan
Singapura kepada Regional Logistic Base Singapura dan selanjutnya IFF (PT W) akan mengangkut barang “BKP” tersebut
ke dalam daerah Pabean Indonesia (misalnya Kalimantan). Pengeluaran barang dari pelabuhan di Kalimantan untuk
penyerahan barang ke user dilakukan seelah melunasi semua kewajiabn impor duties (Bea Masuk, PPN Impor dan PPh
Pasal 22) yang terutang.
Bagaimana fiskus menyikapi transaksi
penyerahan barang tersebut ..?
Pertama, Pasal 4A UU PPN Tahun 1983/1994/2000 menjelaskan tentang penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat :
1) Barang berwujud yang diserrahkan merupakan Barang Kena Pajak
2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud
3) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan

Kedua, suatu ruling yang dikeluarkan DJP dengan Surat Dirjen Pajak Nomor S-267/PJ.52/2004 yang ditujukan untuk suatu perusahaan, sebut saja
“PT ABC”, menegaskan bahwa:
5) Atas kontrak jual beli di dalam negeri yang penyerahannya dilakukan di luar daerah Pabean, tidak terutang PPN karena tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaiman telah diubah terakhir dengan UU Nomor 18
Tahun 2000.
6) PT ABC tidak diwajibkan untuk memungut PPN atau menerbitkan faktur Pajak atas penyerahan BKP yang terjadi di luar Daerah Pabean. Tapi,
dalam hal penyerahan BKP dilakukan di dalam Daerah Pabean, maka atas penyerahan tersebut terutang PPN dan PT ABC wajib menerbitkan
faktur pajak.
7) PT ABC melaporkan seluruh penyerahan yang dilakukan, baik penyerahan yang terutang maupun penyerahan yang tidak terutang PPN, dalam
SPT Masa PPN.
8) Pada saat barang diserahkan di luar Daerah Pabean tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean 9impr), maka atas impor tersebut terutang
PPN dan disetor serta dilaporkan oleh pihak yang melakukan impor tersebut.

Dari uraian diatas, tidak ada satu pasal pun dalam kedua aturan tersebut yang memberikan kepastian hukum tentang kriteria perlakuan
perpajakan dalam penyerahan Barang Kena Pajak di Luar Pabean yang tidak dikenanakn PPN. Padahal ada loopholesdari transaksi semacam ini
yang memungkinkan Subjek Pajak lolos dari pengenaan pajak.
Lalu, bagaimana rambu-rambu fiskus mengatur
perpajakannya?

Ruling yang ada sekarang hanya melihat lokasi penyerahan barang tersebut ada di luar Daerah Pabean, dan
pembuktiannya harus dilengkapi dengan dokumen bukti pembayaran (transfer pengiriman uang) lewat bank langsung
kepada pabrikan di luar negeri tersebut (misalnya : Singapura). Bila rambu-rambu itu dipenuhi, maka PT Agen/PT Trader
bisa merasa “aman’ karena atas penyerahan barang tersebut terhadap konsumen/entitas bisnis tidak dikenakan PPN.

Tidak ada pula ruling/aturan terkait pembuktian kebenaran transaksi melalui pembayaran PT Agen/PT Trader via
transfer bank langsung ke pabrikan di luar negeri. Kebenaran materiilnya secara fiskal diuji dari tiga faktor berikut: (1)
Flow of document, yakni adanya PO dan delivery order (DO), dan (2) Flow of good, yakni adanya penyerahan barang dari
luar negeri, serta (3) Flow of money/payment, yakni adanya pembayaran dari PT Agen/PT Trader ke pabrikan di luar
negeri. Ketiga faktor ini juga merupakan judgement dan dasar yang kuat untuk mengukur kebenaran transaksi keuangan
secara materil dilihat dari perspektif akuntansi (SAK).
Berikut ini merupakan beberapa variasi transaksi dalam jalur perdagangan dan distribusi barang dari Luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean :

Diagram I
Penyerahan barang dilakukan di Singapura:
Pabrikan (Luar negeri selaku principal)  PT Agen (Indonesia)  PT User (konsumen,Indonesia)

Diagram II
Penyerahan barang dilakukan di Singapura:
Pabrikan (Luar negeri selaku principal)  PT Agen (Indonesia)  PT Trader (distributor, Indonesia)  PT User
(konsumen,Indonesia)

Pada Diagram II, di mana PT Trader (indonesia) tidak bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsug oleh PT Trader kepada
pabrikannya di Singapura jadi realisasi flow of money-nya dilakukan melalui pembayaran kepada PT Agen (Indonesia), sehingga berpotensi
timbulnya sengketa pajak di Pengadilan Pajak.
Di pengadilan pajak, hakim cenderung mengambil keputusan yang mengedepankan kebenaran materiil berdasarkan ketiga faktor sebagaimana
diuraikan terdahulu, dengan hasil akhir yang tentu saja akan memenangkan pihak fiskus. Sebab bila hakim semata-mata berlandaskan pada Pasal
4A UU PPN Tahun 1983/1994/2000, tidak akan cukup dasar hukumnya, sehingga netralitas dalam pemungutan PPN menjadi terganggu. Alhasil,
PT Agen harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT Trader. Dengan demikian, PT Trader juga harus mengenakan PPN 10% dalam
invoice-nya kepada PT User.
Kepastian Hukum dan Tax Management
Wajib Pajak dalam kedudukannya sebagai PT Trader (Indonesia), perlu secara dini membuat tax planning sedemikian rupa untuk menghindari
beban pajak yang tidak perlu, baik karena PPN yang menjadi tanggungan sendiri maupun karena retribusi PPN-nya tidak diterima oleh fiskus,
yang ujung-ujungnya akan menggerus profit perusahaan.

Kasus serupa pada Diagram II, pernah terjadi yaitu khasus banding Pajak Pertambahan Nilai dari PT “X” dipengadilan Pajak (Putusan
Banding Pengadilan Pajak No.11061/PP/M.V/16/2007 tertanggal 28 Juni 2007), yang dimenangkan oleh wajib pajak yang dalam contoh adalah PT
Trader (Indonesia). Kunci kemenangannya terletak pada adanya pembayaran lewat transfer bank (serta adanya tagihan/invoice dari principal)
untuk pembelian barang dari luar negeri yang dilakukan langsung oleh PT Trader ke pabrikan, bukan kepada PT Agen di Indonesia. Perbedaan
kasusnya hanya masalah keagenan. Kalau PT “X” (sebagai trader) bertransaksi langsung ke principal tanpa melalui agen principal di Jakarta,
sedangkan PT Trader bertransaksi melalui PT Agen (Indonesia) sebagai Agen principal di Jakarta.

Tapi substansi sebenarnya adalah bahwa transaksi penyerahan barang diluar daerah pabean tersebut tidak dikenakan PPN dapat dibuktikan
secara meteri/tertulis dengan adanya:
 Bukti penyerahan barang barang dari principal ke pembeli user (delivery user) yang dilakukan diluar daerah pabean
 Adanya tagihan/invoice dari principal ke PT Trader(Indonesia)
 Adanya bukti transfer bank untuk pembayaran langsung oleh PT Trader ke principal diluar negeri
Penutup

Pengusaha harus sadar sebelum membuat kebijakan berbisnis, mereka harus senantiasa mengintegrasikan kebijakannya
dengan peraturan perpajakan. Karena setiap keputusan bisnis biasanya menimbulkan transaksi dan setiap transaksi
melibatkan aliran dana yang sangat mungkin terekpos pajak. Sebab itu pengusaha harus selalu waspada terhadap dampak
PPN, PPh, maupun jenis pajak yang lain.
Thank You For The Attention ..!

Anda mungkin juga menyukai