Anda di halaman 1dari 20

WAJIB PAJAK DAN NPPN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sejak reformasi perpajakan di Indonesia dimulai pada tahun 1984,
dengan berlakunya Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP
1983) dan Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(selanjutnya disebut Undang-Undang PPh 1983) dinyatakan bahwa pada
prinsipnya Wajib Pajak yang harus mengadakan pembukuan adalah Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia (pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP
1983). Berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan, Wajib Pajak
diharapkan mampu menghitung dasar pengenaan pajak. Namun pemerintah
memberikan perkecualian bagi Wajib Pajak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan tetapi sekurang-kurangnya menggunakan pencatatan untuk
menghitung dasar pengenaan pajak (pasal 28 ayat 2). Konsekuensi bagi Wajib
Pajak yang menggunakan pencatatan adalah menghitung Penghasilan Netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib Pajak yang karena
kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari
kewajiban mengadakan pembukuan. Yang dimaksud dengan "dibebaskan"
dari kewajiban mengadakan pembukuan tidak berarti bahwa Wajib Pajak
untuk seterusnya tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya
menyelenggarakan pembukuan secara lengkap dan baik, sehingga sama sekali
tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan usahanya. Sepanjang
kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk hanya
membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang
memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan
pajak yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (penjelasan pasal
28 ayat 2).
Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan pencatatan diatur pada
Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh 1983 yaitu Wajib Pajak yang peredaraan
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah
kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun, asalkan Wajib Pajak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja dasar NPPN?
2. Bagaimana perhitungan NPPN?
3. Siapa saja yang dapat mengggunakan NPPN?
4. Seberapa besar perbedaan angka prosentase antara Wajib Pajak yang
diperbolehkan menggunakan NPPN (melakukan pencatatan)
Kep.01/PJ.07/1991 dengan Wajib Pajak yang seharusnya melakukan
pembukuan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1
Januari 2019) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2009 tentang
petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP)

B. Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


(NPPN)
Yang Dapat/Boleh Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto (NPPN) adalah :
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya (omzet) dalam 1 tahun kurang dari
Rp 4.800.000.000,- dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan. (Pasal 14 ayat 2 UU PPh)
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto menggunakan
Norma Penghasilan Netto, dianggap menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14
ayat 4 UU PPh dan Pasal 2 ayat 3 PER-17/PJ/2015)
Dalam hal terhadap Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam UU KUP, ternyata Wajib Pajak tersebut tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia
memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya,
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto (Pasal 14 ayat 5 UU PPh dan Pasal 3 ayat 1 PER
17/PJ/2015)

C. Kewajiban yang Timbul atas Penggunaan Norma Penghitungan


Penghasilan Neto
Kewajiban yang Timbul atas Penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto antara lain:
Menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan norma kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sebagaimana dimaksud dalam
UU KUP (Pasal 14 ayat 3 UU PPh) sesuai format Lampiran I PER-4/PJ/2009

D. Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa Pemberitahuan


Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan
Penggunaan Norma dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan dan
dikenakan sanksi administrasi sebagaimana yang diatur dalam UU KUP (Pasal
3 ayat 3 PER-17/PJ/2015)

E. Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)


Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dibagi
menjadi (Pasal 4 PER-17/PJ/2015):
Daftar Persentanse Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
dikelompokan menurut wilayah sebagai berikut (dibagi secara umum):
10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak
Daftar Persentanse Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib
Pajak Orang Pribadi yang menghitung penghasilan netonya dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (Lampiran I PER
17/PJ/2015).
Daftar Persentanse Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib
Pajak Orang Pribadi yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya (Lampiran II PER
17/PJ/2015).
Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib
Pajaki Badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya (Wajib Pajak Badan yang dimaksud Pasal 14 ayat 5 UU PPh)
(Lampiran III PER 17/PJ/2015).

