Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH MANAJEMEN PERPAJAKAN

PSA TAHUN AJARAN 2022/2023


MANAJEMEN RUGI FISKAL DAN STRATEGI PERPAJAKANNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Manajemen Perpajakan


Dosen Pengampu : Kasyful Anwar, S.E., M.Si, Ak, CA.

Oleh:
KELOMPOK 5
ALMAIDA NUR MAHFUZAH NIM. 1610313120007

CHAIRUN NISA NIM. 1610313320009

PROGRAM STUDI : S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat yang diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Manajemen Perpajakan yang berupa makalah dengan judul Manajemen Rugi
Fiskal dan Strategi Perpajakannya.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada guru Manajemen Perpajakan kami yang telah membimbing kami dalam
menyusun makalah ini.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah


yang telah kami buat ini dapat memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Banjarmasin, 3 Agustus
2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................................

BAB I...............................................................................................................................

PENDAHULUAN............................................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG............................................................................................

1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................................................

1.3 TUJUAN PENULISAN.........................................................................................

BAB II..............................................................................................................................

PEMBAHASAN...............................................................................................................

2.1 Penilaian Kembali/Revaluasi Aktiva Tetap.............................................................

2.1.1 Tarif PPh Penilaian Kembali Aktiva Tetap.....................................................

2.1.2 Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan


Perpajakan....................................................................................................

2.1.3 Pengukuran Aktiva Tetap Berdasarkan PSAK Berbasis IFRS..........................

2.1.4 Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap "Surplus Revaluasi" ?....................

2.2 Penggabungan Usaha/Merger................................................................................

2.3 Menunda Biaya Penyusutan.................................................................................

BAB III...........................................................................................................................

CONTOH KASUS.........................................................................................................

BAB IV...........................................................................................................................

PENUTUP......................................................................................................................

ii
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Bila SPT Tahunan Badan yang melampirkan Laporan Keuangan Fiskal


sudah dimasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak setelah berakhirnya masa
pajak tahun yang bersangkutan, maka pada saat itu juga terdapat pengakuan
secara fiskal (sebelum pemeriksaaan pajak) apakah perusahaan mengalami
kerugian atau mendapatkan laba usaha. Laba/rugi fiskal tersebut sebenamya
adalah hasil dari perhitungan laba/rugi komersiaL setelah dilakukan
penyesuaian atau koreksi fiskal baik positif maupun negatif.

Jika pengeluaran yang diperkenankan, setelah dikurangkan dari


penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut,
dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Situasi perekonomian yang lesu dan perusahaan mengalami kerugian


beruntun karena kemunduran kegiatan usaha, akan menyebabkan
menurunnya daya tahan perusahaan. Situasi dan kondisi yang tidak kondusif
semacam itu akan mengancam cash flow perusahaan dan bila dibiarkan terus,
semua aktifitas perusahaan akan terhenti, atau ekstrimnya perusahaan
terpaksa tutup.

Dalam menyiasati kerugian perusahaan, ada beberapa strategi yang bisa


ditempuh untuk menyelamatkan kelangsungan hidup perusahaan dari
kerugian yang lebih parah, antara lain:
1. Melakukan penilaian kembali atau reevaluasi aktiva tetap
2. Melakukan penggabungan usaha (merger/business combination)
3. Menunda biaya penyusutan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Penilaian Kembali/Revaluasi Aktiva Tetap?

1
2

2. Bagaimana perhitungan Tarif PPh Penilaian Kembali Aktiva Tetap?


3. Bagaimana Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan
Perpajakan?
4. Bagaimana Pengukuran Aktiva Tetap Berdasarkan PSAK Berbasis IFRS?
5. Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap "Surplus Revaluasi" ?
6. Bagaimana Penggabungan Usaha/Merger?
7. Bagaimana Menunda Biaya Penyusutan?

1.3. TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Manajemen Rugi Fiskal


dan Strategi Perpajakannya dalam meminimalkan beban pajak penghasilan
dan meningkatkan performa keuangan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penilaian Kembali/Revaluasi Aktiva Tetap

Revaluasi aktiva tetap perusahaan dilakukan karena ada ketidaksesuaian yang


cukup materiil antara unsur biaya dengan penghasilan, karena perkembangan
atau fluktuasi harga, baik harga barang (karena faktor inflasi) maupun karena
terjadinya fluktuasi nilai tukar mata uang yang tinggi. Jadi tindakan revaluasi
dimaksudkan agar perusahaan dapat melakukan perhitungan biaya dan
penghasilan secara lebih wajar yang dapat mencerminkan kemampuan dan
nilai perusahaan yang sesungguhnya.

