Anda di halaman 1dari 18

KEBIJAKAN FISKAL PENANGULANGAN PANDEMI COVID-19

Oleh :
M Nazri Ramadhan,Eka Rahmadiani,Yumna Aspiya,Rizky Fadillah,Apria Erliyani
Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah FEBI UIN Antasari Banjarmasin

A. Pendahuluan
Dampak pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Adanya kebijakan karantina kesehatan, sosial discanting, maupaun Pembatasan
Sosial Berskala Besar PSBB) sangat berpengaruh terhadap aktifitas sektor pariwisata
dan manufaktur sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Tenaga
kerja berkurang, pengangguran dan kemiskinan meningkat akan menyebabkan
penerimaan negara berupa pajak penghasilan (PPh) berkurang. Kelangkaan dan
terlambatnya bahan baku dari China dapat menyebabkan kenaikan harga produk dan
memicu inflasi.
Pelaku ekonomi khusunya di sektor pariwisata dan manufaktur. Semakin hari
semakin bertambah jumlah orang yang terinfeksi virus corona membuat pemerintah
menerapkan berbagai himbauan untuk menjaga jarak antara masyarakat atau yang
disebut dengan istilah social distancing hingga melakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah Kondisi ini tentu berdampak pada
perputaran roda perekonomian di dalam negeri. Tak hanya itu, perekonomian secara
global otomatis juga terganggu. Peranan pemerintah dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi serta memacu pertumbuhan ekonomi terutama di negara yang
sedang berkembang dilakukan melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan
nasional, kesempatan kerja, investasi nasional, dan distribusi penghasilan nasional.
Mengacu pada dampak buruk dari Covid-19 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani
memprediksi turunnya pendapatan negara sebesar 10 persen di tahun ini.(COVID-19
Tekan Perekonomian, Pendapatan Negara Diprediksi Turun 10% - Tirto.ID,.)
Penurunan pendapatan akibat wabah Covid-19 itu terutama akan terjadi di
sisi penerimaan perpajakan. Penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi
melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh. PNBP turun dampak
jatuhnya harga komoditas pandemi Covid-19 telah mengancam sistem keuangan yang
ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik. Dari sisi
pengeluaran, dampak yang diakibatkan Covid-19 ini sangat besar. Mengatasi
permasalahan yang timbul akibat Covid-19 ini diharapkan tidak terlalu menekan
defisit APBN. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang dapat membantu mengatur
perekonomian saat ini. Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah ternyata sangat besar perananannya dalam menanggulangi dampak
Covid-19.
B. Definisi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal diartikan tindakan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah, yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran uang (SYAMSI,
1988). Kebijakan fiskal Negara Indonesia tercermin dalam Anggaran Pendapat
Belanja Negara (APBN). Dalam APBN tersebut, terdapat penetapan pemerintah
mengenai alokasi dan distribusi keuangan negara. Mengingat urgennya bidang ini
dalam pembangunan perekonomian negara. Kebijakan fiskal juga berpengaruh
terhadap inflasi. Berdasarkan hasil penelitian (Surjaningsih et al., 2012) bahwa
dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi adalah suatu kondisi kenaikan
pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB sementara kondisi kenaikan
pajak berdampak menurunkan PDB.
Dampak positif dari pengeluaran pemerintah dan dampak negatif dari pajak
terhadap PDB tersebut sejalan dengan teori Keynes tentang peran pemerintah dalam
menggerakkan perekonomian serta sesuai dengan penelitian empiris di beberapa
negara maju. Pengaruh pengeluaran pemerintah lebih dominan terhadap PDB
dibandingkan dengan pajak menunjukkan masih cukup efektifnya kebijakan ini untuk
menstimulasi pertumbuhan ekonomi khususnya dalam masa resesi dibandingkan
dengan pajak. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap penurunan inflasi
kemungkinan dapat
dijelaskan oleh dampak multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk
investasi (diantaranya infrastruktur) yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin.
