Anda di halaman 1dari 15

JUDUL:

URGENSITAS DISKRESI BAGI PEJABAT PEMERINTAH DALAM


MENGAMBIL KEPUTUSAN ATAU TINDAKAN
(studi kasus pembebasan lahan berupa kolam air bersih di Pulau Parit
Kabupaten Karimun)

DISUSUN OLEH:
Nama Lengkap : Faclee Kurnia
NIM : 030475751
Email : Kurniafaclee@gmail.com
Program Studi : Ilmu Hukum

ABSTRAK

Diskresi adalah salah satu alternatif dan jawaban atas reaksi cepat pemerintah
dalam mengantisipasi dinamika kebutahan masyarakat yag berkembang sedemikian
cepat. Dalam hal ini bukan menjadi rahasia umum jika dalam menjalankan pelayanan
publik, pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang semakin luas
tertatih tatih mengikuti perkembangan mengejar peristiwa yang terjadi dimasyarakat
(het recht hink achter de feiten aan) yang berpotensi menyebabkan terjadinya
kevakuman hukum dan stagnasi pelayanan.
Diskresi sebagai reaksi cepat sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan
dimaksud dalam Pasal 1 (9) UU No. 30/2014. UU No. 30/2014 memberikan diskresi
kepada pejabat pemerintah yang karena kewenangannya untuk melakukan tindakan
dalam bentuk keputusan atau kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-
undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Demikian juga dengan apa yang dihadapi oleh Pemerintah Desa Parit yang
terletak di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau tengah dihadapi dalam sebuah
situasi sulit yang memerlukan gerakan dan reaksi cepat dalam pembebasan lahan yang
sebagian besar bukan merupakan daratan melainkan permukaan air yang mana UU No.
17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menegaskan bahwa air sebagai bagian dari
sumber daya air merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Tidak adanya aturan yang membenarkan lahan yang jelas jelas milik seorang
warga yang dikuasai secara turun temurun menjadi pekerjaan besar Kepala Desa untuk
membuat diskresi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Kata Kunci; Kekosongan Hukum, Kepentingan Publik dan Diskresi.

1
A. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk memberikan dan
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, terlepas dari apapun bentuk dan jenis
sebuah negara itu. Dalam melaksanakan roda pemerintahan dan pelayanan publik,
masing masing negara memiliki sudut pandang dan bentuk yang berbeda dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan. Hal tersebut tersebut tentu saja
disesuaikan dengan bentuk wilayah dan karakter masyarakat atau warga negaranya
termasuk negara mana yang pernah menjajahnya. Dalam konteks ilmu kenegaraan,
terdapat 2 (dua) pandangan besar dalam konteks kenegaraan ada yang berkiblat ke
Eropa Kontinental dan ada juga yang berkiblat ke Anglo Saxon dimana Inggris sebagai
motornya dan dikenal dengan istilah commonwealth.
Konsep negara hukum menurut Eropa Kontinental dikenal dengan istilah
rechstaat dan versi Anglo Saxon dengan istilah the rule of law. Negara hukum formal
atau klasik menurut Eropa Continental diperkenalkan oleh Fl. Stahl dalam bukunya
philosophie desrecht yang dipengaruhi oleh pemikiran liberal dari Rousseau dengan
unsur-unsur utama meliputi:
a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b) Penyelenggara Negara harus didasarkan atas Teori Trias Politica supaya
menjamin terlindungnya hak-hak asasi manusia tersebut;
c) Penyelenggaraan pemerintah didasarkan atas undang-undang;
d) Apabila dalam pelaksanaan kewenangannya pemerintah melanggar hak-hak
asasi warga Negara, maka harus ada pengadilan administrasi yang
menyelesaikannya1.
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum klasik yang cenderung
formalistik dalam menerapkan asas legalitas secara kaku dipandang tidak mampu
mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di dalam masyarakat yang semakin
kompleks. Hal demikian dikarenakan oleh sifat dari negara hukum klasik itu sendiri
yang lamban dan cenderung menunggu karena lebih mengedepankan asas legalitas

