Anda di halaman 1dari 17

PENATAAN KELEMBAGAAN POLRI

DULU, KINI DAN MASA DEPAN

1. Pendahuluan
Kehidupan dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan
polisi. Negara dapat berjalan dengan baik tanpa tentara, tetapi tidak demikian jika polisi
tidak terdapat dalam negara bersangkutan. Lembaga kepolisian adalah lembaga yang
harus tetap tegak berdiri sekalipun negara itu runtuh. Negara bisa saja bubar,
pemerintah atau rezim boleh saja jatuh atau berganti, namun polisi harus tetap tegak
berdiri untuk mengamankan warga masyarakat dari ekses-ekses yang mengancam jiwa,
raga, dan harta bendanya. Bahkan, tatkala negara sedang dalam pendudukan tentara
asing sekalipun, polisi tetap menjalankan tugasnya yaitu menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakatnya. Polisi melekat pada setiap warga masyarakat. Kondisi
tersebut menjelaskan bahwa kepolisian adalah subordinasi dari masyarakatnya,
sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure)
dari kepolisian. Negara Jepang dan Kosta Rika (Amerika Latin) tidak mempunyai
tentara tetapi kehidupan masyarakatnya dapat berjalan aman, tenteram dan damai,
karena di kedua negara tersebut terdapat institusi kepolisian yang bertugas memelihara
Keamanan dan ketertiban masyarfakat di negaranya.1
Di Indonesia keberadaan fungsi Polisi selama ini, dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengemban pembina kamtibmas kurang begitu menunjukkan perubahan yang
signifikan dalam perkembangannya. Dalam sejarah kepolisian Indonesia atau Polri
selama lebih dari lima puluh tahun segalanya hampir berjalan datar-datar saja. Polisi
menjalankan pekerjaannya sehari-hari secara teknis kepolisian dalam suasana relatif
tenang tanpa harus memikirkan hal-hal di luar itu. Apalagi sejak Polri disatukan ke
dalam ABRI di mana yang dominan berlaku adalah doktrin militer dimana perintah
adalah perintah. Selama beberapa puluh tahun bersama ABRI , Polri telah kehilangan
jadi diri kepolisiannya yang bersifat universal, yaitu to protect and serve the people,
shaking hands with the people (melindungi dan melayani rakyat. menyalami dan
merangkul rakyat).

Suleman Batubara, SH., MH, Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , di akses dari
http://batubarasuleman.blogspot.co.id/2011/02/polri-dalam-sistem-ketatanegaraan.html

Keberadaan polisi yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat, maka suatu
keharusan jika polisi diberikan kemandirian dalam menjalankan tugas selaku
pemelihara Kamtibmas dan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa kemandirian, polisi
tidak akan dapat menjalankan tugas dengan baik. Pasca reformasi tahun 1998 di
Indonesia, institusi kepolisian terus dibenahi seiring dengan kebutulian jaman dan
perkembangan masyarakat. Eksistensi Polri baik sebagai organ maupun sebagai fungsi
menjadi perhatian dan salah satu agenda reformasi. Hampir semua kalangan dari
berbagai lapisan masyarakat turut pula memberikan sumbangsih pemikiran berupa
pendapat atau ide tentang mulai dari bagaimana posisi Polri dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia hingga bagaimana sosok figur Polisi yang diharapkan oleh
masyarakat kepada Polri. Sehingga tidak mengherankan , banyak topik diskusi ilmiah
dihasilkan sebagai buah kajian untuk menentukan warna Polri saat sekarang dan di
masa datang. Ini semua merupakan manifestasi dari kepedulian dan rasa memiliki
terhadap masyarakat terhadap Polri.
Dalam penulisan naskah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana kedudukan
kelembagaan Polri dimasa lalu, kini dan tantangan dimasa depan yang berorientasi pada
kepentingan publik sebagai respon terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat dalam
era demokratisasi. Dengan tujuan agar usaha-usaha POLRI untuk mereformasi dirinya
dalam tugas memberikan pelayanan terbaik untuk memelihara keamanan dan ketertiban
di masyarakat sehingga Polri mendapatkan dukungan dan penyempurnaan pelaksanaan
tugasnya dari masyarakatnya .
2. Sejarah Kepolisian Indonesia
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang
bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi. Bila ditilik dari asal
muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Fungsi
kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota
masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Seperti yang
dinyatakan oleh banyak pakar "Comparative Police System", setiap kepolisian di
semua negara adalah unik, karena perbedaan sejarah, sistem ketatanegaraan, geografi,
demografi, dan sebagainya.
Kepolisian di Indonesia (Polri), misalnya, yang sesuai dengan Konvensi Jenewa
tetap utuh waktu Jepang kalah perang (Peta, Gyu Gun, Hei Ho disuruh pulang).
Namun pada saat revolusi fisik , Polri menyatakan tidak mengikuti Konvensi Jenewa,
2