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur diperkirakan dapat memperbaiki
distribusi barang dan jasa sehingga berkontribusi terhadap penurunan inflasi. Dalam
pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian karena
peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek
multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi
rumah tangga (“Implikasi Kebijakan Fiskal - Fiscus Wannabe,”2020.)
C. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi pada pekeonomian
Indonesia dalam menghadapi dampak Virus Covid-19
1. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi Perekonomian Indonesia
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan yakni inflasi ringan,
sedang, berat dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi bila kenaikan harga berada di
bawah angka 10% setahun, inflasi sedang antara 10%-30% setahun, inflasi berat
antara 30%-100% setahun, dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila
kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Dalam masa pandemic covid 19 yang
berdampak pada sector bisnis, terutama pada sector pariwisata dan sector manufaktur.
Sektor manufaktur juga terimbas karena terhambatnya supply chain bahan
baku disebabkan kelangkaan bahan baku terutama dari China dan keterlambatan
kedatangan bahan baku. Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk dan
memicu inflasi. Pada masa pandemic ini, pemerintah mengambil kebijakan yang
tertuang dalam 3 stimulus fiskal, yaitu
a. Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun untuk
memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata.
b. Pada pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus
lanjutan senilai Rp 22,5 triliun. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan
nonfiskal untuk menopang sektor industri dan memudahkan ekspor-impor.
c. Pada akhir Maret, pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar
(PSBB) untuk menangani penyebaran virus. Stimulus Rp 405,1 triliun juga
dikeluarkan mendampingi kebijakan kesehatan itu.
Dana tersebut digunakan untuk, (a) Sekitar Rp 150 triliun untuk pembiayaan
program pemulihan ekonomi nasional seperti restrukturisasi kredit dan penjaminan
serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha, (b) Rp75 triliun untuk bidang
kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan,
perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter, (c) Rp110 triliun untuk jaring
pengaman sosial (social safety net), untuk menambah manfaat bantuan sosial,
pembebasan biaya listrik, dan dukungan kebutuhan pokok, (d) Rp70,1 Triliun untuk
pengurangan tarif pajak penghasilan dan penundaan pembayaran KUR
(Kemenkue.go.id, 2020).
Riset di Bank Indonesia, (2009) membuktikan bahwa kebijakan fiskal
Indonesia cenderung bersifat asiklikal secara agregat atau justru prosiklikal jika
berdasarkan pengelompokan pengeluaran. Sifat siklikalitas yang demikian berpotensi
memberikan tekanan instabilitas dalam perekonomian, seperti kenaikan inflasi.
Plotting antara rasio pengeluaran pemerintah, dengan tidak memasukkan pembayaran
bunga, dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya Siklikalitas Kebijakan
Fiskal di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk memperkuat pasar domestik, Pemerintah telah
melakukan sinergi dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
Nomor 190/KMK.08/2020 antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank
Indonesia, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang baru saja
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam ketentuan yang terdapat pada SKB tersebut, BI dapat membeli Surat
Berharga Negara (SBN) jangka panjang yang bersifat tradable di pasar perdana.
Selama bulan April, SKB tersebut telah diimplementasikan sebanyak dua kali, yaitu
pada rangkaian lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tanggal 21 April 2020
dan lelang Surat Utang Negara (SUN) tanggal 28 April 2020. Pemerintah juga sudah
meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam PP nomor 23
tahun 2020 sebagai upaya untuk menggerakkan perekonomian, melindungi
mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di
sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Selain itu, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan
new normal berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik)
dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha.
Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap positif
pada kuartal II dan kuartal III 2020 di ambang 2,3%-2,5%. Penerapan new normal
diharapkan dapat menyokong pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan beroperasinya
sektor industri, perekonomian dapat bergeliat kembali dan mengatrol pertumbuhan
ekonomi.

2. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Output Perekonomian Indonesia


Pendekatan Keynesian mengasumsikan adanya price rigidity dan excess
capacity sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (demand driven).