Tindakan revaluasi ini akan memberi manfaat bagi perusahaan, sebagai


berikut:
1. Posisi kekayaan perusahaan yang tercermin dalam neraca perusahaan
akan menunjukkan posisi yang sama atau mendekati harga pasar yang
wajar, sehingga nilai solvabilitas perusahaan akan semakin tinggi dimata
investor atau calon investor dan pemakai laporan keuangan tersebut.
Semakin solvable suatu perusahaan, akan semakin tinggi tingkat
kepercayaan para investor atau calon investor terhadap bonafiditas
perusahaan, dan akan semakin tinggi pula nilai perusahaan yang
dicerminkan dengan semakin baiknya nilai saham perusahaan (bagi yang
sudah Tbk) tercatat di pasar modal
2. Terjadi peningkatan struktur modal (capital structure) sendiri, di mana
Debt to Equity Ratio (DER) atau perbandingan antara pinjaman (debt)
dengan modal sendiri (equity) menjadi membaik. Dengan membaiknya
DER, perusahaan akan lebih mudah menarik dana melalui pinjaman dari
pihak ketiga atau melalui emisi saham untuk meningkatkan likuiditasnya.
3. Perhitungan biaya dan penghasilan dilakukan secara lebih wajar
Perhitungan harga pokok akan menghasilkan nilai yang mendekati harga
pokok yang wajar.

3
4

Dalam melakukan revaluasi, kita harus mempertimbangkan beberapa hal


berikut ini:
1. Apakah perusahaan mengalami rugi atau memperoleh laba fiskal?
2. Apakah rugi fiskal tersebut sudah pernah dikompensasi kerugian di
tahun-tahun sebelumnya, dan kapan batas terakhir kompensasi kerugian
tersebut?
3. Bagaimana dampak revaluasi tersebut terhadap beban pajak di masa yang
akan datang

2.1.1. Tarif PPh Penilaian Kembali Aktiva Tetap

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva adalah merupakan objek


pajak penghasilan (Pasal 4m UU PPh No. 36 tahun 2008).
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas,
nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).
(Peraturan Menkeu No. 79/PMK.03/2008 dan Pasal 4m UU PPh No.
36 tahun 2008 jo. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 12/PJ./2009 jo. SE
56/PJ./2009).

Contoh:
PT ABC pada awal tahun 2006 membeli aktiva tetap berupa mesin
pabrik seharga Rp 920 juta. Dari data pembukuan diinformasikan,
perusahaan menggunakan metode penyusutan garis lurus dan
digolongkan dalam aktiva tetap kelompok 2 (masa manfaat 8 tahun).
Pada awal tahun 2010, perusahaan jasa penilai (appraiser) yang diakui
pemerintah melaporkan nilai wajar mesin saat ini sebesar Rp 700 juta.

Pertanyaan:
Apakah perusahaan PT ABC sebaiknya melakukan revaluasi, bila:
a. PT ABC tidak mengalami rugi fiskal.
b. PT ABC mengalami rugi fiskal tahun 2006 sebesar Rp 800 juta dan
hingga tahun 2010 baru dilakukan kompensasi kerugian sebesar Rp
5

500 juta, sedangkan laba tahun berjalan tahun 2011 diprediksi


sebesar Rp 500 juta.

Jawab:
a. Bila perusahaan tidak mengalami rugi fiskal (s/d tahun 2010)

Harga perolehan Mesin Rp 920 juta


Akumulasi penyusutan (2006-2010) Rp 575 juta (5/8x920jt)
Nilai buku mesin Rp 345 juta
Nilai revaluasi Rp 700 juta
Selisih lebih penilaian kembali Rp 355 juta

Selisih lebih penilaian kembali tersebut bukanlah perkiraan


pendapatan bagi perusahaan, tetapi terwujud dalam penambahan
atau penurunan nilai aktiva tetap akibat revaluasi, serta perkiraan
lawannya (contra account) dibukukan dalam akun modal (ekuitas)
dengan nama "selisih penilaian kembali aktiva tetap", sehingga
penyusutan di tahun berikutnya didasarkan atas nilai baru setelah
revaluasi. Atas selisih lebih penilaian kembali tersebut dikenakan
PPh Final 10% atau sebesar Rp 35,5 juta.
Karena perusahaan tidak mengalami rugi fiskal, maka
pertimbangannya adalah dengan cara membandingkan nilai tunai
(present value) dari kenaikan biaya penyusutan setelah revaluasi
dengan cash flow perusahaan yang keluarkan untuk membayar PPh
Final. Bila nilai tunai penyusutan tersebut lebih besar dari PPh
Final 10%, maka tindakan revaluasi tersebut dapat dijalankan.

b. Bila perusahaan mengalami rugi fiskal

Rugi fiskal tahun 2006 sebesar Rp 800 juta


Kompensasi kerugian terhadap laba th. 2011 Rp 500 juta
Kompensasi kerugian yang hangus
bila perusahaan tidak melakukan revaluasi Rp 300 juta
6

Sesuai Pasal 6 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak


Penghasilan, kompensasi kerugian ditetapkan selama 5(lima)
tahun. Kompensasi kerugian terhadap laba perusahaan telah
dilaksanakan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 (4 tahun) tinggal
sisanya 1 (satu) tahun lagi. Dalam situasi yang demikian, daripada
kompensasi kerugian tersebut hangus, lebih baik perusahaan
melakukan revaluasi pada awal tahun 2011, karena "Selisih lebih
penilaian kembali" tersebut harus di kompensasi dulu terhadap rugi
fiskal, sehingga tidak dikenakan PPh final. Bila tidak dilakukan
revaluasi, maka perusahaan akan rugi karena kompensasi kerugian
yang hangus sebesar Rp 300 juta.

