Anda di halaman 1dari 16

1. Jelaskan perkembangan tarif pph badan dan orang pribadi sejak thn 1984 s.d sekarang.

2 jika sebuah pt memperoleh laba 200 juta, hitung pph terutang berdasarkan tarif pd soal 1.

3. Kirim jawaban ke email

budiartha_iketut@yahoo.co.id paling lambat 6 jam setelah jadwal, di dobel folio terus di scan

Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self
assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Perkembangan ekonomi dan masyarakat membuat pemerintah kembali mengubah undang-
undang perpajakan pada tahun 2000. Sebuah Pengadilan Pajak dibentuk dua tahun kemudian.
Perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan, termasuk juga ukuran
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sistem self-assessment ditekankan untuk peningkatan
pendapatan. Target penerimaan negara dari perpajakan juga terus meningkat. Pemerintah juga
mewajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang tegas diatur dalam UU Nomor 28
Tahun 2007 Pasal 28. Wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Insentif pajak juga diterapkan mencakup Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai,
Fasilitas Perpajakan (PPh, PPN, dan PBB), serta intensifikasi perpajakan yang lebih
sistematis dan terstandar serta penegakan hukum. Gebrakan pemberian fasilitas sunset
policy dilakukan, yang dimanfaatkan oleh jutaan Wajib Pajak (WP). Mereka diberi
kesempatan untuk merestrukturisasi pajak dan membuka peluang masyarakat memiliki
NPWP sebagai WP baru. Kebijakan sunset policy berlanjut pada wacana pengampunan pajak
atau tax amnesty yang menuai pro-kontra antara aparat pajak dan kalangan pengusaha.
Dalam website Departemen Keuangan disebutkan bahwa Amnesti pajak adalah
program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi
penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta
penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun
2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi
seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. Pada pertengahan
2016, dimunculkan tax amnesty jilid dua yang ternyata menarik animo/hasrat masyarakat luas
untuk mengikutinya.
Pada 2003 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan 45 kebijakan pengurangan pajak
penghasilan dan barang mewah. Memasuki awal 2005 Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan
empat fasilitas untuk memberi insentif kepada dunia usaha. Reformasi pajak di Indonesia
mendapat dukungan negara-negara dunia. Dalam pertemuan Indonesia dengan negara-negara
donor dan IMF pada 19 April 2006, permintaan Indonesia untuk bantuan jangka panjang
dalam rangka reformasi pajak di Indonesia dikabulkan IMF dan sejumlah negara donor.
Dewasa ini untuk optimalisasi fungsi lembaga pajak, muncul usulan agar Direktorat Jenderal
Pajak menjadi suatu badan negara yang langsung berada di bawah Presiden. Kemudian di
tahun 2013 pemerintah merilis kebijakan tentang penyederhanaan penghitungan dan
penyetoran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46, yaitu Wajib Pajak,
baik orang pribadi dan badan (kecuali WP orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas)
dengan omzet atau pendapatan kotor setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar dikenakan tarif
pajak penghasilan bersifat final sebesar 1%, dengan adanya tarif yang ringan dan sederhana
dalam penyetoran serta pelaporannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah partisipasi
Wajib Pajak dalam membayar pajak sehingga dengan semakin *tingginya tax
collection maka semakin banyak pula masyarakat yang turut serta dalam mengawasi jalannya
pembangunan di negeri ini yang didapatkan dari sektor pajak.
Pada tahun 2018, peraturan pemerintah ini diubah dengan pengenaan tarif yang lebih
ringan lagi, yakni sebesar 0,5%. Tentunya ini merupakan angin segar untuk kalangan dunia
usaha di negeri ini bahwa pajak ternyata semakin bersahabat dengan usaha yang mereka
lakukan. (Referensi: Galeri Pajak, Gedung Mar’ie Muhammad , Kantor Pusat Ditjen Pajak,
2018)
Wajib Pajak Badan Mendapatkan Fasilitas berupa penurunan tarif pajak ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka yang ditetapkan pada tanggal
21 November 2013 dan berlaku sejak tahun pajak 2013. PP Nomor 77 Tahun 2013 ini juga
merupakan amanat dari Pasal 17 ayat 2b Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
Fasilitas penurunan tarif pajak ini diharapkan dapat meningkatkan peranan pasar modal
sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mampu mendorong peningkatan jumlah perseroan
terbuka. Bagi setiap wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang ingin
memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara mandiri (self assessment) pada saat penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan dengan melampirkan berbagai persyaratan yang diperlukan.
.
KETENTUAN TARIF PPH BADAN
Indonesia menganut prinsip world wide income dalam konsep pemahaman
penghasilannya. Maksud konsep ini adalah bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima wajib pajak baik berasal dari dalam maupun luar Indonesia, secara keseluruhan
diperhitungkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Pajak Penghasilan Badan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh
Wajib Pajak Badan selama tahun pajak berjalan tanpa pengecualian, baik itu Wajib Pajak
Badan skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
1. PPh Pasal 17 ayat 1 huruf b
Tarif PPh ini diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap. Pada tahun 2009, tarif tunggal ditetapkan sebesar 28% dan diturunkan menjadi
25% pada tahun 2010. Tarif sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan
seterusnya.
Rumus = 25% × Penghasilan Kena Pajak (taxable income)
Contoh:
Jumlah Peredaran Bruto Tahun 2018 = Rp54.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tahun 2018 = Rp5.000.000.000
PPh Badan Terutang = 25% × Rp5.000.000.000 = Rp1.250.000.000
2. PPh Pasal 17 ayat 2b
Pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal yang diterapkan kepada
wajib pajak badan dalam negeri (WPDN) berbentuk perseroan terbuka. Wajib pajak
harus memenuhi syarat berikut ini:
a. Paling sedikit sebesar 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
b. Saham sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dimiliki paling sedikit oleh
300 pihak.
c. Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dan
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh.
d. Ketentuan dari poin-poin di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat
183 hari kalender dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
3. PPh Final 0,5%
Pemerintah telah mengatur tarif PPh yang dibedakan berdasarkan skala bisnis
suatu badan. Seperti halnya wajib pajak badan (peredaran bruto di bawah
Rp4,8 Miliar serta belum wajib melakukan pembukuan) diberi fasilitas untuk
memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5%.