1
W. Riawan Tjandra, 2014; Hukum Sarana Pemerintahan, Penerbit Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, him. 3.
2
untuk melindungi masyarakat dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang dan pada
akhimya tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Kelemahan dari negara
hukum klasik inilah yang mendorong lahirya konsep negara kesejahteraan atau negara
hukum secara materril.
Disinilah diperlukan peranan negara untuk aktif dalam menyelenggarakan
pelayanan kepada masyarakat sehinga kesejahteraan masyarakat terjamin dan kepastian
hukum dan keadilan terjaga dengan baik. Tugas dan tanggung jawab makin luas dan
tidak hanya terfokus kepada asas legalitas buta saja karena seringkali hukum tertatih
tatih mengikuti perkembangan mengejar peristiwa yang terjadi dimasyarakat (het recht
hink achter de feiten aan)2. Menyadari pentingnya menyelenggarakan pemerintahan dan
memberikan pelayanan publik yang cepat dan baik sebagaimana diatur dalam asas asas
umum penyelenggaraan pemerintahan, dan menyadari bahwa setiap dinamika
masyarakat tidak akan mungkin direspon dan diakomodir dalam waktu relatif singkat
untuk dirumuskan menjadi sebuah ketentuan hukum. Kondisi tersebut menjadi alasan
dan pertimbangan tersendiri oeh negara dalam merumuskan UU No. 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang secara normatif bertujuan untuk meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam
menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan tujuan tersebut diharapkan pemerintah mampu untuk
menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan dan pelayanan
publik, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi
solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun
pejabat pemerintahan. Ketentuan dalam peraturan perundangan dimaksud (UU No.
30/2014) memberikan diskresi kepada pejabat pemerintah yang karena kewenangannya
untuk melakukan tindakan dalam bentuk keputusan atau kebijaksanaan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2
https://makassar.tribunnews.com/2019/10/02/perubahan-hukum-sebuah-keniscayaan.
3
Pemerintahan Desa Parit sebagai salah satu desa otonom yang terletak di
Kabupaten Karimun sebagai bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau, yang
berbatasan dengan Negara Singapore dan Negeri Jiran Malaysia, serta berdampingan
dengan pusat pertumbuhan industri Batam dan Bintan. Kabupaten Karimun merupakan
salah satu Kabupaten baru di Provinsi Kepulauan Riau, yang dibentuk berdasarkan UU
RI No. 53 Tahun 1999. Pada awal terbentuknya Kabupaten Karimun terdiri dari 3 (tiga)
kecamatan, yaitu: Kecamatan Karimun, Kecamatan Moro dan Kecamatan Kundur.
Selanjutnya pada tahun 2001 Kabupaten Karimun dimekarkan menjadi 8 (delapan)
Kecamatan dan pada tahun 2010, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karimun
Nomor 10 Tahun 2004, Kabupaten Karimun dimekarkan lagi menjadi 9 (sembilan)
Kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 22 (dua puluh dua) Kelurahan dan 32
(tiga puluh dua) Desa dan pada tahun 2006 jumlah desa menjadi 52 (lima puluh dua)
Desa.
Desa Parit secara hukum dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Karimun Nomor : 16 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Dan Struktur Organisasi Tata
Kerja dalam Pasal 3 dimana dimana Desa Parit merupakan bagian dari Kecamatan
Karimun. Kedudukan Pemerintah Desa sebagai bagian dari penyelenggaraan otonomi
daerah dalam hal ini di Desa Parit menempatkan Pemerintah Desa Parit sebagai ujung
tombak pelaksanaan pelayanan masyarakat dan pembangunan di Desa Parit. Upaya
upaya mempersiapkan perangkat pendukung pemerintahan atau kelembagaan desa
menjadi parameter utama untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Desa Parit yang terletak
disebuah pulau kecil adalah ketersediaan sumber air bersih sehingga dalam pemenuhan
akan air bersih akan terkendala ketika terjadi musim kemarau. Upaya untuk
meningkatkan pelayanan akan air bersih antara lain dengan membangun infrastuktur air
bersih bekerjasama Perwakilan Direktorat Jendral Cipta Karya di Provinsi Kepri dalam
bentuk Program Pengembangan dan Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM). Namun kendalanya saat ini adalah pembebasan lahan sumber air bersih

