Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS SISTEM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Pendahuluan
Salah satu raison detre dari kehadiran negara adalah menjamin keamanan warga negara.
Oleh karenanya pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk
mewujudkan tujuan itu. Sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa
negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia. Sebagai konsekuensi logis dari pentingnya keamanan nasional, maka negara
membentuk instrumen utama pelaksana manajemen keamanan yakni Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Polri melaksanakan fungsi utama sebagai unsur pemerintah yang
melaksanakan pelayanan publik dibidang keamanan.
Perkembangan Polri memperlihatkan masih banyaknya intervensi kekuasaan dalam
implementasi fungsinya dalam kehidupan bangsa dan negara. Intervensi kekuasaan yang
mencolok terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa. Di mana institusi Polri
melalui pengangkatan Chaeruddin Ismail sebagai Wakapolri, kemudian sebagai Pejabat
Kapolri oleh Presiden tanpa melalui mekanisme yang lazimnya yakni melalui proses
Wanjakti dan persetujuan atau fit and proper test DPR terlebih dahulu. Tetapi dijadikan
Presiden untuk usaha mempertahankan kekuasaan. Saat itu Presiden sedang menghadapi
ancaman impechment. Demikian pula pada masa Presiden Megawati di mana saat kampanye
menjelang Pilpres terjadi kampanye oleh beberapa oknum pejabat wilayah Polri, di Jawa
Barat. Intervensi kekuasaan itu merupakan hal yang biasa dalam penyelenggaraan negara. Di
berbagai negara, intervensi itu masih seringkali terjadi. KGB Uni Sovyet digunakan untuk
kepentingan partai komunis, Polisi Diraja Malaysia dipergunakan sebagai alat kekuasaan
Kerajaan, Kepolisian Afrika untuk kepentingan politik Apartheid, Jepang kepolisianya
berorientasi politik dan lainnya.
Kepolisian kita yang dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah ada sejak
jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk melayani penjajah
Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung, baik manusia, harta benda dan
kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak
Belanda. Pendudukan Belanda, Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite
pribumi. Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap sama, meskipun
sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi. Perbedaannya hanya pada
penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi pribumi boleh menggunakan senjata api.
Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk
menggunakan senjata secara resmi. sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur
Belanda saja yang boleh menggunakan senjata api.
Pemberian pendidikan dan pengetahuan serta pelatihan tentang teori-teori kepolisian secara
umum sedikit sekali diberikan pada polisi pribumi. Namun pasca kemerdekaan baru
mengintegrasikan diri kedalam sistem birokrasi bangsa Indonesia.pelembagaan badan
kepolisian pasca masa penjajahan masih mengalami tekanan sejalan dengan perjuangan suku
bangsa di nusantara dan menjelang kemerdekaan RI agustus 1945, PPKI merumuskan
lembaga kepolisian pada kementerian dalam negeri, dengan mengacu kepada de dienst der
algemene politie karena menurut Bambang W Umar, belum tersedia sistem yang sesuai