Bagaimana bila perusahaan melakukan revaluasi, apa dampaknya


terhadap PPh Final?
Selisih lebih penilaian kembali Rp 355 juta (kredit)
Rugi fiskal tahun 2011 Rp 800 juta (debit)
Selisih lebih penilaian kembali (net)
setelah kompensasi Rp 415 juta (debit)
Artinya, dari contoh di atas, bila perusahaan melakukan revaluasi,
maka perusahaan tidak perlu membayar PPh Final 10% karena
akun “selisih lebih penilaian kembali (net) setelah kompensasi
masih negatif. Tambahan biaya yang timbul dari "selisih lebih
penilaian kembali" sebesar Rp 355 juta tersebut dapat dibiayakan
secara bertahap melalui penyusutan sesuai dengan umur aktiva
yang bersangkutan setelah revaluasi.

2.1.2. Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan


Perpajakan

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:


1. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak
milik atau hak guna bangunan.
2. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak
atau berada di Indonesia, dan dipergunakan untuk mendapatkan,
7

menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek


pajak.

Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap


perusahaan untuk tujuan perpajakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(selanjutnya disebut perusahaan), tidak termasuk perusahaan yang
memperoleh izin, menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
inggris dan mata uang dolar AS, dapat melakukan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan
syarat telah memenuhi kewajiban pajaknya sampai dengan masa
pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian
kembali.
b. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan
dilakukan terhadap:
1) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus
hak milik atau hak guna bangunan.
2) Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang
terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan Objek Pajak.
a) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat
jangka waktu 5 (lima) tahun terbitung sejak penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
b) Sisa kerugian tidak dapat diperhitungkan lagi dalam
penentuan Pajak Penghasilan yang bersifat, final atas
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan.
8

c) Pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang


terutang dalam rangka penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan dapat dilakukan secara angsuran dalam jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
d) Perusahaan yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap
harus mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak
dengan cara mengajukan permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak tempat Perusahaan terdaftar (KPP Domisili), dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
12/PJ./2009.
(SE -56/11./2009 jo. PER-12/PJ./2009 jo. PMK No. 79/
PMK.03/2008)

Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di


atas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen)
Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dapat dikapitalisasi
menjadi modal saham, dan saham tersebut dapat dibagikan kepada
pemegang saham berupa saham bonus.
Saham bonus yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi
aktiva tetap yang dibagikan kepada pemegang saham, bukan
merupakan dividen, sehingga tidak dikenakan Pajak Penghasilan
(Pasal 1 PP. 138/2000).

2.1.3. Pengukuran Aktiva Tetap Berdasarkan PSAK Berbasis IFRS

Dengan pemberlakuan PSAK Nomor 16 berbasis IFRS (International


Financial Reporting Service) yang telah berlaku efektif pada 1 Januari
2008 sebagai konsekuensi adanya kesepakatan pemerintah Indonesia
sebagai anggota G20 Forum, maka penyesuaian tersebut telah
menghadirkan sejumlah perubahan dalam pengukuran aktiva tetap.
9

Perubahan yang cukup fundamental justru terjadi pada aturan main


pengukuran aset atau aktiva tetap setelah pengakuan awal.

Di antara perubahan tersebut, sekarang ini suatu entitas/perusahaan/


badan diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan akuntansinya
dalam mengukur aset/aktiva tetap setelah pengakuan awal. Suatu
entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi
(revaluation model) sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan
kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang
sama (PSAK No. 16, paragraf 29. IAI. SAK Per 1 Juli 2009), yakni:

1. Model Biaya (cost model)


Setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya
perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai aset.

2. Model revaluasi (revaluation model)


Setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya
dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasi,
yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi
setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan
teratur untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda
secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan
nilai wajar pada tanggal neraca.

Dulu sebelum kedua model tersebut diimplementasikan (sebelum


revisi 2007), revaluasi aktiva tetap dalam akuntansi cenderung tidak
diperkenankan kecuali ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah,
karena PSAK hanya menganut konsep historical cost berdasarkan
harga perolehan atau harga pertukaran. Dengan aturan main yang baru
ini, revaluasi aktiva. tetap bisa dilakukan setiap saat entitas tersebut
mengalami perubahan nilai wajar aktiva tetap secara signifikan dan
fluktuatif.
10

Frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu


aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi
berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi
lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan
nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi
secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan
apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset
tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Contoh:
Pada awal tahun 2009, PT ABx yang bergerak di bidang usaha
perkebunan kelapa sawit membeli traktor dengan harga perolehan
sebesar Rp 600 juta. Mesin traktor tersebut masuk dalam kelompok II
dalam UU Pajak Penghasilan (PMK No. 96/PMK.03/2009) dengan
masa manfaat 8 tahun, dan untuk penyusutan aktiva tetapnya
menggunakan metode garis lurus. Diasumsikan tidak ada nilai residu.

