2 jika sebuah pt memperoleh laba 200 juta, hitung pph terutang berdasarkan tarif pd soal 1.
budiartha_iketut@yahoo.co.id paling lambat 6 jam setelah jadwal, di dobel folio terus di scan
Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self
assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Perkembangan ekonomi dan masyarakat membuat pemerintah kembali mengubah undang-
undang perpajakan pada tahun 2000. Sebuah Pengadilan Pajak dibentuk dua tahun kemudian.
Perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan, termasuk juga ukuran
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sistem self-assessment ditekankan untuk peningkatan
pendapatan. Target penerimaan negara dari perpajakan juga terus meningkat. Pemerintah juga
mewajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang tegas diatur dalam UU Nomor 28
Tahun 2007 Pasal 28. Wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Insentif pajak juga diterapkan mencakup Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai,
Fasilitas Perpajakan (PPh, PPN, dan PBB), serta intensifikasi perpajakan yang lebih
sistematis dan terstandar serta penegakan hukum. Gebrakan pemberian fasilitas sunset
policy dilakukan, yang dimanfaatkan oleh jutaan Wajib Pajak (WP). Mereka diberi
kesempatan untuk merestrukturisasi pajak dan membuka peluang masyarakat memiliki
NPWP sebagai WP baru. Kebijakan sunset policy berlanjut pada wacana pengampunan pajak
atau tax amnesty yang menuai pro-kontra antara aparat pajak dan kalangan pengusaha.
Dalam website Departemen Keuangan disebutkan bahwa Amnesti pajak adalah
program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi
penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta
penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun
2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi
seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. Pada pertengahan
2016, dimunculkan tax amnesty jilid dua yang ternyata menarik animo/hasrat masyarakat luas
untuk mengikutinya.
Pada 2003 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan 45 kebijakan pengurangan pajak
penghasilan dan barang mewah. Memasuki awal 2005 Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan
empat fasilitas untuk memberi insentif kepada dunia usaha. Reformasi pajak di Indonesia
mendapat dukungan negara-negara dunia. Dalam pertemuan Indonesia dengan negara-negara
donor dan IMF pada 19 April 2006, permintaan Indonesia untuk bantuan jangka panjang
dalam rangka reformasi pajak di Indonesia dikabulkan IMF dan sejumlah negara donor.
Dewasa ini untuk optimalisasi fungsi lembaga pajak, muncul usulan agar Direktorat Jenderal
Pajak menjadi suatu badan negara yang langsung berada di bawah Presiden. Kemudian di
tahun 2013 pemerintah merilis kebijakan tentang penyederhanaan penghitungan dan
penyetoran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46, yaitu Wajib Pajak,
baik orang pribadi dan badan (kecuali WP orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas)
dengan omzet atau pendapatan kotor setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar dikenakan tarif
pajak penghasilan bersifat final sebesar 1%, dengan adanya tarif yang ringan dan sederhana
dalam penyetoran serta pelaporannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah partisipasi
Wajib Pajak dalam membayar pajak sehingga dengan semakin *tingginya tax
collection maka semakin banyak pula masyarakat yang turut serta dalam mengawasi jalannya
pembangunan di negeri ini yang didapatkan dari sektor pajak.
Pada tahun 2018, peraturan pemerintah ini diubah dengan pengenaan tarif yang lebih
ringan lagi, yakni sebesar 0,5%. Tentunya ini merupakan angin segar untuk kalangan dunia
usaha di negeri ini bahwa pajak ternyata semakin bersahabat dengan usaha yang mereka
lakukan. (Referensi: Galeri Pajak, Gedung Mar’ie Muhammad , Kantor Pusat Ditjen Pajak,
2018)
Wajib Pajak Badan Mendapatkan Fasilitas berupa penurunan tarif pajak ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka yang ditetapkan pada tanggal
21 November 2013 dan berlaku sejak tahun pajak 2013. PP Nomor 77 Tahun 2013 ini juga
merupakan amanat dari Pasal 17 ayat 2b Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
Fasilitas penurunan tarif pajak ini diharapkan dapat meningkatkan peranan pasar modal
sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mampu mendorong peningkatan jumlah perseroan
terbuka. Bagi setiap wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang ingin
memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara mandiri (self assessment) pada saat penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan dengan melampirkan berbagai persyaratan yang diperlukan.