Keynes menyatakan bahwa dalam kondisi resesi, perekonomian yang berbasis
mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa intervensi dari Pemerintah.
Dalam pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian
karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek
multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi
rumah tangga.
Demikian pula halnya apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak
sebagai stimulus perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable
incomedan pada akhirnya mempengaruhi permintaan. Kecenderungan rumah tangga
untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan Marginal prospentisy to
consume. (Feranika and Haryati, 2020, p. 148)
Sejalan dengan strategi yang dilakukan pemerintah, hal ini dibuktikan dengan
komitmen pemerintah untuk terus menjaga keberlanjutan fiskal di tahun 2020.
Realisasi defisit APBN hingga April 2020 mencapai Rp74,47 triliun atau sekitar 0,44
% PDB. Realisasi pembiayaan anggaran hingga April 2020 mencapai Rp221,84
triliun dan mengalami peningkatan sebesar 53,58%, terutama bersumber dari
pembiayaan utang .(kemenkue.go.id,, 2020.)
D. Kebijakan Fiskal Pemerintah Indonesia untuk mengantur Penerimaan dan
pengeluaran Negara dalam menghadapi Pandemi Covid-19
1. Kebijakan Fiskal Untuk Penerimaan Negara
Kebijakan Fiskal Untuk Penerimaan Negara Pertumbuhan komponen
penerimaan Pajak hingga akhir bulan Maret 2020 masih bersumber dari pajak atas
konsumsi rumah tangga, meskipun penerimaan pajak juga masih dipengaruhi tekanan
akibat tren pelemahan industri manufaktur dan aktivitas perdagangan internasional,
serta pelemahan aktivitas ekonomi akibat penyebaran Covid19. Seiring adanya aturan
terkait Work From Home (WFH) baik untuk sektor pemerintah maupun sektor
swasta, maka mulai terjadi perlambatan kegiatan usaha di akhir bulan Maret 2020
yang berpotensi menurunkan penyerahan dalam negeri yang kemudian akan menekan
penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) di bulan April 2020.
Mengatasi kebijakan pemerintah terhadap dampak tersebut, pemerintah
memberikan fasilitas perpajakan berupa relaksasi pembayaran PPh Pasal 29 OP dan
pelaporan SPT PPh OP. Kebijakan makro-mikro penanggulangan wabah Covid-19
diharapkan akan dapat mempertahankan ekspektasi positif semua entitas ekonomi,
baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keputusan lockdown ini tidak diterapkan
karena berbagai alasan termasuk kesiapan negara dalam menanggung resiko apabila
lockdown terjadi. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, penerimaan pajak pada
kuartal I-2020 tercatat mengalami kontraksi atau minus hingga 2,5%. Adapun
beberapa instrumen pajak yang minus setelah digunakan untuk penanganan Covid-19
adalah PPh Badan dan Pajak dalam rangka Impor (PDRI) terdiri beberapa jenis, yaitu
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor, PPh pasal 22 ekspor, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) impor, dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Situasi dampak pandemi Covid-19 saat ini sangat tidak menguntungkan untuk
mencapai target penerimaan pajak. Sehingga pemerintah perlu mengantisipasinya
dengan merevisi target penerimaan pajak, serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan
asumsi makro lainnya.
Apalagi, saat ini pemerintah juga banyak mengeluarkan insentif. Pemerintah
menyusun ulang alokasi penerimaan negara dalam APBN 2020 karena target APBN
diperkirakan sulit tercapai. Penerimaan perpajakan 2020 diperkirakan turun sebesar
Rp 403,1 triliun. Dalam APBN, penerimaan perpajakan dipatok Rp 1.865,7 triliun
menjadi Rp 1.462,7 triliun. Penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi
melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh. PNBP turun dampak
jatuhnya harga komoditas,"(Indonesia,2020)
Menteri keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23
Tahun 2020 (PMK 23 Tahun 2020) Tentang Instentif Pajak Untuk Wajib Pajak
Terdampak Wabah Virus Covid-19 . Pemberian insentif ini sebagai respon dari
pemerintah atas menurunnya produktivitas para pelaku usaha karena roda
perekonomian wajib pajak yang menurun drastis akibat wabah ini.(Silalahi and
Ginting, 2020, p. 161)
A. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Insentif ini akan mempengaruhi penghasilan
yang akan diterima oleh setiap pegawai selama 6 bulan ini.