tetapi merupakan Combattant, dengan ikut perang mempertahankan kemerdekaan


Indonesia. Polri adalah polisi pejuang.
Sejarah juga mencatat bahwa Polri yang lahir tanggal 19 Agustus 1945 awalnya
memang berada dalam struktur organisasi Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah saat
itu mengangkat Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian
Indonesia Pusat. Namun struktur Kepolisian ini tidak berlangsung lama. Melalui
Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara, posisi
Polri pada 1 Juli 1946 berubah langsung di bawah kendali Perdana Menteri. Perubahan
inilah yang kemudian dijadikan tonggak sejarah baru bahwa tanggal 1 Juli diperingati
sebagai Kepolisian Nasional (Hari Bhayangkara).
Sejalan dengan itu kemudian pada masa Kabinet Presidential, pada 4 Februari
1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin
langsung

oleh

Presiden/Wakil

Presiden

dalam

kedudukan

sebagai

Perdana

Menteri/Wakil Perdana Menteri. Selanjutnya melalui Keppres RIS No. 22/1950


dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional
berada di bawah Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung. Sedangkan dalam
hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada Menteri Dalam Negeri
hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959.
Pasca dikeluarkannya dekrit, kedudukan Polri masih tetap berada di bawah
Menteri Pertama yang dijabat oleh Ir Djuanda. Ini berlangsung sampai keluarnya
Keppres No.153/1959 tertanggal 10 Juli, yang menegaskan Kepala Polri diberi
kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada masa Orde Baru dengan alasan dalam rangka normalisasi keadaan dan
fungsionalisasi semua aparatur pemerintahan tanggal 1 juni 1969 dengan keluarnya
Keputusan Presiden no 52 tahun 1969 yang menyatakan kedudukan organis dan
kedudukan Kepolisian Republik Indonesia

sederajat dengan Angkatan Darat,

Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai unsur Angkatan Bersenjata dalam
Departemen Pertahanan Dan Keamanan Republik Indonesia. Keluarnya Keppres ini
makin menegaskan Keppres no 132 tahun 1967 yang menyatakan bahwa Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan

Udara dan Angkatan Kepolisian yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab
kepada Menteri Pertahanan Keamanan Negara/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab).2
Selama bergabung dalam ABRI praktek perpolisian yang ditampilkan oleh Polri
adalah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga
masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada
kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan
kekerasan yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk
memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi Polri dituding melakukan
pelanggaran-pelanggaran HAM kepada masyarakat jauh dari hakekat jatidiri polisi
secara universal untuk melindungi dan melayani masyarakat. Selain itu dalam
pelaksanaan tugasnya jauh dari perkataan profesional karena sudah berubah menjadi
polisinya Penguasa dan keikut-sertaan polisi dalam politik sehingga membawa
konsekuensi keberpihakan. Dimana Keberpihakan Polri berarti ketidak-adilan dan
setiap ketidak-adilan adalah malapetaka. Bersamaan dengan perjalanan sejarah inilah,
budaya polisi dengan identifikasi diri sebagai polisi Penguasa terinternalisasi dalam
struktur kelembagaan maupun struktur kognisi individu anggota Polri.
Adanya perkembangan dan perubahan situasi di lingkungan masyarakat
masyarakat

dengan muncul Reformasi pada tahun 1998 yang menuntut agar

pemerintah Indonesia dapat mewujudkan masyarakat madani yang diyakini sebagai


suatu paradigma baru bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di masa
mendatang dengan bercirikan menjunjung tinggi akan supremasi hukum, moral dan
etika, demokratisasi, hak asasi manusia, transparansi dan keadilan.
Untuk dapat merealisaikan harapan masyarakat dan bangsa Indonesia yang
membutuhkan perubahan tersebut maka dikeluarkan ketetapan MPR Nomor
X/MPR/1998

tentang

Pokok-Pokok

Reformasi

Pembangunan

dalam

rangka

penyelamatan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara yang selanjutnya


telah ditindaklanjuti pula dengan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang
Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dari ABRI, terutama dalam penegakan supremasi hukum dimana diperlukan
Polisi yang mandiri dan independen.
Sebagai institusi penegak hukum yang berada dalam Criminal Justice System,
Polri tak bisa ditempatkan di departemen manapun atau bahkan membentuk
2 Rayni Wulansuci Siregar , Peran dan Fungsi TNI dan Polri dalam Pertahanan dan Keamanan Negara pada masa
Reformasi,