Pengakuan awal di PT ABx:


Harga perolehan mesin traktor yang dibeli
tgl. 2 Jan 2009 Rp 600 juta
-/-: Akum. penyusutan mesin traktor
sampai dengan 31/12/2010 Rp 150 juta
Nilai buku (book value) per 31/12/2010 Rp 450 juta

Sehingga jurnal penyesuaiannya tahun 2009 dan 2010 sebagai


berikut:
Tgl. 31 Des 2009:
D. Beban penyusutan mesin traktor Rp 75 juta
K. Akum. Penyusutan mesin traktor - Rp 75 juta

Tgl. 31 Des 2010:


D. Beban penyusutan mesin traktor Rp 75 juta
K. Akum. Penyusutan mesin traktor - Rp 75 juta
11

Dalam rangka pengukuran aset tetapnya setelah pengakuan awal,


Direksi PT ABx memutuskan untuk menggunakan model revaluasi
terhitung awal tahun 2011. Berdasarkan revaluasi aset tetap per 31
Des 2010 diketahui nilai wajar mesin traktor tersebut sebesar Rp 550
juta. Oleh sebab itu untuk pengukuran aset tetapnya dibukukan
sebagai berikut:

Jurnal penyesuaian per 31/12/2010 sebagai berikut:


Alternatif I:
D. Akum. Penyusutan mesin traktor Rp 100 juta
K. Surplus revaluasi - Rp 100 juta

Alternatif II:
D. Akum. Penyusutan mesin traktor Rp 150 juta
K. Mesin traktor (600 juta - 550 juta) - Rp 50 juta
K. Surplus revaluasi - Rp 100 juta

2.1.4. Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap "Surplus Revaluasi" ?

 Dalam PSAK No. 16 paragraf 39 diatur: Jika jumlah aset tercatat


meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung di kredit
ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan
tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar
jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui
sebelumnya dalam laporan laba rugi.
 Dalam PSAK No.16 paragraf 40 diatur: Jika jumlah aset tercatat
turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan
laba rugi. Namun penurunan nilai akibat revaluasi tersebut
langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama
penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi
untuk aset tersebut.
12

Mengacu pada Pasal 5 PMK Nomor: 79/PMK.03/2008 mengenai


pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 10% atas selisih lebih
revaluasi aktiva tetap, maka pencatatan akuntansinya adalah sebagai
berikut:

Jurnal Adjustment Tgl. 31 Desember 2011:


Alternatif 1:
D. Akumulasi Penyusutan Mesin Traktor 100.000.000
C. Surplus revaluasi 90.000.000
C. Utang PPh Final 10.000.000
Alternatif 2:
D. Akumulasi Penyusutan Mesin Traktor 150.000.000
C. Mesin Traktor 50.000.000
C. Surplus revaluasi 90.000.000
C. Utang PPh Final (10% x 100 juta) 10.000.000

Metode apa pun yang akan diaplikasikan (cost model atau revaluation
model), sebelum diputuskan sebaiknya setiap entitas selektif
menimbang plus minus masing-masing metode dilihat dari aspek
perpajakannya, biaya atau compliance costnya, cash flownya, dan
penyajian laporan keuangannya.

2.2. Penggabungan Usaha (Merger)

Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.


Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih wajib
pajak badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai
sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil.
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih wajib pajak
badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan
usaha baru. (Peraturan Menkeu No. 43/PMK.03/2008).
Pada industri perbankan, peristiwa penggabungan usaha ini banyak
dilakukan para pebisnis setelah krisis perekonomian terjadi di wilayah
13

ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 yang berdampak
pada terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak
bank yang menghadapi masalah bahkan kolaps akibat krisis tersebut. Upaya
penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan dilakukan cara
"restrukturisasi finansial" atau dengan "merger dan akuisisi".
Proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk mempercepat
penyelesaian kemelut keuangan di salah satu bank peserta. Dengan merger
dan akuisisi akan diperoleh peningkatan modal perusahaan sehingga CAR
(capital adequacy ratio) akan meningkat sehingga dapat memanage biaya
serta memperbesar margin bunga pinjaman.
Wajib pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku,
dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku,
tidak boleh mengkompensasikan kerugian atau sisa kerugian dari wajib
pajak yang menggabungkan diri atau wajib pajak yang dilebur.
b. Wajib pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan
harta tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam
pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
c. Sebaliknya, penyusutan atas harta yang diterima bagi pihak yang
menerima pengalihan harta tersebut dilakukan berdasarkan masa manfaat
yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-
pihak yang mengalihkan.
(Peraturan Menkeu No. 43/PMK.03/2008).
Dalam rangka melakukan penggabungan (merger) atau peleburan usaha
(konsolidasi), wajib pajak juga dapat mengajukan permohonan pengurangan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bila terjadi pengalihan hak atas
tanah atau bangunan (PER- Dirjen Pajak No. 29/11/2009).
Wajib Pajak yang melakukan merger wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha.
b. Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait.
14

c. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Sehubungan dengan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak


tersebut, terhadap wajib pajak dilakukan pemeriksaan rutin dengan
mendasarkan antara lain pada:
1. Data SPT Rugi Tidak Lebih Bayar
2. Data wajib pajak badan yang melakukan penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, pengambilalihan usaha, dan
likuidasi/penutupan usaha.