B. PPh Pasal 22 Impor insentif berupa pembebasan pembayaran pajak. Pembebasan
ini merupakan efek dari berkurangnya aktivitas pengiriman barang untuk masuk ke
Indonesia guna mencegah penyebaran virus yang semakin masif
perkembangannya di Indonesia, baik itu penghentian sementara dari negara asal
atau pengurangan aktivitas belanja dari pelaku impor di Indonesia.
C. Angsuran PPh Pasal 25 yang akan menerima insentif dengan pengurangan
besarnya angsuran sebesar 30% dari total angsuran yang seharusnya dibayar
selama 6 bulan ke depan.
D. Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN yang diberikan insentif selama
masa wabah Covid-19 ini. Untuk PPN perlakuan pemberian insentif berbeda
dengan ketiga jenis pajak sebelumnya. Insentif PPN yang diberikan adalah dengan
kemudahan proses pemberian restitusi kepada PKP yang telah ditentukan pada
PMK 23 Tahun 2020 selama 6 bulan ke depan di mulai pada masa april. Ada
perbedaan batasan nominal restitusi yang diberikan kepada PKP Eksportir dan
PKP Non Eksportir. Untuk PKP yang bertindak sebagai eksportir tidak ada batasan
nominal PPN yang akan dilakukan restitusi sedangkan untuk PKP Non Eksportir
diberikan percepatan restitusi dengan nilai paling banyak 5 miliar rupiah. Kepada
PKP Eksportir mendapatkan fasilitas yang tak terbatas dalam pengajuan restitusi
kali ini. Hal itu disesuaikan dengan penerapan tarif PPN yang selama ini diberikan
oleh para eksportir. Bagi PKP yang masuk ke dalam klasifikasi yang mendapatkan
insetif pajak untuk tidak perlu mengajukan permohonan penetapan PKP beresiko
rendah ke KPP terdaftar.

2. Kebijakan Fiskal Untuk Pengeluaran Pemerintah


Dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 ini, Pemerintah mengambil
beberapa kebijakan (Dhyaksa, 2020) yaitu : dukungan terhadap bidang kesehatan,
insentif bulanan tenaga medis, perlindungan sosial, tarif listrik, menaikkan anggaran
kartu pra kerja, pemulihan ekonomi, antisipasi defisit APBN, nasabah KUR dapat
keringanan angsuran, bidang non fiskal, refokusing dan relokasi belanja, menyiapkan
Perpu.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
No.1/2020, pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang
berakibat pengeluaran atas APBN dimana anggaran untuk pengeluaran tersebut masih
belum atau tidak cukup tersedia. Pemerintah juga memiliki kewenangan untuk
menentukan proses dan metode pengadaan barang dan jasa serta melakukan
penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen pada bidang keuangan negara.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/2020, diatur bahwa alokasi dana untuk
penaganan pandemi Covid-19 dialokasikan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran
(DIPA) kementerian dan lembaga (K/L). Kegiatan dalam penanganan pandemi
Covid-19 ini dilakukan berdasarkan alokasi dalam DIPA dan bila dalam kondisi
mendesak, pejabat perbendaharaan dapat melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas APBN yang dananya tidak tersedia ataupun tidak cukup tersedia.