departemen sendiri sebab departemen mengemban fungsi eksekutif. Karena Polri bukan
perangkat kebijakan (instrument of policy) maka tak dapat dikelompokan ke dalam
fungsi eksekutif. Polri juga tak bisa ditempatkan dilembaga yudikatif , agar dalam
melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum ada check and balance. Perannya
terbatas untuk merumuskan peraturan pelaksanaan bersifat administratif.3
Sehingga pada tanggal 1 April 1999 Presiden BJ Habibie konsisten terhadap
keputusan politiknya, sebagaimana diucapkan pada HUT ABRI 5 Oktober 1998
memisahkan Polri dari stuktur Komando ABRI. Konsistensi itu memberi kedudukan
Polri sebagai lembaga yang berdiri sendiri diberikan otonomi dalam melaksanakan
tugasnya sekali pun masih berada dengan Menhankam/ Pangab. Meski begitu,
Walaupun Polri sudah keluar dari struktur ABRI namun intervensi terhadap
pelaksanaan tugasnya masih begitu tinggi karena Polri masih harus tunduk pada UU no
20 tahun 1982 tentang Pokok- pokok Pertahanan Keamanan Negara dan UU no 2
tahun 1998 tentang Keprajuritan. Sebagai aparat penegak hukum dimana Polri berada
dalam satu tatanan yaitu Criminal Justice System di satu fihak harus berperan sebagai
penegak hukum dalam sistim peradilan , disisi lain harus tunduk pada hukum tentara
Dalam UU No 28 tahun 1997 tentang Polri nampak memiliki otoritas hukum secara
penuh, namun dalam UU no 2 tahun 1998 jika tidak patuh dan loyal maka kena sangsi
tidak naik pangkat, tidak memangku jabatan.
Mencermati perkembangan situasi tentang Polri tersebut serta memperhatikan
konstelasi ketata negaraan, Presiden Abdurahman Wahid mengambil keputusan politik
yang sangat arif yaitu menerbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000
tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 1 Juli 2000.
Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Penegakkan supremasi hukum di Indonesia bukan hanya dituntut oleh
masyarakat Indonesia, namun masyarakat internasional khususnya kalangan investor
menuntut adanya kepastian penegakkan hukum dan jaminan keamanan untuk
3

Hendra Virmanto, Posisi Polri Dalam Konstelasi Ketatanegaraan Di Indonesia , di akses dari
http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2014/12/posisi-polri-dalam-konstelasi.html

mengamankan investasinya. Sejalan dengan komitmen reformasi, kalangan Parlemen


cerdas melihat kepentingan nasional serta internasional maka dalam Sidang Tahunan
2000 menerbitkan TAP MPR VII/ 2000. Dalam eleborasinya, Bab II tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia pasal 6 ; peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum,memberikan pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. Pasal 7 ; tentang susunan dan Kedududkan Kepolisian Negara Republik
Indonesia ; ayat ( 1 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan Kepolisian
Nasional yang organisasinya disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai
daerah. Ayat ( 2 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Ayat ( 3 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian Presiden Megawati pada tanggal 8 Januari 2002 mensahkan UU No 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Artinya, Polri dalam konstelasi ketatanegaraan
sudah diletakkan secara proporsional lebih dari itu berarti Polri diberikan otonomi
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara
Dari hari ke hari, tuntutan profesionalisme di tubuh Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) semakin meningkat. Selain pengawal garda depan dalam keamanan
dan ketertiban masyarakat, personel Polri juga dituntut terus berbenah diri dalam
menjalankan fungsi birokrasi pelayanan kepada masyarakat. Pada aspek instrumental
dan struktural, Polri sudah melakukan pembenahan yang cukup berarti dalam hal
pengembangan Polri sebagaimana yang telah dicapai selama ini. Sedangkan reformasi
dari aspek kultural masih perlu pembenahan karena sejauh ini belum berjalan sesuai
keinginan dan harapan masyarakat.
Adanya tuntutan masyarakat agar Polri dapat merubah paradigma militer menjadi
paradigma polisi sipil atau non-militer yang berfungsi menjalankan salah satu fungsi
pemerintahan. Fungsi pemerintahan yang diemban oleh Polri sebagaimana yang
tercantum pada pasal 2 Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia

adalah Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.


Maka kedudukan kepolisian dalam organisasi negara menjadi salah satu faktor yang
6