2.3. Menunda Biaya Penyusutan

Menunda biaya penyusutan harta berwujud hanya diperbolehkan bagi wajib


pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dengan kriteria bahwa harta
berwujud tersebut berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta
merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu:
1) Bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan, kayu.
2) Bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras.
3) Bidang usaha peternakan meliputi temak, termasuk ternak sapi pejantan.

Dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Dapat melakukan penyusutan atas pengeluaran untuk memperoteh harta
berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
b. Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut termasuk biaya
pembelian bibit, biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit, tetapi
tidak termasuk sebagai pengeluaran biaya yang berhubungan dengan
tenaga kerja.
c. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut
dimulai pada bulan produksi komersial, yakni bulan di mana penjualan
mulai dilakukan. (Peraturan Menkeu No. 249/PMK.03/2008)
15

Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya


penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini
dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat
diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh-1:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan tanaman ubi - casava (bahan baku
tapioka), membeli traktor pada bulan Maret 2005. Traktor tersebut memiliki
masa manfaat 8 tahun (Golongan II). Masa panen hanya 9 bulan, sehingga
perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada bulan Januari 2006.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut
dapat dilakukan mulai bulan Januari 2006. Permohonan untuk menunda
penyusutan harus disampaikan oleh wajib pajak dalam tahun dilakukannya
pengeluaran.
Penundaan penyusutan adalah salah satu cara untuk menggeser (shifting)
beban perusahaan ke masa pajak berikutnya, sehingga akan mengurangi
kerugian wajib pajak dari tahun yang berjalan.
BAB III

CONTOH KASUS

REVALUASI ASET TETAP TERHADAP PENGHEMATAN BEBAN


PAJAK PENGHASILAN PADA PT. INKA MADIUN

Hasil

PT. INKA melakukan revaluasi aset tetap efektif per 14 Januari 2010. Metode
revaluasi yang digunakan perusahaan adalah revaluasi parsial. Revaluasi parsial
adalah revaluasi yang hanya dilakukan pada sebagian aset yang dimilki
perusahaan, seperti tanah, bangunan, dan sarana pelengkap serta mesin produksi.
Pada tahun 2010, perusahaan melakukan pencatatan atas aset yang telah
direvaluasi sebesar nilai wajarpada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilaiyang terjadi setelah tanggal
revaluasi. Penyusutan atas aset yang direvaluasi dihitung dengan metode garis
lurus berdasarkan prakiraan masa manfaat ekonomis aset tersebut. Perusahaan
melakukan revaluasi aset tetap agar nilai aset tetap perusahaan mencerminkan
nilai wajar. Selain itu, tujuan lain dilakukannya revaluasi aset adalah untuk
meminimalkan beban pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan. Revaluasi aset
tetap yang dilakukan oleh PT.INKA didasari oleh PMK Nomor 79/PMK.03/2008
Tanggal 23 Mei 2008 Tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan untuk
Tujuan Perpajakan yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan dirjen pajak yaitu
PER-12/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Administrasi
Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. Tata cara

16
pelaksanaan akan disesuaikan dengan peraturan yang berlaku, sehingga penelitian
ini akan membandingkan
17

Laporan Laba Rugi Komprehensif jika perusahaan melakukan revaluasi dan jika
tidak melakukan revaluasi.

Penyusutan

Penerapan revaluasi aset tetap akan berdampak langsung pada bertambahnya nilai
aset tersebut. Adanya perubahan pada nilai aset akibat revaluasi tentu saja akan
berdampak pada bertambahnya nilai beban penyusutan. Berdasarkan kondisi
tersebut, maka laba fiskal yang dimiliki PT. INKA juga secara otomatis akan
mengalami perubahan bila melakukan revaluasi atas aset tetap. Perubahan yang
terjadi pada laba fiskal perusahaan juga akan berdampak pada perubahan beban
pajak penghasilan yang harus dibayarkan perusahaan karena beban pajak
penghasilan perusahaan dihitung berdasarkan laba fiskal. Apabila laba fiskal
menjadi lebih kecil karena bertambahnya nilai penyusutan, maka besaran nilai
pajak yang dibayarkan juga akan menjadi lebih kecil. Daftar penyusutan aset tetap
perusahaan pada saat sebelum dan sesudah revaluasi dapat dilihat pada tabel 2 dan
tabel 3.