Adapun, pengeluaran dengan kondisi mendesak ini hanya dapat dilakukan untuk
kegiatan penanangan Covid-19 berupa obat-obatan, alat kesehatan, sarana dan
prasarana kesehatan, sumber daya manusia, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan
penanganan Covid-19 . Keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk
wabah Covid 19 relatif tidak jauh berbeda dengan negara-negara maju yang mencatat
kasus positif dan kematian akibat korona tertinggi di dunia. Anggaran
penanggulangan pandemi Covid-19 dan sektor terdampak yang dialokasikan
Pemerintah Indonesia termasuk besar. PDB nasional yang berkisar Rp 15.000 triliun,
Indonesia berani menganggarkan sekitar Rp 400 triliun. Presiden Joko Widodo
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang atau Perppu untuk
menambah alokasi belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
2020. Aturan ini terbit pada tanggal 31 Maret 2020. Pemerintah memproyeksikan
peningkatan pembiayaan anggaran menjadi Rp. 852,9 Triliun karena dampak
pandemi Covid-19 Angka tersebut naik Rp. 547 Trilun dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja (APBN) 2020. Defisit APBN melebar 5,07% dari PDB. Pembiayaan
invetasi juga bertambah. Dari minus 74,2 triliun menjadi minus 229,3 triliun.
( Katadata.co.id, 2020).
Pemerintah sudah 3 kali meluncuran stimulus fiskal ( pengeluaran
pemerintah) yaitu : - Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun
untuk memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata. - Pada
pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus lanjutan senilai Rp
22,5 triliun. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang
sektor industri dan memudahkan ekspor-impor. - Pada akhir Maret, pemerintah
menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menangani penyebaran
virus. Stimulus Rp 405,1 triliun juga dikeluarkan mendampingi kebijakan kesehatan
itu.
A. Sekitar Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional
seperti restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM
dan dunia usaha.
B. Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan,
pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter
C. Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial (social safety net), untuk
menambah manfaat bantuan sosial, pembebasan biaya listrik, dan dukungan
kebutuhan pokok.
D. Rp70,1 Triliun untuk pengurangan tarif pajak penghasilan dan penundaan
pembayaran KUR

Mengatasi dampak ekonomi dari wabah Covid-19 terhadap perekonomian


Indonesia akan sangat ditentukan oleh pilihan kebijakan dan kesigapan pemerintah
untuk mengatasi wabah tersebut. Beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan
pemerintah untuk efisiensi sisi pengeluaran yaitu :
A. Penerbitan Surat Utang (SUN) Dalam Angka Rupiah Untuk Menekan
Pembayaran Bunga.
Dampak dari Covid-19 ini yang menimbulkan ketidakpastian perekonomian
saat ini membuat minat untuk membeli SUN sangat rendah. Hal ini membuat
pemerintah sebaikanya menerbitkan SUN tersebut dalam angka rupiah, karena jika
pemerintah tetap memaksakan menerbitkan SUN global di tengah kondisi sekarang
ini, maka bunga kuponnya akan lebih tinggi dan tenor juga akan menjadi lebih lama.
B. Tidak Terburu-Buru Dalam Menambah Supply Dollar AS
Meskipun rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar
keuangan global, pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah suplai dollar AS
dengan menerbitkan SUN global. Sebab, posisi cadangan devisa saat ini relatif masih
cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi
nilai tukar. Selain cadangan devisa, BI juga memiliki second line of defense berupa
fasilitas pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF), perjanjian kerja sama swap
arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line
dari The Fed
C. Melakukan Refocusing APBN 2020.
Presiden RI, Joko Widodo, menerbitkan Inpres No.4/2020, yang
menginstruksikan, seluruh Menteri/Pimpinan /Gubernur/ Bupati/ Walikota
mempercepat refocusing kegiatan, realokasi anggaran dan pengadaan barang jasa
penanganan Covid 19 Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2020 tentang refocusing
kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka
percepatan penanganan Covid 19 Pemerintah harus menentukan skala prioritas
dengan mengurutkan anggaran belanja berdasarkan tingkat urgensinya.