F. Dalam Hal Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha
Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki lebih dari
satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah
pengenaan norma (Pasal 5 ayat 1 PER-17/PJ/2015)
Penghasilan neto Wajib Pajak yang memiliki dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing
jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung (Pasal 5 ayat 2 PER-
17/PJ/2015)

G. Cara Menghitung Besar Penghasilan Neto


Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara
mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dalam satu Tahun Pajak (Pasal 6 ayat 1 PER-17/PJ/2015)
H. Jenis Pekerjaan Bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan
Dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (apabila
peredaran usaha tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak)
adalah sebagai berikut :
 tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
 pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
 olahragawan;
 penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 pengarang, peneliti, dan penerjemah:
 agen iklan:
 pengawas atau pengelola proyek;
 perantara;
 petugas penjaja barang dagangan;
 agen asuransi; dan
 distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Contoh Perhitungan dengan Norma Penghasilan Neto Untuk Tahun Pajak


2017 :
Tuan Adit adalah seorang dokter di Purwokerto yang membuka usaha
praktek dokter (klinik kesehatan).
Dari pekerjaan bebas sebagai dokter tersebut tuan Adit memperoleh
penghasilan kotor (bruto) dalam bulan Januari s/d Desember adalah sebesar
Rp.600.000.000,00.
Penghasilan Neto tuan Adit dalam setahun (Januari s/d Desember 2017)
dihitung sebagai berikut :
Penghasilan Bruto : 600.000.000
Tarif Norma Penghasilan Neto : 50 %
Penghasilan Neto : 300.000.000 (600.000.000 x 50 %)

Contoh perhitungan dengan norma Penghasilan Neto Untuk Tahun Pajak


2015 :
Tuan Adit adalah seorang dokter di Purwokerto yang membuka usaha
praktek dokter (klinik kesehatan).
Dari pekerjaan bebas sebagai dokter tersebut tuan Adit memperoleh
penghasilan kotor (bruto) dalam bulan Januari s/d Desember adalah sebesar
Rp.600.000.000,00.
Penghasilan Neto tuan Adit dalam setahun (Januari s/d Desember 2015)
dihitung sebagai berikut :
Penghasilan Bruto : 600.000.000
Tarif Norma Penghasilan Neto : 40 %
Penghasilan Neto : 240.000.000 (600.000.000 x 40 %).

I. Perbedaan besaran angka prosentase antara Wajib Pajak yang


diperbolehkan menggunakan NPPN (melakukan pencatatan)
Kep.01/PJ.07/1991 dengan Wajib Pajak yang seharusnya melakukan
pembukuan
Sejak reformasi perpajakan di Indonesia dimulai pada tahun 1984,
dengan berlakunya Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP
1983) dan Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(selanjutnya disebut Undang-Undang PPh 1983) dinyatakan bahwa pada
prinsipnya Wajib Pajak yang harus mengadakan pembukuan adalah Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia (pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP
1983). Berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan, Wajib Pajak
diharapkan mampu menghitung dasar pengenaan pajak. Namun pemerintah
memberikan perkecualian bagi Wajib Pajak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan tetapi sekurang-kurangnya menggunakan pencatatan untuk
menghitung dasar pengenaan pajak (pasal 28 ayat 2). Konsekuensi bagi Wajib
Pajak yang menggunakan pencatatan adalah menghitung Penghasilan Netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib Pajak yang karena
kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari
kewajiban mengadakan pembukuan. Yang dimaksud dengan "dibebaskan"
dari kewajiban mengadakan pembukuan tidak berarti bahwa Wajib Pajak
untuk seterusnya tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya
menyelenggarakan pembukuan secara lengkap dan baik, sehingga sama sekali
tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan usahanya. Sepanjang
kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk hanya
membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang
memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan
pajak yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (penjelasan pasal
28 ayat 2).

Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan pencatatan diatur pada


Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh 1983 yaitu Wajib Pajak yang peredaraan
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah
kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun, asalkan Wajib Pajak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria ini baik Wajib Pajak Orang
pribadi maupun badan dapat menggunakan NPPN sesuai dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.01/PJ.07/1991 Tentang NPPN Dan Tata
Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung
Penghasilan Netto Dengan Menggunakan NPPN.
Wajib Pajak yang seharusnya menyelenggarakan pembukuan tetapi
tidak menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan
saat pemeriksaan menurut Undang-Undang KUP 1983 dan Undang-Undang
PPh 1983
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk
menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (pasal 29 Undang-Undang KUP 1983). Jika dalam pemeriksaan
Wajib Pajak (baik Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi) ternyata peredaraan
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya berjumlah lebih
darienam puluh juta (Rp. 60.000.000,-) setahun sebagaimana dimaksud pasal
14 ayat 2 Undang-Undang PPh 1983 namun tidak menyelenggarakan
pembukuan sebagaimana mestinya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
dasar pengenaan pajak yang terhutang dengan menggunakan norma tersendiri
yaitu NPPN sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
Kep.02/PJ.07/1991 Tentang NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Wajib
Menyelenggarakan Pembukuan Tetapi Tidak Menyelenggarakan Sebagaimana
Mestinya. Pajak Penghasilan yang terutang dari penghitungan menurut
Kep.02/PJ.07/1991 ini ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang KUP tahun 1983
(kenaikan 50%).
Penggunaan NPPN sesuai Kep.02/PJ.07/1991 ini juga berlaku dalam
pemeriksaan, jika Wajib Pajak tidak memperlihatkan buku dan catatan serta
bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan
kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut(Pasal 14
Ayat 6 Undang-Undang KUP 1983). Dengan kata lain, bahwa NPPN sesuai
Kep.02/PJ.07/1991 ini dapat digunakan dalam pemeriksaan yang menghitung
pajak penghasilan secara jabatan.
Terdapat perbedaan besaran angka prosentase antara Wajib Pajak yang
diperbolehkan menggunakan NPPN (melakukan pencatatan)
Kep.01/PJ.07/1991 dengan Wajib Pajak yang seharusnya melakukan
pembukuan (Kep.02/PJ.07/1991). Contoh perbandingannya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Angka prosentase NPPN bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan
pembukuan namun tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
mestinya lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak yang diperbolehkan
menggunakan NPPN. Angka prosentase yang lebih besar ini merupakan
sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan ketentuan perpajakan/tidak
menyelenggarakan pembukuan. Angka prosentase pada NPPN berdasarkan
Kep.01/PJ.7/1991 digunakan oleh Wajib Pajak dalam menghitung penghasilan
kena pajak pada SPT Wajib Pajak. Angka pada Kep.01/PJ.7/1991 ini juga
digunakan Pemeriksa Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak
berdasarkan hasil pemeriksaan. Sedangkan angka prosentase NPPN
berdasarkan Kep.02/PJ.7/1991 hanya digunakan oleh Pemeriksa Pajak dalam
menghitung penghasilan kena pajak menurut hasil pemeriksaan, jika ternyata
Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya.
Direktur Jenderal Pajak kemudian mengeluarkan peraturan berupa
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 536/PJ./2000 Tentang NPPN
Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan
Menggunakan Norma Penghitungan yang isinya diantaranya adalah:
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 dalam satu tahun wajib
menyelenggarakan pencatatan jika Wajib Pajak yang bersangkutan tidak
memilih menyelenggarakan pembukuan, serta
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib
memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan.Pemberitahuan penggunaan NPPN yang disampaikan dalam
jangka waktu 3 bulan tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil
pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan NPPN.
Ketentuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 atau
lebih dalam satu tahun,
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00namun
Wajib Pajak tersebut memilih menyelenggarakan pembukuan, dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran brutodibawahnamun Wajib Pajak tersebut
tidak memberitahukantentang penggunaan Norma Penghitungan
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
awal tahun pajak yang bersangkutan.
d. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebasseharusnya menyelenggarakan pembukuan namun
tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.
e. Terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
berdasarkan angka 3 huruf “ d” di atas” dikenakan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar (sesuai pasal 3
ayat 1 dan ayat 2 Kep 536/PJ/2000).