.
KETENTUAN TARIF PPH BADAN
Indonesia menganut prinsip world wide income dalam konsep pemahaman
penghasilannya. Maksud konsep ini adalah bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima wajib pajak baik berasal dari dalam maupun luar Indonesia, secara keseluruhan
diperhitungkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Pajak Penghasilan Badan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh
Wajib Pajak Badan selama tahun pajak berjalan tanpa pengecualian, baik itu Wajib Pajak
Badan skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
1. PPh Pasal 17 ayat 1 huruf b
Tarif PPh ini diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap. Pada tahun 2009, tarif tunggal ditetapkan sebesar 28% dan diturunkan menjadi
25% pada tahun 2010. Tarif sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan
seterusnya.
Rumus = 25% × Penghasilan Kena Pajak (taxable income)
Contoh:
Jumlah Peredaran Bruto Tahun 2018 = Rp54.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tahun 2018 = Rp5.000.000.000
PPh Badan Terutang = 25% × Rp5.000.000.000 = Rp1.250.000.000
2. PPh Pasal 17 ayat 2b
Pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal yang diterapkan kepada
wajib pajak badan dalam negeri (WPDN) berbentuk perseroan terbuka. Wajib pajak
harus memenuhi syarat berikut ini:
a. Paling sedikit sebesar 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
b. Saham sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dimiliki paling sedikit oleh
300 pihak.
c. Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dan
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh.
d. Ketentuan dari poin-poin di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat
183 hari kalender dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
3. PPh Final 0,5%
Pemerintah telah mengatur tarif PPh yang dibedakan berdasarkan skala bisnis
suatu badan. Seperti halnya wajib pajak badan (peredaran bruto di bawah
Rp4,8 Miliar serta belum wajib melakukan pembukuan) diberi fasilitas untuk
memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5%.
Seperti kita ketahui bahwa sejak tahun 1984 s.d 2008, UU PPh menggunakan tarif PPh untuk
Wajib Pajak badan berdasarkan tarif yang berlapis (tarif Progresif) terhadap penghasilan kena
pajak. Namun, dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, tarif tersebut berubah menjadi tarif tunggal
(single rate). Sampai dengan saat ini, Wajib Pajak Badan dikenakan tarif pajak berdasarkan
jumlah peredaran usaha menjadi sebagai berikut :
1. Tari PPh Badan sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013
Jika saja niatan awal dari timbulnya PP nomor 46 ini hanya berlaku bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi yang omsetnya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta
rupiah), niscaya tidak akan saya tuliskan di sini.
Sebagaimana kita ketahui (bisa dibaca di “PPh Final UMK 1%“) bahwa Wajib Pajak Badan
yang memiliki peredaran usaha tidak melabihi Rp. 4.8 Milyar dikenakan dengan tarif tunggal
1% dan bersifat final. Dalam kondisi ini tidak lagi mempermasalahkan apakah Wajib Pajak
Badan tersebut rugi atau untung, karena penerapan tarif 1% dikalikan dengan omset
(peredaran usaha).
Rumus PPh Terutang = 1% x Peredaran Bruto 1 bulan
Contoh :
PT. Nusa Pratama Selaras adalah Wajib Pajak UKM (omset dalam setahun sebelumnya tidak
melebihi Rp. 4,8 Milyar) bulan Maret 2016 membukukan omset sebesar Rp. 230 Juta. Maka
PT. Nusa Pratama Selaras menyetorkan PPh Final sebesar Rp. 2.300.000,- (1% x Rp.
230.000.000,-) paling lambat tanggal 15 bulan April 2016 dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak dengan Kode Akun Pajak : 411128 dan Kode Jenis Setoran : 420 (mulai 1 Juli
2016 setiap pembayaran menggunakan e-billing dapat di baca dalam tulisan “Cara Bayar
Pajak Dengan E-Billing”).
2. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.