memiliki pengaruh dominan dalam penyelenggaraan kepolisian secara proporsional


dan professional sebagai syarat pendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good
governance). Untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang baik harus didukung oleh
penyelenggara fungsi pemerintahan yang baik pula. Dengan demikian penyelenggaraan
kepolisian yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan akan dapat mendukung
pemerintahan yang baik bila terwujud kepolisian yang baik (good police).
Pada saat Polri dimasukan dalam ABRI menjadikan pengembangan kelembagaan
maupun personil Polri tidak mandiri. Sebagai bagian dari ABRI seringkali Polri
diintervensi dalam menjalankan tugas, terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai
aparat penegak hukum. Sehingga pada jaman Orde Baru, apabila suatu kasus
melibatkan atau mempunyai keterkaitan kepentingan dengan matra ABRI (TNI) yang
lain, maka kinerja Polri tidak dapat berjalan dengan baik. Fakta sejarah membuktikan
betapa Polri tidak berdaya menangani kasus yang di dalamnya terdapat kepentingan
matra ABRI yang lain. Contohnya kasus Marsinah, Kasus Penculikan Aktivis pro
demokrasi oleh Kopasus, Kasus pembunuhan Udin (wartawan Harian Bernas), Kasus
Trisakti dan Semanggi, dan lain-lain.
Di negara Demokrasi manapun di seluruh dunia institusi kepolisian bersifat
mandiri dan tidak menjadi sub ordinat institusi militer. Penempatan Polri sebagai
bagaian dari ABRI pada zaman Orde Baru menjadikan kerjasama antara Polri dengan
kepolisian negara lain tidak berjalan normal. Negara lain tidak mau bekerjasama
dengan Polri karena merupakan bagian dari militer dengan sifat destruktifdefensif, dan
ofensif. Sementara sifat hakiki dari polisi adalah sebagai pelindung dan pengayom
masyarakat.
Kemandirian Polri sangat diperlukan terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai
penegak hukum (Pidana). Peradilan pidana bertujuan memulihkan keseimbangan
masyarakat yang terganggu akibat tindak kejahatan. Dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan terhadap pelaku tindak pidana, polisi mutlak memiliki kemandirian agar
bebas dari intervensi kekuasaan ekstra yudisiil. Tanpa kemandirian mustahil polisi
mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai aparat penegak hukum.
Oleh karena itu kedudukan kepolisian dalam menjalankan fungsi pemerintahan
bidang keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan paradigma baru polisi sipil
(civil-police) atau non-militer dalam sistem pemerintahan Indonesia, perlu dikaji secara
ilmiah yang berpijak pada konsep HukumTata Negara dan Hukum Administrasi, agar
dapat ditentukan kedudukan kepolisian berada pada posisi yang ideal berdasarkan
7

ketatanegaraan, sehingga kepolisian benar-benar menjadi lembaga yang mandiri,


modern, proporsional dan profesional sejalan dengan tuntutan dan harapan masyarakat
yang bertumpu pada kepolisian yang baik (good police) untuk mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance).
Dalam pasal 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002

menyatakan tugas Pokok

Polri adalah
1) Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
2) Menegakkan Hukum
3) Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat
Rumusan pasal 13 tersebut bila dikaitkan dengan pasal 2 Undang-undang No. 2
Tahun 2002 mengenai fungsi pemerintahan mengandung makna yang sama dengan
tugas pokok kepolisian, sehingga fungsi kepolisian juga sebagai tugas pokok
kepolisian. Dengan demikian, tugas pokok Kepolisian dapat dimaknai sebagai fungsi
utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah
disini mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi
pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum (public servent),
sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan
untuk mendukung tujuan negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah
satu unsur dari sistem ketatanegaraan.
Disisi lain tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai fungsi utama kepolisian
sebagaimana telah dijelaskan di muka, dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan
dan ketertiban masyarakat yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Berpijak
pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan presidensiil, fungsi
pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden,
sehingga Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena
itu mengkaji tentang kedudukan kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya,
tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.
Bila dikaji dari bagaiman cara Polri memperoleh wewenang, maka kewenangan
kepolisian diperoleh secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada
undang-undang, yakni UUD 1945, Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan
Perundang-undangan lainnya. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara
hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensiil yang
8

harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945, sehingga
dalam

sistem

pemerintahan

presidensiil,

Presiden

bertanggungjawab

atas

penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum.4


Kedudukan kepolisian tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UUD 1945, beda
halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang diatur secara
tegas dalam pasal 10 UUD 1945, yakni Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Akan tetapi ketentuan
dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut pembentukan
undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan
Polri dalam menjalankan tugasnya. Sehingga konsekuensi logis dari ketentuan pasal 30
ayat (5) UUD 1945 tersebut dibentuk Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri,
dimana di dalam Undang-undang dimaksud lembaga kepolisian diposisikan di bawah
Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping itu adanya beberapa
instrumen hukum yang sebelum lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 telah
mengatur tentang kedudukan lembaga Polri di bawah Presiden, seperti Peraturan
Presiden No. 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Polri.
Di dalam teori ketatanegaraan, bagi negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensiil negara dipimpin oleh seorang Presiden dalam jabatannya selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan. Dikaitkan dengan makna kepolisian sebagai "alat
negara" sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, berarti kepolisian
dalam menjalankan wewenangnya berada di bawah Presiden selaku Kepala Negara.
Disisi lain fungsi kepolisian yang mengemban salah satu "fungsi pemerintahan"
mengandung makna, bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh Presiden selaku
pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) mendelegasikan sebagian kekuasaannya
kepada kepolisian terutama tugas dan wewenang di bidang keamanan dan ketertiban.
Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa Presiden adalah pimpinan tertinggi
penyelenggaraan administrasi negara. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi
lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau
kegiatan administrasi yang dikelompokkan ke dalam:
4 Ida Bagus Kade Danendra, Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara
Republik Indonesia

a.

Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum;

b.

Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat
menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain- lain;

c.

Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan;

d.

Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan


umum.
Di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni pasal 30 ayat (4) UUD

1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 2002, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan
hukum. Serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban dalam negeri.
Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan tersebut, maka
kedudukan kepolisian berada di bawah Presiden yang secara ketatanegaraan tugas
pemerintahan tersebut adalah merupakan tugas lembaga eksekutif yang dikepalai oleh
Presiden.
Sedangkan peran Polri sebagai aparat penegak hukum mengharuskan Polri harus
bebas dari intervensi sehingga Polri dapat menjalankan tugasnya dengan baik untuk
menegakan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 peran tersebut termuat dalam pasal
24 tentang kekuasaan Kehakiman ayat 1 walaupun Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Maka sebagai
aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman secara
ketatanegaraan peran Polri tersebut merupakan tugas lembaga yudikatif sehingga
kedudukan Polri harus merdeka bebas dari intervensi dari kekuatan manapun (politik
dan militer)
Disaat ini masih banyak pemikiran dan upaya untuk memposisikan kepolisian,
melalui suatu proses perjuangan dan pertentangan yang serius antar beberapa lembaga
yang menginginkan kepolisian berada di bawah suatu departemen, mengecilkan dan
mengurangi kewenangan Polri atau bahkan ada mau secara terselubung ingin
mengembalikan kembali Polri dalam kedudukannya seperti jaman Orde Baru dulu.
Menurut Muradi kondisi kepolisian seperti di Indonesia yaitu adanya langkah-langkah
untuk mengintervensi dan atau berupaya memosikan kepolisian di bawah militer atau
menjadi kepanjangan tangan kekuasaan banyak terjadi di beberapa negara transisi
demokrasi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Upaya tersebut dilakukan melalui
10

mekanisme pembuatan undang-undang yang mengarahkan posisi lembaga kepolisian


berada di bawah bayang-bayang militer. Di samping itu, intervensi rejim demokratik
terhadap internal kepolisian juga sering terjadi . Bahkan secara terbuka kepolisian
diajak untuk mendukung rejim yang berkuasa agar kekuasaannya dapat dipegang
selama mungkin.5 Kondisi tersebut dapat memberikan gambaran bahwa lembaga
kepolisian memilki kecenderungan

rentan oleh adanya tekanan public

dalam

menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban
dalam negeri..
Melihat kondisi diatas, adalah wajar

jika masih

ada perdebatan tentang

kedudukan kepolisian di bawah Presiden yang masih terus berlanjut, untuk


memposisikan posisi lembaga kepolisian yang ideal sesuai dengan sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mempertimbangan dalam wacana menempatkan
kepolisian pada kedudukan yang ideal, dikemukakan beberapa pertimbangan, sebagai
berikut:
a.Secara filosofis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada sebelum dibentuknya
organ kepolisian, karena fungsi kepolisian melekat pada kehidupan manusia, yakni
menciptakan rasa aman, tenteram dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.
b.

Secara teoritis, bahwa kepolisian sebagai alat negara yang menjalankan salah satu
fungsi pemerintahan bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Kata "alat
negara" dapat dimaknai sebagai sarana negara ini ada tiga, yakni sarana hukum,
sarana orang dan sarana kebendaan yang digunakan sebagai pendukung atau
penunjang dalam penyelenggaraan suatu negara. Dengan demikian kepolisian
sebagai alat negara mengandung arti, bahwa kepolisian merupakan sarana
penyelenggaraan negara yang penekanannya pada sumber daya manusia (orang)
yang dalam operasionalnya sangat dipengaruhi dimana lembaga tersebut
diposisikan.

c.

Secara yuridis, bahwa wewenang kepolisian diperoleh secara atributif, karena tugas
dan wewenang penyelenggaraan kepolisian telah diatur dan bersumber pada
konstitusi, yakni di atur dalam pasal 24 ayat (1) dan (3), pasal 30 ayat (4) UUD
1945, walaupun tindak lanjutnya perlu di atur dalam undang-undang.

5 Muradi, POLISI, MILITER DAN POLITIK: Model Pemisahan Kepolisian dari Militer.

11

Selain itu dalam rangka mewujudkan Polri yang mampu menegakkan supremasi
hukum sesuai dengan tuntutan reformasi, maka Polri harus independen, profesional,
tidak dikendalikan penguasa, tetap dapat dikontrol oleh kebijakan sipil untuk itu
kedudukan Polri yang paling tepat adalah langsung di bawah Presiden, dengan
pertimbangan sebagai berikut: 6
a.

Sejarah Polri membuktikan bahwa Polri selalu lebih efektif bila langsung di bawah
Kepala Negara dibandingkan dengan kondisi Polri bila di bawah Departemen.

b.

Berkenaan dengan otonomi daerah: bidang keamanan termasuk enam bidang yang
harus tetap dipegang Pemerintah Pusat, maka Polri yang mengemban tugas pokok
pemeliharaan Kamtibmas harus disusun secara terpusat aga.' mempunyai integritas
yang utuh (merupakan Kepolisian Nasional).

c.

Polri harus terorganisasi secara nasional agar dapat menegakkan hukum nasional
secara konsisten, dan hal ini selaras dengan arah pembangunan hukum menuju ke
unifikasi hukum dan kodifikasi hukum, tanpa mengabaikan hukum lokal yang
berkembang di daerah.

d.