dengan ketatanegaraan Indonesia untuk melandasi bekerja polisi. Karena itu pada saat
kemerdekaan posisi Polri belum jelas eksistensinya dalam kementerian.
Pada masa Orde lama, dengan Keppres No 290/1964, 12 November 1964, Polri
diintegrasikan dalam ABRI. Polri justru menjadi ujung tombak penjaga stabilitas politik.
Integrasi polri dalam politik Orde Baru mengakibatkan; (a) ideologi militer sangat kuat dalam
sistem pendidikan dan manajemen. (b) pengorganisasian yang sentralistik. (c) komunitas
polisi lebih lekat kepada militer daripada komunitas kepolisian.
Salah satu tuntutan masyarakat pada awal reformasi adalah diperlukannya reformasi
mendasar di dalam institusi kepolisian.lembaga yang relatif cepat mengalami reformasi pasca
Orde Baru adalah Polri. Perubahan itu dimulai dengan momentum bersejarah pemisahan Polri
dari TNI pada 1 April 1999. Polri adalah lembaga pemerintahan negara yang berfungsi
sebagai penanggung jawab masalah keamanan, sementara TNI merupakan lembaga negara
yang mempertahankan negara dari ancaman luar. Dalam konteks ini, berdasarkan UU No
2/2002 tentang Kepolisian Negara hanya mengenal istilah keamanan dan ketertiban
masyarakat dan keamanan dalam negeri.
Pertimbangan filosofis yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari ABRI adalah
perbedaan fungsi kepolisian dengan militer (TNI). Militer ditujukan untuk keselamatan,
keutuhan dan kedaulatan negara, sedang fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin
ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Dari segi obyek militer
ditujukan untuk keamanan negara, sementara Polri untuk keamanan individu, masyarakat dan
pemerintah. Perbedaan mendasar tugas polisi dan tentara terletak pada; polisi berdasarkan
aturan hukum yang sudah pasti, sedangkan tentara berdasarkan keputusan politik. Meskipun
Farouk kurang sependapat dengan gagasan yaitu pemisahan itu semata-mata karena faktor
intervensi ABRI dalam melaksanakan tugas operasional Polri. Pada sisi lainnya, Awaluddin
Djamin melihat intervensi ABRI selama Orde Baru sebagai faktor pendorong pemisahan
Polri dari ABRI.
Perubahan itu ternyata tidak mencakup aspek politik, tetapi juga hampir berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Polri perubahan itu tidak hanya menyangkut upaya
peningkatan pelayanan Polri kepada masyarakat, tetapi menuntut Polri sebagai pengawal,
mengingat kepolisian merupakan aparatur pemerintah yang selama 24 jam sehari melakukan
kontak dengan masyarakat. Polri tuntut sebagai pelindung HAM dan human security .
Pasca pemisahan dari TNI (dahulu ABRI), sementara Polri berada di bawah
Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Kemudian dalam perkembangannya, Polri berada di
bawah Presiden, selaku pemegang mandat politik langsung dari rakyat Indonesia. Dengan
posisi seperti itu, menurut paparan Kapolri baru-baru ini bahwa dengan di bawah Presiden,
maka Polri akan dapat mengikuti langsung perkembangan situasi nasional, dan melakukan
tindakan pengamanan secara cepat terhadap berbagai ancaman keamanan dalam negeri.
Dalam sejarahnya, menurut Awaluddin Djamin, keberadaan Polri yang langsung di bawah
Presiden dalam sistem dan administrasi negara RI sudah ada sejak puluhan tahun dan diberi
sebutan lembaga pemerintah non departemen, seperti juga Bakin, Lan, BKN, BKKBN,
BKPM dan BPS.
Mengenai posisi dan kedudukan Polri masih menjadi persoalan tersendiri dikalangan Polri.
Kedudukan Polri dibawah Presiden menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan akan
intervensi kekuasaan Presiden. Sehingga dipandang lebih baik di bawah departemen.

Menurut Farouk gagasan itu tidak memecahkan masalah, karena akan semakin memperkuat
status Polri bukan sebagai instrument of law tetapi menjadi instrument of policy, suatu
perangkat departemen-departemen yang pembentukan dan pembubaranya merupakan hak
prerogatif Presiden. Jika kekhawatirannya bahwa Presiden merupakan penguasa politik, maka
di bawah departemen pun sama adanya. Berbeda dengan TNI di bawah departemen
pertahanan yang hanya sebatas pembinaan kekuatan, sebagai aktivitas harian militer.
Sedangkan Polri adalah institusi sehari-hari melaksanakan aktivitas operasional tanpa
menunggu perintah dari siapapun (selalu berdasarkan hukum) sehingga setiap saat
menggunakan kekuatan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola manajemen keamanan negara, Polri harus
betul-betul menjadi lembaga yang mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara lainnya.Bila
misalnya suatu penyelidikan perkara korupsi atau kejahatan apapun, tidak boleh ada
intervensi oleh atasan atau unsur kekuasaan lainnya. (Djamin, 1999). Diakui oleh kalangan
Polri maupun kalangan masyarakat luas bahwa dengan ditempatkan Polri di bawah naungan
TNI, maka bukan saja perilaku aparatur Polri yang mengikuti gaya militerisme tetapi juga
menghambat fungsi utamanya dalam mengungkap berbagai kasus keamanan, termasuk
penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang lainnya. Sistem pendidikan
dan masalah anggaran tidak luput dari intervensi kekuasaan khususnya unsur utama dalam
ABRI yakni TNI AD.
2. Sistem Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalams sebuah dilema kepentingan kekuasaan
yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan
masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta
control social yang diterapkan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian
beralih status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Menteri. Ketetapan
Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan
kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan Ketetapan
itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis
hubungan vertikal sampai ketingkat plaing kecil seperti pada wilayah kecamatan-kecamatan.
Kedudukan kepolisian dalam sebuah Negara selalu menjadi kepentingan banyak pihak untuk
duduk dan berada dibawah kekuasan. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian RI
dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari
30 tahun kepolisian di balut dengan budaya militer tersebut. Tahun 1998 tuntutan masyarakat
bgitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai
keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Maka selanjutnya Tap MPR No.VI/2000
dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu tuntutan Reformasi dan tantangan masa depan
adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI.
Bahwa akibat dari penggabungan terjadi kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI
sebagai kekuatan pertahanan dan Polri sebagai kekuatan Kamtibmas. Maka Polri adalah alat
Negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Oleh karena itu Polri kembali dibawah
Presiden setelah 32 tahun dibawah Menhankam/Panglima ABRI,Berdasarkan UndangUndang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa
(1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum,
serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya Kamdagri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan

bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas,,
menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Dalam
menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara professional.
Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non departemen tapi di bawah Presiden dan
Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan.
William Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya contemporary Police Organization and
Management, Issues and Trends, menyatakan bahwa Ketika pengamat membandingkan
Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu
kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah,
desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu organisasi,biro,
atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.
Karena sumberdaya dari sistem adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem untuk
melakukan kegiatan-kegiatan dalam merealisasi tujuan. Sumberdaya ini termasuk orang atau
manusia, uang, fasilitas dan peralatan, proses teknologi, informasi, dan berbagai sumberdaya
lain diluar manusia. Selanjutnya jika dibedakan antara terbuka dan tertutup, maka berikut ini
diambil definisi dari beberapa pakar. Open system is system which maintains it self while the
matter and energy which enter it keep changing. The system is infuenced by, and influences,
its environment and reaches a state of dynamic equilibrium in this environment. A Closed
system has no interaction with its environment. Pendapat lain mengemukakan bahwa, sistem
tertutup (Closed System) merupakan sebuah sistem yang terisolasi sama sekali daripada
lingkungannya, sedangkan sistem terbuka (Open System) terus-menerus melaksanakan
pertukaran informasi dengan lingkungannya (Winardi, hal. 138-139).
Dalam politik teori sistem yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan kekuasaan Negara.
David Easton mengatakan bahwa masyarakat yang diferensiasi terbagi dalam berbagai
peranan khusus yang timbul dalam sistem politik. Dalam kenyataannya suatu Negara pasti
memiliki politisi, lembaga perwakilan, administrator, hakim-hakim, pemimpin-pemimpin
politik dan semacamnya yang dapat diandalkan. Ketika memindahkan actor-aktor politik,
pada saat yang sama juga memindahkan seluruh aktor-aktor lainnya orang-orang yang
dilibatkan, keagamaan, lembaga-lembaga dalam pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik
lainnya.
Standar yang harus dipakai dalam kerangka system adalah menempatkan system demokrasi
sebagai sistem politik yang ideal dibandingkan dengan system lainnya yakni system otoriter.
Pandangan tentang begitu positifnya demokrasi adalah bahwa system ini telah terbukti baik
dalam mengatur umat manusia dan lembaga-lembaga Negara didalamnya selama berabadabad lamanya. Negara adalah lembaga netral yang tidak boleh mengintervensi spesifikasi
lembaga yang lainnya. Negara harus melindungi dan berdiri dalam semua golongan social
dan politik. Menurut max Weber bahwa Negara adalah lembaga kemasyarakatan yang
berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan daya paksa di suatu entitas dan
kekuatan.
Menurut Arif Budiman bahwa Negara memiliki pesona daya paksa yang tinggi, yaitu.
Pertama, negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam
suatu masyarakat. Negara dapat mengintervensi dan memaksakan kehendaknya kepada warga
Negara dan atau kepompok yang ada di dalam masyarakat, bahkan kalau perlu, Negara
memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan
masyarakat atas perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang besar