Dari data penyusutan tersebut dapat diketahui adanya perbedaan nilai penyusutan
dari aset tetap. Pada saat perusahaan tidak melakukan revaluasi total beban
penyusutan adalah Rp. 7.638.385.000, sedangkan jika perusahaan melakukan
revaluasi, maka total beban penyusutannya sebesar Rp. 8.242.324.500. Pada saat
perusahaan melakukan revaluasi, beban penyusutan lebih besar dibandingkan
dengan perusahaan tidak melakukan revaluasi. Hal tersebut bisa terjadi karena
adanya peningkatan nilai aset setelah penerapan revaluasi.
18

Laporan Laba Rugi Komprehensif

Laporan laba rugi komprehensif pada umumnya mencerminkan kinerja keuangan


perusahaan pada suatu periode tertentu. Sehubungan dengan tujuan perpajakan,
setiap perusahaan berupaya untuk menyajikan laporan laba rugi yang bernilai
kecil agar beban pajak yang dibayarkan kepada fiskal juga akan menjadi lebih
kecil. Pada umumnya, perusahaan selalu berusaha untuk meminimalkan besarnya
jumlah laba yang tersaji pada laporan laba rugi komprehensif sesuai dengan
peraturan yang berlaku tanpa melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Hal ini
dapat ditempuh perusahaan dengan menggunakan metode akuntansi yang
diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku. Salah satu hal yang paling tepat
adalah dengan melakukan revaluasi aset tetap yang dimiliki perusahaan. Laporan
laba rugi komprehensif PT. INKA sebelum dan sesudah melakukan metode
revaluasi aset tetap pada tahun yang berakhir 31 Desember 2010 dapat dilihat
pada tabel 4 dan tabel 5.
19

Dari laporan laba rugi komprehensif yang terdapat pada tabel diatas, dapat
diketahui bahwa beban pajak bersih yang harus dibayar perusahaan ketika tidak
melakukan revaluasi aset tetap adalah Rp. 11.036.472.640. Hasil tersebut
diperoleh dari pengurangan pajak kini sebesar Rp. 13.472.838.250 dengan pajak
tangguhan sebesar Rp. 2.436.365.610.
20

Dari laporan laba rugi komprehensif pada tabel diatas dapat diketahui bahwa
beban pajak bersih yang harus dibayar perusahaan ketika menerapkan kebijakan
revaluasi aset tetap adalah Rp. 10.847.079.530. Hasil tersebut dapat diperoleh dari
pengurangan pajak kini sebesar Rp. 13.283.445.140 dengan pajak tangguhan
sebesar Rp. 2.436.365.610. Dengan kondisi ini, maka dapat diketahui adanya
perbedaan jumlah beban pajak bersih yang harus dibayar oleh perusahaan, apabila
dibandingkan dengan laporan laba rugi perusahaan ketika tidak menerapkan
revaluasi aset tetap. Ketika perusahaan melakukan revaluasi aset tetap, total beban
pajak bersih yang harus dibayar lebih kecil daripada perusahaan tidak melakukan
revaluasi. Hal ini terjadi karena jumlah beban penyusutan ketika melakukan
revaluasi akan mengalami kenaikan dan otomatis laba perusahaan akan menjadi
lebih kecil.

Perbandingan Nilai Buku Aset Tetap dan Penyusutan Sebelum dan Sesudah
Revaluasi

Apabila ingin mengetahui pengaruh laba akibat diterapkannya kebijakan revaluasi


aset tetap yang dilakukan oleh PT. INKA, maka dapat diketahui dengan
melakukan perbandingan nilai buku aset tetap dan besarnya nilai beban
penyusutan sebelum dan sesudah kegiatan revaluasi. Perbandingan nilai buku aset
tetap dengan penyusutan pada saat sebelum dan setelah revaluasi aset tetap dapat
dilihat pada tabel 6.

Berdasarkan data yang ada pada tabel 6 dapat diketahui adanya selisih lebih atas
revaluasi aset tetap sebesar Rp. 111.274.994.620 (Rp. 222.055.915.500 – Rp.
110.780.920.880). Dengan kondisi tersebut aset perusahaan mengalami kenaikan
nilai buku yang cukup besar. Pada tabel 6 juga dapat diketahui bahwa nilai aset
dari bangunan mengalami peningkatan dari Rp. 47.399.490.000 menjadi Rp.
52.180.355.500 sedangkan nilai buku aset tanah meningkat cukup signifikan dari
Rp. 13.869.605.880 menjadi Rp. 117.891.650.000. Pada saat semua aset yang
direvaluasi mengalami peningkatan nilai buku, justru nilai buku aset sarana
21

pelengkap mengalami penurunan nilai buku dari Rp. 5.346.125.000 menjadi Rp.
5.095.800.000.

Perubahan yang terjadi pada nilai buku aset tetap perusahaan akan berpengaruh
juga pada nilai beban penyusutan. Sehubungan dengan laporan laba rugi
komprehensif, perubahan nilai beban penyusutan cukup berpengaruh terhadap
laba bersih yang disajikan. Revaluasi pada aset tetap menyebabkan terjadinya
peningkatan beban penyusutan yang secara langsung juga akan menyebabkan laba
perusahaan mengalami perubahan menjadi lebih kecil. Beban pajak yang harus
dibayarkan perusahaan menjadi lebih kecil akibat penurunan laba perusahaan.