4
dengan obyek tanah danau bekas galian pasir. Salah satu Sumber Pendapatan Desa
adalah Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bentuk anggaran keuangan yang diberikan
kepada pemerintah kepada desa yang bersumber dari Bagi Hasil Pajak Daerah dan
Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten3.
Fokus diskresi dalam penelitian ini adalah bagaimana Kepala Desa Parit
berdasarkan kewenangannya sebagai Kepala Pemerintahan di Desa mengambil sebuah
keputusan dan ketetapan untuk berani mengambil sebuah keputusan membebaskan
lahan air milik warga yang dalam kajian desa telah dijelaskan bahwa obyek tanah
tersebut merupakan milik salah seorang warga dan obyek yang menjadi permukaan air
tersebut bukan terjadi secara alami melainkan bekas galian pasir yang secara terus
menerus dimanfaatkan dan diambil keuntungannya oleh pemilik lahan dan keluarganya.
B. METODE PENELITIAN.
Penelitian terkait dengan masalah diskresi oleh Kepala desa Parit untuk
membuat terobosan baru dengan membuat hukum baru agar tidak terjadi kekosongan
hukum akan dilakukan secara despriptif dan dianalisasi secara kualitatif. Menurut Nana
Syaodih Sukmadinata (2011: 73), penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat
alamiah maupun rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik,
kualitas, keterkaitan antar kegiatan. Selain itu, Penelitian deskriptif tidak memberikan
perlakuan, manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel yang diteliti, melainkan
menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya. Satu-satunya perlakuan yang diberikan
hanyalah penelitian itu sendiri, yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi4.
Di sini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena
penelitian ini mengeksplor fenomena proses pengambilan keputusan dalam bentuk
diskresi yang dilakukan oleh Kepala Desa Parit di Kabupaten Karimun dengan
3
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 37 tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Desa
4
Nana Syaodih Sukmadinata, 2011; Metode penelitian pendidikan Remaja Rosda Karya,
Bandung,hal. 73
5
menggunakan data primer seperti wawancara maupun observasi dilapangan sedangkan
data sekunder dengan melakukaan telaah terhadap literatur kepustakaan dalam bentuk
aturan perundangan dan buku buku ilmiah yang sudah teruji dan terukur. Selain itu juga
penulis memanfaatkan data data sekunder dari internet.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemerintah yang aktif wajib segera merepon dengan cepat dalam hal kedudukan
hukumnya untuk bertindak sementara aturan hukumnya belum memuat aturan yang
jelas dalam hal tersebut. Maka demi menghindari terjadinya kekosongan hukum,
sementara tuntutan untuk memenuhi pelayanan umum sangat mendesak sehingga
diperlukan adanya sebuah mekanisme yang membenarkan aturan main dimaksud yang
menurut Hukum Administrasi Negara disebut sebagai Diskresi. Adapun yang dimaksud
dengan Diskresi menurut Ridwan (2009) diartikan sebagai salah satu sarana yang
memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindankan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau
tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid)
daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid)5.
Sedangkan Diskresi menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, dalam Pasal 1 angka 9 yaitu; Keputusan dan/atau tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Keberadaan diskresi yang diberikan
oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara substansi
bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau
pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas
umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5
Ridwan, 2009; Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press,
Yogyakarta, hal. 80
6
Kewenangan dalam bentuk diskresi dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan untuk melakukan suatu
tindakan atau tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pelayan publik dan penyelenggaraan pemerintah menjadi stagnasi atau
jalan ditempat. Implementasi tindakan diskresi merupakan salah satu hak pejabat
administrasi negara yang diberikan oleh UU untuk menjalankan tugas, Dalam
menggunakan atau melakukan diskresi berupa keputusan atau tindakan maka wajib
untuk mematuhi dan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-
Undang 30 Tahun 2014, yaitu;
a) Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b) Mengisi kekosongan hukum;
c) Memberikan kepastian hukum;
d) Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan
dan kepentingan umum.
Parameter yang ditetapkan dalam Pasal UU No. 30/2014 cukup dan sangat jelas
hal tersebut bertujuan; Menghindari terjadinya penyalah-gunaan wewenang oleh pejabat
yang memiliki hak untuk melakukan diskresi sehingga tidak merugikan kepentingan
umum. Disini secara tegas menekankan terkait penggunaan diskresi dengan alasan
tidak semua peraturan dapat menjangkau secara komprehensif tugas, wewenang dan
tanggungjawab pejabat khususnya teknis pelaksanaan sehingga perlu adanya tindakan
subyektif pejabat dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya. Hal ini dinyatakan secara
tegas dalam Pasal 23 alasan kenapa diskresi diberikan, meliputi karena ketentuan
peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau
tindakan, peraturan perundang-undangan tidak mengatur, peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan adanya stagnasi pemerintahan guna
kepentingan yang lebih luas.
Diskresi dalam penulisan ini terkait dengan adanya tindakan subyektif dari
Kepala Desa Parit sebagai bagian dari Pemerintah Desa otonom yang terdapat di
Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Dalam menjalankan pemerintaha, desa

