1. Pendahuluan
Kehidupan dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan
polisi. Negara dapat berjalan dengan baik tanpa tentara, tetapi tidak demikian jika polisi
tidak terdapat dalam negara bersangkutan. Lembaga kepolisian adalah lembaga yang
harus tetap tegak berdiri sekalipun negara itu runtuh. Negara bisa saja bubar,
pemerintah atau rezim boleh saja jatuh atau berganti, namun polisi harus tetap tegak
berdiri untuk mengamankan warga masyarakat dari ekses-ekses yang mengancam jiwa,
raga, dan harta bendanya. Bahkan, tatkala negara sedang dalam pendudukan tentara
asing sekalipun, polisi tetap menjalankan tugasnya yaitu menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakatnya. Polisi melekat pada setiap warga masyarakat. Kondisi
tersebut menjelaskan bahwa kepolisian adalah subordinasi dari masyarakatnya,
sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure)
dari kepolisian. Negara Jepang dan Kosta Rika (Amerika Latin) tidak mempunyai
tentara tetapi kehidupan masyarakatnya dapat berjalan aman, tenteram dan damai,
karena di kedua negara tersebut terdapat institusi kepolisian yang bertugas memelihara
Keamanan dan ketertiban masyarfakat di negaranya.1
Di Indonesia keberadaan fungsi Polisi selama ini, dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengemban pembina kamtibmas kurang begitu menunjukkan perubahan yang
signifikan dalam perkembangannya. Dalam sejarah kepolisian Indonesia atau Polri
selama lebih dari lima puluh tahun segalanya hampir berjalan datar-datar saja. Polisi
menjalankan pekerjaannya sehari-hari secara teknis kepolisian dalam suasana relatif
tenang tanpa harus memikirkan hal-hal di luar itu. Apalagi sejak Polri disatukan ke
dalam ABRI di mana yang dominan berlaku adalah doktrin militer dimana perintah
adalah perintah. Selama beberapa puluh tahun bersama ABRI , Polri telah kehilangan
jadi diri kepolisiannya yang bersifat universal, yaitu to protect and serve the people,
shaking hands with the people (melindungi dan melayani rakyat. menyalami dan
merangkul rakyat).
Suleman Batubara, SH., MH, Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , di akses dari
http://batubarasuleman.blogspot.co.id/2011/02/polri-dalam-sistem-ketatanegaraan.html
Keberadaan polisi yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat, maka suatu
keharusan jika polisi diberikan kemandirian dalam menjalankan tugas selaku
pemelihara Kamtibmas dan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa kemandirian, polisi
tidak akan dapat menjalankan tugas dengan baik. Pasca reformasi tahun 1998 di
Indonesia, institusi kepolisian terus dibenahi seiring dengan kebutulian jaman dan
perkembangan masyarakat. Eksistensi Polri baik sebagai organ maupun sebagai fungsi
menjadi perhatian dan salah satu agenda reformasi. Hampir semua kalangan dari
berbagai lapisan masyarakat turut pula memberikan sumbangsih pemikiran berupa
pendapat atau ide tentang mulai dari bagaimana posisi Polri dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia hingga bagaimana sosok figur Polisi yang diharapkan oleh
masyarakat kepada Polri. Sehingga tidak mengherankan , banyak topik diskusi ilmiah
dihasilkan sebagai buah kajian untuk menentukan warna Polri saat sekarang dan di
masa datang. Ini semua merupakan manifestasi dari kepedulian dan rasa memiliki
terhadap masyarakat terhadap Polri.
Dalam penulisan naskah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana kedudukan
kelembagaan Polri dimasa lalu, kini dan tantangan dimasa depan yang berorientasi pada
kepentingan publik sebagai respon terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat dalam
era demokratisasi. Dengan tujuan agar usaha-usaha POLRI untuk mereformasi dirinya
dalam tugas memberikan pelayanan terbaik untuk memelihara keamanan dan ketertiban
di masyarakat sehingga Polri mendapatkan dukungan dan penyempurnaan pelaksanaan
tugasnya dari masyarakatnya .
2. Sejarah Kepolisian Indonesia
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang
bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi. Bila ditilik dari asal
muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Fungsi
kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota
masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Seperti yang
dinyatakan oleh banyak pakar "Comparative Police System", setiap kepolisian di
semua negara adalah unik, karena perbedaan sejarah, sistem ketatanegaraan, geografi,
demografi, dan sebagainya.