Seperti kita ketahui bahwa sejak tahun 1984 s.d 2008, UU PPh menggunakan tarif PPh untuk
Wajib Pajak badan berdasarkan tarif yang berlapis (tarif Progresif) terhadap penghasilan kena
pajak. Namun,  dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, tarif tersebut berubah menjadi tarif tunggal
(single rate). Sampai dengan saat ini, Wajib Pajak Badan dikenakan tarif pajak berdasarkan
jumlah peredaran usaha menjadi sebagai berikut :
1. Tari PPh Badan sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013
Jika saja niatan awal dari timbulnya PP nomor 46 ini hanya berlaku bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi yang omsetnya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta
rupiah), niscaya tidak akan saya tuliskan di sini.
Sebagaimana kita ketahui (bisa dibaca di “PPh Final UMK 1%“) bahwa Wajib Pajak Badan
yang memiliki peredaran usaha tidak melabihi Rp. 4.8 Milyar dikenakan dengan tarif tunggal
1% dan bersifat final. Dalam kondisi ini tidak lagi mempermasalahkan apakah Wajib Pajak
Badan tersebut rugi atau untung, karena penerapan tarif 1% dikalikan dengan omset
(peredaran usaha).
Rumus PPh Terutang =    1%  x  Peredaran Bruto 1 bulan
Contoh :
PT. Nusa Pratama Selaras adalah Wajib Pajak UKM (omset dalam setahun sebelumnya tidak
melebihi Rp. 4,8 Milyar) bulan Maret 2016 membukukan omset sebesar Rp. 230 Juta. Maka
PT. Nusa Pratama Selaras  menyetorkan PPh Final sebesar Rp. 2.300.000,- (1% x Rp.
230.000.000,-) paling lambat  tanggal 15 bulan April 2016 dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak dengan Kode Akun Pajak : 411128 dan Kode Jenis Setoran : 420 (mulai 1 Juli
2016 setiap pembayaran menggunakan e-billing dapat di baca dalam tulisan “Cara Bayar
Pajak Dengan E-Billing”).
2. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.
50.000.000.000,- (lima puluh milyar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Besarnya
bagian peredaran bruto tersebut dapat dinaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh :
Peredaran bruto PT. Nusagames dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP I) dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas: (Rp. 4.800.000.000,00 : Rp. 30.000.000.000,00) x Rp. 3.000.000.000,00 = Rp.
480.000.000,00).
Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP II) dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas: (Rp. 3.000.000.000,00 – Rp. 480.000.000,00 = Rp. 2.520.000.000,00).
Pajak Penghasilan yang terutang:
PKP I  (50% x 25%) x Rp. 480.000.000,00    = Rp.    60.000.000,00
PKP II  25% x Rp. 2.520.000.000,00             = Rp.  630.000.000,00 (+)
Jumlah PPh Terutang                                    = Rp.  690.000.000,00,-
Sekedar mengingatkan, sering kali Wajib Pajak badan yang omsetnya di atas Rp. 4,8 Milyar
dan dibawah Rp. 50 milyar salah dalam menghitung PPh Terutang. Mereka lupa atas fasilitas
ini, terkait hal ini dapat di baca dalam tulisan “sekilas tentang fasilitas pengurangan tarif
PPh“.
3. Tarif PPh Pasal 17
Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a UU Nomor 36 tahun 2008, Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen)
Tarif tersebut dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) mulai
berlaku sejak tahun pajak 2010.
Rumus PPh Terutang = 25% x Penghasilan Kena Pajak
Contoh :
PT. Nusa Informatika tahun 2015 membukukan Peredaran Usaha sebesar Rp. 120 Milyar
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 8.000.000.000,- Maka Pajak Penghasilan
terutang PT. Nusa Informatika adalah sebesar Rp. 2.000.000.000,- yaitu Rp. 8.000.000.000,-
x 25%.
4. Penurunan Tarif Untuk Perusahaan Masuk Bursa
 Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah dari tarif sebesar 25%  yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan pemerintah.
Adapun syarat Perseroan Terbuka yang masuk bursa mendapat diskon 5% dari tarif normal
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2013 sttdd PP Nomor  56 Tahun 2015
adalah sebagai berikut :
1. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
2. saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus dimiliki oleh paling sedikit 300
(tiga ratus) Pihak;
3. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 2 hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor
penuh; dan
4. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 harus
dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam
jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