Pemerintah dapat melakukan refocusing pada anggaran terutama untuk bidang
kesehatan dan sosial. Refocusing anggaran belanja ini juga diperlukan karena
merosotnya asumsi anggaran pendapatan. Dalam memudahkan perencanaan kegiatan,
koordinasi pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kinerja penanganan pandemi
Covid-19, alokasi dana penanganan pandemi dikelompokkan dalam klasifikasi akun
khusus Covid-19 Pemerintah dapat juga melakukan pemangkasan pada belanja-
belanja tertentu misalnya pengeluaran untuk perjalanan dinas, belanja rapat,
bimbingan teknis, penyuluhan, dan sejenisnya untuk dialihkan pada penanganan
Covid 19 yaitu biaya perjalanan dinas, biaya belanja modal.(Feranika and Haryati,
2020, p. 165)
E. Fleksibilitas Pajak sebagai Instrumen Kebijaksanaan Fiskal untuk
Mengantisipasi Krisis Ekonomi sebagai akibat Dampak Pandemi
Fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan fiskal, dengan kombinasi fungsi
mengatur (regulerend) dan stabilitasi ekonomi untuk menjaga kondisi kontraksi dan
relaksasi ekonomi nasional, mempunyai fleksibilitas untuk penerimaan negara
(budgetair) yang berkelanjutan (sustainable budged income);
Keberhasilan kebijaksanaan fiskal untuk meningkatkan daya saing investasi
dan mengantisipasi pelemahan ekonomi global dapat dilihat dari fungsi alokasi
anggaran belanja negara untuk biaya pemerintah dan kepentingan umum dalam
keadaan seimbang, serta fungsi distribusi untuk kesejahteraan masyarakat dengan
tetap menjaga stabilitasi pertumbuhan ekonomi yang mendukung pembangunan
Nasional;
Kebijakan reformasi pajak berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah
bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sederhana, mudah dimengerti
oleh setiap orang, dan sistem perpajakan yang semakin didasarkan syarat-syarat dan
prinsip keadilan, kewajaran, serta memberikan kepastian hukum. Rekomendasi dari
hasil penelitian dan pembahasan ini adalah: a). Pemerintah perlu membuat kebijakan
fiskal dan menciptakan inovasi regulasi perpajakan yang dapat mewujudkan
keseimbangan baru antara kepentingan-kepentingan konsumen, pengusaha,
masyarakat, dan pemerintah.
Pemerintah harus membuat kebijakan perpajakan yang mampu mempengaruhi
minat investor untuk menanamkan modal tidak bersifat tunggal dan menciptaan iklim
yang kondusif untuk menanamkan modal harus meliputi penataan faktorfaktor
tersebut secara simultan dan berkelanjutan. Kebijakan reformasi pajak yang
dilakukan Pemerintah yang berkelanjutan harus mampu menciptakan suatu sistem
perpajakan yang sederhana,mudah dimengerti oleh setiap orang, didasarkan syarat-
syarat dan prinsip keadilan, kewajaran, dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib
Pajak.(Adiyanta, 2020, p. 180)
F. Membandingkan Kebijakan Fisikal RI di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan korban bagi masyarakat Indonesia,
Terbukti pandemi Covid-19 memberi dampak antara lain terhadap perlambatan
pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan
belanja negara dan pembiayaan. Untuk itu diperlukan upaya pemerintah untuk
melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada
belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan
perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,Dalam
penanganan pandemi Covid-19, Presiden mengambil kebijakan dengan menetapkan
instrumen yuridis berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). (Juliani, 2020,
p. 606)

PANDEMI Covid-19 terjadi sejak awal 2020 di berbagai belahan dunia dan
resmi masuk ke Indonesia pada awal Maret. Hingga akhir September, pertumbuhan
ekonomi Indonesia merosot dan menyentuh angka negatif. Pemerintah akhirnya
memprediksi Indonesia akan masuk ke jurang resesi.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara maju di OECD, pertumbuhan
ekonomi Indonesia ternyata tidak terkontraksi parah, hanya minus 5,32% pada kuartal
II 2020. Sebaliknya, negara OECD seperti Inggris, Perancis, Italia, dan Kanada,
terkontraksi 20,4%, 13,8%, 12,4%, dan 12,0%.
