Anda di halaman 1dari 5

1.

Pendahuluan
Kemajuan teknologi dalam nuansa globalisasi ekonomi dewasa ini menuntut
adanya perluasan jaringan bisnis dan komunikasi antara pelaku bisnis. Dari aspek
komersial, persoalan saat dan tempat di mana transaksi bisnis terjadi bukanlah kendala
utama karena pebisnis lebih mengedepankan profitability dari bisnisnya. Namun sering
kali yang dipandang wajar oleh pebisnis tetapi tidak wajar dalam fiskal. Perbedaan
kaidah yang mendasari timbulnya penerimaan pajak ini menyebabkan ketidaksetaraan
dalam perlakuan perpajakannya.
Kaidah destinasi adalah kaidah pengatur pembagian yurisdiksi pemungutan pajak
antar negara yang implementasinya di satu pihak sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak
yang dimaksudkan membebani pembelanjaan penghasilan, tetapi di lain pihak menjamin
terselenggaranya pemungutan pajak di pasar internasional oleh negara – negara tersebut.
Menurut John F. Due mengemukakan bahwa pajak itu seyogyanya bersifat netral.
Netralitas perpajakan harus bisa menjamin netralitas perekonomian, yang intinya semua
berkaitan dengan efisiensi perekonomian. Perlakuan cakupan pengusaha yang menjadi
Pengusaha Kena Pajak snagat menentukan netralitas PPN terhadap pasar bebas tempat
pajak itu dipungut. Kebenaran yang mendasari perluasan cakupan bukan karena adanya
kebutuhan peningkatan penerimaan negara tetapi lebih karena penerapan azas persamaan
kewajiban memungut pajak bagi para pengusaha.
Di satu sisi perluasan pengenaan PPN juga meningkatkan netralitas UU PPN
terhadap kebebasan para pengusaha untuk memilih cara memproduksi dan atau
mendistribusikan barang dan jasa.

2. Permasalahan Dalam Perlakuan PPN


Secara umum proses penyerahan barang dari pabrik hingga barang diterima oleh
konsumen dilakukan melalui mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi, yaitu
Pabrikan → Agen → Distributor → Retailer → Konsumen. Dan setiap mata rantai
distribusi tersebut di kenakan PPN dengan tarif 10%.
Saat terjadi penyerahan barang (saat terutangnya pajak, bagi barang yang
menurut ketentuan hukum pajak merupakan barang bergerak), yaitu saat berpindahnya
penguasaan fisik atas barang tersebut dari pihak yang menyerahkan kepada pihak yang
menerima penyerahan barang, sesuai dengan sifatnya yang bergerak tersebut dan
substansinya sesuai dengan isi perjanjian antara pihak – pihak yang bersangkutan.
Saat terjadinya penyerahan untuk barang bergerak dengan syarat penyerahan loco
gudang pembeli tidak sama dengan syarat penyerahan prangko gudang penjual,
sedangkan secara normative isi perjanjian antara penjual dan pembeli barang
dimanifestasikan dalam jumlah yang difakturkan oleh penjual atas penyerahan tersebut.
Apabila pabrik berada di luar Daerah Pabean Indonesia, maka penyerahan barang
dilakukan sesuai dengan kontrak jual beli antara pabrikan dengan agen di Indonesia
berdasarkan kondisi incoterms yang disepakati, seperti syarat FOB, CIF, Door to Door,
Loco gudang pembeli atau Prangko gudang penjual, dan lainnya yang akan menentukan
saat dan tempat atau tanggung jawab serta harta penyerahan barang tersebut dan
pengenaan impor duties (Bea Masuk, PPN dan PPnBM, PPh Pasal 22).
Kompleksitas dalam proses penyerahan barang yang menyangkut saat dan tempat
penyerahan barang dalam praktiknya banyak terjadi dan memerlukan perangkat hukum
yang lebih pasti untuk menjamin netralitas dari sistem perpajakan yang digunakan.
Misalnya, PT User (Indonesia) selaku user yang berkedudukan di Kalimantan,
membuat perjanjian pembelian barang “BKP” dengan mengeluarkan purchase order
(PO) kepada supplier-nya (PT Trader) yang berkedudukan di Jakarta. Rupanya PT
Trader tidak bekerja sendiri, karena dia harus memesan barang tersebut dari PT Agen
(berkdudukan di Jakarta) yang bertindak sebagai Exclusive Sole Agent dari principal-nya
di luar negeri yang merupakan produsen barang “BKP”. PT User (Indonesia) mempunyai
“Regional Logistic Base” yang terdaftar resmi untuk penerimaan barang di Singapura,
dan PT User (Indonesia) juga mempunyai kontrak kerja penunjukan PT W sebagai
International Freight Forwarder yang mewakili secara resmi PT User (Indonesia) untuk
menerima barang “BKP” di “Regional logistic base” Singapura, untuk secepatnya
diterbangkan ke Kalimantan agar tidak terjadi keterlambatan penerimaan barang.
Dalam intruksi yang tercantum di PO disebutkan, bahwa barang “BKP” tersebut
diserahterimakan oleh pabrikan Singapura kepada “Regional logistic base” Singapura
dan selanjutnya International Freight Forwarder (PT W) akan mengangkut barang
“BKP” tersebut ke dalam Daerah Pabean Indonesia (misalnya Kalimantan). Pengeluaran
barang dari Pelabuhan di Kalimantan untuk penyerahan barang ke user dilakukan setelah
melunasi semua kewajiban impor duties.
Fiskus dalam menyikapi penyerahan barang diatas adalah dengan :
Ruling yang ada sekarang ini hanya melihat lokasi penyerahan barang tersebut ada di
luar Daerah Pabean, dan pembuktiannya harus dilengkapi dengan dokumen bukti
pembayaran (transfer pengiriman uang) lewat bank langsung kepada pabrikan di luar
negeri. Bila “rambu – rambu” itu di penuhi, maka PT Agen atau PT Trader bisa merasa
“aman” karena atas penyerahan barang tersebut oleh PT Agen atau PT Trader terhadap
PT User tidak dikenakan PPN.
Pembuktian kebenaran transaksi melalui pembayaran PT Agen atau PT Trader via
transfer bank langsung ke parik luar negeri tidak terdapat ruling, kebenaran materiilnya
secara fiskal diuji dari 3 faktor berikut ini :
(1) Flow of document, yakni adanya PO dan Delivery order
(2) Flow of good, yakni adanya penyerahan dari luar negeri
(3) Flow of money (Payment), yakni adanya pembayaran dari PT Agen atau PT Trader ke
pabrikan di luar negeri.
Dimana, dari ketiga faktor tersebut merupakan judgement dan dasar untuk mengukur
(measurement) kebenaran transaksi keuangan secara materil dari perspektif SAK.
Berikut ini skematis variasi transkasi dalam jalur perdagangan dan distribusi barang dari
Luar Daerah Pabean ke dala Daerah Pabean, seperti diagram berikut ini :