4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.01/PJ./1991 dan


Kep.02/PJ.1991 dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1
Januari 2001.
5. Angka Prosentase NPPN yang digunakan adalah angka yang tertera
pada Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
Kep.536/PJ./2000 ini.
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk tahun
pajak 2001 dan seterusnya.

Sebagai catatan, Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini masih


berlaku sampai saat tulisan ini dibuat (April 2015). Dengan keluarnya
Kep.Dirjen Pajak No.536/PJ./2000 ini maka:
Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan NPPN hanya Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, dengan
ketentuan seperti di atas.
Penggunaan angka NPPN sesuai Kep.No.536/2000 ini dipakai oleh
Wajib Pajak saat pengisian Surat Pemberitahuannya serta juga digunakan oleh
Pemeriksa Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak terhadap Wajib
Pajak dan memilih menggunakan pembukuan jika berdasarkan hasil
pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tersebut tidak menyelenggarakan
pembukuan sebagaimana mestinya.
Penggunaan NPPN pada Undang-Undang KUP 2009 dan Undang-
Undang PPh 2008
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP 2009)
mewajibkanWajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia menyelenggarakan
pembukuan (pasal 28 ayat 1). Namun diberikan perkecualian bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan. Konsekuensi bagi Wajib Pajak yang melakukan
pencatatan adalah dalam menghitung penghasilan netonya menggunakan
NPPN (pasal 28 ayat 2 UU KUP).
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus-menerus (penjelasan pasal 14 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut
Undang-Undang PPh 2008).

Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam


hal:

a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan


yang lengkap; atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan ini diharapkan akan membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan
neto.

Menurut Undang-Undang PPh 2008 ini yang diperbolehkan untuk


menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), dengan syarat memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan (sesuai pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh
tahun 2008).
Wajib Pajak Badan, dapatkah menggunakan NPPN?
Wajib Pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP 2009. Sejak
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.01/PJ./1991 dan Kep.02/PJ.1991
(yang memperbolehkan Wajib Pajak Badan menggunakan NPPN) dinyatakan
tidak berlaku seiring dengan berlakunya Kep.536/PJ./2000, dan terhadap
Wajib Pajak Badan tidak diperbolehkan menggunakan NPPN, baik saat Wajib
Pajak mengisi Surat Pemberitahuannya maupun saat Pemeriksa Pajak
menghitung penghasilan kena pajak secara jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Wajib Pajak UMKM Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, Dikenai Pajak Penghasilan Yang Bersifat
Final tarif 1%
Dalam rangka peningkatan peran serta Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM) dalam perpajakan melalui peningkatan voluntary tax
compliance serta perlunya penerapan perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (disingkat PP 46).
Peraturan perpajakan ini juga dilatarbelakangi kontribusi UMKM
dalamperekonomian Indonesia sangat besar (56,5%), namun kontribusi
UMKM dalam penerimaan perpajakan sangat kecil (0,5%). Untuk itu
pemerintah melalui PP 46 mengeluarkan peraturan perpajakan bagi UMKM
yang sifatnya mudah dilaksanakan (compliance cost-nya rendah) serta tidak
rumit (collection cost rendah). Salah satu yang dilakukan melalui PP 46 ini
adalah menyederhanakan penghitungan perpajakan melalui penyedehanaan
perkiraan penghasilan kena pajak.

Beberapa poin penting dalam PP 46 ini adalah:


Pasal 2
1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun p

3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2)adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 3
1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari
tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif
pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun pajak
yang bersangkutan.
4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada
suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Pada Pasal 8 PP 46 ini, Wajib Pajak badan dengan syarat tertentu


