Anda di halaman 1dari 7

Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi

Posted on September 8, 2015 by admin


1. Orde Lama (1945-1948) Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di
Indonesia. Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat
menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.Pada 18
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden
dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa
hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen
sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada
31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra,Kalimantan
(tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi,
Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan
hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang
berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat
peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960
yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal
14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain
adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti
bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk
mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964
yang menghasilkan Deklarasi Bogor.
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden,
sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus
sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375)
dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik
Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan
konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat
diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden
Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga
konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi
satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu
dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang
berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan
konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap
sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya
Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta :
LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut
Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah beberapa kali ditahan dan
diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial.
Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat
Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah
teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno

menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta
belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: Saya tidak akan membacakan Proklamasi
kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan
baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang
mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta,
pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga
menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab,
karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur
kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatankekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya.
Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan
konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh
masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada
pokoknya berisi:
1. Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh
karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang
angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada
dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet
Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul
Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan
kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam
masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik
diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan
demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima
perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan
hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba
berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar.
Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan
demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan
terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap.
Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan
konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta
mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum
1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden
Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri
Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi
putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran
diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada
tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih
kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak
pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta
menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung
Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di
dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas Masalah Dwitunggal SoekarnoHatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi mengenai Pemulihan
Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia
Ad Hoc untuk mencari bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29

November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun,
Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata
(Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan
Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal SoekarnoHatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal
menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat
menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila
diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada
masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan
perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat
Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang
Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku
Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan
ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara
oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat
ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut
konsep Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di
mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi
kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi
pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang
berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau
undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai
sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem
parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan
kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia
tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label
Demokrasi Terpimpin. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok,
kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung,Jawa
Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadiGerakan
Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis
Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai
komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan
penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah
rencana neo-kolonial untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu
dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruhimperialisme
negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk
mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan
Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno
mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965
dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFOsebagai
tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara
pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

Nasib Irian Barat


Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan baratpulau
Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan
pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi
pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat
menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang
menghasilkanPerjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan
terhadap Irian Jayapada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk
memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye
untuk membentuk Angkatan Kelima dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer
menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upayakudeta
yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI.
Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orangorang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya
500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
2. Masa Orde Baru (1966-1998)
Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya penumpasan terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965.
Orde baru sendiri adalah suatu tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi
kepada kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai suatu
masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui
pembangunan di segala bidang kehidupan. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Orde Baru ingin mengadakan koreksi total terhadap sistem pemerintahan Orde
Lama.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto atas nama
presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengamankan pelaksanaan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, untuk menegakkan RI berdasarkan hukum dan konstitusi. Maka tanggal 12 Maret 1966,
dikeluarkanlah Kepres No. 1/3/1966 yang berisi pembubaran PKI, ormas-ormasnya dan PKI sebagai organisasi
terlarang di Indonesia serta mengamankan beberapa menteri yang terindikasi terkait kasus PKI. (Erman
Muchjidin, 1986:58-59).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan
Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga
1998. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan
dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia
pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :
Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini
mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam
melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan
presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan.
Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara
pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan
dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. Diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 urutannya adalah sebagai berikut :
a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. UU
d. Peraturan Pemerintah

e. Kepres
f. Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Instruksi Presiden dan Peraturan
Daerah. (Erman Muchjidin,1986:70-71).
Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
Tugas Majelis adalah:
1. Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3. Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara
menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah mandataris dari Majelis yang berkewajiban menjalankan
ketetapan-ketetapan Majelis.
Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu
karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan
kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan
APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan
DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari
Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat
menjatuhkan Presiden.
Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak
bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada
Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia diktator atau tidak
terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh
suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota
MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa
guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.
Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP.
Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden
Soeharto.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Munculnya Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia
terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu
Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah
tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk
kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran
pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde
Baru".
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam
Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD 1945

Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Negara Indonesia adalah negara Hukum.
Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due
process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal
dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer
dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Sistem Konstitusional
Sistem Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check and Balances.
Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan
dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga
negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Sistem yang hendak dibangun adalah sistem check and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga
negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari Kedaulatan
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR, menjadi Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar
undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang
diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan
rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara
langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui
pemilihan umum.
Pada era reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak dua kali, yaitu :

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sistem Pemerintahan
Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu,
yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa
dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan
perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar.
Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :

Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya


menurut UUD.

Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.


Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Presiden adalah kepala negara dan
sekaligus kepala pemerintahan. Pada awal reformasi Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh
MPR (Pada Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri untuk masa jabatan
lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 (2001) presiden dan wakil presiden akan
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem
presidensial.
Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang
pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang (Pasal 17).
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan
Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak
angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta
hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).
Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai.

Anda mungkin juga menyukai