Anda di halaman 1dari 12

FENOMENA RIIL

EKONOMI MAKRO

Oleh :Kelompok 9
1.Komang Dian Widiarini (19075311650)
2.Ni Made Wangi Juliasih (1907531188)
3.Lince Sofia Doman (1907531201)
Kasus 1
1,1 Juta Pekerja terkena Imbas Corona, ribuan diantaranya menjadi korban PHK
Hingga april 2020 Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sudah ada satu juta lebih
pekerja di seluruh Indonesia yang terkena dampak langsung corona. Para pekerja umumnya
dirumahkan oleh perusahaan, sebagian lagi harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data Kemnaker per 7 April 2020, dampak pandemi Covid-19, untuk sektor formal yang
dirumahkan dan di-PHK sebanyak 39.977 perusahaan. Jumlah pekerja/buruh/tenaga kerja yang
terdampak sebanyak 1.010.579 orang.
Sementara jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal sebanyak 34.453
perusahaan dan jumlah pekerjanya sebanyak 189.452 orang.
Kasus ini berkaitan dengan materi permasalahan ekonomi. Salah satu dari permasalahan ekonomi
itu yaitu pengangguran. Dalam kasus ini pengangguran terjadi karena adanya PHK. Pada saat
pandemi covid-19 ini, ketika perusahaan merumahkan hamper seluruh karyawan maupun buruhnya
maka kegiatan perusahaan akan menjadi tidak efektif atau bahkan terhenti. Terutama bagi
perusahaan manufaktur, perusahaan akan mengalami penurunan tingkat output atau bahkan tidak
ada output sama sekali karena tidak adanya kegiatan produksi. Hal tersebut akan menyebabkan
revenue perusahaan akan menurun. Maka dari itu, tidak sedikit perusahaan yang melakukan PHK.
 
Kasus 2
Virus Corona Buat Pendapatan Negara Turun 10 Persen
Pandemi Corona covid-19 masih menyerang seluruh dunia, tak terkecuali di
Indonesia. Pandemi ini membawa situasi dalam dua krisis sekaligus yaitu ekonomi
dan kesehatan. Oleh karenanya, pemerintah terus menggulirkan berbagai kebijakan
sebagai upaya menekan risiko dari penyebaran Corona covid-19, sehingga dampak
kesehatan dan ekonomi bisa diminimalisir. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF),
Febrio Kacaribu memprediksi pertumbuhan pendapatan negara akan minus 10
persen akibat pandemi ini. Adapun rinciannya, penerimaan pajak DJP tumbuh -
(minus) 5,9 persen. Hal tersebut karena adanya penurunan pertumbuhan ekonomi
dan perang harga minyak. Selain itu, juga karena adanya fasilitas pajak insentif
tahap II (PMK 23/2020), relaksasi pajak tambahan, pengurangan tarif PPh Badan
menjadi 22 persen, serta potensi penundaan PPH deviden karena Omnibus Law.
 