diperbolehkan untuk menghitung Pajak Penghasilannya sebesar 1% dari
Peredaran Brutonya dan bersifat final. Wajib Pajak badan dibebaskan untuk
menyelenggarakan pembukuan atau tidak, kecuali terhadap Wajib Pajak badan
(yang peredaran brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00) diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan.
Pajak Penghasilan tarif 1% ini juga dapat digunakan oleh Pemeriksa Pajak
jika dalam pemeriksaan terhadap SPT Wajib Pajak yang peredaran brutonya
belum melebihi Rp4.800.000.000,00 terdapat tambahan koreksi terhadap
peredaran bruto namun secara keseluruhan jumlah peredaran brutonya masih
belum melebihi Rp4.800.000.000,00.
Dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Kep.536/PJ./2000 tahun 2001 yang mencabut Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Kep.01/PJ.7/1991 dan Kep.02/PJ.71991, maka sejak tahun 2001
terhadap Wajib Pajak badan tidak diperbolehkan lagi menggunakan NPPN
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak baik oleh Wajib Pajak dalam
menyusun SPT nya, maupun oleh Pemeriksa Pajak dalam menghitung pajak
penghasilan secara jabatan. Hal ini menyebabkan hilangnya salah satu cara
penghitungan pajak penghasilan bagi Pemeriksa Pajak yang dalam
pemeriksaan harus dihitung secara jabatan karena pemeriksa tidak
memperoleh data, dokumen, buku, catatan dan informasi yang cukup.
Tetapi dengan keluarnya PP 46 tahun 2013 cukup membantu bagi
Pemeriksa dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang menurut hasil
pemeriksaan, terutama bagi Wajib Pajak yang masuk dalam ketentuan PP 46
ini (Peredaran Bruto Wajib Pajak belum melebihi Rp4.800.000.000,00).
Namun PP 46 ini masih belum menjangkau Wajib Pajak Badan yang
jumlah Peredaran Brutonya telah melebihi Rp4.800.000.000,00, yang
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Sehingga dengan adanya PP 46 belum memberikan solusi secara
keseluruhan terhadap pemeriksaan jika pemeriksa harus menetapkan pajak
penghasilan terutang secara jabatan (tidak ada Norma Penghitungan
Penghasilan Neto)
BAB III
PENUTUP

Aturan perpajakan saat ini lebih mengedepankan penggunaan sanksi


administrasi dibandingkan penerapan sanksi pidana (ultimum remedium), dan hal
ini diketahui oleh Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak merasa di atas angin. Hal ini
berdampak pada proses pemeriksaan pajak, terlihat dari kecenderungan Wajib
Pajak untuk tidak menyerahkan/menyembunyikan data-data, dokumen, informasi
yang dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak (terutama Wajib Pajak golongan
menengah kebawah yang berada pada Kantor Pelayanan Pratama). Karena potensi
kerugian negara untuk tiap Wajib Pajak menengah kebawah mungkin tidak terlalu
besar, sehingga sangat jarang terhadap Wajib Pajak yang tergolong menengah
kebawah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan sehubungan dengan adanya
dugaan tindak pidana perpajakan.
Lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan (4 s.d 8
bulan), sehingga jika Wajib Pajak yang setelah satu bulan sejak penyampaian
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan/atau Surat Panggilan masih belum
menyerahkan buku, catatan, dokumen yang dibutuhkan dalam pemeriksaan dan
dibuatkan Berita Acaranya, pemeriksa diharuskan mencari cara lain untuk
menetapkan jumlah pajak terutang secara jabatan. Waktu yang panjang ini dapat
berdampak pada berkurangnya jumlah penyelesaian Laporan Hasil. Dan
kemungkinan juga dapat berdampak pada tidak maksimalnya jumlah pajak yang
terhutang pada Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh Pemeriksa.
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhirdengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhirdengan Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2008
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 TentangPajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari UsahaYang Diterima Atau Diperoleh Wajib PajakYang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.01/PJ.07/1991 Tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Netto Dan Tata Cara Pembuatan Catatan
Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Netto Dengan
Menggunakan Norma Penghitungan Pajak Penghasilan Neto.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.02/PJ.07/1991Tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Netto Bagi Wajib Pajak Yang Wajib
Menyelenggarakan Pembukuan Tetapi Tidak Menyelenggarakan
Sebagaimana Mestinya
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 536/PJ./2000 Tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat
Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma
Penghitungan
Mulyono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan, Yogyakarta:
CV ANDI OFFSET

Anda mungkin juga menyukai