50.000.000.000,- (lima puluh milyar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Besarnya
bagian peredaran bruto tersebut dapat dinaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh :
Peredaran bruto PT. Nusagames dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP I) dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas: (Rp. 4.800.000.000,00 : Rp. 30.000.000.000,00) x Rp. 3.000.000.000,00 = Rp.
480.000.000,00).
Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP II) dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas: (Rp. 3.000.000.000,00 – Rp. 480.000.000,00 = Rp. 2.520.000.000,00).
Pajak Penghasilan yang terutang:
PKP I (50% x 25%) x Rp. 480.000.000,00 = Rp. 60.000.000,00
PKP II 25% x Rp. 2.520.000.000,00 = Rp. 630.000.000,00 (+)
Jumlah PPh Terutang = Rp. 690.000.000,00,-
Sekedar mengingatkan, sering kali Wajib Pajak badan yang omsetnya di atas Rp. 4,8 Milyar
dan dibawah Rp. 50 milyar salah dalam menghitung PPh Terutang. Mereka lupa atas fasilitas
ini, terkait hal ini dapat di baca dalam tulisan “sekilas tentang fasilitas pengurangan tarif
PPh“.
3. Tarif PPh Pasal 17
Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a UU Nomor 36 tahun 2008, Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen)
Tarif tersebut dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) mulai
berlaku sejak tahun pajak 2010.
Rumus PPh Terutang = 25% x Penghasilan Kena Pajak
Contoh :
PT. Nusa Informatika tahun 2015 membukukan Peredaran Usaha sebesar Rp. 120 Milyar
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 8.000.000.000,- Maka Pajak Penghasilan
terutang PT. Nusa Informatika adalah sebesar Rp. 2.000.000.000,- yaitu Rp. 8.000.000.000,-
x 25%.
4. Penurunan Tarif Untuk Perusahaan Masuk Bursa
Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah dari tarif sebesar 25% yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan pemerintah.
Adapun syarat Perseroan Terbuka yang masuk bursa mendapat diskon 5% dari tarif normal
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2013 sttdd PP Nomor 56 Tahun 2015
adalah sebagai berikut :
1. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
2. saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus dimiliki oleh paling sedikit 300
(tiga ratus) Pihak;
3. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 2 hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor
penuh; dan
4. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 harus
dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam
jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Contoh: Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16
ayat (4): Rp584.160.000
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000
25% x Rp250.000.000 = Rp62.500.000
30% x Rp84.160.000 = Rp25.248.000
________________________________________
Total = Rp120.248.000
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30 hari) : 360) x Rp120.248.000= Rp30.062.000
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan
yang penuh dihitung 30 hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah, dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).
Ilustrasi Perhitungan PPh Terutang Wajib
Pajak (WP) Orang Pribadi
Ilustrasi Pertama
Tuan Ahmad adalah seorang Konsultan Perumahan yang memiliki PKP sebesar
Rp600.000.000 setahun. Perhitungan PPh terutangnya dan cara perhitungannya
adalah sebagai berikut:
PPh Terutang:
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
15% x 200.000.000 = Rp30.000.000
25% x 250.000.000 = Rp62.500.000
30% x 100.000.000 = Rp30.000.000
________________________________
Jadi, Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan kepada Tuan Ahmad sebesar
Rp125.000.000.
Ilustrasi Kedua
Tuan Bakrie adalah wajib pajak orang pribadi dengan status menikah dan memiliki 2
orang anak. Rincian dari pembukuan Tuan Bakrie selama tahun 2015 adalah:
Jadi, total pajak Tuan Bakrie yang harus di bayar sebesar Rp44.031.250 kepada
Pemerintah melalui bank yang sudah ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak.
Tarif Normal PPh Badan (Pasal 17 ayat (1) huruf b/Pasal 17 ayat (2a)
UU PPh)
Tarif PPh Badan untuk Perseroan Terbuka (Pasal 17 ayat (2b) UU PPh)
Bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseoran terbuka
dapat memperoleh fasilitas berupa penurunan tarif PPh sebesar 5% dari
tarif normal atau tarif PPh badannya menjadi sebesar 20%.
paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
saham sebagaimana dimaksud di atas harus dimiliki oleh paling sedikit oleh
300 pihak;
masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
ketiga ketentuan di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari
kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak.
Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseoran terbuka yang
ingin memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara self
assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh
tahunan badan dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan.
Contoh:
Pada 2018, saham PT. Abc Tbk. yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia sebesar 60%. Saham tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Di antara
400 pihak, masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak melebihi
5%. Kondisi tersebut terjadi selama 192 hari dalam satu tahun pajak.
Dengan kondisi-kondisi tersebut, PT. Abc Tbk memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan fasilitas penuruan tarif PPh badan menjadi 20%.
Jumlah penghasilan kena pajak untuk tahun pajak 2018: Rp2 miliar.
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp2 miliar = Rp400 juta.
Tarif PPh Badan untuk Wajib Pajak Tertentu (Pasal 31E UU PPh)
Selain itu, wajib pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto
sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT
tahunan PPh wajib pajak badan, sehingga wajib pajak badan dalam negeri tidak
perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU
PPh.
batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar adalah sebagai batasan
maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam
negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU
PPh merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari
kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan
pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam tahun pajak yang
bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar
indonesia, meliputi:
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan bersifat final;
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan tidak bersifat final; dan
o penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga bagi wajib pajak badan
dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada huruf d di atas sampai dengan Rp50 miliar, tarif pajak penghasilan yang
diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri
tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh ini berlaku untuk penghitungan pajak penghasilan terutang atas
penghasilan kena pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai pajak
penghasilan tidak bersifat final.
untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, wajib
pajak badan dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan
tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh
wajib menggunakan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
UU PPh.
Contoh 1:
Contoh 2:
Jumlah PPh yang terutang = Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.
Tarif PPh Final untuk Wajib Pajak dengan Omzet Tertentu
Untuk wajib pajak badan dengan omzet usaha sampai dengan Rp4,8 miliar
dalam satu tahun pajak, memiliki opsi untuk menggunakann tarif PPh final
sebesar 0,5%. Hal ini diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang
berlaku secara efektif per 1 Juli 2018.
Kebijakan tarif PPh final ini ditujukan bagi wajib pajak badan yang belum
dapat menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, sehingga dapat
memberi kemudahan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi sederhana yakni 0,5% dari
peredaran bruto/omzet. Namun, penerapan PPh final memiliki konsekuensi
yakni wajib pajak tetap harus membayar pajak meski sedang dalam
keadaan rugi.
Contoh:
Pengertian Badan
Menurut ketentuan perpajakan, badan adalah sekumpulan orang atau modal yang
menjadi satu kesatuan, dengan tujuan melakukan usaha ataupun tidak melakukan
usaha. Bentuk-bentuk badan antara lain terdiri dari perseroan komanditer, perseroan
terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
kongsi, dana pensiun, firma, koperasi, organisasi massa, lembaga, yayasan, organisasi
sosial politik, perhimpunan, asosiasi, ikatan, dan bentuk lainnya.
Sebagai subjek pajak dalam negeri, setiap badan memiliki kewajiban membayar
pajak sejak didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Kewajiban membayar pajak
berakhir ketika badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di
Indonesia. Pajak penghasilan dan semua jenis pajak, tidak sama dengan utang pajak.
Berikut ini adalah uraian peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum penerapan
pajak penghasilan badan.
Di dalam undang-undang ini berisi ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP).
UU Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pajak terutang merupakan pajak
yang harus dibayar pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak atau bagian
tahun pajak.
Peraturan ini merupakan pembaruan dari UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
https://majalahpajak.net/pajak-dari-masa-ke-masa/
https://news.ddtc.co.id/contoh-pengenaan-tarif-pph-badan-16205
https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-17-penjelasan-tarif-dan-perhitungannya
https://www.google.co.id/amp/s/www.cermati.com/artikel/amp/pph-pasal-17-
penjelasan-tarif-dan-perhitungannya
https://klikpajak.id/blog/penghitungan-pajak/pph-badan-tarif-pajak-dan-ketentuan-
hukumnya/
http://www.pbtaxand.com/assets/uploads/files/1480921699-uu-pph-1984.pdf