KETENTUAN TARIF PPH ORANG PRIBADI


Sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 36 Tahun 2008,  PPh Pasal 17 menjelaskan
secara terperinci tentang tarif yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
Subjek pajak/Wajib Pajak yang dimasukkan dalam UU ini meliputi Wajib Pajak (WP) orang
pribadi dalam negeri dan WP badan dalam negeri/bentuk usaha tetap.
Berikut ini adalah uraian mengenai PPh Pasal 17, penjelasannya, dan penghitungannya.
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas PKP bagi:
a) WP Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak

Sampai dengan Rp50.000.000 5%

Di atas Rp50.000.000-Rp250.000.000 15%

Di atas Rp250.000.000-Rp 500.000.000 25%

Di atas Rp 500.000.000 30%


Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah PKP Rp600.000.000
PPh yang terutang :
 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
 15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000
 25% x Rp250.000.000 = Rp62.500.000
 30% x Rp100.000.000 = Rp30.000.000
____________________________________
      Total       = Rp125.000.000
b) WP Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap BUT) sebesar 28%.
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk WP badan dalam negeri dan BUT:
 Jumlah PKP Rp1.250.000.000
 PPh yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000 = Rp350.000.000 
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi
paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak
tahun pajak 2010.
b) WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari
jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan bersifat final.
d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh:  Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900 untuk penerapan tarif dibulatkan ke
bawah menjadi Rp5.050.000.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4)
dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dikalikan
dengan pajak yang terutang untuk 1 tahun pajak.