Kasus 3
Investasi Asing di RI Merosot Gara-gara Corona
Penanaman Modal Asing (PMA) di triwulan pertama 2020 turun 9,2%, menjadi Rp 98 triliun
dibandingkan triwulan pertama 2019 sebesar Rp 107,9 triliun. Menurut Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia hal tersebut disebabkan oleh pandemi virus Corona
(COVID-19)Meskipun demikian, realisasi investasi tertolong oleh penanaman modal dalam negeri
(PMDN) yang tumbuh cukup signifikan.Realisasi investasi dari PMDN pada triwulan pertama 2020
sebesar Rp 112,7 triliun, tumbuh 29,3% dibandingkan periode yang sama pada 2019 sebesar Rp 87,2
triliun.Dirinya tetap berharap agar perusahaan PMA dan PMDN tetap berproduksi di tengah pandemi
COVID-19, dengan tetap memperhatikan aturan yang berlaku selama merebaknya virus Corona.
Keadaan ini berkaitan dengan salah faktor penentu tingkat investasi yaitu harapan dan ekspetasi
bisnis mengenai keadaan perekonomian. Turunnya penanaman modal asing (PMA) disebabkan
karena investor melihat keadaan ekonomi Indonesia imbas corona, banyak perusahaan melakukan
PHK dan penurunan tingkat output serta revenue mengakibatkan investor merasa akan merugi jiga
melakukan investasi. Sedangkan para penanam modal dari dalam negeri masih memiliki ekspektasi
bahwa perekonomian tidak akan terlalu merosot sehingga mereka masih percaya untuk melakukan
investasi.
Kasus 4
Cegah Dampak Corona, Pemerintah Genjot Konsumsi Rumah Tangga
Pemerintah akan menggenjot konsumsi rumah tangga sebagai langkah antisipasi dampak
penyebaran wabah Virus Corona terhadap ekonomi domestik. Sebab, konsumsi rumah
tangga masih menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri.Staf
Ahli Kemenko Perekonomian Raden Edi Prio Pambudi menyatakan pemerintah sedang
mengkaji untuk menggelar festival belanja secara daring (online). Hal ini dilakukan guna
menggairahkan kembali hasrat belanja masyarakat.Nantinya, sambung dia, pemerintah
juga akan menggandeng pelaku usaha e-commerce untuk merealisasikan rencana tersebut.
Namun, pelaku e-commerce masih harus mengevaluasi barang-barang yang banyak dibeli
pada festival belanja online sebelumnya.Namun, khusus kuartal IV 2019, ekonomi
Indonesia hanya tumbuh 4,97 persen. Tingkat konsumsi rumah tangga pada periode itu
juga melambat hingga di bawah 5 persen, yakni 4,97 persen. Maka itu, festival belanja
online diharapkan bisa membangkitkan keinginan masyarakat untuk belanja.Pemerintah
juga berupaya menggelontorkan belanja bantuan sosial (bansos) lebih cepat pada awal
tahun. Ini khususnya untuk Program Keluarga Harapan (PKH).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ekonomi Indonesia
akan ikut terpukul oleh penyebaran wabah Virus Corona. Ini artinya, ekonomi
domestik berpotensi kembali melambat tahun ini.
Y = C + I + G + (X - M)Dari persamaan tersebut maka kita dapat mengetahui
bahwa konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh terhadap tingkat pendapatan
nasional. Di Indonesia sendiri persentasi konsumsi rumah tangga terhadap
pendapatan nasional paling besar, sehingga untuk membuat pendapatan nasional
tidak turus drastis di tengah pandemi Corona ini maka pemerintah terus
menggenjot konsumsi rumah tangga. Ketika pendapatan nasional naik maka
pertumbuhan ekonomi juga dapat dikatakan naik, karena tingkat pendapatan
nasional merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.
Kasus 5
BI Wajibkan Perbankan Beli SBN Demi Biayai APBN
Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan perbankan untuk menambah kapasitasnya membeli
Surat Berharga Negara (SBN) pada 1 Mei 2020. Tujuannya, untuk memperkuat manajemen
likuiditas perbankan serta untuk pemenuhan anggaran pemerintah alias APBN.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, kewajiban tersebut tercipta setelah BI
menaikkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 basis poin (bps)
atau senilai Rp102 triliun untuk Bank Umum Konvensional dan sebesar 50 bps untuk Bank
Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah mulai 1 Mei 2020.
Di saat yang sama, Perry melanjutkan, BI menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM)
Rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan 50 bps untuk
Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020. Itu akan menambah
likuditas perbankan Rp120 triliun