Dengan penempatan Polri di bawah Presiden, maka kedudukan Polri sejajar dengan
lembaga-lembaga departemen lainnya sehingga dalam melaksanakan peran dan
fungsinya Polri dapat mengurangi intervensi dari lembaga-lembaga lainya.

e.

Demi supremasi hukum, maka Polri harus kuat, dan harus dijamin adanya
kesetaraan kedudukan dalam Criminal Justice System. (Polri, Jaksa, Hakim yang
merupakan irium virat yang mandiri), sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak
manapun. Dengan menempatkan Polri di bawah Presiden, maka akan lebih
memperkecil kemungkinan terjadinya intervensi. Sebagai pembanding, institusi
dan komisi-komisi dalam rangka mengintensifkan penegakan hukum saat ini
diletakkan di bawah Presiden, misalnya: Jaksa Agung, KP K, PPATK, Timtas
Tipikor dan sebagainya.

f.

Kedudukan Polri yang kuat di bawah Presiden tidak perlu dikuatirkan akan terjadi
penyalahgunaan kewenangan Polri, sebab:
1) Adanya fungsi pengawasan dari DPR-RI (dalam pengangkatan Kapolri,
kinerja dan penggunaan anggaran oleh Polri);
2) Adanya Kompolnas yang beranggotakan ex officio: Menko Polhukam.
Menkumham dan Mendagri dan wakil dari masyarakat, dengan tugas

6 Penjelasan Kapolri pada rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI menyenai Sikap Polri terhadap penyusunan RUU
KAMNAS dan posisi yang tepat bagi Polri dalam sistem Kelembagaan Pemerintahan tanggal 5 februari 2007.

12

membantu memberikan saran dan pertimbangan dalam menentukan arah


kebijakan tentang Polri kepada Presiden. Dengan demikian Kompolnas
berperan sebagai otoritas kebijakan, regulator, dan sekaligus pengawas Polri.
3) Polri di bawah Presiden hanya secara struktural. Tetapi secara fungsional Polri
adalah penegak hukum yang independen.
4) Pelaksanaan tugas Polri selalu diawasi oleh hukum maupun dikontrol
masyarakat melaiui instrumen: LSM, KUHAP (Praperadilan), Ombudsman
dan Komnas HAM.
4. Kebutuhan Keberadaan Komisi Kepolisian
Dengan keluarnya Tap MPR/VI/2000 dan Tap MPR/VII/2000, menjadikan Polri salah
satu lembaga yang secara profesional hanya akan diarahkan kepada tugas-tugas keamanan,
khususnya keamanan dalam negeri (kamdagri). Ketetapam MPR tersebut mendorong dan
mengarahkan Polri sebagai kekuatan polisi sipil, yang mengutamakan hukum dan ketertiban.
Sedangkan turunan dari kedua ketetapan tersebut lahir UU No. 2 Tahun 2002, yang memperjelas
tugas da anggung jawab Polri sebagai alat negara dalam bidang keamanan. Penegasan tugas
tersebut justru mendorong tugas Polri makin berat, dalam pandangan Adrianus Meliala yang
dikutip oleh Muradi (2012) masalah- masalah yang dihadapi Polri menjadi multi dimensional . 7
Salah satu yang mendapatkan perhatian dari reformasi Polri adalah perubahan prilaku
dalam pelaksanaan tugas personil Polri yang lebih ditekankan kepada penghormatan kepada
HAM dan demokratisasi yang tengah berjalan. Hal ini menjadi titik krusial dalam pembenahan
internal di Polri dengan memperbanyak pelatihan mengenai HAM dan pemberian materi yang
berkaitan dengan pelayanan prima bagi masyarakat, sehingga

akan makin mendorong

terjadinya profesionalisme Polri dengan perwajahan sipil. Selain itu tidak kalah pentingnyadari
reformasi Kepolisian adalah konsep pemolisian masyarakat. Di mana menitikberatkan kepada
partisipasi masyarak dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah. Walaupun penerapan
Pemolisian masyarakat ini belum begitu terasa implementasinya dimasyarakat tapi telah
dilakukan dan sedikit banyak memberikan optimisme bagi perbaikan kinerja dan pelayanan
prima dari Polri ke masyarakat.
Namun demikian, reformasi yang dilaksanakan di Polri juga mempunyai beberapa
kelemahan-kelemahan, antara lain 8: Pertama, UU No. 2 Tahun 2002,Tentang Polri masih
7 Muradi , Dinamika Politik Pertahanan dan Keamanan di Indonesia , Widya Padjajaran, 2012
8 Muradi , Dinamika Politik Pertahanan dan Keamanan di Indonesia , Widya Padjajaran, 2012.

