Anda di halaman 1dari 3

Ada beberapa cara penghitungan pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan diikuti dengan tingkat tarif

pajak yang berbeda. Berikut ini akan dijelaskan tentang


ketentuan peraturan perpajakan tentang penghitungan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:
1. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP) menyatakan:
a.Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia yang
1)melakukan kegiatan usaha, atau
2)pekerjaan bebas, dan
b. Wajib Pajak Badan di Indonesia
wajib menyelenggarakan pembukuan (pasal 28 ayat 1).
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan (Undang-Undang PPh pasal 14 ayat 2) diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (pasal 28 ayat 2).
Selanjutnya Pasal 14 ayat 2 Undang Undang PPh menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang: a) melakukan kegiatan usaha atau b) melakukan pekerjaan bebas,
yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00, boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (seperti yang dimaksud
dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), penghitungan pajak penghasilannya menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 (PP 46/2013). Hal-hal yang
diatur dalam PP 46/2013 sehubungan dengan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tidak termasuk pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1
tahun pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1%.
2. Tidak termasuk/dikecualikan dariWajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
dalam usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
3. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
4. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai
tarif pajak penghasilan bersifat final 1% sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan.
5. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (pasal 17).
6. Ketentuan dikenai tarif pajak penghasilan bersifat final 1% ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakan (pasal 5 PP 46/2013).
7. Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) PP 46/2013 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Selanjutnya aturan turunan dari PP 46/2013 adalah Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-42/PJ/2013 menjelaskan bahwa peredaran bruto yang tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
1. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
3. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas (seperti yang dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), yang peredaran brutonya dalam 1
tahun kurang dari boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tersebut sesuai penjelasan PP 46/2013 meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintangiklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi; dan
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang digunakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas untuk menghitung pajak penghasilan adalah
menggunakan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung
Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan. Beberapa poin yang diatur dalam Kep-536/PJ.2000 ini adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 dalam satu tahun wajib
menyelenggarakan pencatatan jika Wajib Pajak yang bersangkutan tidak memilih menyelenggarakan pembukuan,
2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lama 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.Pemberitahuan penggunaan NPPN yang disampaikan dalam jangka waktu 3 bulan tersebut dianggap
disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan NPPN.
3. Ketentuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 atau lebih dalam satu tahun,
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00namun Wajib Pajak tersebut
memilih menyelenggarakan pembukuan, dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran brutodibawahnamun Wajib Pajak tersebut tidak
memberitahukantentang penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan.
d. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebasseharusnya menyelenggarakan pembukuan namun tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.
e. Terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan angka 3 huruf “ d” di atas” dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar (sesuai pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Kep 536/PJ/2000).
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep.01/PJ./1991 dan Kep.02/PJ.1991 dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 2001.
5. Angka Prosentase NPPN yang digunakan adalah angka yang tertera pada Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.536/PJ./2000 ini.
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2001 dan seterusnya.

Sebagai catatan terhadap Kep-536/PJ/2000 ini adalah:


1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini masih berlaku sampai saat tulisan ini dibuat (Mei 20.
2. Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha setelah berlakunya PP 46/2013, maka penghitungan pajak penghasilannya menggunakan PP 46/2013
yang pajak penghasilannya sebesar 1% dan bersifat final.
3. Batasan yang dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto dibawah Rp600.000.000,00 sesuai Kep.Dirjen Pajak
No.Kep.536/PJ/2000, otomatis diubah menjadi peredaran bruto kurang dari esuai pasal 14 ayat 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Penghasilan neto yang diperoleh dari Wajib Pajak Orang Pribadi yang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan, selanjutnya dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak. Penghitungan pajak penghasilannya menggunakan tarif pajak penghasilan umum (pasal 17) yaitu:
a. Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp50.000.000,00 = tarif PPh 5%.
b. Penghasilan Kena Pajak di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00= tarif PPh 15%.
c. Penghasilan Kena Pajak di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00= tarif PPh 25%.
d. Penghasilan Kena Pajak di atas Rp500.000.000,00 = tarif PPh 30%.
4. Selanjutnya bagi Wajib Pajak tertentu, terdapat aturan lain dalam rangka menghitung pajak penghasilannya. Aturan itu sehubungan dengan pembayaran angsuran PPh pasal
25 yang dibayar tiap bulan. Namun penghitungan pajak penghasilan akhir tetap menggunakan tarif umum pajak penghasilan pasal 17 Undang-Undang PPh. Aturan itu adalah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.03/2009 tentangPenghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang
Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk
Bursa dan Wajib Pajak Lainnya YangBerdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan BerkalaTermasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Pasal 6 aturan PMK-208/PMK.03/2009 ini menyatakan:
1. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulandari masing-masing tempat usaha tersebut.
2. Ketentuan pelaksanaan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pengertian Wajib Pajak Prang Pribadi pengusaha tertentu diatur pada Peraturan Dirjen Pajak No.32/PJ/2010 yaitu:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai 1
(satu) atau lebih tempat usaha.
2. Pedagang Pengecer adalah orang pribadi yang melakukan:
a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan jasa,melalui suatu tempat usaha.
3. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Contoh penghitungan pajak penghasilan

1. Pengenaan tarif 1%.


Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009
memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y.
Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A = Rp 100.000.000,00
Peredaran bruto bengkel B = Rp 150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah). Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp4.800.000.000,00, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh Agus
Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp 10.000.000,00 dan dari bengkel B sebesar Rp15.000.000,00, maka
paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
a. Bengkel A
b. Bengkel B
2.Pengenaan tarif 1% dan tahun berikutnya tarif 0,75% serta tarif PPh umum.
PPh = 1% x Rp 10.000.000,00
= Rp 100.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
PPh = 1% x Rp 15.000.000,00
= Rp 150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)
Kurniawan merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status menikah dan mempunyai 2 orang anak, melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 tempat
kegiatan usaha sehingga Kurniawan termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu. Peredaran bruto usaha Tahun Pajak 2013 adalah sebesar Rp4.000.000.000,00
sehingga pada Tahun Pajak 2014 Kurniawan dikenai PPh yang bersifat final sebesar 1%. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha
sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00.
PPh terutang tahun 2014 adalah: 1% x Rp5.000.000.000,00 = Rp50.000.000,00.
Karena pada tahun 2014 peredaran brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00, maka pada Tahun Pajak 2015 Kurniawan dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang
PPh dan Kurniawan wajib menyetorkan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25, sesuai ketentuan angsuran bagi orang pribadi pengusaha tertentu sebesar 0,75% dari peredaran
bruto tiap bulan (sesuai PMK - 208/PMK.03/2009). Jika peredaran bruto tahun 2015 adalah sbb:
PEREDARAN ANGSURAN PPH
BULAN
BRUTO PSL 25 (0,75%)
JANUARI 300,000,000.00 2,250,000.00
FEBRUARI 400,000,000.00 3,000,000.00
MARET 500,000,000.00 3,750,000.00
APRIL 500,000,000.00 3,750,000.00
MEI 200,000,000.00 1,500,000.00
JUNI 400,000,000.00 3,000,000.00
JULI 600,000,000.00 4,500,000.00
AGUSTUS 500,000,000.00 3,750,000.00
SEPTEMBER 600,000,000.00 4,500,000.00
OKTOBER 400,000,000.00 3,000,000.00
NOPEMBER 600,000,000.00 4,500,000.00
DESEMBER 750,000,000.00 5,625,000.00
TOTAL 5,750,000,000.00 43,125,000.00
Berdasarkan pembukuan,diketahui jumlah peredaran bruto tahun 2015 Rp5.750.000.000,00 serta jumlah biaya adalah Rp4.500.000.000,00.Maka penghitungan PPh tahun
2015 adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto Rp5.750.000.000,00
Biaya-biaya Rp4.500.000.000,00
Penghasilan Neto Rp1.250.000.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp1.219.625.000,00
PPh terutang:
5% X Rp50.000.000,00= Rp 2.500.000,00
15% X Rp200.000.000,00= Rp30.000.000,00
25% X Rp250.000.000,00= Rp62.500.000,00
30% X Rp719.625.000,00= Rp215.887.500,00
Jumlah PPh Rp310.887.500,00
PPh yang telah dibayar
(angsuran PPh psl 25) Rp43.125.000,00
PPh yang kurang dibayar thn 2015 Rp267.762.500,00
3.Penghasilan Neto menggunakan Norma Penghitungan dan pajak penghasilan menggunakan tarif pajak umum (pasal 17).
Wajib Pajak A pada tahun 2014 status kawin dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang
dokter ahli bedah bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon.
Data tahun 2013 adalah :
 Peredaran Usaha dari Industri Rotan di CirebonRp4000.000.000,00
 Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun) Rp1000.000.000,00
Data tahun 2014 adalah:
 Peredaran Usaha dari Industri Rotan di CirebonRp5000.000.000,00
 Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun) Rp1200.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan tahun 2014.


a. Untuk usaha rotan.
Usaha rotan dikategorikan sebagai melakukan kegiatan usaha. Karena pada tahun 2013 jumlah penghasilan dari usaha rotan sebesar Rp4000.000.000,00 masih
dibawah Rp4.800.000.000,00, maka penghitungan pajak penghasilan tahun 2014 menggunakan tarif pajak 1% dan bersifat final (PP 46/2013).
Pajak Penghasilan 2014: 1% X Rp5000.000.000,00= Rp50.000.000,00

b. Untuk penghasilan dari profesi sebagai dokter.


Profesi dokter dikategorikan sebagai pekerjaan bebas. Dan penghasilan dari dokter tahun 2014 belum melebihi Rp4.800.000.000,00, maka penghitungan
penghasilan netonya tahun 2014 menggunakan Norma Penghitungan sesuai Kep Dirjen Pajak No.Kep.536/PJ/2000 dengan angka sebesar45% (lihat kode 93213).
Penerimaan bruto sebagai dokter Rp1200.000.000,00
Penghasilan Neto: 45% X Rp1200.000.000,00 Rp540.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) Rp30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp509.625.000,00
Pajak Penghasilan terutang tahun 2014 adalah:
5% X Rp50.000.000,00= Rp 2.500.000,00
15% X Rp200.000.000,00= Rp30.000.000,00
25% X Rp250.000.000,00= Rp62.500.000,00
30% X Rp 9.625.000,00= Rp 2.887.500,00
Jumlah PPh Rp97.887.500,00

Anda mungkin juga menyukai