Kasus ini berkaitan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah di bidang ekonomi, lebih
tepatnya yaitu kebijakan moneter. Salah satu kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka,
dengan cara menjual SBN kepada masyarakat atau perbankan. Tujuannya adalah memelihara
stabilitas ekonomi dalam hal ini membiayai APBN dan memperkuat manajemen likuiditas
Kasus 6
Hiperinflasi Indonesia 1963-1965
Pemerintahan Sukarno menerbitkan Rencana Delapan Tahun 1960 sebagai usaha untuk
membuat negara ini memiliki swasembada makanan (terutama beras), pakaian dan kebutuhan-
kebutuhan dasar dalam periode 3 tahun. Lima tahun setelah itu direncanakan menjadi periode
pertumbuhan mandiri.
Pada tahun 1960an, ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi,
sementara ekspor menurun. Pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dolar
Amerika Serikat pada tahun 1958 ke 330 juta dollar AS pada tahun 1966. Puncak inflasi berada
di atas 100% (year-on-year) pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya
mencetak uang untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah (seperti
pembangunan Monas). Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama
pada tahun 1962-1963). Sementara itu, bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti
mengalir setelah Sukarno menolak bantuan dari AS dan mengeluarkan Indonesia dari
keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena masuknya Malaysia sebagai negara
anggota PBB (Indonesia menentang pendirian Malaysia pada tahun 1963). Sebaliknya, Sukarno
menjalin hubungan lebih erat dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara.
Rencana Delapan Tahun 1960 ditinggalkan pada tahun 1964 karena ekonomi yang
menurun dan target-target yang tidak bisa tercapai. Faktanya, perekonomian jatuh
bebas karena hiperinflasi, pengurangan sumber pajak, dan juga larinya dari aset
keuangan menjadi aset real. Politik Konfrontasi yang mahal terhadap Malaysia
juga menyerap porsi signifikan dari pengeluaran pemerintah.
Namun hiperinflasi tetap tidak dapat dihindari akibat pencetakaan uang yang terus
menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan
pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini
memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah
menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Dana simpanan
para nasabah perbankan juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai
uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik
membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi.
Kasus 7
Konjungtur Ekonomi Indonesia 1969-1999
1. Periode 1969-1995
Bila menggunakan data PDB riil bertahun dasar 1990, perekonomian Indonesia selama
1969-1994 terus mengalami pertumbuhan, dalam arti selama PJP I perekonomian
Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Selama PJP I pemerintah dapat
mempertahankan pertumbuhan jangka panjang. Hal ini yang menyebabkan selama PJP I,
PDB riil menjadi sekitar 6 kali lipat.
Berdasarkan indikator pertumbuhan ekonomi dapat disimpulkan bahwa selama PJP I
mengalami fluktuatif tingkat pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang
sangat fluktuatif disebabkan perekonomian Indonesia sangat tergantung kepada kondisi
eksternal. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama periode 1970-an, khususnya
1971-1973 disebabkan naiknya harga minyak bumi, yang meningkatkan penerimaan
ekspor migas (oil boom). Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang rendah terutama pada
periode 1982, disebabkan perekonomian mengalami resesi.
 
2. Periode 1990-an
Memasuki tahun 1990-an perekonomian Indonesia kembali menikmati
pertumbuhan tinggi. Tingkat pertumbuhan yang tinggi ini menyebabkan selama 7
tahun pertama periode 1990-an, PDB riil hamper menjadi dua kali lipat yaitu dari
RP 263 triliun di tahun 1990 menjadi RP 434 triliun di tahun 1997. 
3. Krisis Ekonomi 1998
Selama periode 1990an, resesi terjadi pada triwulan pertama dan kedua 1998.
Resesi ini menandai dimulainya krisis ekonomi Indonesia, setelah diawali krisis
nilai tukar rupiah pertengahan tahun 1997. Memasuki tahun 1999 perekonomian
tidak mengalami penurunan output lagi, sedangkan tahun 2000 output sudah
mulai tumbuh kembali. Namun tingkat pertumbuhan masih di bawah rata-rata
1990-1999.
SESI DISKUSI

Anda mungkin juga menyukai