Contoh:  Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16
ayat (4): Rp584.160.000
Pajak Penghasilan setahun:
 5% x Rp50.000.000      = Rp2.500.000
 15% x Rp200.000.000      = Rp30.000.000
 25% x Rp250.000.000      = Rp62.500.000
 30% x Rp84.160.000      = Rp25.248.000
       
________________________________________            
            Total           = Rp120.248.000
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30 hari) : 360) x Rp120.248.000= Rp30.062.000
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan
yang penuh dihitung 30 hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah, dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).
Ilustrasi Perhitungan PPh Terutang Wajib
Pajak (WP) Orang Pribadi
Ilustrasi Pertama
Tuan Ahmad adalah seorang Konsultan Perumahan yang memiliki PKP sebesar
Rp600.000.000 setahun. Perhitungan PPh terutangnya dan cara perhitungannya
adalah sebagai berikut:

Terhadap penghasilan yang diterima WP orang pribadi yang memiliki kegiatan


usaha sebagai konsultan perumahan dikenakan PPh berdasarkan Pasal 17 UU No.
36 Tahun 2008 tentang PPh. Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima WP orang pribadi sebagai konsultan perumahan tidak
bersifat final. Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan besarnya PKP dikalikan
besarnya Tarif Pajak berdasarkan Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh.

Penghasilan Kena Pajak (PKP): Rp600.000.000

PPh Terutang:

 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
 15% x 200.000.000 = Rp30.000.000
 25% x 250.000.000 = Rp62.500.000
 30% x 100.000.000 = Rp30.000.000
     ________________________________

Total PPh Terutang   = Rp125.000.000

Jadi, Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan kepada Tuan Ahmad sebesar
Rp125.000.000.

Ilustrasi Kedua
Tuan Bakrie adalah wajib pajak orang pribadi dengan status menikah dan memiliki 2
orang anak. Rincian dari pembukuan Tuan Bakrie selama tahun 2015 adalah:

 Pendapatan bruto Rp494.000.000


 Biaya yang dapat dikurangkan (deductible) Rp167.500.000
 Penghasilan netto: Rp494.000.000-Rp167.500.000 = Rp326.500.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Tuan Bakrie tahun 2015 selama
setahun, yaitu:
(12 bulan x Rp2.025.000) + (Rp2.025.000 tambahan WP Kawin) + (2 anak x
Rp2.025.000) = Rp30.375.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Penghasilan kena pajak Mr. X, yaitu: Rp326.500.000 - Rp30.375.000 =
Rp296.125.000

Tarif pajak pasal 17:


   5% x Rp50.000.000    = Rp2.500.000
 15% x Rp200.000.000   = Rp30.000.000
 25% x Rp46.125.000     = Rp11.531.250
        ____________________________________

                      Total                      = Rp44.031.250

Jadi, total pajak Tuan Bakrie yang harus di bayar sebesar Rp44.031.250 kepada
Pemerintah melalui bank yang sudah ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak.

Cermati dan Pahami agar Tidak Keliru dalam


Penghitungannya
Banyaknya ketentuan pajak yang diberlakukan Pemerintah mengharuskan subjek
pajak/Wajib Pajak untuk memahami secara jelas aturan-aturannya. Sebagai contoh
Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam sejumlah pasal dalam UU No. 36 Tahun
2008. Beberapa ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal tersebut mesti diketahui
Wajib Pajak. Salah satunya adalah Pasal 17 yang sudah diterangkan di atas.
Dengan memahami uraian dari Pasal 17 dan ilustrasi penghitungan tarif di atas,
akan memudahkan Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Ketentuan Tarif PPh Badan

Dalam UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir


dengan UU PPh No.36 Tahun 2008 (UU PPh), terdapat beberapa
ketentuan mengenai PPh Badan, yaitu tarif normal yang diatur dalam Pasal
17 ayat (1) huruf b/Pasal 17 ayat (2a), tarif khusus yang diatur dalam Pasal
17 ayat (2b) dan Pasal 31E, serta tarif PPh final untuk wajiib pajak dengan
omzet usaha tertentu.