Kepolisian di Indonesia (Polri), misalnya, yang sesuai dengan Konvensi Jenewa
tetap utuh waktu Jepang kalah perang (Peta, Gyu Gun, Hei Ho disuruh pulang).
Namun pada saat revolusi fisik , Polri menyatakan tidak mengikuti Konvensi Jenewa,
2
oleh
Presiden/Wakil
Presiden
dalam
kedudukan
sebagai
Perdana
Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai unsur Angkatan Bersenjata dalam
Departemen Pertahanan Dan Keamanan Republik Indonesia. Keluarnya Keppres ini
makin menegaskan Keppres no 132 tahun 1967 yang menyatakan bahwa Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan
Udara dan Angkatan Kepolisian yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab
kepada Menteri Pertahanan Keamanan Negara/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab).2
Selama bergabung dalam ABRI praktek perpolisian yang ditampilkan oleh Polri
adalah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga
masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada
kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan
kekerasan yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk
memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi Polri dituding melakukan
pelanggaran-pelanggaran HAM kepada masyarakat jauh dari hakekat jatidiri polisi
secara universal untuk melindungi dan melayani masyarakat. Selain itu dalam
pelaksanaan tugasnya jauh dari perkataan profesional karena sudah berubah menjadi
polisinya Penguasa dan keikut-sertaan polisi dalam politik sehingga membawa
konsekuensi keberpihakan. Dimana Keberpihakan Polri berarti ketidak-adilan dan
setiap ketidak-adilan adalah malapetaka. Bersamaan dengan perjalanan sejarah inilah,
budaya polisi dengan identifikasi diri sebagai polisi Penguasa terinternalisasi dalam
struktur kelembagaan maupun struktur kognisi individu anggota Polri.
Adanya perkembangan dan perubahan situasi di lingkungan masyarakat
masyarakat
tentang
Pokok-Pokok
Reformasi
Pembangunan
dalam
rangka
departemen sendiri sebab departemen mengemban fungsi eksekutif. Karena Polri bukan
perangkat kebijakan (instrument of policy) maka tak dapat dikelompokan ke dalam
fungsi eksekutif. Polri juga tak bisa ditempatkan dilembaga yudikatif , agar dalam
melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum ada check and balance. Perannya
terbatas untuk merumuskan peraturan pelaksanaan bersifat administratif.3
Sehingga pada tanggal 1 April 1999 Presiden BJ Habibie konsisten terhadap
keputusan politiknya, sebagaimana diucapkan pada HUT ABRI 5 Oktober 1998
memisahkan Polri dari stuktur Komando ABRI. Konsistensi itu memberi kedudukan
Polri sebagai lembaga yang berdiri sendiri diberikan otonomi dalam melaksanakan
tugasnya sekali pun masih berada dengan Menhankam/ Pangab. Meski begitu,
Walaupun Polri sudah keluar dari struktur ABRI namun intervensi terhadap
pelaksanaan tugasnya masih begitu tinggi karena Polri masih harus tunduk pada UU no
20 tahun 1982 tentang Pokok- pokok Pertahanan Keamanan Negara dan UU no 2
tahun 1998 tentang Keprajuritan. Sebagai aparat penegak hukum dimana Polri berada
dalam satu tatanan yaitu Criminal Justice System di satu fihak harus berperan sebagai
penegak hukum dalam sistim peradilan , disisi lain harus tunduk pada hukum tentara
Dalam UU No 28 tahun 1997 tentang Polri nampak memiliki otoritas hukum secara
penuh, namun dalam UU no 2 tahun 1998 jika tidak patuh dan loyal maka kena sangsi
tidak naik pangkat, tidak memangku jabatan.
Mencermati perkembangan situasi tentang Polri tersebut serta memperhatikan
konstelasi ketata negaraan, Presiden Abdurahman Wahid mengambil keputusan politik
yang sangat arif yaitu menerbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000
tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 1 Juli 2000.
Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Penegakkan supremasi hukum di Indonesia bukan hanya dituntut oleh
masyarakat Indonesia, namun masyarakat internasional khususnya kalangan investor
menuntut adanya kepastian penegakkan hukum dan jaminan keamanan untuk
3
Hendra Virmanto, Posisi Polri Dalam Konstelasi Ketatanegaraan Di Indonesia , di akses dari
http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2014/12/posisi-polri-dalam-konstelasi.html
Polri adalah
1) Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
2) Menegakkan Hukum
3) Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat
Rumusan pasal 13 tersebut bila dikaitkan dengan pasal 2 Undang-undang No. 2
Tahun 2002 mengenai fungsi pemerintahan mengandung makna yang sama dengan
tugas pokok kepolisian, sehingga fungsi kepolisian juga sebagai tugas pokok
kepolisian. Dengan demikian, tugas pokok Kepolisian dapat dimaknai sebagai fungsi
utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah
disini mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi
pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum (public servent),
sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan
untuk mendukung tujuan negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah
satu unsur dari sistem ketatanegaraan.
Disisi lain tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai fungsi utama kepolisian
sebagaimana telah dijelaskan di muka, dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan
dan ketertiban masyarakat yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Berpijak
pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan presidensiil, fungsi
pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden,
sehingga Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena
itu mengkaji tentang kedudukan kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya,
tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.
Bila dikaji dari bagaiman cara Polri memperoleh wewenang, maka kewenangan
kepolisian diperoleh secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada
undang-undang, yakni UUD 1945, Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan
Perundang-undangan lainnya. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara
hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensiil yang
8
harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945, sehingga
dalam
sistem
pemerintahan
presidensiil,
Presiden
bertanggungjawab
atas
a.
b.
Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat
menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain- lain;
c.
d.
1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 2002, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan
hukum. Serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban dalam negeri.
Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan tersebut, maka
kedudukan kepolisian berada di bawah Presiden yang secara ketatanegaraan tugas
pemerintahan tersebut adalah merupakan tugas lembaga eksekutif yang dikepalai oleh
Presiden.
Sedangkan peran Polri sebagai aparat penegak hukum mengharuskan Polri harus
bebas dari intervensi sehingga Polri dapat menjalankan tugasnya dengan baik untuk
menegakan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 peran tersebut termuat dalam pasal
24 tentang kekuasaan Kehakiman ayat 1 walaupun Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Maka sebagai
aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman secara
ketatanegaraan peran Polri tersebut merupakan tugas lembaga yudikatif sehingga
kedudukan Polri harus merdeka bebas dari intervensi dari kekuatan manapun (politik
dan militer)
Disaat ini masih banyak pemikiran dan upaya untuk memposisikan kepolisian,
melalui suatu proses perjuangan dan pertentangan yang serius antar beberapa lembaga
yang menginginkan kepolisian berada di bawah suatu departemen, mengecilkan dan
mengurangi kewenangan Polri atau bahkan ada mau secara terselubung ingin
mengembalikan kembali Polri dalam kedudukannya seperti jaman Orde Baru dulu.
Menurut Muradi kondisi kepolisian seperti di Indonesia yaitu adanya langkah-langkah
untuk mengintervensi dan atau berupaya memosikan kepolisian di bawah militer atau
menjadi kepanjangan tangan kekuasaan banyak terjadi di beberapa negara transisi
demokrasi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Upaya tersebut dilakukan melalui
10
dalam
menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban
dalam negeri..
Melihat kondisi diatas, adalah wajar
jika masih
Secara teoritis, bahwa kepolisian sebagai alat negara yang menjalankan salah satu
fungsi pemerintahan bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Kata "alat
negara" dapat dimaknai sebagai sarana negara ini ada tiga, yakni sarana hukum,
sarana orang dan sarana kebendaan yang digunakan sebagai pendukung atau
penunjang dalam penyelenggaraan suatu negara. Dengan demikian kepolisian
sebagai alat negara mengandung arti, bahwa kepolisian merupakan sarana
penyelenggaraan negara yang penekanannya pada sumber daya manusia (orang)
yang dalam operasionalnya sangat dipengaruhi dimana lembaga tersebut
diposisikan.
c.
Secara yuridis, bahwa wewenang kepolisian diperoleh secara atributif, karena tugas
dan wewenang penyelenggaraan kepolisian telah diatur dan bersumber pada
konstitusi, yakni di atur dalam pasal 24 ayat (1) dan (3), pasal 30 ayat (4) UUD
1945, walaupun tindak lanjutnya perlu di atur dalam undang-undang.