7
dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 26 (1) dijelaskan;
Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a) Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b) Mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c) Memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d) Menetapkan Peraturan Desa;
e) Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f) Membina kehidupan masyarakat Desa;
g) Membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h) Membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya
agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat Desa;
i) Mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j) Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k) Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l) Memanfaatkan teknologi tepat guna;
m) Mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n) Mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
o) Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Diskresi yang dimaksud dalam penelitian ini sebagaiman diuraikan dalam


pendahuluan adalah tindakan subyektif Kepala Desa Parit dalam membuat keputusan
untuk melakukan pembebasan lahan yang sebagian besar permukaannya adalah air.
Menurut UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dalam konsiderannya
menegaskan bahwa air sebagai bagian dari sumber daya air merupakan cabang produksi
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana ketentuan ini
mempertegas Pasal 33 UUD 1945 dalam bentuk aturan hukum yang lebih khusus.

8
Dilokasi dimana obyek berada merupakan danau bekas galian pasir milik warga
yang dikuasai selama bertahun tahun, sebagai proses bagian dari darat dahulunya, bekas
galian tersebut saat ini telah menjadi sebuah danau besar yang terhampar diatas tanah
kurang lebih 2 (hektar). Dalam rencana penganggaran di tahun 2020 lalu, Pemerintah
Desa bersama Badan Permusyawarat Desa telah sepakat untuk membebaskan lahan
tersebut untuk dijadikan waduk yang akan digunakan untuk mengairi air ke rumah
warga dengan fasilitas Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang telah dianggarkan
oleh Provinsi Kepri untuk direalisasikan secara bersamaan setelah pembebasan lahan
dinyatakan selesai.
Alokasi anggaran pembebasan lahan telah dialokasikan pada Anggaran dan
Pedapatan Belanja Desa parit TA. 2021 dimana tujuan dari pembebasan lahan dimaksud
mengacu kepada Peraturan Bupati No. 6 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa dalam terkait dengan belanja modal untuk pemenuhan kebutuhan paling
mendasar masyarakat Desa Parit dan kemudian hari akan memberikan kontribusi bagi
pendapatan asli desa sebagaiman dalam Pasal 11 (2). Permasalahnya adalah tidak
ditemukan satu point pun dalam Perbup dimaksud untuk pembebasan lahan dengan
permukaan air termasuk menurut aturan yang lebih tinggi yakni UU No. 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air dikuasai oleh negara, sekalipun dalam melaksanakan
kewenangannya, Kepala Desa berhak mendapatkan perlindungan hukum atas kebijaka
yang dilaksanakannya sebagaimana diatur dalam (Pasal 26 ayat (3) huruf (d) UU No. 6
tahun 2014 tentang Desa.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui permasalahan Pemerintah Desa dalam
membebaskan lahan yang permukaannya saat ini telah menjadi permukaan air adalah;
1) Tidak adanya aturan yang membenarkan dana ADD yang bersumber dari
keuangan APBD untuk dilakukan pembebasan lahan dengan permukaan air;
2) Adanya kebutuhan mendesak bagi masyarakat Desa Parit yang selalu kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa ketersediaan air bersih;