diperoleh karena Negara merupakan kelembagaan kepentingan umum. Sebagai lembaga yang
mewakili kepentingan umum, Negara dapat melaksakan kehendaknya melawan kepentingankepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil.
Konsep kekuasaan seperti itu sebenarnya telah lama dirumuskan oleh para filsuf, Plato,
Aristoteles dan lainnya. Cita-citanya adalah di mana kekuasaan di pimpin dan dikendalikan
oleh orang-orang yang berilmu. Mengingat menurut Plato bahwa kekuasaan itu memang jahat
dan rakus. Thomas Hobbes juga mengatakan bahwa masyarakat itu serigala bagi yang
lainnya karena itu harus dikendalikan oleh Negara yang kuat, dengan Negara yang kuat,
maka akan menghasilkan ketertiban sosial dan hukum.
Nilai-nilai kekuasaan yang terkandung dalam demokrasi tak lagi memberikan pengayoman
kepada masyarakat. Karena kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah adalah multak milik
rakyat. Sehingga pemerintah sebagai penguasa atau pemegang kekuasaan Negara
sebagaimana transisi yang terjadi di Indonesia harus dijalankan sebagai mana mestinya,
artinya tidak perlu adanya intervensi kekuasaan didalamnya. Karena itu pendekatannya harus
berdasarkan aturan hukum yang adil, dengan demikian hukum harus melindungi segenap
rakyatnya. Perlindungan itu sendiri dijalankan berdasarkan undang-undang. Tetapi faktanya
rakyat itu memang cenderung melakukan intervensi untuk kepentingannya sendiri. Dalam
kosep Griddle (1966) juga menjelaskan banyaknya motivasi kekuasaan politik terhadap
lembaga atau peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya (rent seeking
politician). Bagi kepolisian sebagaimana tugas pokok yang diamanatkan dalam undangundang dengan system kekuasaan yang mengkembiri nilai-nilai yang dibawa dalam kerangka
tugas kepolisian akan menjadikan polisi sebagai sebuah lembaga dengan system yang keliru.
Karena telah membalikan fakta rasional dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat.

The system approach


Sumber: Johnson et.all, The Theory and Management of System, hal.18, 1973
Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan
bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan
aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman,
Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:
1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut
juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran
terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan
kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda,
Switzerland, Amerika Serikat.
2. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah
kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia,
Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
3. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system
desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang
dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi

Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut
hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia.
Dari uraian trsebut di atas, maka ada beberapa pendapat yang saling mempermasalahkan
kedudukan kepolisian dalam system kepolisian Indonesia yang ideal. Oleh karena itu
memerlukan kajian yang integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat
dikategorikan sebagai Integrated System of policing telah menjadikan posisi Kepolisian
menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas
fragmented ( kedaerahan). Apakah sistem yang sekarang ini merupakan sistem Kepolisian
yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?
Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu,
Polri melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan
Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan
masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian..
Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang
bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat Desa,
terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan
memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin
canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada
kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi
utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk
menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana
kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat
kejadian perkaranya ( locus delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang
pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain desentralisasi administrative.
Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan
pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan
agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan
pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi
kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan
polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di
lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat
dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di
lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan
ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan. Ketika hal
ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh
atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban
parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham masalah penegakan hukum
perda dengan peraturan nasional (undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya,
kepada para perusahaan penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaanperusahaan yang mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset

yang ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang
oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang
berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum dan khusus.
Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri
kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh
kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal
keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing, misalnya operasi
kepolisian mandiri adalah di Polda Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang
dilakukan dengan target sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak.
Hal ini tentunya disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim
kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun
perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang parah
sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika
dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan
membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun
meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi
keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun
dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang
karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di
pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada (
incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan
bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang
sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah ,
namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga
resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilihan kepala daerah.