5 Muradi, POLISI, MILITER DAN POLITIK: Model Pemisahan Kepolisian dari Militer.
11
Selain itu dalam rangka mewujudkan Polri yang mampu menegakkan supremasi
hukum sesuai dengan tuntutan reformasi, maka Polri harus independen, profesional,
tidak dikendalikan penguasa, tetap dapat dikontrol oleh kebijakan sipil untuk itu
kedudukan Polri yang paling tepat adalah langsung di bawah Presiden, dengan
pertimbangan sebagai berikut: 6
a.
Sejarah Polri membuktikan bahwa Polri selalu lebih efektif bila langsung di bawah
Kepala Negara dibandingkan dengan kondisi Polri bila di bawah Departemen.
b.
Berkenaan dengan otonomi daerah: bidang keamanan termasuk enam bidang yang
harus tetap dipegang Pemerintah Pusat, maka Polri yang mengemban tugas pokok
pemeliharaan Kamtibmas harus disusun secara terpusat aga.' mempunyai integritas
yang utuh (merupakan Kepolisian Nasional).
c.
Polri harus terorganisasi secara nasional agar dapat menegakkan hukum nasional
secara konsisten, dan hal ini selaras dengan arah pembangunan hukum menuju ke
unifikasi hukum dan kodifikasi hukum, tanpa mengabaikan hukum lokal yang
berkembang di daerah.
d.
Dengan penempatan Polri di bawah Presiden, maka kedudukan Polri sejajar dengan
lembaga-lembaga departemen lainnya sehingga dalam melaksanakan peran dan
fungsinya Polri dapat mengurangi intervensi dari lembaga-lembaga lainya.
e.
Demi supremasi hukum, maka Polri harus kuat, dan harus dijamin adanya
kesetaraan kedudukan dalam Criminal Justice System. (Polri, Jaksa, Hakim yang
merupakan irium virat yang mandiri), sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak
manapun. Dengan menempatkan Polri di bawah Presiden, maka akan lebih
memperkecil kemungkinan terjadinya intervensi. Sebagai pembanding, institusi
dan komisi-komisi dalam rangka mengintensifkan penegakan hukum saat ini
diletakkan di bawah Presiden, misalnya: Jaksa Agung, KP K, PPATK, Timtas
Tipikor dan sebagainya.
f.
Kedudukan Polri yang kuat di bawah Presiden tidak perlu dikuatirkan akan terjadi
penyalahgunaan kewenangan Polri, sebab:
1) Adanya fungsi pengawasan dari DPR-RI (dalam pengangkatan Kapolri,
kinerja dan penggunaan anggaran oleh Polri);
2) Adanya Kompolnas yang beranggotakan ex officio: Menko Polhukam.
Menkumham dan Mendagri dan wakil dari masyarakat, dengan tugas
6 Penjelasan Kapolri pada rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI menyenai Sikap Polri terhadap penyusunan RUU
KAMNAS dan posisi yang tepat bagi Polri dalam sistem Kelembagaan Pemerintahan tanggal 5 februari 2007.
12
terjadinya profesionalisme Polri dengan perwajahan sipil. Selain itu tidak kalah pentingnyadari
reformasi Kepolisian adalah konsep pemolisian masyarakat. Di mana menitikberatkan kepada
partisipasi masyarak dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah. Walaupun penerapan
Pemolisian masyarakat ini belum begitu terasa implementasinya dimasyarakat tapi telah
dilakukan dan sedikit banyak memberikan optimisme bagi perbaikan kinerja dan pelayanan
prima dari Polri ke masyarakat.
Namun demikian, reformasi yang dilaksanakan di Polri juga mempunyai beberapa
kelemahan-kelemahan, antara lain 8: Pertama, UU No. 2 Tahun 2002,Tentang Polri masih
7 Muradi , Dinamika Politik Pertahanan dan Keamanan di Indonesia , Widya Padjajaran, 2012
8 Muradi , Dinamika Politik Pertahanan dan Keamanan di Indonesia , Widya Padjajaran, 2012.
13
mencerminkan corak militeristik dan sentralistik ketimbang semangat polisi yang hendak
diwujudkan. Bahkan secara terang-terangan pula, Polri menjiplak dan fungsi TNI di masa lalu.
Adapun kelemahan UU Polri tersebut, antara lain :
1) Tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri, selain sebagai sebagai penyelenggara
operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non-operasional. Sehingga dalam
konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan bagian dari
penyimpangan. Sebab kodrat polisi belahan dunia manapun merupakan institusi pengelola
keamanan, yang bersifat operasional.
2) Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), hanya sekedar lembaga think-thank presiden
yaitu lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol
terhadap kinerja Polri. Peran dari KOMPOLNAS ini perlu ditegaskan kembali agar kinerja
Polri dapat terukur oleh masyarakat,
Kedua, kedudukan Polri di bawah presiden dan pengangkatan Kapolri lewat
persetujuan
parlemen, memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuatan Polri, dan politisasi Polri. Baik
yang dilakukan oleh eksekutif seperti pada kasus :pengangkatan Andi Chaeruddin, menggantikan
S. Bimantoro pada masa Presiden Gus Dur. Pro kontra penggantian Kapolri Sutarman ke Budi
Gunawan yang akhirnya memilih Badrodin Haiti menjadi Kapolri atau juga pemanfaatan
kekuatan Polri sebagai aktor kekerasan yang monopolitis dan otonom. Ketiga, tidak diaturnya
secara spesifik tentang tataran tugas, wewenang, dan tanggung jawab Polri dalam masyarakat
demokratis., justru sebaliknya mencerminkan hegemoni Polri dalam segala aspek kehidupan.
Dan yang terakhir, konsep perumusan keamanan dalam negeri dalam UU Polri mengukuhkan
kembali asumsi-asumsi mengenai konsep keamanan yang bercorak represif, dan patronase, serta
berpotensi terjadin konflik dengan TNI karena masalah tanggung jawab, dan wilayah cakupan
tugas.
Terkait
masyarakat mengharapakan dapat memberikan tekanan ekstra kepada Polri bagi upaya
meningkatkan keprofesionalan dan kebertanggungjawaban dalam pelaksanaan
tugasnya.
Tahun 2002 tentang Polri, secara formal diawali dari sidang PAH II BP-MPR.
Penyusunan Rancangan Tap. MPR pada waktu itu memperdebatan menempatan
lembaga Polri dalam konstelasi ketatanegaraan RI. Sidang PAH II BP- MPR menghasil
rumusan yang kemudian disepakati oleh Sidang Paripurna MPR yaitu memilih
9 Prof. Dr . Farouk Muhammad, Komisi Kepolisian Nasional; Telaah dan Penguatan Untuk Masa Depan , Disampaikan
pada saserahan Pengurus Pusat PP Polri, Jakarta, 15 Juni 2010.
14
15
negara
terdapat
sejumlah
model
komisi
kepolisian
yang
dapat
Commission
(Napolcom)
yang
diketuai
oleh
seorang
Menteri
dan
keanggotaannya diangkat oleh Presiden. Wewenang Komisi ini cukup luas, termasuk
menjatuhkan tindakan terhadap anggota polisi yang indisipliner sehingga mampu
membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Sementara itu di Korea terdapat Police Commission yang keanggotaannya
diangkat oleh Presiden. Jepang mempunyai National Public Safety Commission
(NPSC) yang dipimpin oleh seorang Menteri (bukan anggota) yang ditunjuk oleh
Perdana Menteri dan beranggotakan lima orang yang ditunjuk oleh Perdana Menteri
atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di Indonesia, diharapkan keberadaan Kompolnas memiliki tatanan yang ideal
dengan memiliki kewenangan pengawasan dan membuat kebijakan kepolisian.
Kapolri tinggal melaksanakan kebijakan yang ditetapkan sehingga walaupun ada
pergantian Kapolri setiap tahunnya kebijakan kepolisian tetap tidak berubah karena
ada Kompolnas yang mengawasi pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh mereka.
Tidak seperti yang terjadi sekarang ini dimana seorang Kapolri memiliki tumpang
tindih kewenangan dimana sebagai penyelenggara fungsional juga pembuat kebijakan.
Akibatnya bila ada pergantian Kapolri kebijakan di kepolisian selalu berubah-ubah
sehingga berdampak pada pelaksanaan reformasi Polri yang seolah jalan di tempat.
Untuk itu Nantinya KOMPOLNAS harus beranggotakan orang-orang yang
dipilih oleh seleksi yang ketat atas persetujuan DPR dan bukan sekedar orang-orang
sekedar mencari nafkah atau nama di Komisi namun orang-orang yang dapat
dipertanggung-jawabkan objektivitas kerjanya. Untuk dapat merumuskan aturan main
jelas dan tidak memiliki kepentingan selain kepentingan untuk memperbaiki Polri
agar dapat bekerja lebih baik lagi serta selaras dengan kaidah check and balances.
16
17