9
3) Lahan tersebut secara turun temurun adalah milik perseorangan dan dahulunya
bukan permukaan air akan tetapi bekas galian pasir dan telah menjadi waduk
serta didukung bukti kepemilikan tanah dalam bentuk Sporadik.
Permasalahan tersebut jika tidak segera disikapi akan berdampak kepada;
kerugian desa tidak bisa memanfaatkan alokasi anggaran pembebasan lahan senilai Rp.
60 jt (enam puluh juta rupiah) yang telah dialokasikan dalam Anggaran ADD TA. 2021,
selain itu Pemerintah Propinsi telah mengalokasikan dana pembangunan infrastruktur
sumber daya air (SPAM) di APBD Propinsi Kepri TA. 2021 senilai Rp. 250.000.000.0
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
Kerugian lainnya adalah tidak tersediannya air bersih ke masyarakat secara
murah dan terjangkau karena selama ini selain menampung air dari hujan, masyarakat
membeli air dari penjual penjual. Hal ini jelas merugikan masyarakat karena selalu
disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan air bersih yang menjadi langka dan mahal.
Lebih menyedihkan lagi hasil konsultasi Pemerintah Desa Parit ke Inspektorat Daerah
Kabupaten, Dinas Pemukiman Kabupaten bahkan ke Bagian Hukum Pemerintah
Kabupaten Karimun. Adapun hasil yang diperoleh menyatakan bahwa tidak satupun
dari instansi tersebut memberikan jawaban yang membenarkan Desa untuk melakukan
pembebasan termasuk juga hasil konsultasi dengan Kantor Pertanahan Karimun.
Birokrasi yang tidak cerdas dan terlalu kaku menerapkan prosedural sangat
disayangkan dan tidak pernah berfikir maju padahal ada aturan yang memungkinkan
untuk melakukan terobosan hukum seperti diskresi yang diatur dalam UU No. 30 Tahun
2014 tentang administrasi pemerintahan dan ditegaskan dalam ketentuan tersebut bahwa
kebijakan atau ketetapan tidak dapat dipidana sepanjang telah dilakukan menurut
ketentuan UU dimaksud dan tidak ada perbuatan merugikan keuangan negara.
Hal tersebut sangat bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi6 dalam
pidatonya kenegaraan, di gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019)
menegaskan komitmennya 5 tahun kedepan sebagai pemerintahan yang berorientasi
6
http://rbkunwas.menpan.go.id/berita/berita-terkini/496-presiden-joko-widodo-kerja-kita-
harus-berorientasi-hasil
10
kepada hasil (result oriented goverment), hal ini disampaikan Presiden pada  pidato
"Jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang
nyata. Saya sering ingatkan ke para menteri, tugas kita bukan hanya membuat dan
melaksanakan kebijakan, tetapi tugas kita adalah membuat masyarakat menikmati
pelayanan, menikmati hasil pembangunan”. Ujarnya. Dengan kata lain pemerintah akan
berfokus pada pencapain kinerja, dengan memangkas prosedur kerja yang berbelit-belit
serta mencegah inefisiensi anggaran yang selama ini ada pada program-program kerja
yang tidak beroirentasi pada hasil.
Merujuk kepada permasalahan tersebut, menurut penulis langkah langkah yang
dapat ditempuh kepala desa dalam membuat keputusan untuk tetap melaksanakan ganti
rugi atau kompensasi terhadap obyek tanah sebagai sumber mata air yang berasal dari
galian pasir dan secara nyata dimiliki oleh salah seorang warga secara turun temurun
maka Kepala Desa dalam merumuskan ketetapan harus memperhatikan ketentuan dalam
pasal 22 angka (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai
berikut;
1. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
2. Mengisi kekosongan hukum;
3. Memberikan kepastian hukum;
4. Mengatasi stagnasi pemerintahan
Terhadap ketentuan dimaksud dengan adanya ketetapan maka pelayanan
masyakarat akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, pelayanan dalam hal ini antara
lain dengan melakukan pembangunan dan sudah tertuang anggarannya dalam ADD, jika
tidak dilaksanakan maka alokasi dana ADD akan menjadi sia sia dan kembali ke kas
daerah tanpa dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat. Tidak adanya aturan yang
mengatur tentang pembebasan lahan dengan sebagian permukaan air tadi maka telah
menyebabkan kekosongan hukum, oleh karena itu desa melalui Kepala Desa
mengeluarkan ketetapan dalam bentuk keputusan Desa untuk melaksanakan
pembebasan lahan berdasarkan mata anggaran yang sudah ada dalam ADD.