3. Struktur di bawah Presiden


Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri.
Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk
kembali dibawah presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah
Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui permasalahanpermasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat dalam sidang Kabinet
sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam
rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional
dalam hal ini Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara
maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi
mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kapolri
akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional sebagai alat
kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan
presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu dihata dahulu rumusan tugas pokok,
weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
1. Fungsi Kepolisian
Pasal 2 : Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat. Sedangkan Pasal 3: (1) Pengemban fungsi
Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian
khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2)
Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c,
melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum masing-masing.
2. Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002
adalah sebagai berikut:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum
3. Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. , penjabaran
tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3. Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang
Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada
Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur
dalam UU No. 2 tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :
1)Pre-emtif
2) Preventif
3)Represif
Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam
pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan
dari fungsi utama tersebut adalah :
4. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)
Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang

ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara
sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing
tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini sudah bias dengan
pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan diatas, dalam
mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain harus dilihat dari
administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial
masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia
( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling) dalam komunitaskomunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas
keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas
yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan
khusus.
5. Tugas di bidang Preventif
Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk
memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran
hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri
seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.
6. Tugas di bidang Represif
Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2
tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil
terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang diskresi kepolisian yang umumnya
menyangkut kasus ringan. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif
justisiil dengan menggunakan azas legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya.
Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila terjadi tindak pidana, penyidik
melakukan kegiatan berupa:
1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;
2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;
3. Mencari serta mengumpulkan bukti;
4. Membuat terang tindak pidana yang terjadi;
5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.
4. Penutup
Dalam perkembangannya saat ini
Kepolisian Indonesia saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memasuki tahap
yang memberi arah yang civilian, dimana pendekatan kemasyarakatan begitu kental terarah
dalam setiap pasal dan bab yang ada dalam undang-undang kepolisian. Karena telah melihat
kondisi terbalik pada masa Orde Baru yang cukup panjang, sehingga salah satu tuntutan

reformasi tahun 1998 adalah mrefosisi kepolisian secara utuh. Saat ini sudah hampir
mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun
masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang
yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta
melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas
kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib
dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada
masyarakat. Pelayanan Masyarakat melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan
dan disederhanakan dengan melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan
penggunaan tekhnologi Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga
diperlukan dalam rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan
kekuasaan dalam praktek-praktek kerja di lapangan.
Akhirnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentu akan memfosisikan
kepolisian dalam sebuah kerangka yang benar, agar pembangunan system kepolisian
mengarah pada posisi ideal. Banyak pengaruh politik dalam system kepolisian yang tidak
dapat diabaikan dengan begitu saja. Karena posisi kepolisian dalam system kenegaraan
mempunyai arti yang signfikan, dimana kepolisian bisa menjadi garda terdepan yang
memberi peluang hubungan pemerintah dengan masnyarakat dalam banyak kepentingan.

==00==

Daftar Pustaka

Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 2002.
Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4
tahun 2002.
Bambang W Umar, Penafsiran Kembali Simbol-Simbol Polisi, Jurnal Polisi Indonesia, nomor
4 tahun 2002.
David Easton, Kerangka Kerja Sistem Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1998.
Farouk Muhammad, Reformasi Kultiral Polri Dalam Konteks Pergeseran Paradigma
Kepolisian abad 21, Pidato pengukuhan profesor, PTIK, 18 September 2004.
Johnson, Richard A; Kast, Fremon E [and] Rosenzweig, James E. The theory and
management of systems. :McGraw-Hill. 1973.
M. Sastrapratedja, Pengantar, John Locke, Kuasa itu Milik Rakyat, Kanisius, Yogyakarta,
2002.

Muhammad Nasir, Presiden versus Polri dalam Transisi Demokrasi Indonesia, Madani
Institut, 2004.
Sidratahta Mukhtar, Manajemen Keamanan Negara I dan II, makalah, FGD Propatria, dalam
pembahasan RUU Kamnas, November 2005.
-------------- Sidratahta Mukhtar, Posisi Polisi Sebagai Kelompok Kepentingan Institusional
dalam Negara, Jurnal Studi Kepolisian, PTIK, 2004.
UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Winardi. Pengantar teori sistem dan analisa sistem. Karya Nusantara. 1980.
http://mochnasirwdw2000.blogspot.com/2010/11/analisis-sistem-kepolisian-negara.html

Anda mungkin juga menyukai