Pembahasan

Pada laporan laba rugi komprehensif perusahaan untuk tahun yang berakhir 31
Desember 2010 sebelum melakukan revaluasi terhadap tanah, bangunan dan
sarana pelengkap serta mesin produksi maka dapat diketahui jumlah beban pajak
penghasilan PT. INKA untuk tahun2010 adalah sebesar Rp. 11.036.472.640. Hasil
tersebut dapat diperoleh dari beban pajak sesuai dengan tarif yang berlaku 25%
dari total laba perusahaan sebelum pajak yang kemudian dikurangkan dengan
pajak tangguhan perusahaan yang dimiliki perusahan. Selain itu, apabila PT.
INKA menerapkan kebijakan revaluasi terhadap aset tetap yang dimiliki maka
besarnya pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp. 10.847.079.530.

Dari pernyataan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa pada saat perusahaan
tidak melakukan revaluasi, jumlah beban pajak perusahaan sedikit lebih besar
daripada jika perusahaan melakukan revaluasi. Terdapat selisih yang cukup besar
22

antara pajak yang dibayarkan perusahaan sebelum dan sesudah revaluasi.


Besarnya kewajiban pajak yang sedikit lebih kecil ketika perusahaan melakukan
revaluasi belum bisa dijadikan sebagai ukuran untuk ditarik suatu kesimpulan
bahwa revaluasi aset tetap yang dilakukan PT. INKA berhasil meminimalkan
beban pajak penghasilan yang harus dibayarkan.

Kebijakan revaluasi aset tetap yang dilakukan PT. INKA tidak hanya membuat
kewajiban pajak menjadi Rp. 10.847.079.530 saja namun masih ada pajak final
yang harus dibayarkan perusahaan dari adanya selisih akibat revaluasi aset teap
yang dilakukan oleh PT. INKA. Berdasarkan ketentuan perpajakan, telah diatur
bahwa setiap selisih lebih akibat revaluasi aset tetap dikenakan pajak final sebesar
10% setelah dikompensasikan ke kerugian fiskal jika ada. Sesuai kebijakan
revaluasi yang dilakukan oleh PT. INKA terhadap aset tetapnya, maka dapat
diketahui pajak final yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut:

Selisih lebih akibat revaluasi Rp. 111.274.994.620

Pajak tangguhan Rp. (2.436.365.610)

Surplus revaluasi Rp. 108.838.629.010

Pajak final 10% Rp. 10.883.862.901

Dari perhitungan yang ada di atas maka dapat diketahui jumlah pajak yang harus
dibayarkan perusahaan karena melakukan revaluasi. Berikut ini merupakan tabel
perbandingan jumlah besarnya beban pajak yang ditanggung perusahaan tanpa
revaluasi dan melakukan revaluasi:

Tabel 7

Perhitungan yang ada di atas merupakan tahapan analisis untuk memberikan


tinjauan lebih lanjut apakah revaluasi aset tetap yang dilakukan oleh PT. INKA
dapat meminimalkan jumlah beban pajak penghasilan yang harus dibayar atau
23

tidak. Perhitungan tersebut menunjukkan perbandingan antara beban pajak


penghasilan yang harus dibayar jika perusahaan tidak melakukan revaluasi aset
tetap dan jika perusahaan melakukan revaluasi aset tetap. Dari perhitungan
tersebut pula dapat diketahui besarnya jumlah pajak penghasilan yang harus
dibayar perusahaan ketika melakukan revaluasi lebih besar daripada ketika
perusahaan tidak melakukan revaluasi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya pajak
final sebesar 10% atas selisih lebih revaluasi aset tetap yang menyebabkan jumlah
beban pajak penghasilan yang harus dibayarkan menjadi lebih besar.

Di samping itu, dapat diketahui pula pajak final yang muncul akibat revaluasi aset
tetap cukup besar yaitu Rp. 10.883.862.901. Adanya pengenaan pajak final
tersebut dapat menyebabkan perbedaan pajak terutang yang dibayarkan sebelum
dan sesudah melakukan revaluasi cukup meningkat. Tindakan revaluasi aset tetap
yang dilakukan oleh pihak perusahaan pada tahun 2010 tidak dapat
meminimalkan jumlah beban pajak penghasilan yang harus dibayarkan
perusahaan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pajak final yang muncul dari
selisih lebih revaluasi aset tetap tersebut cukup besar. Apabila ditelusuri lebih
detail, suatu hal yang menyebabkan revaluasi aset tetap tidak mampu memberikan
penghematan pajak adalah karena kebijakan revaluasi yang dilakukan perusahaan
hanya pada beberapa aset yang dimiliki perusahaan saja atau bisa disebut dengan
revaluasi parsial. PT. INKA mempunyai banyak sekali daftar aset tetap yang
dimiliki, tetapi perusahaan hanya merevaluasi aset tetapnya seperti tanah,
bangunan dan sarana pelengkap serta mesin produksi saja. Hasil dari revaluasi
pada aset tetap mempunyai nilai yang cukup besar khususnya pada aset tetap
tanah. Nilai buku aset tanah berubah cukup signifikan dari Rp. 13.869.605.880
menjadi Rp. 117.891.650.000. Hal ini bisa terjadi karena harga tanah dari tahun
ke tahun selalu mengalami peningkatan. Kenaikan nilai buku aset juga terjadi
pada aset bangunan mengalami peningkatan dari Rp. 47.399.490.000 menjadi Rp.
52.180.355.500 dan aset mesin produksi dari Rp. 44.165.700.000 menjadi Rp.
46.888.110.000. Pada saat semua aset yang direvaluasi mengalami peningkatan
nilai buku, justru nilai buku aset sarana pelengkap mengalami penurunan nilai
buku dari Rp. 5.346.125.000 menjadi Rp. 5.095.800.000.
24