Tarif Normal PPh Badan (Pasal 17 ayat (1) huruf b/Pasal 17 ayat (2a)
UU PPh)

Pada prinsipnya, pemerintah Indonesia menerapkan tarif tunggal untuk


PPh Badan yaitu sebesar 28% yang berlaku pada 2009 dan kemudian
diturunkan menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya. Tarif ini
diperuntukan bagi wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT).
Contoh:

Jumlah peredaran bruto 2018: Rp50 miliar.


Jumlah penghasilan kena pajak 2018: Rp5 miliar.
PPh badan terutang = 25% x Rp5 miliar = Rp1,25 miliar.

Tarif PPh Badan untuk Perseroan Terbuka (Pasal 17 ayat (2b) UU PPh)

Bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseoran terbuka
dapat memperoleh fasilitas berupa penurunan tarif PPh sebesar 5% dari
tarif normal atau tarif PPh badannya menjadi sebesar 20%.

Untuk memperoleh fasilitas penurunan tarif tersebut, wajib pajak badan


dalam negeri berbentuk perseroan terbuka harus memenuhi persyaratan
berikut:

 paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
 saham sebagaimana dimaksud di atas harus dimiliki oleh paling sedikit oleh
300 pihak;
 masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
 ketiga ketentuan di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari
kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak.

Fasilitas atau insentif berupa penurunan tarif ini diatur dalam Peraturan


Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak
Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk
Perseoraan Terbuka yang telah diubah dengan PP No. 56 Tahun 2015. PP
ini merupakan amanat dari Pasal 17 ayat (2b) UU PPh.

Dari historisnya, fasilitas penurunan tarif ini diterapkan pemerintah untuk


meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia
usaha dan mampu mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka
serta meningkatkan kepemilikan publik pada perseoran terbuka tersebut.

Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseoran terbuka yang
ingin memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara self
assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh
tahunan badan dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan.

Contoh:

Pada 2018, saham PT. Abc Tbk. yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia sebesar 60%. Saham tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Di antara
400 pihak, masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak melebihi
5%. Kondisi tersebut terjadi selama 192 hari dalam satu tahun pajak.
Dengan kondisi-kondisi tersebut, PT. Abc Tbk memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan fasilitas penuruan tarif PPh badan menjadi 20%.

Jumlah penghasilan kena pajak untuk tahun pajak 2018: Rp2 miliar.
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp2 miliar = Rp400 juta.

Tarif PPh Badan untuk Wajib Pajak Tertentu (Pasal 31E UU PPh)

Selain itu, wajib pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto
sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-66/PJ/2010,


ketentuan penerapan tarif Pasal 31E UU PPh adalah sebagai berikut:

 fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT
tahunan PPh wajib pajak badan, sehingga wajib pajak badan dalam negeri tidak
perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
 BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU
PPh.
 batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar adalah sebagai batasan
maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam
negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
 peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU
PPh merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari
kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan
pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam tahun pajak yang
bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar
indonesia, meliputi:
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan bersifat final;
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan tidak bersifat final; dan
o penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
 fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga bagi wajib pajak badan
dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada huruf d di atas sampai dengan Rp50 miliar, tarif pajak penghasilan yang
diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri
tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
 fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh ini berlaku untuk penghitungan pajak penghasilan terutang atas
penghasilan kena pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai pajak
penghasilan tidak bersifat final.
 untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, wajib
pajak badan dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan
tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh
wajib menggunakan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh.

Contoh 1:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp4,5 miliar


dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp500 juta.

Penghitungan pajak yang terutang: seluruh penghasilan kena pajak yang


diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif
PPh badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT X tidak
melebihi Rp4,8 miliar.

PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp500 juta = Rp62,5 juta.

Contoh 2:

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp30 miliar


dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp3 miliar.

Penghitungan penghasilan kena pajak yang mendapat fasilitas dan tidak


mendapat fasilitas:

 Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang


memperoleh fasilitas: (Rp4,8 miliar : Rp30 miliar) x Rp3 miliar = Rp480 juta.
 Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas: Rp3 miliar – Rp480 juta = Rp2,52 miliar.

PPh yang terutang:

 (50% x 25%) x Rp480 juta = Rp60 juta.


 25% x Rp2,52 miliar = Rp630 juta.

Jumlah PPh yang terutang = Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.
Tarif PPh Final untuk Wajib Pajak dengan Omzet Tertentu

Untuk wajib pajak badan dengan omzet usaha sampai dengan Rp4,8 miliar
dalam satu tahun pajak, memiliki opsi untuk menggunakann tarif PPh final
sebesar 0,5%. Hal ini diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang
berlaku secara efektif per 1 Juli 2018.

Kebijakan tarif PPh final ini ditujukan bagi wajib pajak badan yang belum
dapat menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, sehingga dapat
memberi kemudahan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi sederhana yakni 0,5% dari
peredaran bruto/omzet. Namun, penerapan PPh final memiliki konsekuensi
yakni wajib pajak tetap harus membayar pajak meski sedang dalam
keadaan rugi.

Dalam PP 23/2018, diatur mengenai jangka waktu pengenaan tarif PPh


final 0,5%. Bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan
komanditer, atau firma diperbolehkan selama 4 tahun dan bagi wajib pajak
badan berbentuk perseroan terbatas selama 3 tahun. Setelah jangka waktu
berakhir, wajib pajak badan harus menggunakan skema normal yang
mengacu pada Pasal 17 UU PPh.

Contoh:

Dalam satu bulan, omzet penjualan usaha CV A adalah Rp100 juta


(asumsi dalam setahun omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar), maka jumlah
PPh terutang yang harus dibayar adalah: 0,5% x Rp100 juta = Rp500 ribu.

Demikian ketentuan mengenai tarif PPh badan di Indonesia. Dalam


menjalankan hak dan kewajiban PPh badan, wajib pajak harus
memperhatikan dan mencermati berbagai ketentuan yang diatur dalam
berbagai ketentuan perpajakan, tidak terkecuali ketentuan terkait tarif dan
fasilitas PPh badan yang diberikan pemerintah.*

Pemerintah Indonesia, seperti yang kita ketahui, menganut sistem pemungutan


pajak self assessment. Salah satu implementasinya adalah kewajiban bagi setiap wajib
pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh)
terutang sendiri. Kewajiban perpajakan tidak terkecuali untuk wajib pajak badan.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak setelah
dilakukan koreksi fiskal. Perhitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara
mengalikan tarif pajak penghasilan dengan jumlah penghasilan kena pajak.

Pengertian Badan

Menurut ketentuan perpajakan, badan adalah sekumpulan orang atau modal yang
menjadi satu kesatuan, dengan tujuan melakukan usaha ataupun tidak melakukan
usaha. Bentuk-bentuk badan antara lain terdiri dari perseroan komanditer, perseroan
terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
kongsi, dana pensiun, firma, koperasi, organisasi massa, lembaga, yayasan, organisasi
sosial politik, perhimpunan, asosiasi, ikatan, dan bentuk lainnya.

Dasar Hukum PPh Terutang

Sebagai subjek pajak dalam negeri, setiap badan memiliki kewajiban membayar
pajak sejak didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Kewajiban membayar pajak
berakhir ketika badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di
Indonesia. Pajak penghasilan dan semua jenis pajak, tidak sama dengan utang pajak.
Berikut ini adalah uraian peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum penerapan
pajak penghasilan badan.

 Undang-Undang KUP Pasal 1 Ayat 10


 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP

Di dalam undang-undang ini berisi ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP).
UU Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pajak terutang merupakan pajak
yang harus dibayar pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak atau bagian
tahun pajak.

 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

Peraturan ini merupakan pembaruan dari UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
https://majalahpajak.net/pajak-dari-masa-ke-masa/

https://news.ddtc.co.id/contoh-pengenaan-tarif-pph-badan-16205

https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-17-penjelasan-tarif-dan-perhitungannya

https://www.google.co.id/amp/s/www.cermati.com/artikel/amp/pph-pasal-17-
penjelasan-tarif-dan-perhitungannya

https://klikpajak.id/blog/penghitungan-pajak/pph-badan-tarif-pajak-dan-ketentuan-
hukumnya/

http://www.pbtaxand.com/assets/uploads/files/1480921699-uu-pph-1984.pdf

Anda mungkin juga menyukai