13

mencerminkan corak militeristik dan sentralistik ketimbang semangat polisi yang hendak
diwujudkan. Bahkan secara terang-terangan pula, Polri menjiplak dan fungsi TNI di masa lalu.
Adapun kelemahan UU Polri tersebut, antara lain :
1) Tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri, selain sebagai sebagai penyelenggara
operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non-operasional. Sehingga dalam
konteks manajemen dan penyelenggaraan negara yang baik hal tersebut merupakan bagian dari
penyimpangan. Sebab kodrat polisi belahan dunia manapun merupakan institusi pengelola
keamanan, yang bersifat operasional.
2) Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), hanya sekedar lembaga think-thank presiden
yaitu lembaga yang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk melakukan kritik dan kontrol
terhadap kinerja Polri. Peran dari KOMPOLNAS ini perlu ditegaskan kembali agar kinerja
Polri dapat terukur oleh masyarakat,
Kedua, kedudukan Polri di bawah presiden dan pengangkatan Kapolri lewat

persetujuan

parlemen, memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuatan Polri, dan politisasi Polri. Baik
yang dilakukan oleh eksekutif seperti pada kasus :pengangkatan Andi Chaeruddin, menggantikan
S. Bimantoro pada masa Presiden Gus Dur. Pro kontra penggantian Kapolri Sutarman ke Budi
Gunawan yang akhirnya memilih Badrodin Haiti menjadi Kapolri atau juga pemanfaatan
kekuatan Polri sebagai aktor kekerasan yang monopolitis dan otonom. Ketiga, tidak diaturnya
secara spesifik tentang tataran tugas, wewenang, dan tanggung jawab Polri dalam masyarakat
demokratis., justru sebaliknya mencerminkan hegemoni Polri dalam segala aspek kehidupan.
Dan yang terakhir, konsep perumusan keamanan dalam negeri dalam UU Polri mengukuhkan
kembali asumsi-asumsi mengenai konsep keamanan yang bercorak represif, dan patronase, serta
berpotensi terjadin konflik dengan TNI karena masalah tanggung jawab, dan wilayah cakupan
tugas.
Terkait

dengan kehadiran KOMPOLNAS (Komisi Kepolisian Nasional)

masyarakat mengharapakan dapat memberikan tekanan ekstra kepada Polri bagi upaya
meningkatkan keprofesionalan dan kebertanggungjawaban dalam pelaksanaan
tugasnya.

Kehadiran KOMPOLNAS sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 2

Tahun 2002 tentang Polri, secara formal diawali dari sidang PAH II BP-MPR.
Penyusunan Rancangan Tap. MPR pada waktu itu memperdebatan menempatan
lembaga Polri dalam konstelasi ketatanegaraan RI. Sidang PAH II BP- MPR menghasil
rumusan yang kemudian disepakati oleh Sidang Paripurna MPR yaitu memilih
9 Prof. Dr . Farouk Muhammad, Komisi Kepolisian Nasional; Telaah dan Penguatan Untuk Masa Depan , Disampaikan
pada saserahan Pengurus Pusat PP Polri, Jakarta, 15 Juni 2010.

14

menetapkan suatu lembaga kepolisian nasional" yang dikonsepsikan bahwa


keanggotaannya terdiri dari para menteri terkait.
Tap MPR menetapkan peran "lembaga kepolisian nasional" yang kemudian
menjadi Komisi Kepolisian Nasional atau KOMPOLNAS sebagai pemberi
pertimbangan/nasihat kepada Presiden (advisory board) dalam merumuskan kebijakan
serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
agar lembaga tersebut diberi peran sebagaimana halnya pada negara-negara lain yakni
sebagai lembaga pengawasan. Namun karena TAP MPR sudah menetapkan bahwa
lembaga tersebut merupakan pemberi pertimbangan, maka di UU No.2 tahun 2002
memperluas peranannya untuk melakukan pengawasan dalam konteks kebijakan.
Karena itu rumusan kewenangan yang optimal dilakukan pada waktu itu adalah
"menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan
menyampaikan kepada Presiden.
Karena sifat pekerjaannya, profesi kepolisian sarat dengan kewenangan diskresi
sehingga keberadaan sebuah lembaga pengawasan kepolisian menjadi relevan.
Diutarakan oleh Davis (1975), sebagaima dikutip oleh Prof. Dr . Farouk diskresi
merupakan intisari pekerjaan kepolisian dalam pelayanan publik, baik dalam hal
penegakan hukum maupun pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. Begitu
pentingnya diskresi bagi kepolisian, seolah menggambarkan tanpa diskresi aparat
kepolisian tak ubahnya tubuh tanpa lengan, kaki, dan kepala.
Adanya kewenangan diskresi membantu memperlancar pekerjaan kepolisian
terutama dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum (general)
ke dalam duduk perkara kasus demi kasus yang faktual. Namun terkadang banyak juga
oknum kepolisian yang menyalahgunakan kewenangan diskresi. Pengalaman
masyarakat yang buruk dalam hubungannya dengan Polri pada jaman oerde Baru serta
masih tingginya kritik masyarakat terhadap kinerja Polri kebutuhan akan adanya badan
pengawasan kepolisian Nasional yang efektif kian diperlukan.
Walaupun secara struktural di Polri sudah ada lembaga pengawasan seperti
memfungsikan Inspektorat pengawasan Umum dan Divisi Profesi dan Pengamanan
Polri untuk melakukan pengawasan mulai dari pengawasan manajerial sampai
pengawasan perilaku individu anggota Polri. Namun kehadirannya masih belum dapat
dipercaya oleh masyarakat karena seolah hanya untuk menutup-nutupi kesalahan
personelnya saja sehingga di perlukan kehadiran lembaga ekternal .