11
Terjadinya kekosongan hukum, dan tidak satupun ada aturan yang mengatur
maka desa mengeluarkan ketetapan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
sebagaimana dalam asas asas umum pemerintahan yang baik ; Asas kepastian hukum
sebagai asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan. Artinya disini bahwa Pemerintah Desa telah
mempelajari karena tidak satupun ketentuan hukum mulai dari UU hingga Peraturan
Bupati yang mengatur tentang pembebasan lahan dengan permukaan sebagian besar
adalah air.
Demi menghindari terjadinya kekosongan hukum maka Kepala Desa
mengeluarkan keputusan atau ketetapan dalam bentuk Keputusan Kepala Desa terkait
masalah pembebasan lahan tersebut. Asas kepentingan umum yang dimaksud dalam
ketetapan atau keputusan Kepala Desa Parit bahwa kebijakan tersebut ditempuh bukan
karena kepentingan subyektif kepala desa melainkan kepentingan masyarakat desa akan
pemenuhan kebutuhan paling mendasar yakni ketersediaan sumber air bersih.
Dalam membuat ketetapan berdasarkan diskresi, Kepala desa juga wajib
memperhatikan ketentuan Pasal 24; Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; Sesuai dengan AUPB; Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan Dilakukan dengan iktikad baik.
Dari sekian syarat yang disampaikan dalam pasal 24 diatas terdapat satu poin
yang bersifat multi tafsir dimana secara jelas menyebutkan bahwa diskresi tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam ini
jelas membingungkan karena adanya diskresi sebagai hak pejabat yang diberikan oleh
undang-undang disebabkan karena tidak adanya aturan yang mengatur secara tegas,
sehingga dalam hal ini pejabat juga menjadi ragu ragu dan takut terjerat kasus hukum,
namun jika sebuah ketetapan telah dibuat dengan memperhatikan Sesuai dengan tujuan
Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) ,Sesuai dengan AUPB;