Hal ini tidak lain juga karena negara-negara tersebut
menerapkan lockdown yang membuat warganya tidak lagi bergerak leluasa.
Dampaknya, pekerjaan di berbagai sektor lesu, daya beli masyarakat, dan pajak yang
diterima negara dari rakyatnya akhirnya menurun.
Di sisi lain, penanganan Covid-19 tidak bisa lepas dari peran pemerintah.
mulai dari menyiapkan sarana dan prasarana dan seterusnya. Namun, jumlah
penularan kasus Covid-19 di Indonesia hingga hari ini tidak kunjung menurun,
sementara penularan kasus di negara OECD sudah menurun.
Karena itu, menarik membahas perbandingan kebijakan pajak yang diterapkan
dan dampaknya pada protokol kesehatan dan jumlah kasus penularan. Setidaknya,
terdapat 5 kebijakan terkait pajak yang diterapkan untuk merespons pandemi Covid-
19 di Indonesia.
Pertama, tambahan pengurangan penghasilan neto. Tambahan pajak ini
dialokasikan untuk wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang memproduksi alat-alat
kesehatan seperti masker bedah, coverall, dan sarung tangan.
Kedua, sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Dengan
kebijakan ini, wajib pajak bisa mengurangi beban pajaknya dengan menyertakan
bukti sumbangan ke lembaga tertentu untuk membantu penanganan Covid 19.
Ketiga, tambahan penghasilan bagi sumber daya manusia di bidang kesehatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020, tambahan ini berlaku dengan
tarif 0% pada unsur pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk tenaga kesehatan yang
mendapat tugas penanganan Covid-19.
Keempat, kompensasi atas penggunaan harta. Penghasilan wajib pajak yang
dikenakan PPh final 0% atas kompensasi dengan nama dalam bentuk apapun dari
persewaan harta berupa tanah/bangunan sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta selain tanah/bangunan.
Kelima, pembelian kembali saham di bursa yang tarifnya diturunkan 3%.
Selain itu, ada pula insentif pada karyawan dengan gaji di bawah Rp5 juta sebesar
Rp600 ribu. Banyak dari kebijakan itu ternyata bukan berupa bantuan langsung,
melainkan potongan pajak yang sebelumnya diterapkan.
Fokus OECD
KONTRAS dengan Indonesia, fokus kebijakan fiskal negara negara OECD
adalah pada likuiditas, bantuan pendapatan, dan stimulus. Menurut laporan yang
dirilis oleh OECD, mengenai pajak dan kebijakan fiskal, ada beberapa inisiatif yang
diambil.
Pertama, penangguhan pembayaran pajak. Ada 28% negara OECD yang
menerapkan penangguhan pajak. Terutama pada pelaku bisnis yang membayar
karyawan, biaya operasional dan sewa bulanan, penangguhan pajak ini diterapkan
agar tidak banyak sektor bisnis yang mati.
Kedua, cuti sakit. Lebih dari 30% negara OECD memberlakukan cuti sakit
alias tetap digaji dengan batasan berbeda. Beberapa negara bahkan membayar cuti
sakit yang merupakan beban swasta. Untuk pekerjaan yang hilang, beberapa negara
menerapkan insentif langsung pada karyawan.
Melihat fakta Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya bertulang
punggung pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar lebih dari 90%,
tampaknya kebijakan pajak dari negara negara OECD menarik untuk diadopsi.
Terlebih pada poin pertama di mana terdapat bantuan insentif langsung dari
pemerintah untuk menangguhkan pajak usaha seperti sewah bangunan/lahan. Dengan
demikian, bantuan tersebut diharapkan dapat menjaga UMKM Indonesia tetap kuat di
masa sulit ini.(DDTCNews, n.d.)
Kesimpulan
Dalam menghadapi pandemik Covid-19 ini, pemerintah menerapkan
kebijakan fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi maupun kestabilan perekonomian. Dari sisi penerimaan,
pemerintah harus memperhatikan pemberian kontribusi penerimaan dari PPN dan
PPh Badan yang selama ini menjadi andalan pemerintah. Dari sisi pengeluaran,
pemerintah harus mampu memperhatikan realisasi penggunaan dana tersebut agar
tepat sasaran dan mengutamakan kegiatan prioritas pencegahan pandemik Covid-19
Untuk menekan defisit anggaran terhadap pembiayan-pembiayan pemerintah dapat
melakukan refocusing/revisi terhadap anggaran yang ada di APBN untuk
dioptimalkan penggunaannya selama masa pandemik Covid-19.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanta, FC.S., 2020. Fleksibilitas Pajak sebagai Instrumen Kebijaksanaan Fiskal
untuk Mengantisipasi Krisis Ekonomi sebagai Akibat Dampak Pandemi
Covid-19. Adm. Law Gov. J. 3, 162–181.
https://doi.org/10.14710/alj.v3i1.162-181
Feranika, A., Haryati, D., 2020. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan
Inflasi pada Perekonomian Indonesia dalam Menghadapi Dampak Virus
Covid 19. Bus. Innov. Entrep. J. 2, 146–152.
https://doi.org/10.35899/biej.v2i3.154
Juliani, H., 2020. Kebijakan Fiskal: Anggaran Belanja Negara Untuk Perlindungan
Sosial Dalam Penanganan Pandemi Covid 19. Adm. Law Gov. J. 3, 595–516.
Silalahi, D.E., Ginting, R.R., 2020. Strategi Kebijakan Fiskal Pemerintah Indonesia
Untuk Mengatur Penerimaan dan Pengeluaran Negara Dalam Menghadapi
Pandemi Covid-19. Jesya J. Ekon. Dan Ekon. Syariah 3, 156–167.
https://doi.org/10.36778/jesya.v3i2.193
Surjaningsih, N., Utari, G.A.D., Trisnanto, B., 2012. Dampak Kebijakan Fiskal
Terhadap Output dan Inflasi. Bull. Monet. Econ. Bank. 14, 1–32.
SYAMSI, I., 1988. Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara. Bina Aksara.
COVID-19 Tekan Perekonomian, Pendapatan Negara Diprediksi Turun 10% -
Tirto.ID [WWW Document], n.d. URL https://tirto.id/covid-19-tekan-
perekonomian-pendapatan-negara-diprediksi-turun-10-eKdb (accessed
3.16.21).
DDTCNews, n.d. Membandingkan Kebijakan Fiskal RI di Masa Pandemi [WWW
Document]. Membandingkan Kebijak. Fiskal RI Masa Pandemi. URL
https://news.ddtc.co.id/membandingkan-kebijakan-fiskal-ri-di-masa-pandemi-
24873 (accessed 3.14.21).
Implikasi Kebijakan Fiskal - Fiscus Wannabe [WWW Document], n.d. URL
https://www.fiscuswannabe.web.id/2013/04/FISKAL.html (accessed 3.15.21).
Kebijakan Fiskal Pemerintah Yang Pruden Dalam Menghadapi Pandemi [WWW
Document], n.d. URL https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-
pers/siaran-pers-kebijakan-fiskal-pemerintah-yang-pruden-dalam-
menghadapi-pandemi/ (accessed 3.17.21).
S, C.A.P.& L.J., n.d. Gara-gara Covid Pendapatan Negara Anjlok 10%, Defisit
Bengkak [WWW Document]. news. URL
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200401102108-4-148967/gara-gara-
covid-pendapatan-negara-anjlok-10-defisit-bengkak (accessed 3.17.21).
Tak Revisi APBN 2020, Pelonggaran Defisit akan Diatur dalam Perpres - Makro
Katadata.co.id [WWW Document], 2020. URL
https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5e9a41f6c3688/tak-revisi-apbn-
2020-pelonggaran-defisit-akan-diatur-dalam-perpres (accessed 3.17.21).

Anda mungkin juga menyukai