15

5. Peran KOMPOLNAS Yang Diharapkan


Untuk menjawab kebutuhan pengawasan ekternal dalam pengawasan kinerja
kepolisian dalam memberikan pelayanan dan pelaksanaan tugas kepolisian. Di
beberapa

negara

terdapat

sejumlah

model

komisi

kepolisian

yang

dapat

dipertimbangkan. di Inggris kecuali Metropolitan Police of London yang berada di


bawah Gubernur (namun tetap independen), terdapat Police Authority pada setiap
provinsi. Di Swedia memadukan keanggotaan Komisi dan pimpinan kepolisian dalam
wadah yang disebut National Police Board. Lebih spesifik, negara-negara yang
menggunakan istilah "komisi" untuk lembaga kebijakan dan pengawasan kepolisian
nasional mereka adalah Filipina, Korea, dan Jepang. Filipina membentuk National
Police

Commission

(Napolcom)

yang

diketuai

oleh

seorang

Menteri

dan

keanggotaannya diangkat oleh Presiden. Wewenang Komisi ini cukup luas, termasuk
menjatuhkan tindakan terhadap anggota polisi yang indisipliner sehingga mampu
membangun kontrol sipil atas kinerja kepolisiannya.
Sementara itu di Korea terdapat Police Commission yang keanggotaannya
diangkat oleh Presiden. Jepang mempunyai National Public Safety Commission
(NPSC) yang dipimpin oleh seorang Menteri (bukan anggota) yang ditunjuk oleh
Perdana Menteri dan beranggotakan lima orang yang ditunjuk oleh Perdana Menteri
atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di Indonesia, diharapkan keberadaan Kompolnas memiliki tatanan yang ideal
dengan memiliki kewenangan pengawasan dan membuat kebijakan kepolisian.
Kapolri tinggal melaksanakan kebijakan yang ditetapkan sehingga walaupun ada
pergantian Kapolri setiap tahunnya kebijakan kepolisian tetap tidak berubah karena
ada Kompolnas yang mengawasi pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh mereka.
Tidak seperti yang terjadi sekarang ini dimana seorang Kapolri memiliki tumpang
tindih kewenangan dimana sebagai penyelenggara fungsional juga pembuat kebijakan.
Akibatnya bila ada pergantian Kapolri kebijakan di kepolisian selalu berubah-ubah
sehingga berdampak pada pelaksanaan reformasi Polri yang seolah jalan di tempat.
Untuk itu Nantinya KOMPOLNAS harus beranggotakan orang-orang yang
dipilih oleh seleksi yang ketat atas persetujuan DPR dan bukan sekedar orang-orang
sekedar mencari nafkah atau nama di Komisi namun orang-orang yang dapat
dipertanggung-jawabkan objektivitas kerjanya. Untuk dapat merumuskan aturan main
jelas dan tidak memiliki kepentingan selain kepentingan untuk memperbaiki Polri
agar dapat bekerja lebih baik lagi serta selaras dengan kaidah check and balances.
16

Perumusan kebijakan operasional (guiding principles) bagi Polri yang diberikan


kepada Kompolnas diharapkan tidak hanya membuat aturan main operasional, sebagai
prinsip-prinsip penuntun bagi para manajer dan pimpinan unit lapangan tetapi juga
menyusun kebijakan-kebijakan tentang manajemen Polri secara luas. Termasuk di
dalam lingkup itu antara lain adalah pengaturan mengenai anggaran dan sumber daya
manusia (renumerasi, pembinaan karir, dan lain sebagainya).
6. Penutup
Organisasi Kepolisian sangat diperlukan oleh masyarakat. Polisi berfungsi
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), di samping itu Polisi
juga berperan sebagai aparat penegak hukum. Kemandirian polisi sangat diperlukan
terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum. Dalam UUD 1945 Pasal 30
ayat (4) menyatakan "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum". Sedangkan dalam Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa "Fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat".
Kedudukan Polri sudah tepat berada langsung dibawah presiden untuk menjaga
indepedensi Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun begitu perlu diadakan
perbaikan dalam lembaga pembuat kebijakan dan pengawasan di kepolisian untuk
menghindari penyalahgunaan kekuatan kepolisian bagi kepentingan kekuasaan ataupun
politik.
Untuk itu diperlukan pemisahan kewenangan penyelenggaran operasional dan
pembuatan kebijakan oleh Kapolri dan Perluasan peran dari KOMPOLNAS dimana
bukan hanya untuk memberikan usulan pemberhentian dan pengangkatan Kapolri saja.
Namun KOMPOLNAS juga menjadi badan perumus kebijakan (policy making board)
yang harus dijalankan oleh Kapolri dan pengawasan (controlling board) kebijakan yang
dilaksanakan oleh Polri.

17

Anda mungkin juga menyukai