12
Berdasarkan alasan-alasan yang objektif; Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
Dilakukan dengan iktikad baik maka diskresi akan menjadi sebuah terobosan besar dan
menjadi prestasi bagi pejabat Kepala desa yang berani mengambil dan membuat
ketetapan dengan tetap mengedepankan kepentingan umum dan didasarkan kepada
itikad baik. Sehingga tidak perlu ada kehawatiran oleh pejabat Kepala Desa dalam hal
ini karena ada alasan lain dimana dalam hal ini Kepala Desa tidak mengubah alokasi
anggaran karena memang sudah dialokasikan dalam ADD (Pasal 25 (1) UU No. 30
tahun 2014.
Akhirnya semua permasalahan dikembalikan kepada Kepala Desa, apakah
berani untuk mengisi kekosongan hukum tersebut secara sementara dimana dasar
menggunakan diskresi sudah sangat jelas karena tidak adanya aturan yang secara tegas
mengatur tentang pembebasan lahan dimaksud, apalagi dalam hal ini Pemerintah Desa
telah melakukan survey kelayakan untuk menginvestasikan dana demi kepentingan
masyarakat desa akan kebutuhan air bersih yang selama ini menjadi barang langka di
Desa Parit.
D. PENUTUP
Kesimpulan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah;
a) Bahwa tindakan diskresi merupakan pilihan hukum yang dijamin oleh UU No.
30 tahun 2014 bagi pejabat pemerintah sepanjang dalam menggunakan atau
melakukan diskresi berupa keputusan atau tindakan maka wajib untuk mematuhi
dan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30
Tahun 2014, yaitu; Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; Mengisi
kekosongan hukum; Memberikan kepastian hukum; dan Mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
b) Bahwa pilihan untuk menggunakan diskresi akhirnya dikembalikan kepada
Kepala Desa, apakah berani untuk mengisi kekosongan hukum tersebut secara
sementara dimana dasar menggunakan diskresi sudah sangat jelas karena tidak

13
adanya aturan yang secara tegas mengatur tentang pembebasan lahan dimaksud,
apalagi dalam hal ini Pemerintah Desa telah melakukan survey kelayakan untuk
menginvestasikan dana demi kepentingan masyarakat desa akan kebutuhan air
bersih yang selama ini menjadi barang langka di Desa Parit. Apalagi Pemerintah
Desa Parit telah mengalokasikan anggaran dalam ADD 2021 untuk pembebasan
lahan dimaksud termasuk dukungan Pemerintah Provinsi yang telah
mengalokasi anggaran proyek sistem penyaluran air minum (SPAM) dalam
tahun anggaran yang sama.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka ditarik kesimpulan sebagai berikut;
a) Bahwa Pemerintah Kabupaten Karimun sebagai induk dari pemeritah desa sudah
seharusnya meninggalkan pola pikir dan cara kerja yang konvensional dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pelayanan publik. Hal
tersebut telah ditegaskan oleh bapak Presiden RI Joko Widodo (dalam hasil dan
pembahasan) yang meminta semua instansi pemerintah agar bekerja dengan
mengedepankan hasil dan mengesampingkan aturan kaku yang terlalu
prosedural. Apalagi negara telah menjamin tindakan diskresi dalam bentuk UU
No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
b) Bahwa Pemerintah Kabupaten Karimun sebaiknya menginvestasikan dana setiap
tahunnya untuk membuat kegiatan pelatihan pelatihan singkat dengan
pelaksanaan kerja dan tugas mereka dengan menggandeng lembaga lembaga
penelitian dan ilmu pengetahuan di Indonesia untuk dapat meningkatkan
kapasitas dan keahlian, sangat menyedihkan karena tidak satupun saran yang
disampaikan oleh institusi dalam Pemerintah Kabupaten Karimun yang
merekomendasikan kepada Kepala Desa untuk dapat menggunakan diskresi
dalam mensikapi dan merespon ketiadaan hukum dalam suatu permasalahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nana Syaodih Sukmadinata, 2011; Metode penelitian pendidikan Remaja Rosda Karya,
Bandung

Ridwan, 2009; Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII
Press, Yogyakarta

W. Riawan Tjandra, 2014, Hukum Sarana Pemerintahan, Penerbit Universitas Atma


Jaya, Yogyakarta

https://makassar.tribunnews.com/2019/10/02/perubahan-hukum-sebuah-keniscayaan.
http://rbkunwas.menpan.go.id/berita/berita-terkini/496-presiden-joko-widodo-kerja-
kita-harus-berorientasi-hasil

UU RI No. 53 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kabupaten di Provinsi Riau


UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 37 tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa

15

Anda mungkin juga menyukai