BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejak reformasi perpajakan di Indonesia dimulai pada tahun 1984,
dengan berlakunya Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP
1983) dan Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(selanjutnya disebut Undang-Undang PPh 1983) dinyatakan bahwa pada
prinsipnya Wajib Pajak yang harus mengadakan pembukuan adalah Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia (pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP
1983). Berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan, Wajib Pajak
diharapkan mampu menghitung dasar pengenaan pajak. Namun pemerintah
memberikan perkecualian bagi Wajib Pajak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan tetapi sekurang-kurangnya menggunakan pencatatan untuk
menghitung dasar pengenaan pajak (pasal 28 ayat 2). Konsekuensi bagi Wajib
Pajak yang menggunakan pencatatan adalah menghitung Penghasilan Netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib Pajak yang karena
kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari
kewajiban mengadakan pembukuan. Yang dimaksud dengan "dibebaskan"
dari kewajiban mengadakan pembukuan tidak berarti bahwa Wajib Pajak
untuk seterusnya tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya
menyelenggarakan pembukuan secara lengkap dan baik, sehingga sama sekali
tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan usahanya. Sepanjang
kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk hanya
membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang
memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan
pajak yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (penjelasan pasal
28 ayat 2).
Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan pencatatan diatur pada
Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh 1983 yaitu Wajib Pajak yang peredaraan
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah
kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun, asalkan Wajib Pajak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja dasar NPPN?
2. Bagaimana perhitungan NPPN?
3. Siapa saja yang dapat mengggunakan NPPN?
4. Seberapa besar perbedaan angka prosentase antara Wajib Pajak yang
diperbolehkan menggunakan NPPN (melakukan pencatatan)
Kep.01/PJ.07/1991 dengan Wajib Pajak yang seharusnya melakukan
pembukuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1
Januari 2019) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2009 tentang
petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP)
F. Dalam Hal Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha
Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki lebih dari
satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah
pengenaan norma (Pasal 5 ayat 1 PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing
jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung (Pasal 5 ayat 2 PER-
17/PJ/2015)
Pasal 3
1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari
tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif
pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun pajak
yang bersangkutan.
4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada
suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.