Diagram – I (Arus Barang) :


Penyerahan Barang di lakukan di Singapura
Pabrikan (Luar negeri selaku principal)  PT Agen (Indonesia)  PT User (Indonesia)
Selama penyerahan barang dilakukan sesuai syarat pranko gudang penjual di
Singapura, maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai PPN oleh PT Agen
(Misal Jakarta) terhadap PT User (Misal Kalimantan), dengan catatan :
(1) PT Agen tersebut harus bisa membuktikan terdapat transaksi pembayaran langsung atau
lewat transfer langsung oleh PT Agen (Indonesia) kepada pabrikan atau principal-nya di
Singapura
(2) Kontrak perjanjian jual beli (Seperti PO) mensyaratkan dibuat atau dilengkapnya bukti
penyerahan barang delivery order (DO) dari Pabrikan luar negeri kepada user (PT User)
untuk penyerahan barang di Singapura

Diagram – II (Arus Barang) :


Penyerahan Barang di lakukan di Singapura
Pabrikan (Luar negeri selaku principal)  PT Agen (Indonesia)  PT Trader (Indonesia)
 PT User (Indonesia)

Dalam arus lalu lintas perdagangan seperti itu, dimana terlihat PT Trader (Indonesia)
membeli barang pada pabrikan (luar negeri) melalui agennya di Indonesia yakni PT
Agen, yang selanjutnya menjual barang tersebut kepada kepada PT User (Indonesia)
sesuai harga yang disepakati seperti yang tercantum dalam PO. Dalam hal ini PT Trader
(Indonesia) tidak memiliki akses langsung dengan pabrikan karena sebelumya suda ada
perjanjian keagenan yang mengikat antara pabrikan dengan PT Agen.
Namun, selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang
penjual di Singapura atau loco gudang pembeli di singapura, maka atas penyerahan
barang tersebut tidak dikenakan PPN oleh PT Trader (Indonesia) terhadap PT User
(Indonesia) misalnya di kalimatan, dengan catatan :
(1) PT Trader harus bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsung oleh
PT Trader kepada pabrikannya di Singapura.
(2) Kontrak perjanjian jual beli (seperti PO) mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti
penyerahan barang/delivery notes dari pabrikan luar negeri kepada user (PT User) untuk
penyerahan barang di Singapura.
Sehingga, dalam hal ini PT Agen (Indonesia) hanya bekerja sebagai pepanjangan tangan
principal-nya di luar negeri menerima komisi berupa komisi keagenan atau agency fee
yang diterimanya dari principal-nya tersebut dengan perjanjian keagenan yang
disepakati. Dengan demikian, PT Agen (Indonesia) tidak perlu membuat invoice dan
Faktur Pajak Standar kepada PT Trader (Indonesia) karena tidak ada keterlibatan
langsung mereka dalam penyerahan barang tersebut.
Apabila dianalisis berdasarkan Diagram II, dimana PT Trader tidak bisa membuktikan
transaksi bayaran langsung oleh PT Trader kepada pabrikannya di Singapura jadi
realisasi flow of money-nya dilakukan melalui pembayaran kepada PT Agen (Indonesia)
sehingga berpotensi timbulnya sengketa pajak di pengadilan pajak.
Pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Fiskus (Baik karena permintaan restitusi
PPN atau sebab lain), dengan media pembayaran dengan pola tersebut ditemukan oleh
fiskus, maka dipertanyakan invoice PT Trader untuk penjualan barang kepada PT User
Tidak dikenakan PPN (Karena penyerahan barang di luar negeri), sedangkan pelunasan
harga pembelian barang tersebut (Oleh PT Trader kepada PT Agen) dilakukan di dalam
negeri. Sehingga, perlu dilakukan koreksi atas PPN Keluaran yang sebelumnya tidak
dikenakan PPN menjadi dikenakan dengan tarif normal 10%. Namun, apabila PT Trader
mengajukan keberatan, dan keberatan PT Agen juga tidak disetujui fiskus (KPP), maka
kasus sengketa pajak akan menjadi kasus banding PPN di pengadilan pajak. Yang
hasilnya PT Agen harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT Trader,
begitupun PT Trader harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT User.
Sehingga dapat dilihat hasilnya akan menggerus profit perusahaan dari proyek yang
dikerjakan, yakni 10% dari nilai Proyek.

3. Kepastian Hukum Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari Luar Daerah Pabean dan Tax Management

 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas


UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
 PMK Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Perhitungan,
Pemungutan,Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan
BKP Tidak Berwujud dan /atau JKP dari Luar Daerah Pabean.
 Surat Edaran DJP Nomor : SE-147/Pj/2010 tentang Penjelasan Atas PMK Nomor
40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan /atau
JKP dari Luar Daerah Pabean.

Pengertian-Pengertian

1. Daerah Pabean adalah wilayah Repubilk Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan Landas
Kontiten yang didalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur kepabeanan.
2. Impor adalah kegiatan memasukan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean.
3. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean keluar Daerah Pabean.
4. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah
Pabean.
5. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
6. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna
naru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi
atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
7. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena 
Pajak(PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak,
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean, dan Impor BKP.
8. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP,Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud dan Tidak
Berwujud, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak.
9. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama
3 bulan takwim.

Tax Management

Manajemen pajak (tax management) merupakan sarana yang dilakukan wajib


pajak dalam rangka memenuhi kewajiban dengan benar di satu sisi, dan di sisi lain
menekan beban pajak dalam keadaan seefisien mungkin. Secara garis besar, manajemen
pajak merupakan suatu proses yang meliputi perencanaan, implementasi dan
pengendalian yang dilakukan oleh wajib pajak dalam pengelolaan perpajakannya, dengan
tujuan untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban di bidang perpajakan dengan efektif
dan efisien sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dan menghindari
pemborosan. 

Menurut Hutagaol (2006:209), manajemen perpajakan yang baik harus


memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) manajemen didesain sesuai ketentuan perpajakan
yang berlaku; (b) komitmen dari seluruh lapisan manajemen dan; (c) menyelenggarakan
administrasi dan pembukuan yang memenuhi persyaratan fiskal sebagaimana diatur
dalam pasal 28 Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas
Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Dengan demikian manajemen pajak merupakan upaya yang ditempuh Wajib
Pajak dalam mengefisienkan beban pajak dengan cara yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak ini ditempuh
dengan melakukan perencanaan pajak, melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik
dan benar serta melakukan pengendalian pajak.

Anda mungkin juga menyukai