Pendahuluan
Kemajuan teknologi dalam nuansa globalisasi ekonomi dewasa ini menuntut
adanya perluasan jaringan bisnis dan komunikasi antara pelaku bisnis. Dari aspek
komersial, persoalan saat dan tempat di mana transaksi bisnis terjadi bukanlah kendala
utama karena pebisnis lebih mengedepankan profitability dari bisnisnya. Namun sering
kali yang dipandang wajar oleh pebisnis tetapi tidak wajar dalam fiskal. Perbedaan
kaidah yang mendasari timbulnya penerimaan pajak ini menyebabkan ketidaksetaraan
dalam perlakuan perpajakannya.
Kaidah destinasi adalah kaidah pengatur pembagian yurisdiksi pemungutan pajak
antar negara yang implementasinya di satu pihak sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak
yang dimaksudkan membebani pembelanjaan penghasilan, tetapi di lain pihak menjamin
terselenggaranya pemungutan pajak di pasar internasional oleh negara – negara tersebut.
Menurut John F. Due mengemukakan bahwa pajak itu seyogyanya bersifat netral.
Netralitas perpajakan harus bisa menjamin netralitas perekonomian, yang intinya semua
berkaitan dengan efisiensi perekonomian. Perlakuan cakupan pengusaha yang menjadi
Pengusaha Kena Pajak snagat menentukan netralitas PPN terhadap pasar bebas tempat
pajak itu dipungut. Kebenaran yang mendasari perluasan cakupan bukan karena adanya
kebutuhan peningkatan penerimaan negara tetapi lebih karena penerapan azas persamaan
kewajiban memungut pajak bagi para pengusaha.
Di satu sisi perluasan pengenaan PPN juga meningkatkan netralitas UU PPN
terhadap kebebasan para pengusaha untuk memilih cara memproduksi dan atau
mendistribusikan barang dan jasa.
Dalam arus lalu lintas perdagangan seperti itu, dimana terlihat PT Trader (Indonesia)
membeli barang pada pabrikan (luar negeri) melalui agennya di Indonesia yakni PT
Agen, yang selanjutnya menjual barang tersebut kepada kepada PT User (Indonesia)
sesuai harga yang disepakati seperti yang tercantum dalam PO. Dalam hal ini PT Trader
(Indonesia) tidak memiliki akses langsung dengan pabrikan karena sebelumya suda ada
perjanjian keagenan yang mengikat antara pabrikan dengan PT Agen.
Namun, selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang
penjual di Singapura atau loco gudang pembeli di singapura, maka atas penyerahan
barang tersebut tidak dikenakan PPN oleh PT Trader (Indonesia) terhadap PT User
(Indonesia) misalnya di kalimatan, dengan catatan :
(1) PT Trader harus bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsung oleh
PT Trader kepada pabrikannya di Singapura.
(2) Kontrak perjanjian jual beli (seperti PO) mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti
penyerahan barang/delivery notes dari pabrikan luar negeri kepada user (PT User) untuk
penyerahan barang di Singapura.
Sehingga, dalam hal ini PT Agen (Indonesia) hanya bekerja sebagai pepanjangan tangan
principal-nya di luar negeri menerima komisi berupa komisi keagenan atau agency fee
yang diterimanya dari principal-nya tersebut dengan perjanjian keagenan yang
disepakati. Dengan demikian, PT Agen (Indonesia) tidak perlu membuat invoice dan
Faktur Pajak Standar kepada PT Trader (Indonesia) karena tidak ada keterlibatan
langsung mereka dalam penyerahan barang tersebut.
Apabila dianalisis berdasarkan Diagram II, dimana PT Trader tidak bisa membuktikan
transaksi bayaran langsung oleh PT Trader kepada pabrikannya di Singapura jadi
realisasi flow of money-nya dilakukan melalui pembayaran kepada PT Agen (Indonesia)
sehingga berpotensi timbulnya sengketa pajak di pengadilan pajak.
Pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Fiskus (Baik karena permintaan restitusi
PPN atau sebab lain), dengan media pembayaran dengan pola tersebut ditemukan oleh
fiskus, maka dipertanyakan invoice PT Trader untuk penjualan barang kepada PT User
Tidak dikenakan PPN (Karena penyerahan barang di luar negeri), sedangkan pelunasan
harga pembelian barang tersebut (Oleh PT Trader kepada PT Agen) dilakukan di dalam
negeri. Sehingga, perlu dilakukan koreksi atas PPN Keluaran yang sebelumnya tidak
dikenakan PPN menjadi dikenakan dengan tarif normal 10%. Namun, apabila PT Trader
mengajukan keberatan, dan keberatan PT Agen juga tidak disetujui fiskus (KPP), maka
kasus sengketa pajak akan menjadi kasus banding PPN di pengadilan pajak. Yang
hasilnya PT Agen harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT Trader,
begitupun PT Trader harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT User.
Sehingga dapat dilihat hasilnya akan menggerus profit perusahaan dari proyek yang
dikerjakan, yakni 10% dari nilai Proyek.
3. Kepastian Hukum Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari Luar Daerah Pabean dan Tax Management
Pengertian-Pengertian
1. Daerah Pabean adalah wilayah Repubilk Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan Landas
Kontiten yang didalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur kepabeanan.
2. Impor adalah kegiatan memasukan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean.
3. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean keluar Daerah Pabean.
4. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah
Pabean.
5. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
6. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna
naru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi
atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
7. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak(PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak,
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean, dan Impor BKP.
8. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP,Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud dan Tidak
Berwujud, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak.
9. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama
3 bulan takwim.
Tax Management