Seperti yang dapat diketahui oleh kita semua, bahwa revaluasi suatu aset tetap
mempunyai dampak pada laba yang dihasilkan perusahaan yang kemudian akan
mempengaruhi beban pajak terutang yang harus dibayarkan. Meningkatnya nilai
buku suatu aset tetap disebabkan akan berpengaruh pada meningkatnya nilai
beban penyusutan. Tanah merupakan jenis aset tetap yang tidak dapat disusutkan,
sehingga revaluasi yang dilakukan pada aset tanah tidak akan memberikan
kontribusi pada penghematan pajak bagi perusahaan karena tidak menghasilkan
beban penyusutan. Padahal aset tetap perusahaan berupa tanah memiliki nilai
revaluasi cukup besar dan tentu akan menghasilkan pajak final atas selisih lebih
revaluasinya. Aset tetap perusahaan seperti bangunan dan mesin produksi
merupakan aset tetap yang disusutkan, sehingga hail revaluasi terhadap bangunan
dan mesin produksi mampu memberikan kontribusi penghematan pajak melalui
peningkatan beban penyusutan akibat dari bertambahnya nilai buku dari kedua
aset tetap tersebut. Walaupun penambahan beban penyusutan yang ada tidak
banyak memberikan pengaruh terhadap beban pajak yang dibayarkan oleh
perusahaan. Besarnya pajak yang dibayarkan perusahaan ketika melakukan
revaluasi adalah Rp. 21.730.942.431. Hasil tersebut dapat diperoleh melalui
penjumlahan beban pajak bersih sebesar Rp. 10.847.079.530 dan pajak final
sebesar Rp. 10.883.862.901, sedangkan apabila perusahaan tidak melakukan
revaluasi jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp. 11.036.472.640. Dengan
kondisi tersebut terdapat perbedaan pada beban pajak penghasilan sebelum dan
sesudah revaluasi sebesar Rp. 10.694.469.791.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan,


maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

Revaluasi aset tetap adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh
pihak perusahaan untuk menilai kembali nilai dari aset tetapnya dalam rangka
untuk meminimalkan beban pajak penghasilan yang ditanggung oleh
perusahaan. Revaluasi yang dilakukan oleh perusahaan termasuk revaluasi
yang bersifat parsial. Revaluasi bersifat parsial adalah revaluasi yang
dilakukan hanya pada sebagian aset yang dimiliki perusahaan. Aset tetap
tersebut terdiri dari tanah, bangunan, dan sarana pelengkap serta mesin
produksi.

Kebijakan revaluasi aset tetap yang dilakukan oleh PT. INKA


berdampak pada meningkatnya nilai buku aset tetap tersebut. Hal ini diikuti
dengan bertambahnya beban penyusutan pada aset tetap yang direvaluasi
pada tahun 2010.

Adanya kebijakan revaluasi aset tetap menyebabkan laba fiskal PT.


INKA mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar Rp. 370.546.390. Hal
tersebut dapat diketahui dengan melihat selisih antara laba fiskal perusahaan
ketika tidak melakukan revaluasi sebesar Rp. 28.795.886.116 dengan laba
fiskal perusahaan setelah melakukan revaluasi sebesar Rp. 28.425.339.726.
Surplus atas revaluasi yang dilakukan PT. INKA pada tahun 2010 sebesar
Rp. 108.838.629.010. Sesuai dengan peraturan yang berlaku surplus atas
revaluasi aset tetap dikenakan pajak final sebesar 10%, maka pajak final atas
surplus revaluasi sebesar Rp. 10.883.862.901.

Jumlah beban pajak yang harus dibayar perusahaan ketika tidak


melakukan kebijakan revaluasi aset tetap sebesar Rp. 11.036.472.640. Ketika
PT. INKA melakukan kebijakan revaluasi aset tetap maka jumlah beban
pajak yang harus dibayar sebesar Rp. 21.730.942.431. Dengan kondisi
26

tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah beban pajak yang harus dibayarkan
perusahaan
26

lebih kecil ketika tidak melakukan revaluasi aset tetap dibandingkan dengan
ketika perusahaan melakukan revaluasi aset tetap.

Kebijakan revaluasi aset tetap yang dilaksanakan oleh PT. INKA pada
tahun 2010 berdamapak pada membesarnya beban pajak yang harus dibayar
perusahaan. Hal ini disebabkan oleh peraturan yang berlaku atas pengenaan
pajak final akibat surplus revaluasi.

4.2.
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan


Pajak dan Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

https://www.scribd.com/document/415082502/MANAJEMEN-RUGI-
FISKAL

Analisis Revaluasi Aset Tetap terhadap Penghematan Beban Pajak


Penghasilan pada PT. INKA Madiun. Jurnal Hudan Akbar Ramadhan,
Universitas Negeri Surabaya yang berjudul pada tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai