Oleh :
M Nazri Ramadhan,Eka Rahmadiani,Yumna Aspiya,Rizky Fadillah,Apria Erliyani
Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah FEBI UIN Antasari Banjarmasin
A. Pendahuluan
Dampak pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Adanya kebijakan karantina kesehatan, sosial discanting, maupaun Pembatasan
Sosial Berskala Besar PSBB) sangat berpengaruh terhadap aktifitas sektor pariwisata
dan manufaktur sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Tenaga
kerja berkurang, pengangguran dan kemiskinan meningkat akan menyebabkan
penerimaan negara berupa pajak penghasilan (PPh) berkurang. Kelangkaan dan
terlambatnya bahan baku dari China dapat menyebabkan kenaikan harga produk dan
memicu inflasi.
Pelaku ekonomi khusunya di sektor pariwisata dan manufaktur. Semakin hari
semakin bertambah jumlah orang yang terinfeksi virus corona membuat pemerintah
menerapkan berbagai himbauan untuk menjaga jarak antara masyarakat atau yang
disebut dengan istilah social distancing hingga melakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah Kondisi ini tentu berdampak pada
perputaran roda perekonomian di dalam negeri. Tak hanya itu, perekonomian secara
global otomatis juga terganggu. Peranan pemerintah dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi serta memacu pertumbuhan ekonomi terutama di negara yang
sedang berkembang dilakukan melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan
nasional, kesempatan kerja, investasi nasional, dan distribusi penghasilan nasional.
Mengacu pada dampak buruk dari Covid-19 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani
memprediksi turunnya pendapatan negara sebesar 10 persen di tahun ini.(COVID-19
Tekan Perekonomian, Pendapatan Negara Diprediksi Turun 10% - Tirto.ID,.)
Penurunan pendapatan akibat wabah Covid-19 itu terutama akan terjadi di
sisi penerimaan perpajakan. Penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi
melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh. PNBP turun dampak
jatuhnya harga komoditas pandemi Covid-19 telah mengancam sistem keuangan yang
ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik. Dari sisi
pengeluaran, dampak yang diakibatkan Covid-19 ini sangat besar. Mengatasi
permasalahan yang timbul akibat Covid-19 ini diharapkan tidak terlalu menekan
defisit APBN. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang dapat membantu mengatur
perekonomian saat ini. Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah ternyata sangat besar perananannya dalam menanggulangi dampak
Covid-19.
B. Definisi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal diartikan tindakan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah, yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran uang (SYAMSI,
1988). Kebijakan fiskal Negara Indonesia tercermin dalam Anggaran Pendapat
Belanja Negara (APBN). Dalam APBN tersebut, terdapat penetapan pemerintah
mengenai alokasi dan distribusi keuangan negara. Mengingat urgennya bidang ini
dalam pembangunan perekonomian negara. Kebijakan fiskal juga berpengaruh
terhadap inflasi. Berdasarkan hasil penelitian (Surjaningsih et al., 2012) bahwa
dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi adalah suatu kondisi kenaikan
pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB sementara kondisi kenaikan
pajak berdampak menurunkan PDB.
Dampak positif dari pengeluaran pemerintah dan dampak negatif dari pajak
terhadap PDB tersebut sejalan dengan teori Keynes tentang peran pemerintah dalam
menggerakkan perekonomian serta sesuai dengan penelitian empiris di beberapa
negara maju. Pengaruh pengeluaran pemerintah lebih dominan terhadap PDB
dibandingkan dengan pajak menunjukkan masih cukup efektifnya kebijakan ini untuk
menstimulasi pertumbuhan ekonomi khususnya dalam masa resesi dibandingkan
dengan pajak. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap penurunan inflasi
kemungkinan dapat
dijelaskan oleh dampak multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk
investasi (diantaranya infrastruktur) yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin.
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur diperkirakan dapat memperbaiki
distribusi barang dan jasa sehingga berkontribusi terhadap penurunan inflasi. Dalam
pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian karena
peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek
multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi
rumah tangga (“Implikasi Kebijakan Fiskal - Fiscus Wannabe,”2020.)
C. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi pada pekeonomian
Indonesia dalam menghadapi dampak Virus Covid-19
1. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi Perekonomian Indonesia
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan yakni inflasi ringan,
sedang, berat dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi bila kenaikan harga berada di
bawah angka 10% setahun, inflasi sedang antara 10%-30% setahun, inflasi berat
antara 30%-100% setahun, dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila
kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Dalam masa pandemic covid 19 yang
berdampak pada sector bisnis, terutama pada sector pariwisata dan sector manufaktur.
Sektor manufaktur juga terimbas karena terhambatnya supply chain bahan
baku disebabkan kelangkaan bahan baku terutama dari China dan keterlambatan
kedatangan bahan baku. Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk dan
memicu inflasi. Pada masa pandemic ini, pemerintah mengambil kebijakan yang
tertuang dalam 3 stimulus fiskal, yaitu
a. Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun untuk
memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata.
b. Pada pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus
lanjutan senilai Rp 22,5 triliun. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan
nonfiskal untuk menopang sektor industri dan memudahkan ekspor-impor.
c. Pada akhir Maret, pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar
(PSBB) untuk menangani penyebaran virus. Stimulus Rp 405,1 triliun juga
dikeluarkan mendampingi kebijakan kesehatan itu.
Dana tersebut digunakan untuk, (a) Sekitar Rp 150 triliun untuk pembiayaan
program pemulihan ekonomi nasional seperti restrukturisasi kredit dan penjaminan
serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha, (b) Rp75 triliun untuk bidang
kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan,
perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter, (c) Rp110 triliun untuk jaring
pengaman sosial (social safety net), untuk menambah manfaat bantuan sosial,
pembebasan biaya listrik, dan dukungan kebutuhan pokok, (d) Rp70,1 Triliun untuk
pengurangan tarif pajak penghasilan dan penundaan pembayaran KUR
(Kemenkue.go.id, 2020).
Riset di Bank Indonesia, (2009) membuktikan bahwa kebijakan fiskal
Indonesia cenderung bersifat asiklikal secara agregat atau justru prosiklikal jika
berdasarkan pengelompokan pengeluaran. Sifat siklikalitas yang demikian berpotensi
memberikan tekanan instabilitas dalam perekonomian, seperti kenaikan inflasi.
Plotting antara rasio pengeluaran pemerintah, dengan tidak memasukkan pembayaran
bunga, dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya Siklikalitas Kebijakan
Fiskal di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk memperkuat pasar domestik, Pemerintah telah
melakukan sinergi dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
Nomor 190/KMK.08/2020 antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank
Indonesia, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang baru saja
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam ketentuan yang terdapat pada SKB tersebut, BI dapat membeli Surat
Berharga Negara (SBN) jangka panjang yang bersifat tradable di pasar perdana.
Selama bulan April, SKB tersebut telah diimplementasikan sebanyak dua kali, yaitu
pada rangkaian lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tanggal 21 April 2020
dan lelang Surat Utang Negara (SUN) tanggal 28 April 2020. Pemerintah juga sudah
meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam PP nomor 23
tahun 2020 sebagai upaya untuk menggerakkan perekonomian, melindungi
mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di
sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Selain itu, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan
new normal berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik)
dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha.
Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap positif
pada kuartal II dan kuartal III 2020 di ambang 2,3%-2,5%. Penerapan new normal
diharapkan dapat menyokong pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan beroperasinya
sektor industri, perekonomian dapat bergeliat kembali dan mengatrol pertumbuhan
ekonomi.
PANDEMI Covid-19 terjadi sejak awal 2020 di berbagai belahan dunia dan
resmi masuk ke Indonesia pada awal Maret. Hingga akhir September, pertumbuhan
ekonomi Indonesia merosot dan menyentuh angka negatif. Pemerintah akhirnya
memprediksi Indonesia akan masuk ke jurang resesi.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara maju di OECD, pertumbuhan
ekonomi Indonesia ternyata tidak terkontraksi parah, hanya minus 5,32% pada kuartal
II 2020. Sebaliknya, negara OECD seperti Inggris, Perancis, Italia, dan Kanada,
terkontraksi 20,4%, 13,8%, 12,4%, dan 12,0%.
Hal ini tidak lain juga karena negara-negara tersebut
menerapkan lockdown yang membuat warganya tidak lagi bergerak leluasa.
Dampaknya, pekerjaan di berbagai sektor lesu, daya beli masyarakat, dan pajak yang
diterima negara dari rakyatnya akhirnya menurun.
Di sisi lain, penanganan Covid-19 tidak bisa lepas dari peran pemerintah.
mulai dari menyiapkan sarana dan prasarana dan seterusnya. Namun, jumlah
penularan kasus Covid-19 di Indonesia hingga hari ini tidak kunjung menurun,
sementara penularan kasus di negara OECD sudah menurun.
Karena itu, menarik membahas perbandingan kebijakan pajak yang diterapkan
dan dampaknya pada protokol kesehatan dan jumlah kasus penularan. Setidaknya,
terdapat 5 kebijakan terkait pajak yang diterapkan untuk merespons pandemi Covid-
19 di Indonesia.
Pertama, tambahan pengurangan penghasilan neto. Tambahan pajak ini
dialokasikan untuk wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang memproduksi alat-alat
kesehatan seperti masker bedah, coverall, dan sarung tangan.
Kedua, sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Dengan
kebijakan ini, wajib pajak bisa mengurangi beban pajaknya dengan menyertakan
bukti sumbangan ke lembaga tertentu untuk membantu penanganan Covid 19.
Ketiga, tambahan penghasilan bagi sumber daya manusia di bidang kesehatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020, tambahan ini berlaku dengan
tarif 0% pada unsur pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk tenaga kesehatan yang
mendapat tugas penanganan Covid-19.
Keempat, kompensasi atas penggunaan harta. Penghasilan wajib pajak yang
dikenakan PPh final 0% atas kompensasi dengan nama dalam bentuk apapun dari
persewaan harta berupa tanah/bangunan sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta selain tanah/bangunan.
Kelima, pembelian kembali saham di bursa yang tarifnya diturunkan 3%.
Selain itu, ada pula insentif pada karyawan dengan gaji di bawah Rp5 juta sebesar
Rp600 ribu. Banyak dari kebijakan itu ternyata bukan berupa bantuan langsung,
melainkan potongan pajak yang sebelumnya diterapkan.
Fokus OECD
KONTRAS dengan Indonesia, fokus kebijakan fiskal negara negara OECD
adalah pada likuiditas, bantuan pendapatan, dan stimulus. Menurut laporan yang
dirilis oleh OECD, mengenai pajak dan kebijakan fiskal, ada beberapa inisiatif yang
diambil.
Pertama, penangguhan pembayaran pajak. Ada 28% negara OECD yang
menerapkan penangguhan pajak. Terutama pada pelaku bisnis yang membayar
karyawan, biaya operasional dan sewa bulanan, penangguhan pajak ini diterapkan
agar tidak banyak sektor bisnis yang mati.
Kedua, cuti sakit. Lebih dari 30% negara OECD memberlakukan cuti sakit
alias tetap digaji dengan batasan berbeda. Beberapa negara bahkan membayar cuti
sakit yang merupakan beban swasta. Untuk pekerjaan yang hilang, beberapa negara
menerapkan insentif langsung pada karyawan.
Melihat fakta Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya bertulang
punggung pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar lebih dari 90%,
tampaknya kebijakan pajak dari negara negara OECD menarik untuk diadopsi.
Terlebih pada poin pertama di mana terdapat bantuan insentif langsung dari
pemerintah untuk menangguhkan pajak usaha seperti sewah bangunan/lahan. Dengan
demikian, bantuan tersebut diharapkan dapat menjaga UMKM Indonesia tetap kuat di
masa sulit ini.(DDTCNews, n.d.)
Kesimpulan
Dalam menghadapi pandemik Covid-19 ini, pemerintah menerapkan
kebijakan fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi maupun kestabilan perekonomian. Dari sisi penerimaan,
pemerintah harus memperhatikan pemberian kontribusi penerimaan dari PPN dan
PPh Badan yang selama ini menjadi andalan pemerintah. Dari sisi pengeluaran,
pemerintah harus mampu memperhatikan realisasi penggunaan dana tersebut agar
tepat sasaran dan mengutamakan kegiatan prioritas pencegahan pandemik Covid-19
Untuk menekan defisit anggaran terhadap pembiayan-pembiayan pemerintah dapat
melakukan refocusing/revisi terhadap anggaran yang ada di APBN untuk
dioptimalkan penggunaannya selama masa pandemik Covid-19.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanta, FC.S., 2020. Fleksibilitas Pajak sebagai Instrumen Kebijaksanaan Fiskal
untuk Mengantisipasi Krisis Ekonomi sebagai Akibat Dampak Pandemi
Covid-19. Adm. Law Gov. J. 3, 162–181.
https://doi.org/10.14710/alj.v3i1.162-181
Feranika, A., Haryati, D., 2020. Strategi Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan
Inflasi pada Perekonomian Indonesia dalam Menghadapi Dampak Virus
Covid 19. Bus. Innov. Entrep. J. 2, 146–152.
https://doi.org/10.35899/biej.v2i3.154
Juliani, H., 2020. Kebijakan Fiskal: Anggaran Belanja Negara Untuk Perlindungan
Sosial Dalam Penanganan Pandemi Covid 19. Adm. Law Gov. J. 3, 595–516.
Silalahi, D.E., Ginting, R.R., 2020. Strategi Kebijakan Fiskal Pemerintah Indonesia
Untuk Mengatur Penerimaan dan Pengeluaran Negara Dalam Menghadapi
Pandemi Covid-19. Jesya J. Ekon. Dan Ekon. Syariah 3, 156–167.
https://doi.org/10.36778/jesya.v3i2.193
Surjaningsih, N., Utari, G.A.D., Trisnanto, B., 2012. Dampak Kebijakan Fiskal
Terhadap Output dan Inflasi. Bull. Monet. Econ. Bank. 14, 1–32.
SYAMSI, I., 1988. Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara. Bina Aksara.
COVID-19 Tekan Perekonomian, Pendapatan Negara Diprediksi Turun 10% -
Tirto.ID [WWW Document], n.d. URL https://tirto.id/covid-19-tekan-
perekonomian-pendapatan-negara-diprediksi-turun-10-eKdb (accessed
3.16.21).
DDTCNews, n.d. Membandingkan Kebijakan Fiskal RI di Masa Pandemi [WWW
Document]. Membandingkan Kebijak. Fiskal RI Masa Pandemi. URL
https://news.ddtc.co.id/membandingkan-kebijakan-fiskal-ri-di-masa-pandemi-
24873 (accessed 3.14.21).
Implikasi Kebijakan Fiskal - Fiscus Wannabe [WWW Document], n.d. URL
https://www.fiscuswannabe.web.id/2013/04/FISKAL.html (accessed 3.15.21).
Kebijakan Fiskal Pemerintah Yang Pruden Dalam Menghadapi Pandemi [WWW
Document], n.d. URL https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-
pers/siaran-pers-kebijakan-fiskal-pemerintah-yang-pruden-dalam-
menghadapi-pandemi/ (accessed 3.17.21).
S, C.A.P.& L.J., n.d. Gara-gara Covid Pendapatan Negara Anjlok 10%, Defisit
Bengkak [WWW Document]. news. URL
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200401102108-4-148967/gara-gara-
covid-pendapatan-negara-anjlok-10-defisit-bengkak (accessed 3.17.21).
Tak Revisi APBN 2020, Pelonggaran Defisit akan Diatur dalam Perpres - Makro
Katadata.co.id [WWW Document], 2020. URL
https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5e9a41f6c3688/tak-revisi-apbn-
2020-pelonggaran-defisit-akan-diatur-dalam-perpres (accessed 3.17.21).