REFORMASI BIROKRASI
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan Modul ini. Penulisan modul ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Birokrasi Program Studi Administrasi
Publik Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Dehasen Bengkulu. Saya menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak pada penyusunan modul ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu saya. Dalam penyusunan modul ini masih banyak terdapat
kekurangan oleh karena itu saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan kedepan.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
A. Tujuan.............................................................................................2
BAB II Pengertian dan Pendekatan Dalam Teori Birokrasi
A. Pengertian Birokrasi.......................................................................4
B. Batasan Birokrasi............................................................................6
BAB III Persepsi Tentang Teori Birokrasi
A. Governance Implementasi..............................................................40
B. Governance Dalam Pelayanan Publik............................................47
BAB IX Electronic Government
iii
A. Government dan mutu pelayanan publik........................................51
B. Tranparansi melalui Egovernment..................................................53
C. Peluang dan Tantangan Egovernment............................................56
BAB X Tantangan Masa Depan Birokrasi Pelayanan Publik
PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................22
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
iv
Teori Birokrasi Di Perguruan Tinggi
A. Tujuan
birokrasi merupakan langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih
berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan
4. Menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan
v
komunikasi serta perubahan lingkungan strategis, agar sesuai dengan dinamika tuntutan
masyarakat. Oleh karena itu perlu ada perubahan sistem birokrasi pemerintahan secara
mendasar, komprehensif dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi merupakan proses
pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Pentingnya melakukan
reformasi birokrasi agar tigar temarginalkan dalam persaingan global.
BAB II
vi
Pengertian dan Pendekatan Dalam Teori Birokrasi
A. Batasan Birokrasi
Menurut Max Weber batasan birokrasi meliputi
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam
pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan
mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan
guna mencegah korupsi kekuasaan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati
anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden.
Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi
akumulasi kekuasaan.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak
mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja
direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU
(birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-
ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat
KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski
merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and
proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa
bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat
diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian
tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
vii
B. Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah.
1. Menurut Max Weber, pengertian birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang
penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini
dimaksudkan sebagai suatu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh
berbagai macam peraturan untuk mengorganisir pekerjaan yang dilakukan oleh
banyak orang.
2. Menurut Hegel Dan Karl Marx
Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan
dan transformasi sosial. Hegel berpendapat birokrasi ialah medium yang dapat
dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan
general “umum”. Semenetara itu teman seperjuangannya, Karl Marx berpendapat
bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan
untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan
kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
3. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo “1984”
Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang
harus dilakukan oleh banyak orang. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya
birokrasi ialah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir.
Bagimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak
orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang
sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
4. Menurut Blau Dan Page “1956”
Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-
tugas administratuf yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis “teratur”
pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk
melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
administratif, meskipun kadalangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi
seringkali mengakibatkan adanya ketidak efisienan.
5. Menurut Ismani “2001”
viii
Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan
proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya,
dari padangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu
jelek dan tidak efisien.
6. Menurut Fritz Morstein Marx
Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo “1984”
mengemukakan bahwa birokrasi ialah “tipe organisasi yang dipergunakan
pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagi tugas-tugas yang bersifat
spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur
pemerintahan.
7. Menurut Riant Nugroho Dwijowijoto
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto “2004” menjelaskan bahwa
“Birokrasi ialah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk
meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk
dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala
yang besar”. Yang selanjutnya dikemukan bahwa ” di dalam masyarakat modern,
dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi
birokrasi yang mampu menjawabnya, birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai
pegawai negeri sipil”.
8. Menurut Farel Heady “1989”
Birokrasi ialah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu; hierarki,
diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi berkaitan dengan struktur
jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota
organisasi.Diferensisasi yang dimaksud ialah perbedaan tugas dan wewenang antar
anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau
kompetensi maksudnya ialah seorang birkrat hendaknya orang yang memiliki
kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan
wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang
yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang
sangat profesioan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.
9. Menurut Blau Dan Meyer
ix
Birokrasi merupakan suatu yang penuh dengan kekakuan “inflexibility” dan
kemandegan struktural “structiral static” tata cara yang berlebihan “ritualism” dan
penyimpangan sasaran “pervesion goals” sifat pengabaian “alienation” serta otomatis
“automatism” dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat “constrain of dissent”.
Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi ialah sesuatu yang negatif
yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.
10. Menurut Yahya Muhaimin
Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu
pemerintah “untuk memberikan pelayanan publik” dan menerima gaji dari
pemerintah karena statusnya itu.
11. Menurut Almond and Powell “1966”
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties,
Inked in a complex grading subordinates to the formal roler maker “Birokrasi
pemerintahan ialah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal
berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal.
x
BAB III
Pada awalnya, birokrasi dibangun dengan maksud sebagai sarana bagi pemerintah yang
berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi
adalah suatu tipe organisasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas admisnitratif
yang sangat banyak dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari banyak
orang. Melalui birokrasi diharapkan berbagai keputusan pemerintah dapat dilaksanakan dengan
efektif dan efisien melalui aparatur pemerintah. Karena keputusan politik hanya akan bermanfaat
bagi warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang responsif, bekerja sistematis dan
efisien.Sebagai suatu sistem manajemen dan supervisi, birokrasi dirancang untuk melakukan
koordinasi terhadap tugas dan tanggung jawab secara rasional bagi para pejabat dan pegawai
dalam organisasi. Birokrasi merepresentasikan diri sebagai instrumen dimana tindakan dan
kepentingan individu yang bersifat pribadi, unik dan istimewa; disusun dan dibatasi secara
formal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien. Penyusunan tindakan
individu ini dicapai dengan menggunakan peraturan dan program-program tindakan yang formal,
yang ditujukan untuk memberikan garis pembatas yang jelas antara hal-hal yang bersifat pribadi
dengan tugas dan tanggung jawab yang dimandatkan oleh organisasi. Melalui cara yang
demikian ini, sistem administrasi birokratis berkehendak untuk memastikan bahwa tindakan dan
kegiatan individu memberikan kontribusi pada kepentingan organisasi tempat mereka bekerja,
danbukan padakepentingan pribadi individu yang bersangkutan.Pembatasan
hubungan-hubungan yang bersifat pribadi dalamorganisasi birokratis di samping
dimaksudkan untuk menghilangkansumber dari kegiatan irasional, juga dimaksudkan untuk
menghindariorganisasi dari kekacauan (tidak terkoordinir dan tidak efisien)sebagai
akibat tindakan individu yang mengambil keputusan sendiri-sendiri.
xi
dimuat dalam buku Joseph La Palombara (ed.) yang berjudul Bureaucracyand Political
Development (New Jersey: Princeton University Press,1963, hal. 171), Kumorotomo menulis
sebagai berikut: “Thebureaucratic apparatus is one of the institutions through which goal-
gratification activity is performed; it is a central focus arround which clusters a whole series of
social actions designed to meet systemic goals”.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa organisasi birokratis dirancang untuk memberikan
banyak manfaat bagi warga negara secara keseluruhan. Birokrasi menjadi alat penunjang utama
dalam sistem administrasi modern, melalui penerapan manajemen yang berbasis ilmu
pengetahuan dan teknologi. Birokrasi, minimal sampai dengan saat ini, tidaklah mungkin
digantikan oleh organisasi apa pun dalam bentuk lain, karena akan menjadi langkah mundur dan
pasti merugikan bangsa dan negara.
Uraian di atas menunjukkan betapa besar manfaat yang dapat diperoleh dengan kehadiran
birokrasi. Namun demikian, setiap mendengar kata birokrasi, persepsi yang muncul bukanlah
tentang manfaatnya yang positif bagi kemajuan bangsa dan untuk memenuhi kebutuhan warga
negara, tetapi persepsi negatif yang menyesatkan. Orang lebih banyak mengartikan birokrasi
sebagai penyakit birokrasi (”biro-patologi”) daripada organisasi rasional yang bermanfaat
(”rasionalitas biro”). Hampir semua lapisan sosial mengenal sebutan birokrasi, karena sejak lahir
sampai meninggal orang pasti berhubungan dengan birokrasi. Dalam konteks hubungan antara
negara dengan warga negara, organisasi birokrasi dimaksudkan untuk memberikan pelayanan
yang baik sehubungan dengan adanya berbagai pengaturan dalam kehidupan bermasyarakat
dimana individu itu hidup. Misalnya, untuk mengetahui keabsahan bahwa seseorang adalah
penduduk suatu kota, maka dia diharuskan mencatatkan diri sebagai penduduk. Untuk maksud
ini birokrasi memberikan pelayanan pencatatan melalui mekanisme pengurusan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Dalam proses ini lah muncul berbagai persepsi
negatif tentang birokrasi. Hal yang muncul dalam benak orang ketika mendengar kata birokrasi
adalah urusan-urusan yang menjengkelkan dan membuatnya stres, yang berhubungan dengan
pengisian formulir-formulir, pengurusan izin untuk bekerja atau berusaha yang berbelit-belit
karena harus melalui banyak meja atau kantor secara berantai, aturan-aturan yangketat yang
tidak boleh dilanggar, waktu yang lama, dan sebagainya. Pendek kata, pelayanan birokrasi sangat
buruk. Mengutip Turner dan Hulme, Said (2007) menggambarkan organisasi birokratis itu
sebagai organisasi yang lamban, membosankan, rutin, rumit prosedurnya, dan buruk adaptasinya
xii
terhadap kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustrasi
yang terus menerus dirasakan oleh para anggotanya.
Bagi mereka yang tidak tahan dengan situasi ini, kemudian mencari jalan pintas.
Bentuknya bermacam-macam, mulai dari membangun hubungan personal yang akrab, sampai
pada pemberian suap1 . Melalui cara seperti ini pelayanan dapat berlangsung relatif cepat, karena
aparatur menjadi ”lebih responsif” dalam melayani, dan pengguna jasa memperoleh perlakuan
khusus, misalnya tidak perlu antri, tidak perlu mengurus sendiri ke meja berikutnya, dan
sebagainya. Hubungan antara aparatur birokrasi dan masyarakat pengguna jasa layanan berubah
bentuk dari impersonal menjadi personal, saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain
(simbiosis). Aparatur membutuhkan uang balas jasa dari masyarakat pengguna jasa, sedangkan
pengguna jasa membutuhkan pelayanan yang cepat dari aparatur. Dalam konteks birokrasi
Indonesia, hubungan seperti ini berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluhtahun, sehingga
menjadi internalized (mendarah daging) dan menjadi kebiasaan dalam pelayanan birokrasi di
Indonesia.
Untuk memperoleh pelayanan apapun seseorang harus memberikan uang suap. Jika
seseorang ingin menghadap pejabat tertentu dia harus memberi ”salam tempel” pada SATPAM
yang menjaga di pintu masuk; jika ingin menang tender seseorang harus memberikan komisi
pada panitia tender; jika ingin izin usaha cepat keluar maka harus memberikan uang administrasi
kepada pejabat yang membantu mengurus; dan sebagainya. Pendek kata, ”ada uang ada
pelayanan”, dan semua ini merupakan hal yang biasa, dianggap wajar dalam mekanisme
organisasi birokrasi. Hubungan yang kolutif dan koruptif ini, karena telah menjadi kebiasaan
dalam pelayananbirokrasi, maka orang kemudian menyebutnya dengan istilah ”membudaya”,
suatu istilah yang menunjuk pada sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan, dilakukan
berulang-ulang sehingga sifatnya sebagai perilaku koruptif dan kolutif tidak lagi nampak.
Menurut Kwik Kian Gie, pelayanan apapun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran
ekstra di luar biaya resmi. Jika pengguna jasa layanan tidak mau membayar maka dia akan
menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-dibuat. Korupsi dianggap sebagai praktek yang
sudah mendarah daging, sehingga kalau tidak ada korupsi kita malah merasa heran.Kwik Kian
Gie menyebutnya sebagai corrupted mind, artinya seorang koruptor tidak lagi mengetahui
apakah tindakannya tergolong korupsi atau tidak2 Inilah yang menjadi salah satu faktor
xiii
penghambat penting, bagiupaya pemberantasan korupsi di Indonesia setelah UU No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan.
Persepsi tentang birokrasi pemerintah, oleh Thoha (2007:2) dilukiskan sebagai kerajaan
pejabat (officialdom). Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat. Negaranya adalah
organisasi birokrasi yang berdaulat atas semua jenis pelayanan apa pun. Rakyatnya adalah para
pengguna jasa layanan. Di dalam kerajaan birokrasi ini terdapat tanda-tanda bahwa seseorang
mempunyai yurisdikasi yang jelas dan pasti dalam batas wilayah ofisial yang yurisdiktif. Di
dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties)
yang menjelaskan batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola
hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaan-nya. Mereka memperoleh gaji
berdasarkan keahlian dan kompetensi-nya. Selain itu, di dalam kerajaan pejabat tersebut, proses
komunikasi didasarkan pada dokumen tertulis (the files).
Selanjutnya Thoha, menyatakan bahwa pejabat adalah orang yang menduduki jabatan
tertentu dalam birokrasi pemerintah. Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala
urusan yang berhubungan dengan jabatan tersebut maka orang yang menduduki jabatan itulah
yang menentukan segalanya. Jabatan-jabatan tersebut disusun dalam tatanan hierarki dari atas ke
bawah. Jabatan yang berada pada hierarki paling atas mempunyai kekuasaan paling besar
daripada jabatan yang berada di bawahnya. Semua jabatan tersebut dilengkapi dengan berbagai
fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang
digunakan, mulai dari mobil yang dipakai, rumah dinas, para pengawal atau ajudan, sekretaris,
sampai pada hal-hal yang kecil seperti pakaian,sepatu, dan bahkan cara berbicara. Di luar
hierarki kerajaan pejabat tersebut terdapat rakyat yang lemah atau powerless di hadapan mereka.
Karena itu birokrasi disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat.
xiv
menjadi pegawai birokrasi, apa pun tingkat dan jenis pekerjaannya, bila perlu dengan menyuap
pun dilakukan. Birokrasi menjadi mirip dengan keris atau batu akik yang memiliki kekuatan
magis dan dikramatkan. Karena itu, rakyat memiliki posisi lemah di hadapan birokrasi. Oleh
karena itu, agar tujuannya tercapai, sedangkan mereka tidak mempunyai kekuatan, maka cara
yang terbaik adalah pasrah (surrender). Penyerahan diri seperti ini sekaligus menunjuk-kan
adanya pengakuan bahwa birokrasi itu tidak tertembus olehnya. Birokrasi adalah superordinasi
dan masyarakat pengguna jasa hanyalah sub-ordinasi saja.
Dengan demikian, munculnya penyakit birokrasi atau biro patologi, sebagaimana dalam
uraian di atas, lebih banyak disebabkan oleh perilaku para birokrat, walaupun masyarakat
pengguna jasa jugamemiliki andil dalam menciptakan situasi tersebut. Beberapa tindakan
birokrat yang dipandang telah memunculkan persepsi negatif dilukiskan secara baik oleh Siagian
(1996), sebagai berikut:
xv
Pengembangan sistem birokrasi administrasi, di satu sisi diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan publik, namun di sisi lain telah menimbulkan beberapa akibat negatif, antara lain: (1)
monopoli informasi dan penciptaan ”rahasia jabatan” (official secrets); (2) ketidakmampuan
mengantisipasi perubahan; (3) kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara otoratik, self-
appointed (menunjuk diri sendiri), serta mengabaikan hal-hal yang penting hanya karena alasan
hal tersebut tidak diatur dalam peraturan.
Kondisi tersebut tercipta, antara lain karena: (1) ketidakmam-puan sumberdaya birokrasi;
(2) keterlambatan penyesuaian peraturan (regulasi) dengan perubahan yang terjadi di dalam dan
di luar organisasi birokrasi; (3) penerapan peraturan yang tidak konsisten; (4) pengawasan atasan
yang lemah; dan (5) sikap dan perilaku pegawai yang kurang peduli dan bahkan sombong.
Makmur (2007:87), melihat kemunculan persepsi negatif tentang birokrasi sebagai akibat
dari adanya perebutan kekuasaan dan kewenangan yang tidak didasarkan pada profesionalisme,
rasionalisme, dan moralitas. Kondisi ini, menurut Makmur, berakibat pada:
Dari berbagai pendapat tersebut, munculnya persepsi negatif terhadap birokrasi terutama
disebabkan oleh sikap dan perilaku para birokrat atau aparatur negara dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Selain itu beberapa sebab lain yang dapat disebut, antara lain: (1)
kelemahan aparatur itu sendiri (rendahnya pendidikan, minimnya pengalaman, dan rendahnya
xvi
kemampuan dalam penguasaan teknologi); (2) berbagai peraturan yang memba-tasi ”gerak
langkah” dalam melakukan pelayanan, sehingga mengurangi daya kreativitas dan inovasi dalam
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi; (3) lingkungan kerja yang kurang kondusif, sebagai
akibat ketiadaan teladan dari pimpinan, lemahnya pengawasan, dan kurangnya dukungan rekan
sekerja; dan (4) tingkat upah (gaji) yang rendah sehingga mendorong birokrat melakukan
tindakan tercela (korupsi).
Dalam sejarah studi tentang birokrasi, persepsi positif maupun negatif tentang birokrasi,
lahir dan berkembang pada saat yang hampir bersamaan. Para penulis tentang birokrasi di awal
maupun akhir abad ke-19, memiliki kerancuan dan terjadi inkonsistensi dalam pandangannya
tentang birokrasi. Kadang mereka menyebut birokrasi sebagai suatu organisasi yang fungsional
dalam pemerintahan, namun di sisi lain mereka juga melukiskan birokrasi sebagai organisasi
yang memiliki ”cacat” dan merugikan rakyat. Hal ini antara lain dapat dijumpai dalam tulisan
Karl Heinzen (1845), seorang penulis Jerman, yang pada awalnya menyebut birokrasi sebagai
struktur organisasi untuk mengontrol administrasi (konotasi positif), namun kemudian dia
mengartikan birokrasi sebagai pemerintahan oleh para pejabat (konotasi negatif). Demikian pula
dengan Robert von Mohl (1862) yang mendefinisikan birokrasi sebagai konsepsi yang jelek
tentang tugas-tugas negara yang dijalankan para pejabat. Pemberian rti yang demikian ini telah
”mengilhami” banyak penulis lain memasuki abad ke-20 untuk memberi makna yang negatif
terhadap birokrasi.
Upaya untuk mengubah persepsi negatif tentang birokrasi sebenarnya terus dilakukan
oleh banyak negara di dunia. Upaya yang paling populer kita kenal dengan istilah
ReinventingGovernment (Pembaruan Pemerintah)4. Namun demikian, terhadappenggunaan
istilah ini, Osborne dan Plastrik (2000:12) mengingatkan bahwa istilah ini digunakan oleh
banyak orang dalam intensitas yang tinggi untuk menguraikan begitu banyak agenda sehingga
istilah atau konsep tersebut menjadi tidak jelas maknanya. Oleh karena itu mereka
mengelompokkan beberapa konsep yang tidak sama atau tidak tergolong dalam makna
reinventing government. Konsep dimaksud adalah sebagai berikut:
xvii
2. reinventing government juga bukan berarti reorganisasi, tetapirestrukturisasi
organisasi dan sistem pemerintahan dengan mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas,
distribusi kekuasaan, dan budaya kerja para pegawai;
3. reinventing government bukan sekedar menghilangkanpemborosan, kecurangan, dan
penyelewengan, tetapi upaya yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan
efisiensi;
4. reinventing government tidak sinonim dengan perampinganpemerintah, karena
perampingan pemerintah belum tentu dapat memaksimumkan kinerja;
5. reinventing government juga tidak sinonim dengan privatisasi,tetapi lebih mengarah
pada persaingan dan program pilihan pelanggan, suatu program yang memungkinkan
pelanggan bisa memilih penyedia produk atau jasa yang diinginkan;
6. reinventing government bukanlah sekedar membuat pemerin-tahan jadi lebih efisien,
tetapi pemerintahan yang lebih baik; karena adalah percuma kita memiliki institusi
pendidikan yang murah tetapi tidak bermutu, atau institusi kepolisian yang murah
tetapi tingkat kejahatan tinggi;
7. reinventing government tidak sama dengan manajemen mututerpadu atau rekayasa
ulang proses bisnis, karena kedua hal ini hanyalah alat yang dapat membantu
keberhasilan seorang pembaru jika digunakan secara strategis; jika tujuannya
adalahtransformasi maka perangkat manajemen bisnis tidaklah cukup. Setelah
mengungkapkan semua konsep yang tidak tergolongke dalam reinventing
government, Osborne dan Plastrik (2000), akhirnya sampai pada definisi reinventing
government sebagai transformasi sistem dan organisasi pemerintahan secara
fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, dan
kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan
mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung- jawaban, struktur kekuasaan, budaya,
sistem dan organisasi pemerintahan.
8. Reinventing government adalah penggantian sistem birokratismenjadi sistem yang
bersifat wirausaha. Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem
pemerintahan yang terus menerus berinovasi, yang secara kontinyu memperbaiki
kualitasnya, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaruan adalah penciptaan
sektor pemerintahan yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan
perbaikan, atau yang disebut dengan ”sistem pembaruan diri”. Dengan kata lain,
xviii
reinventing government membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan yang
belum bisa diantisipasi. Tidak hanya memperbaiki efektivitas saat sekarang,
pembaruan menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa
mendatang pada saat lingkungan mereka berubah. Pembaruan menciptakan organisasi
yang mampu menduduki peringkat tertinggi, dengan pelayanan terbaik dalam
pelaksanaan tugasnya, karena kemampuannya meletakkanpelayanan pata tempat yang
paling mudah dijangkau dan dimanfaatkan oleh pelanggannya.
xix
BAB IV
Relasi politik -birokrasi ditandai oleh adanya intervensi politik. Secara teoritis,
intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Ada beberapa
penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertama, masih kuatnya primordialisme
politik, dimana ikatan kekerabatan, politik balas budi, keinginan membagun
pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis
20
birokrat. Kedua, mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan belum
dilaksanakan dengan baik. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk
korup sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”.Keempat,
rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi. Kelima,
kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah cenderung
melahirkan praktek rent seekingmelalui aktivitas politik tersembunyi demi
mendapat incometambahan. Keenam, perangkat aturan yang belum jelas dan mudah
dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum
melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap
jabatan kepala daerah dengan ketua umum parpol.
21
BAB V
22
B. Ruang Lingkup Akuntabilitas
Akuntabilitas berasal dari bahasa Latin:accomptare (mempertanggungjawabkan)
bentuk katadasar computare (memperhitungkan) yang juga berasal dari
kata putare (mengadakan perhitungan).
Sedangkan kata itu sendiri tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris
secara sempit tetapi dikaitkan dengan berbagai istilah dan ungkapan
sepertiketerbukaan (openness), transparansi (transparency), aksesibilitas (accessibilit
y), dan Berhubungan kembali dengan publik (reconnecting with the public) dengan
penggunaannya mulai abad ke-13 Norman Inggris,konsep memberikan
pertanggungjawaban memiliki sejarah panjang dalam pencatatan kegiatan yang
berkaitan dengan pemerintahan dan sistem pertanggungjawaban uang yang pertama
kali dikembangkan di Babylon, Mesir,Yunani, Roma, dan Israel.
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi
publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan
lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini
sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility),yang dapat dipertanyakan (answerability),
yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan
(liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat
menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini
sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat
problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-
perusahaan.
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau pekerja
individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu) bertanggung
jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak
pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
23
Ruang lingkup akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja, tetapi
meliputi: Fiscal Accountability, Legal accountability, Program
accountability, Process accountability, Outcome accountability
Dalam konteks organisasi pemerintah, sering ada istilah akuntabilitas publik
yang berarti pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi
dalam rangka pemenuhan hak-hak publik.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan,
dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai
komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik
diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi
seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang sesuai
dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas menjadi
lebih luas dari sekedar sekedar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada
otoritas yang lebih tinggi. Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan
kita bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggungjawab kepada otoritas yang
lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggungjawab kepada
masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan
banyakstakeholders lain. Jadi, penerapan akuntabilitas ini, di samping berhubungan
dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan legal, juga harus bisa
meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk akuntabilitas formal yang
ditetapkan.
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu (1) akuntabilitas vertikal
dan (2) akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban
atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya
pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah,
pertanggungjawaban daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada
MPR. Pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada
masyarakat luas.
Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif
berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris. Prinsip-
prinsip akuntabilitas adalah:
24
1. Mengontrak performan artinya performan para petugas pendidikan dikontrak oleh
orang-orang yang berkepentingan dalam pendidikan. Kriteria performan yang
sudah disepakati bersama harus dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Memiliki kunci pembentuk arah. Dengan biaya tertentu dan performan dengan
kriteria yang sudah dikontrakan itu diharapkan pendidikan dapat mencapai tujuan
secara tepat.
3. Ada unsur pemeriksaan. Pemerikasaan harus dilakukan oleh orang-orang yang
bebas yang tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan.Para pengontrak adalah
merupakan unsur pengontrol dalam kegiatan pendidikan.
4. Ada jaminan pendidikan.Mutu pendidikan terjamin karena sudah memakai
kriteria/ukuran tertentu.
5. Pemberian insisiatif sebagai imbalan terhadap jerih payah guru dibuatlah insentif.
C. Bentuk Akuntabilitas
Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe, diantaranya menurut Rosjidi
jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua tipe yaitu :
1. Akuntabilitas Internal.
Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi internal penyelenggara
pemerintah negara termasuk pemerintah dimana setiap pejabat atau
pengurus publik baik individu maupun kelompok secara hierarki
berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada atasannya
langsung mengenai perkembangan kinerja kegiatannya secara periodik
maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu. Keharusan dari akuntabilitas
internal pemerintah tersebut telah diamanatkan dari Instruksi Presiden
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah (AKIP).
2. Akuntabilitas Eksternal.
Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu organisasi untuk
mempertanggungjawabkan semua amanat yang telah diterima dan
25
dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk dikomunikasikan kepada
pihak eksternal lingkungannya.
Ellwood menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi akuntabilitas yang
harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik (badan hukum), yaitu :
a. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum.
b. Akuntabilitas Proses.
c. Akuntabilitas Program.
d. Akuntabilitas Kebijakan.
Dalam sektor publik, dikenal beberapa bentuk dari akuntabilitas, yaitu :
a) Akuntabitas ke atas (upward accountability), menunjukkan adanya kewajiban
untuk melaporkan dari pimpinan puncak dalam bagian tertentu kepada pimpinan
eksekutif, seperti seorang dirjen kepada menteri.
b) Akuntabilitas keluar (outward accountability), bahwa tugas pimpinan untuk
melaporkan, mengkonsultasikan dan menanggapi kelompok-kelompok klien dan
stakeholders dalam masyarakat.
c) Akuntabilitas ke bawah (downward accountability), menunjukkan bahwa setiap
pimpinan dalam berbagai tingkatan harus selalu mengkomunikasikan dan
mensosialisasikan berbagai kebijakan kepada bawahannya karena sebagus apapun
suatu kebijakan hanya akan berhasil manakala dipahami dan dilaksanakan oleh
seluruh pegawai.
26
Akuntabilitas manfaat pada dasarnya memberi perhatian pada hasil-hasil dari
kegiatan pemerintahan. Hasil kegiatannya terfokus pada efektivitas, tidak sekedar
kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya output, tapi sampai outcome. Outcome
adalah dampak suatu program atau kegiatan terhadap masyarakat. Outcome lebih
tinggi nilainya daripada output, karena output hanya mengukur dari hasil tanpa
mengukur dampaknya terhadap masyarakat, sedangkan outcome mengukur output
dan dampak yang dihasilkan.
3. Akuntabilitas Prosedural
Akuntabilitas yang memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat
kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta dampak positif
pada kondisi sosial masyarakat. Akuntabilitas prosedural yaitu merupakan
pertanggungjawaban mengenai aspek suatu penetapan dan pelaksanaan suatu
kebijakan yang mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan
ketaatan pada keputusan politik untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang
telah ditetapkan.
D. Jenis-Jenis Akuntabilitas
1. Akuntabilitas Politik
Akuntabilitas politik adalah akuntabilitas administrasi publik dari lembaga
eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga
yudikatif Kehakiman kepada publik .Dalam negara demokrasi, pemilu adalah
mekanisme utama untuk mendisiplinkan pejabat publik akan tetapi hal ini saja
tidak cukup dengan adanya pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif
dan yudikatif memang dapat membantu untuk mencegah adanya penyalahgunaan
kekuasaan yang hanya berkaitan pada check and balances pengaturan
kewenangan.
2. Akuntabilitas Finansial,
Fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang
penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah
diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa
dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara
efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan
laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja
dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi
penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi.
27
3. Akuntabilitas administrative.
Merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan
diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam
konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan
pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi,
serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang
tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis.
Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat
digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.Secara umum, spektrum
yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep akuntabilitas secara
fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas pelayan publik
dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara politik
maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang
disebutnya sebagai akuntabilitas langsungdan akuntabilitas tidak langsung.
Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak
eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan
akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui
rantai komando tertentu.Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama
akuntabilitas, yaitu:
a. Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah
keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur
perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan
prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah
tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional
dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap
departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-
masing).
b. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat
untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus
dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang
langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma
manajemen publik baru (new public management).
c. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi
suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan
28
oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen,
atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara
seperti media massa dan kelompok penekan.
E. Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya.
Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya
terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan
pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara
hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada
badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan
ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut
pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga
peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara,
antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis,
hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum
diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan
pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang
menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan
tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan
dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa
suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas
legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu
konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat.
Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan
menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani
masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga
dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi.
Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke
tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab
langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting
29
seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah
sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering
memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif
permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit
pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis
terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan
finansial dan sistem inspeksi.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas
berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas
sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya,
misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan
media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para
pelakunya.
F. Aspek-Aspek Akuntabilitas
1. Akuntabitas adalah sebuah hubungan
Akuntabilitas adalah komunikasi dua arah sebagaimana yang diterangkan
oleh Auditor General Of British Columbia yaitu merupakan sebuah kontrak antara
dua pihak
2. Akuntabilitas Berorientasi Hasil
Pada stuktur organisasi sektor swasta dan publik saat ini akuntabilitas tidak melihat
kepada input ataupun autput melainkan kepada outcome.
3. Akuntabilitas memerlukan pelaporan
Pelaporan adalah tulang punggung dari akuntabilitas
4. Akuntabilitas itu tidak ada artinya tanpa konsekuensi
Kata kunci yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan akuntabilitas
adalah tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan kewajiban dan
kewajiban datang bersama konsekuensi.
5. Akuntabilitas meningkatkan kinerja
Tujuan dari akuntabilitas adalah untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk mencari
kesalahan dan memberikan hukuman.
G. Alat-alat Akuntabilitas
1. Rencana Strategis
30
Rencana strategis adalah suatu proses yang membantu organisasi untuk
memikirkan tentang sasaran yang harus diterapkan untuk memenuhi misi mereka
dan arah apa yang harus dikerjakan untuk mencapai sasaran tersebut. Hal tersebut
adalah dasar dari semua perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi kegiatan suatu organisasi. Manfaat dari Rencana Stratejik antara lain
membantu kesepakatan sekitar tujuan, sasaran dan prioritas suatu organisasi;
menyediakan dasar alokasi sumber daya dan perencanaan operasional;
menentukan ukuran untuk mengawasi hasil; dan membantu untuk mengevaluasi
kinerja organisasi.
2. Rencana Kinerja
Rencana kinerja menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu
sesuai dengan tujuan, sasaran, dan strategi dari rencana strategis organisasi untuk
permintaan sumber daya yang dianggarkan.
3. Kesepakatan Kinerja
Kesepakatan kinerja didesain, dalam hubungannya antara dengan yang
melaksanakan pekerjaan untuk menyediakan sebuah proses untuk mengukur
kinerja dan bersamaan dengan itu membangun akuntabilitas.
4. Laporan Akuntabilitas
Dipublikasikan tahunan, laporan akuntabilitas termasuk program dan informasi
keuangan, seperti laporan keuangan yang telah diaudit dan indikator kinerja yang
merefleksikan kinerja dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan utama
organisasi.
5. Penilaian Sendiri
Adalah proses berjalan dimana organisasi memonitor kinerjanya dan
mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan kinerja, ukuran capaian kinerjanya
dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan meningkatkan proses itu.
6. Penilaian Kinerja
Adalah proses berjalan untuk merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini
membandingkan kinerja aktual selama periode review tertentu dengan kinerja
yang direncanakan. Dari hasil perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan, perubahan atas kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa
direncanakan.
7. Kendali Manajemen
Akuntabilitas manajemen adalah harapan bahwa para manajer akan
bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan waktu kinerja, meningkatkan
31
produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan berbagai aspek negatif kegiatan,
dan menjamin bahwa program diatur dengan integritas dan sesuai peraturan yang
berlaku.
H. Manfaat Akuntabilitas
Pertama, Akuntabilitas kinerja paling tidak memberi manfaat (pertama)
masyarakat ingin mengetahui seberapa besar efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
setiap kegiatan publik oleh pemerintah, yang notabene dibiayai oleh uang rakyat.
Inilah salah satu tolok ukur utama dari akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, pemerintah dapat sekaligus mengintrospeksi diri terhadap kemampuan
dari setiap program yang dijalankan apakah mengarah pada tujuan pada periode akhir
perencanaan.Sayangnya konsep akuntabilitas publik masih dijalankan setengah hati
untuk menjadi budaya kerja di Indonesia. Banyak pihak mengartikan akuntabilitas
publik hanya terbatas pada pelaporan pertanggungjawaban keuangan saja, hanya
mencakup pertanggungjawaban anggaran semata. Akibatnya, suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang telah melaporkan alokasi dana yang digunakan dianggap sudah
selesai mempertanggungjawabkan kegiatannya secara memadai terlepas dari apakah
kegiatan yang dilaksanakan memberi manfaat atau tidak, terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini pada gilirannya membuka peluang yang besar bagi
praktik-praktik penyimpangan dana dan sumber daya lainnya. Yang lebih berbahaya
munculnya penyimpangan gaya lama dengan pola dan modifikasi baru. Sesungguhnya
akuntabilitas publik harus diikuti oleh pengukuran secara komprehensif terhadap
keluaran, hasil, dan manfaat yang benar-benar dapat dirasakan dan dilihat masyarakat,
serta pada gilirannya dengan memperhitungkan dampak.
Dengan cara ini kinerja suatu instansi pemerintah pada suatu tahun tertentu
dapat dibandingkan kinerjanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika hal ini dapat
dikonkritkan maka dapat menjadi salah satu pola alternatif bagi pola
pertanggungjawaban (LPJ) seorang kepala eksekutif. Akhirnya, yang perlu dipahami
bahwa pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah membutuhkan komitmen dari seluruh pihak terkait, pemerintah, legislatif
dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat maupun legislatif bukan diartikan sekadar
menghadirkan dalam berbagai pertemuan, rapat kerja, dialog interaktif atau apa pun
namanya, tetapi apa yang dapat mereka (masyarakat dan legislatif) berikan terhadap
pemecahan suatu masalah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal
ini diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi akuntabilitas menjadi sebuah
32
kebutuhan bagi setiap penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dalam
mempertanggungjawabkan amanah yang diterima.
BAB VI
Birokrasi dan Aparatur Negara
33
Posisi Birokrasi Selaku Aparatur Negara
34
3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk
jasa yang dibutuhkan oleh publik, seperti Pendidikan, Pemeliharaan kesehatan, pos,
penyelenggaraan tranportasi, dan sebagainya.
Pola pelayanan publik dapat dibedakan atas 5(lima) macam pola, yaitu:
1. Polapelayanan teknis fungsional,yakni pelayanan masyarakat yang diberikan oleh
suatu instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangannya
2. Pola pelayanan satu pintu ,yakni pelayanan masyarakat yang diberikan secara
tunggal oleh suatu unit kerja pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari
unit kerja pemerintah terkait lainnya yang bersangkutan
3. Pola pelayanan satu atap yang dilakukan secara terpadu pada satu instansi
pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangan masing-masing
4. Pola pelayanan terpusat yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah yang
bertindak selaku coordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang
terkait dengan bidang pelayanan masyarakat yang bersangkutan
5. Pola pelayanan elektronik adalah menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi yang merupakan otomatisasi layanan (online) sehingga dapat
menyesuaikan diridengan keinginaan dan kapasitas pelanggan.
35
2 / 2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks kepuasan masyarakat unit
pelayanan instansi pemerintah.
Peran Penting lainnya yang melekat pada pemerintah adalah melakukan
pengawasan terhadap Penyelenggaraan pelayanan publik, meliputi:
a) Pengawasan Melekat ,yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Pengawasan masyarakat ,yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ,berupa
laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat,2009:
101)
BAB VII
Integritas dan Anti Korupsi Dalam Birokrasi
36
Integritas Dan Anti Korupsi Dalam Birokrasi
37
negara, kampanye komunikasi, dan pertukaran informasi. Saat ini, baru KPK yang
telah melakukan berbagai kampanye peningkatan kesadaran, kegiatan informasi
publik dan siaran yang beberapa di antaranya dilakukan melalui kolaborasi dengan
LSM. Untuk semakin memperkuat kolaborasi tersebut, KPK sebenarnya bisa
menggunakan Rencana Aksi Pemerintahan Terbuka pemerintah untuk membantu
pengembangan strategi KPK di dalam mengeksplorasi bentuk sinergi lainnya dengan
kelompok masyarakat sipil.
Saat ini peluang yang begitu besar sebenarnya tersedia untuk lebih
menghubungkan agenda anti-korupsi Indonesia dengan standar, instrument, dan
tujuan internasional, seperti Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan OECD.
Di beberapa wilayah upaya anti-korupsi, seperti pembentukan saluran pelaporan,
perlindungan whistleblower, dan deklarasi aset, Indonesia telah melakukan upaya
yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas, serta untuk memberi ruang bagi keterlibatan warga dan organisasi
masyarakat sipil. Dalam rangka membangun upaya Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan transparansi dalam upaya anti-korupsi, OECD telah mengembangkan
beberapa rekomendasi berikut yang dirancang untuk memperkuat tiga peran utama
dari partisipasi masyarakat dalam siklus kebijakan, pengawasan dan akuntabilitas, dan
peningkatan kesadaran publik:
1. Terus melibatkan kelompok masyarakat sipil pada seluruh siklus kebijakan anti-
korupsi, termasuk dalam penyusunan agenda, proses pengembangan kebijakan, dan
kegiatan monitoring dan evaluasi.
2. Jelajahi beberapa solusi untuk mengoptimalkan mekanisme pelaporan dan peraturan
institusional untuk dapat medorong perubahan struktural pemerintahan yang baik.
Untuk Ini mungkin dibutuhkan sebuah upaya menyeluruh melalui penilaian terhadap
kapasitas pengolahan laporan, analisis kesenjangan dan tumpang tindih, serta
pemeriksaan keamanan data dan privasi hak penggugat pada seluruh siklus
penanganan keluhan.
3. Mengevaluasi efektivitas dari kerangka hukum dan peraturan yang ada. Terutama,
yang terkait dengan sistem perlindungan whistleblower dan melihat opsi-opsi untuk
melakukan perbaikan lainnya. Salah satunya dengan memasukan ke dalam undang-
undang, peraturan yang melindungi whistleblower dari tindakan disipliner yang
dilakukan oleh majikan atau atasannya di tempat kerja.
38
4. Pertimbangkan untuk membuat kerangka peraturan untuk kegiatan lobi, yang
bertujuan untuk memungkinkan pengawasan publik secara lebih dalam dan untuk
lebih melindungi siklus kebijakan agar tidak tertawan oleh kepentingan.
5. Memperkuat efektivitas sistem pengungkapan aset untuk pencegahan korupsi dan
penuntutan melalui prioritas pengaturan berdasarkan pada penilaian risiko dan
evaluasi terhadap kapasitas pengolahan.
39
BAB VIII
Clean Government dan Good Governance
Clean government adalah pemerintahan yang bersih, yaitu bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme serta permasalahan-permasalahan yang lain terkait dengan
pemerintahan. pada dasarnya Indonesia telah berupaya untuk melakukan komitmen
dan implementasi penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN. Berbagai
upaya memfasilitasi proses-proses pengurangan terhadap bentuk-bentuk
40
penyimpangan telah dilakukan pemerintah dengan menyiapkan perangkat hukum dan
perundang-undangan.
1. Asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan peraturan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi,
golongan dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegangn kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada
proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan
41
secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga
negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Menurut World Bank, good governance merupakan cara kekuasaan yang dalam
mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan
masyarakat.
42
4. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha, Lembaga-lembaga dan seluruh proses
pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam
konteks praktek lapangan dunia usaha.
5. Berorientasi pada Konsensus, Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan
melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan
tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan
menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai
kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut.
6. Kesetaraan (Equity), adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi, Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di
atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan
efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan
parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat
dari berbagai kelompok dan lapisan sosial.
8. Akuntabilitas, adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan.
9. Visi Strategis, adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Kesimpulannya adalah untuk mewujudkan good maka clean terlebih dahulu,
artinya dalam menciptakan pemerintahan dan tata kelola Negara yang baik maka
seharusnya ada komitmen bersih terlebih dahulu, apabila tidak maka percuma saja.
Jadi syarat menjadi good governance adalah tercipta atau terselenggaranya clean
government. Pemerintah harus mengupayakan sistem pemerintahan yang bersih dari
kecurangan dan pelanggaran berbagai pihak untuk mewujudkan tata kelola Negara
yang baik.
A. Governance Implementasi
43
Seiring dengan perkembangan hubungan pemerintah dengan masyarakat
terutama dengan munculnya konsep good governance, maka muncul pertanyaan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, sejauh mana pemerintah dapat diterima
oleh masyarakat? Dapatkan pemerintah mengimplementasikan good governance?
penilaian-penilaian tersebut menjadi penting ketika rakyat Indonesia menghadapi
pemilu pada tahun 2009 dan bagi pemerintah sekarang adalah sejauh mana penilaian-
pemilaian tersebut dapat dijadikan modal untuk dapat melanjutkan kekuasaannya
tahun 2009. Untuk menganalisa hal tersebut, kita dapat menggunakan konsep good
governance yang dikeluarkan oleh United Kingdom Overseas Development
Administration (UK/ODA).
Dalam pandangan resmi UK/ODA yang dikeluarkan pada tahun 1993,
istilahgood governance atau good government tidak dibedakan. Keduanya dianggap
sama-sama merujuk aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam
menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria
tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri,
khususnya kepada negara-negara berkembang.
UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi,
akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia.
Pengertian dari karakteristik-karakteristik yang dimaksud, ialah: (1) Legitimasi.
Legitimasi menekankan pada kebutuhan terhadap sistem pemerintahan yang
mengoperasikan jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari yang diperintah
(rakyat), dan juga menyediakan cara untuk memberikan atau tidak memberikan
persetujuan tersebut. (2) Akuntabilitas. Mencakup eksistensi dari suatu mekanisme
(baik secara konstitusional maupun keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan
politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan
sumber-sumber publik dan performa perilakunya. Akuntabilitas membutuhkan
keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungannya dengan kebebasan media. (3)
Kompetensi. Pemerintah harus menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan
yang efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat mencapai
pelayanan publik yang efisien.Pemerintah yang baik membutuhkan kapabilitas
manajemen publik yang tinggi, dan menghindari penghamburan dan pemborosan,
khususnya pada anggaran militer yang tinggi. Pemerintah harus menunjukkan
perhatiannya pada biaya pembangunan sosial seperti: antikemiskinan, kesehatan, dan
program-program pendidikan. (4) Penghormatan Terhadap Hukum/Hak-Hak Asasi
Manusia. Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya yang terdapat pada konvensi-
44
konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau kelompok dalam
mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan kemajemukan
institusi. (UK/ODA, 1993)
Implementasi di Indonesia
1. Legitimasi
Sebenarnya legitimasi pemerintah Indonesia saat ini sangatlah kuat. Dengan
dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu 2004, posisi pemerintah Indonesia
sekarang tidak sama seperti pemerintah pada masa-masa sebelumnya yang
dipilih oleh para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Legitimasi
yang kuat juga didapat dari komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang diketuai oleh partai yang berasal dari pemerintah yang berkuasa
(partai Golkar) serta merekalah yang menjadi mayoritas anggota DPR.
Namun yang menjadi persoalan adalah sejauhmana legitimasi yang ada
tersebut membuat pemerintahan berjalan efektif dan langsung mendapat
persetujuan dari rakyat (DPR).
Beberapa kebijakan pemerintah seperti kebijakan untuk memberikan
izin impor beras sebanyak 75 ribu ton dari Vietnam, mendapatkan persetujuan
dari DPR dengan segera. Juga ketika pemerintah menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) pada tanggal 1 Oktober 2005. Dalam sidangnya, DPR
setuju menyetujui kenaikan harga BBM tersebut.
Namun dalam kasus persetujuan pemerintah terhadap resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang nuklir Irak, justru ada anggota
DPR dari fraksi Golkar yang bersuara vokal menentang kebijakan tersebut.
Sehingga membuat pemerintah melakukan sosialisasi yang intens atas
keputusannya, tidak hanya untuk anggota dewan juga kepada masyarakat
terutama kalangan akademisi.
Dalam konteks menyediakan cara untuk memberikan atau tidak
memberikan persetujuan tersebut dalam sistem pemerintahan di Indonesia
dapat melalui parlemen. dan rakyat juga dibuka pintu penyaluran aspirasi yang
seluas-luasnya baik melalui kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
45
Pandangan lain adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syahrir.
bagi Syahrir, legitimasi erat kaitannya dengan dukungan politik. Dukungan
politik bukanlah terjadi secara statis, tetapi berlangsung secara
dinamis. Contoh yang paling konkrit adalah peristiwa Watergate yang
menimpa mantan Presiden Gerald Nixon dari Amerika Serikat. Dia
memperoleh kemenangan besar dari pemilihan umum tahun 1972. Tetapi
peristiwa Watergate yang berawal dari perbuatan kriminal kelas teri yang
dilakukan oleh bawahan-bawahannya akhirnya menjerembabkan posisi Nixon,
bahkan ia harus turun secara tidak hormat.
Jadi, dengan perkataan lain, Untuk bisa memiliki pemerintahan yang
absah tetapi begitu terjadi masalah-masalah yang bersifat pelanggaran, maka
bukan tidak mungkin akan dapat menyaksikan proses delegitimasi yang
berlangsung amat cepat. Intinya adalah Indonesia, yang dalam proses
demokratisasi berada dalam tingkat yang paling awal (Infant Democracy),
amat mudah untuk berubah atau terhenti karena faktor-faktor politik.
Dalam proses itu, pemerintahan yang absah di Indonesia mempunyai
kekuasaan yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan pemerintahan yang
absah di negara-negara demokrasi lainnya yang telah berlangsung selama
berabad-abad seperti di AS, Eropa Barat dan juga Jepang. Sementara itu
banyak faktor yang dapat merusak dukungan politik terkadang berada di luar
jangkauan pemerintahan yang bersangkutan. Potensi disintegrasi, peranan
tentara yang disorot, merupakan faktor-faktor yang terkadang di luar
kemampuan pemerintahan untuk dapat menanganinya dengan lebih baik.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa legitimasi dalam arti mengoperasikan
jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari rakyat dan menyediakan cara
untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan tersebut sebenarnya
sudah ada tinggal dijalankan secara optimal.
2. Akuntabilitas
Dari sisi akuntabilitas, menarik apa yang diungkapkan oleh Profesor
Toshiko Kinoshita dari Universitas Waseda bahwa “masyarakat Indonesia
tidak pernah berpikir panjang, masyarakat Indonesia hanya berorientasi
mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir
panjang (untuk negaranya), dan karakteristik seperti ini tidak hanya terlihat di
kalangan masyarakat dari semua lapisan, tetapi juga politisi dan pejabat
pemerintahnya.” (Kompas, 24 Mei 2002).
46
Persoalannya adalah bahwa sekarang pun, pemerintahan sebagian
besar hanya merencanakan rencana jangka pendek yang bersifat reaktif
terhadap ratusan masalah individual tanpa adanya suatu kebijakan umum atau
sistem yang mengikat untuk jangka waktu lama. Dengan sedikit pengarahan
para pelaksana diharuskan menciptakan sistem sendiri.
Sebagai perbandingan, sebenarnya selama lebih dari 30 tahun, dari
1960-an hingga 1990-an, Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada pemborosan
dan inefisiensi, termasuk korupsi di pemerintahan, sehingga menghilangkan
kepercayaan publik kepada pemerintah.
Di AS, banyak peraturan telah dibuat untuk mengatasi keruwetan
pemerintahan dalam 30 tahun tersebut, namun bentuknya adalah dalam
“keputusan presiden”. Analisis menunjukkan bahwa cara ini merupakan
kelemahan utama pelaksanaan pemerintahan sehingga diputuskan untuk
membuat sistem dalam kemasan undang-undang yang disebutGovernment
Performance and Results Act (GPRA, 1993). Peraturan ini merupakan suatu
undang-undang akuntabilitas yang direstui oleh Presiden Bill Clinton bersama
Kongres AS. Desainnya sangat inventif karena di dalamnya terdapat
suatu reward and punishment system (carrot and stick) yang halus.
GPRA 1993 dimaksudkan untuk membawa transformasi fundamental
dalam good governance di AS. SP-GPRA 1993 merupakan suatu alat
manajemen dan birokrasi yang tepat untuk lembaga-lembaga pemerintah yang
berada dalam kesulitan majemuk seperti di Indonesia. Ia dimodifikasi
dari strategic planning untuk bisnis dan dikembangkan dari model bisnis yang
dipakai di Sunnyvale, California, karena dianggap yang paling bagus. Dan saat
ini proses SP-GPRA di AS sudah diterapkan sejak tahun 1997.
Maka, untuk kasus Indonesia, jika jargon “perubahan” yang
dikumandangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang ingin
benar-benar diwujudnyatakan, dibutuhkan model perencanaan strategik jangka
panjang seperti ini. Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan proaktif
dan tidak reaktif, dengan rencana jangka panjang (10-20 tahun) yang baik.
Jika kita mulai sekarang, kita baru akan memiliki pemerintahan yang
akuntabel pada tahun 2015 nanti. Ini baru wujud “berpikir panjang” seperti
kata Profesor Kinoshita.
3. Kompetensi
47
Penyebab masih banyaknya permasalahan pada birokrasi pemerintahan
Indonesia barangkali dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki
anggota instansi pemerintah. Ditambah lagi dengan peraturan dan prosedur
yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu, karena ada unsur
hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka
mestinya pimpinan-pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan
aturan dan prosedur.
Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah
begitu banyak disorot karena kasus-kasus in-efektivitas dan in-efisiensi yang
terjadi di dalamnya. Berita penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai pelaksana yang
sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang
seharusnya menegakkan amanat rakyat adalah sebagian kecil gambaran
tersebut. Kondisi ini memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi
pemerintahan identik dengan segala in-efisiensi dan in-efektivitas.
Maka pemerintah belum dapat menunjukkan kapasitasnya untuk
membuat kebijakan yang efektif dalam setiap proses pembuatan
keputusannya, sehingga dapat mencapai pelayanan publik yang efisien.
Kaitannya dengan kompetensi, Syahrir membaginya dengan
administrasi pemerintahan serta proses pembuatan kebijakan. Menyangkut
administrasi pemerintahan bernegara, dengan dihapusnya beberapa
departemen dan juga berlakunya UU Otonomi daerah yang belum disertai oleh
peraturan pemerintahan pelaksanaan UU itu, ternyata menghasilkan kondisi
transisi yang cukup mencemaskan bilamana tidak diatasi oleh langkah-langkah
berencana, terfokus, diimplementasikan dengan baik.
Hal ini semua akan menimbulkan berbagai macam persoalan bilamana
pemerintah melaksanakan APBN dan APBD dalam waktu dekat ini. Kita akan
melihat berbagai masalah yang menyangkut fungsi alokasi, distribusi dan
stabilitas anggaran yang betul-betul tidak diketahui pengelolaannya bakal
terbawa ke arah mana. Dengan demikian, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang akan diambil pun akan sulit untuk diperkirakan tingkat keberhasilannya
pada level implementasi. Arus aliran dana (cash flow) dari pemerintahan ini
akan berlangsung dengan lambat, dan bilamana hal ini berlangsung, maka
akibatnya pada ekonomi makro dan mikro bisa amat memprihatinkan.
48
Sedangkan hal yang menyangkut proses pembuatan kebijaksanaan
ekonomi. Tampaknya merupakan hal yang juga belum memungkinkan untuk
mengantisipasi bagaimana arahnya kebijaksanaan itu berperan kepada kondisi
ekonomi dan sosial politik. Di sini aspek-aspek dari kebijaksanaan anggaran,
moneter, reformasi dan juga restrukturisasi perbankan, reformasi BUMN, dan
berbagai macam kebijakan perdagangan dalam dan luar negeri semuanya
masih merupakan hutan belantara. Barangkali satu-satunya pegangan yang ada
adalah Letter of Intent pemerintah kepada IMF.
Kesimpulannya adalah bahwa pemerintah masih membutuhkan
kapabilitas manajemen publik yang tinggi, yang dapat menghindari
penghamburan dan pemborosan. Walaupun Pemerintah sudah menunjukkan
perhatiannya pada biaya pembangunan sosial seperti: antikemiskinan,
kesehatan, dan program-program pendidikan walau dengan konsekuensi
mengurangi subsidi untuk rakyat dan dialihkan kepada program tersebut.
49
Namun, menurut Ketua IKOHI, Mugiyanto, upaya tersebut tetap
membutuhkan konsistensi pemerintah sekaligus dilakukannya reformasi
menyeluruh di dalam kerangka penegakan HAM di Indonesia. Ratifikasi dan
implementasi ICC seharusnya juga diikuti dengan berbagai perubahan sistem
hukum nasional agar penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak korban
dapat lebih terjamin.
50
publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh
penyelenggara swasta.
D. Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar
atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya
semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk
dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai
mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan
atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
E. Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.
Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan
pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi
pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan
begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik
selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan
menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
F. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi
rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini
tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam
proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan
rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering
muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari
rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
G. Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur
yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak
jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya
kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari
berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di
samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di
mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan
pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah
mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan
ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan
memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi
ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya
51
dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada
tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
H. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau
selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap
tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam
pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini
sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap
pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara
pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.
I. Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik,
pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan
publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi
pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Dalam hal ini juga
pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat
dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang
mendukungnya, hal ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik
dengan baik serta terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen
dalam pelayanan publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan
pemerintah sebagai penyelenggara dalam pelayanan publik.
J. Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal
dengannachtwachkerstaat (negara penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara
tidak dibenarkan untuk campur tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat.
Dikatakan sebagai nachtwachkerstaat karena negara bertindak hanya sebagai penjaga
malam saja, artinya negara hanya menjaga keamanan semata-mata, negara baru
bertindak apabila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini negara tidak
mencampuri segi-segi kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial,
kebudayaan dan sebagainya, sebab dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi
kehidupan masyarakat dapat mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan
tetapi dikarenakan oleh tuntutan masyarakat menghendaki faham ini tidak
dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan
kepentingan rakyat.
K. Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma darirule
government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule
government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
52
senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya
terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan
dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik
yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan
intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh
birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat
untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya,
birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan negara.
L. Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua
institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan
landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka
pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan
sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan
rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan
dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri
utama dari good governance.
53
BAB IX
Electronic Government
Pengertian E-Government
54
Pelayanan Negara terhadap warga negaranya merupakan amanat yang
tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas kembali dalam UU No. 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. UU Pelayanan Publikmengatur prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif. Pelayanan
publik dilakukan oleh instansi pemerintahan atau koporasi untuk dapat memperkuat
demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi
sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam
pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan
administrasi publik.
Beragam lembaga penyedia layanan publik milik pemerintah hendaknya
berkaca dari pengalaman masa lalu, saat banyak kritikan diarahkan untuk perbaikan
kualitas pelayanan publik. Lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam
menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah
dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar
masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan
pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan
semangat reformasi yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade.
Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik
dapat dilihat dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada
semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan
berbelit. Akibatnya, urusan di lembaga penyedia layanan publik menjadi berbelit-
belitnya dan membutuhkan waktu yang lebih lama serta biaya tinggi. Selain itu,
ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap
aparat pemerintah adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah dalam
memberikan pelayanan publik yang baik. Indonesia sebagai sebuah negara besar yang
sedang membangun, harus menyadari jika kebutuhan pelayanan publik yang baik dan
berkualitas adalah mutlak.
Di era informasi, pelayanan publik mengahadapi tantangan yang sangat besar.
Hal ini berkaitan dengan relasi antara negara dengan pasar, negara dengan warganya,
dan pasar dengan warga. Dahulu, negara memposisikan dirinya sebagai pihak yang
paling dominan dalam pelayanan publik. Pasar dan warga negara mau tidak mau
harus menerima kondisi pelayanan publik yang tersedia. Tidak sedikit warga negara
yang merasa kecewa dengan pelayanan publik yang berpihak pada golongan tertentu,
55
komunikasi yang dibangun oleh aparat penyedia layanan tidak ramah dan cenderung
berbelit-belit (tidak efektif). Seiring dengan perkembangan jaman dan logika, kondisi
pelayanan publik yang disediakan mendapat kritikan dari berbagai pihak untuk
memperbaiki kualitas komunikasi dan pengelolaan pelayanannya, mengingat tidak
semua warga negara dapat menikmati aksesibilitas pelayanan publik yang efektif.
Padahal sebagai amanat perundangan, pelayanan publik seharusnya menyentuh semua
lapisan tanpa terkecuali dan tetap menjaga etika pelayanan.
56
Pengertian ini di dalam ilmu sosial-politik atau khususnya ilmu kebijakan
publik kemudian berarti bahwa masyarakat secara umum (civil society) dapat
mengetahui atau memperoleh akses terhadap semua informasi mengenai tindakan
yang diambil oleh para perumus kebijakan. Pelayanan publik disebut transparan
apabila semua informasi yang relevan tentang sistem, prosedur, mekanisme serta hak
dan kewajiban yang menyangkut pelayanan dapat diperoleh secara bebas dan wajar
oleh semua orang. Pada umumnya transparansi menyangkut masalah keterbukaan
informasi, sesuatu yang cenderung bersifat timpang di dalam masyarakat. Dalam hal
ini informasi itu sendiri dapat dirumuskan sebagai “resources of knowledge and
competence that can be used by individuals for enhancing their economic welfare,
political power, or social status” (Kristiansen, 2006). Di dalam masyarakat yang
diperintah secara otoriter, transparansi cenderung diabaikan atau dengan
sengajadihambat oleh pihak penguasa. Indonesia yang baru saja terbebas dari
cengkeraman rejim otoriter Orde Baru tentunya masih harus belajar banyak untuk
mengedepankan prinsip transparansi secara benar. Betapapun, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa ketimpangan informasi sebagai sumberdaya yang sangat penting
di abad-21 terkadang mengakibatkan ketimpangan kemakmuran dan kesejahteraan
dalam masyarakat. Kurangnya transparansi akan mengakibatkan ketimpangan
informasi. Logika ini juga didukung oleh teori-teori modern yang dikemukakan oleh
para pakar ekonomi. Sebagai contoh, Joseph Stiglitz, seorang pakar pemenang hadiah
Nobel ekonomi pernah mengungkapkan bukti-bukti empiris bahwa peningkatan
kemakmuran masyarakat tidak hanya perlu ditunjang oleh sumberdaya yang berupa
modal dan 2teknologi, tetapi juga informasi. Menurut Stiglitz (2005), kerugian
ekonomi (economic losses) dalam masyarakat dapat disebabkan oleh informasi yang
asimetris atau informasi yang kurang sempurna. Dengan demikian, informasi
semestinya juga harus diperlakukan sama pentingnya dengan uang, aset, modal atau
sumberdaya lainnya. Selanjutnya, dari aspek politik atau administratif, makna
transparansi akan menunjang empat hal yang mendasar (Kristiansen, 2006), yaitu: 1)
meningkatnya tanggungjawab para perumus kebijakan terhadap rakyat sehingga
kontrol terhadap para politisi dan birokrat akan berjalan lebih efektif; 2)
memungkinkan berfungsinya sistem kawal dan imbang (checks and balances)
sehingga mencegah adanya monopoli kekuasaan oleh para birokrat; 3) mengurangi
banyaknya kasus korupsi; dan 4) meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Tampak bahwa salah satu implikasi penting dari transparansi ialah
peluang untuk meningkatkan efisiensidalam pelaksanaan pelayanan publik. Di dalam
57
praktik akan terlihat bahwa sistem dan prosedur pelayanan publik yang transparan
akan meningkatkan komitmen para birokrat dan selanjutnya akan memperbaiki
kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.
Dalam perkembangan e-government di Indonesia, dukungan pemerintah
sebenarnya baru mulai tampak pada periode awal tahun 1990-an meskipun
lembagalembaga yang berkompeten bagi pengembangan sistem informasi dalam
organisasi publik sebenarnya sudah ada pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Terkait
dengan pengembangan e-government, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No.3
tahun 2003 mengenai Strategi Pengembangan E-government. Dalam peraturan ini
strategi pokok pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya serta terjangkau oleh
masyarakat luas
b) Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah pusat dan pemerintah
c) daerah secara holistik
d) Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal
e) Peningkatan peran-serta dunia usaha dan pengembangan industri telekomunikasi
dan teknologi informasi
f) Pengembangan sumberdaya manusia di pemerintahan dan peningkatan eliteracy
masyarakat
g) Pelaksanaan pengembangan secara sistematis melalui tahapan yang realistis dan
terukur.
58
informatif, 2) tahap interaktif, dan 3) tahap transaktif. Tahap informatif mengandung
arti bahwa pembukaan situs web oleh organisasi pemerintah sebatas digunakan
sebagai sarana penyampaian informasi tentang kegiatan3pemerintahan di luar media
elektronik maupun non-elektronik yang selama ini ada. Tahap interaktif berarti
penggunaan teknologi internet yang memungkinkan kontak antara pemerintah dan
masyarakat melalui situs web dapat dilakukan secara on line sehingga memungkinkan
interaksi yang lebih intensif dan terbuka. Sedangkan tahap transaktif adalah
penggunaan teknologi internet yang memungkinkan transaksi pelayanan publik
melalui situs web. Misalnya, kemungkinan untuk membayar pajak,melakukan
permintaan formulir, atau transaksi lainnya melalui internet. Namun di luar
pembahasan tentang tahapan-tahapan pengembangan egovernment ini masih banyak
pakar yang menunjukkan rumusan yang berlainan.Sebagai contoh, banyak pakar yang
mengutip rumusan tahap-tahap e-government dariASPA (American Society for Public
Administration) sebagai berikut:
59
C. Peluang Dan Tantangan Egovernment
1. Peluang Egovernent
E-Government memberikan peluang baru untuk meningkatkan kualitas
pemerintahan, dengan cara ditingkatkannya efisiensi, layanan-layanan baru,
peningkatan partisipasi warga dan adanya suatu peningkatan terhadap Global
Information Infrastructure (GII) . Namun pada sisi lain, e Gov juga memberikan
suatu tantangan, diantaranya keamanan informasi, privacy, kesenjangan dalam
akses komputer, dan manajemen dan penyediaan pendanaan. Semua hal itu
berselang selimpat dengan kombinasi intra dan antar perilaku dalam
pemerintahan. Bagaimanapun juga, ditemukan sejumlah perulangan tema yang
terkadang dihubungkan dengan hal-hal sebelumnya, minimnya pendekatan
ketidaktergantungan teknologi untuk meningkatkan kualitas pemerintah seperti
wewenang yurisdiksi, prosedur penanganan informasi yang tepat, membangun dan
memelihara infrastruktur, penyediaan layanan, dan hak-hak warga
2. Tantangan Egovernment
Sudah saatnya pelayanan publik berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan terintegrasinya data kependudukan untuk mempermudah
pengurusan dokumen dan layanan publik lainnya. Apabila pelayanan yang
dilakukan menggunakan perspektif masyarakat sebagai pelanggan, maka
keikutsertaan masyarakat sebagai pihak pengontrol tata kelola pemerintahan
merupakan legitmasi dari masyarakat.Pelayanan yang berkualitas tidak hanya
untuk lembaga penyelenggara jasa komersial (swasta), tetapi sudah harus
merembes ke lembaga-lembaga pemerintahan yang selama ini resisten terhadap
tuntutan akan kualitas pelayanan publik (Trilestari, 2004).
Tujuan besar dari penerapan e-government system adalah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik. E-government system dapat mendorong terwujudnya
tata kelola pemerintahan yang transaparan, akuntabel, bebas korupsi, ramping
birokrasi, dan meningkatkan partisipasi warga negara dalam kontrol
penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik yang baik, efektif, dan efisien,
dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di suatu negara. Mungkinkah
hal tersebut terjadi di Indonesia? Jawabannya sangat mungkin. Pemerintah perlu
menyediakan secara proporsional tenaga ahli di bidang teknologi informasi dan
komunikasi dalam tubuh lembaga pemerintahan dan penyedia layanan publik,
60
serta menjembatani kesenjangan aksesibilitas teknologi di seluruh wilayah
Indonesia.
Lingkup pengembangan e-government system mencakup skala nasional. Maka
diperlukan kerangka komunikasi antar sistem e-government di daerah untuk saling
berhubungan dan saling bekerjasama. Dalam implementasinya, perlu ada
mekanisme komunikasi baku antar sistem, sehingga masing-masing sistem
aplikasi dapat saling bersinergi untuk membentuk e-government services yang
lebih besar dan kompleks.
Semenjak 2004, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika
telah membuat blue-print untuk pengembangan aplikasi sistem e-government.
Dalam lembar cetak biru tersebut telah dijelaskan bagaimana penggunaan dan
pengkoneksian jaringan di tingkat daerah maupun pusat. Hal-hal yang sudah
tertuang dalam blue print itu seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh instansi
pemerintah untuk menjawab tantangan pelayanan publik yang lebih modern dan
efektif.
Implementasi e-government system di Indonesia masih separuh jalan dan
masih jauh di bawah standar yang ideal dan yang diinginkan. Agar mencapai
kondisi yang ideal, harus dilakukan penyempurnaan konsep dan strategi
pelaksanaan e-government system dari berbagai sisi. Berkaca dari Kabupaten
Sragen yang sudah menerapkan e-government system dalam penyelenggaraan
pemerintahan dari tingkat Kabupaten hingga Desa, menjadi bukti jika teknologi
informasi dan komunikasi dapat diterapkan di Indonesia dan menjadi sarana
terpenting dalam perbaikan tata kelola pemerintahan.
61
BAB X
62
dilakukan oleh lembaga luar birokrasi / extra bureaucracy. Perubahan melalui
coersive isomorphic ini untuk di Indonesia kurang bisa diharapkan karena publik,
baik yang berada pada infrastruktur politik seperti para anggota parlemen, maupun
komponen civil society, masih sangat kurang dalam melakukan tekanan kepada
birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan profesionalismenya.
Mimetic isomorphism adalah perubahan yang dihasilkan dari
kecerdasaneksponen organisasi untuk merespon ketidakpastian dan keterbatasan.
Perubahan secara mimetic isomorphic inipun untuk di Indonesia juga sulit
diwujudkan karena kualitas mental dan semangat juang birokrasi kita telah sekian
lama terkebiri oleh sistem yang kita buat.Sedangkan Normative isomorphism
adalah perubahan organisasi yang berhubungan dengan proses profesionalisasi
yaitu pendidikan formal dan training.
Kedua, Weber dalam Muhammad Abud Musaad (2010, hal 1-2),
menyatakanbahwa untuk mempertahankan birokrasi agar tetap survival (tetap
eksis di masa depan bahkan sepanjang masa), harus disadari bersama bahwa
birokrasi pemerintahan pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang terstruktur,
dengan hirarki, pembagian pekerjaan, dan promosi yang jelas dan tegas
berdasarkan kemampuan, kualifikasi tehnis dan prestasi, tidak bersifat impersonal,
serta digerakkan dan dikendalikan berdasarkan prosedur dan aturan yang ketat.
Pemikiran Weber tentang model birokrasi tersebut menunjukkan bahwa birokrasi
dipahami sebagai sebuah mesin atau sarana yang dipergunakan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan tertentu yang telah dirumuskan oleh pejabat politik.
Pemahaman seperti ini memberikan arahan bahwa setiap orang atau pejabat dalam
birokrasi pemerintahan merupakan stimuler dan pioner dari sebuah mesin yang
tidak mempunyai tanggung jawab publik lain kecuali pada bidang tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Maka ketika setiap pejabat
menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dilaksanakan
sesuai dengan proses dan prosedur yang berlaku, maka akuntabilitas pejabat
birokrasi pemerintahan telah diwujudkan. Sebaliknya, jika setiap orang atau
pejabat dalam birokrasi pemerintahan tidak memiliki kemampuan lagi untuk
melaksanakan tugas dan tanggung dan jawabnya, karena alasan apapun juga,
maka seharusnya yang bersangkutan dikeluarkan dari mata rantai sistem birokrasi
dan digantikan dengan yang lain. Artinya, kebiasaan birokrasi Indonesia untuk
pekewuh harus dimusnahkan.
63
Ketiga, menurut Haque, Pang & Norris, and Long dalam Budi Setiyono(Ibid,
hal 243), bahwa birokrasi ke depan harus dapat melaksanakan lima hal, yakni:
1. A shift in the objectives and priorities/ perubahan tujuan dan prioritas. Padaranah ini
adalah merupakan kunci dari proses reformasi birokrasi yang telah kita
laksanakan.Supaya birokrasi dapat kita fungsikan sesuai dengan keadaan masa kini,
maka kita perlu memikirkan kembali “apa fungsi dan tugas” birokrasi yang kita
bentuk dan berikan gaji.
2. An adjustment in legal and institutional management / penyesuaian dalamhukum
dan perangkat organisasi. Dalam hal ini produk hukum yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan semangat orientasi baru birokrasi harus segera diubah.
3. A transition in normative standars/ transisi dalam standart normatif. Hal inibisa
dilihat dari konsepsi filosofi birokrasi dengan sebutan pangreh praja, pamong praja,
atau abdi dalem, harus dirubah karena birokrasi modern tidak bisa lagi
diorientasikan sebagai pelayan kekuasaan negara semata dan harus segera
menekankan pada nilai-nilai profesionalisme.
4. A flux in attitudinal and structural focus / perubahan dalam sikap dan
fokusperhatian organisasi. Dalam hal ini harus ada perubahan sikap dan fokus
perhatian dari institusi dan pegawai brokrasi. Seorang birokrat harus menempatkan
rakyat sebagai konsumen yang harus dihargai layaknya perusahaan swasta
memperlakukan pelanggannya.
5. Modernization of bureaucratic tools & infrastucture / modernisasi peralatandan
infrastuktur birokrasi. Pada modernisasi inib tentu saja harus ada perubahan pada
sarana infrastruktur birokrasi. Digitalisasi peralatan untuk berbagai keperluan guna
menghemat waktu secara efisien serta menghasilkan tingak akurasi pekerjaan yang
tinggi.
64
diberi penghargaan (reward) agar mereka termotivasi untuk selalu meningkatkan
kinerjanya.
65
2. Birokrasi Masa Kini
Dalam Jurnal Politika Volume 1 terbit bulan April 2010 penulis mencermati
tentang ”Politisasi Birokrasi di Indonesia”. Bahwa pada saat ini (masa kini)
organisasi birokrasi telah menunjukkan gejala penuh rekayasa atau sering disebut
sebagai politisasi birokrasi. Politisasi birokrasi ini bertujuan tidak lain untuk
melanggengkan kekuasaan para pejabat. Gejala-gejala politisasi birokrasi tersebut
terjadi disebabkan antara lain :
Pertama, penggunaan fasilitas negara, yaitu berupa penggunaan fasilitas
negarapada saat menjelang pemilihan umum yang dilakukan oleh seorang calon
kepala daerah yang incumbent. Penggunaan fasilitas negara ini terjadi pada saat
proses rapat-rapat konsolidasi, lobi politik dengan partai politik lain, dan
kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan adalah
mobil dinas, pakaian dinas, dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara;
Kedua, mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada, yaitu
mobilisasi(pengerahan) PNS pada saat pilkada. Dalam setiap pemilu, suara
pegawai negeri menjadi salah satu modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara
pegawai negeri ini jelas sangat mudah bagi kandidat incumbent. Dengan iming-
iming janji akan diberi jabatan atau perintah untuk mendukung atasannya,
mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada sangat banyak terjadi baik
proses pemilihan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat;
Ketiga, kompensasi jabatan, yaitu banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat
pusat.Pasca gerakan reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi
terhadap berbagai kebijakan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor
politik baru ke dalam sistem pemerintahan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
II, terlihat bahwa partai-partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat
mendapatkan jatah kursi di kabinet. Pada jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala
biro, kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara
partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari
kompensasi jabatan antara penguasa dan partai politik adalah terganggunya
kinerja birokrasi yang seharusnya memegang teguh merit sistem (berdasar
profesionalisme).
Keempat, rekruitment pegawai negeri baru, selain kompensasi jabatan,deal-
dealyang terjadi antara penguasa dan partai-partai koalisi adalah pemberian jatah
pada saat pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen
pegawai negeri baru.
66
Kelima, komersialisasi jabatan. Hal ini dilakukan kaerna aparat harus
mengembalikan ”modal” yang sudah dia keluarkan pada saat masuk menjadi
pegawai/pejabat, dan pelatihan yang dia ikuti hanya sebagai syarat formal saja
karena untuk mengisi jabatan bukan berdasar pada merit sistem tapai pada
kedekatan seseorang dengan penguasa.
Keenam, pencopotan jabatan karir (sekretaris daerah/sekda) karena alasan
politis.Pencopotan ini dilakukan karena kepala daerah harus mengakomodir
pihak-pihak yang berkepentingan. Dan sekali lagi, pencopotan ini tujuannya
bukan pada peningkatan kualitas kinerja tetapi hanya sekedar memenuhi nafsu
untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dari gejala-gejala pada masa kini tersebut, kemudian muncullah tiga tipe
Pertama, politisasi secara terbuka yang berlangsung pada periode
DemokrasiParlementer (1950-1959). Di masa ini, para pemimpin partai politik
(parpol) bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin
sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan
berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang
ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk
ke dalam partai sang menteri.
Kedua, politisasi setengah terbuka pada masa periode Demokrasi
Terpimpin.Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya
diperuntukkan bagiparpol-parpol yang mewakili golongan-golongan Nasionalis,
Agama, dan Komunis.
Ketiga,tipe politisasi secara tertutup yang berlangsung pada masa Orde Baru.
Mulai dari Presiden Suharto sampai ke tingkat lurah adalah anggota yang
sekaligus pembina Golkar. Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan
monoloyalitas birokrasi pada masa orde baru ikut membantu menciptakan
stabilitas dan kemampuan umum pemerintah yang memungkinkan pemerintah
didukung birokrasi untuk melakukan pembangunan di berbagai bidang.
Dari kondisi carut marut birokrasi seperti di atas, maka jelas kinerjanyapun
juga akan carut marut dan amburadul. Sudah waktunya organisasi birokrasi harus
berubah, dan tidak bisa ditunda lagi dengan alasan apapun dan bagaimanapun.
3. Birokrasi Masa Depan
Seperti kita ketahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam memberikan makna
kepada organisasi birokrasi. Makna-makna itu antara lain :
67
1. Makna Positif
Yaitu organisasi birokrasi dikatakan sebagai orgnisasi legal-rasional yang
bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi adalah organisasi yang
membantu masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan
efisien. Pendukung makna positif ini adalah Max Weber dan Harold Laski.
2. Makna Negatif
Yaitu organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi yang penuh dengan
patologi (penyakit) dan juga birokrasi adalah alat penguasa untuk
menindas rakyatnya, yang berarti harus selalu tunduk dan patuh pada
penguasa dan tidak perlu memperhatikan rakyatnya. Oleh karena birokrasi
dipandang tidak bermanfaat bagi rakyat, bahkan merugikan rakyat.
Pendukung makna negatif ini adalah Karl Max dan Hegel.
3. Makna Netral (value free)
Yaitu keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau setiap
organisasi yang berskala besar yang pegawainya digaji oleh pemerintah
(Negara). Birokrasi dipandang sebagai organisasi yang menjalankan
pekerjaan teknis administrative dari kehiudpan pemerintah (Negara).
Pendukung dari makna netral ini adalah generasi Martin M. Blau, dll.
68
dan mendalam. Seseorang dikatakan bertanggung jawab, ketika dia mampu
menyelesaikan tugas dengan baik tanpa cela. Mampu menyelesaikan tugas
dengan baik berarti pula dia mampu bekerja secara cepat (sesuai waktu
yang ditentukan) dan tepat (tidak melanggar peraturan-peraturan yang
sudah ditetapkan, yang dalam bahasa Jawa disebut bener lan pener.
Artinya, seorang birokrat dikatakan bekerja dengan bertanggung jawab dia
(baca mereka) sudah mampu melaksanakan tugas dengan baik, dengan
indikator-indikator sebagai berikut : 1) kepada masyarakat mampu
melayani dengan baik seperti poin 1 di atas; 2) kepada atasan, mampu
menunjukkan prestasinya tanpa diembel-embeli dengan cara-cara yang
tidak etis, misalnya suap, sogok, ”mencari muka”, atau menerapkan slogan
Asal Bapak Senang (ABS); 3) kepada teman-teman sejawat atau partner
kerjanya, mampu menjalin hubungan atau relationship dengan baik, yaitu
bersaing dalam pekerjaan secara fair, tidak suka menfitnah, tidak
menelikung dari belakang prestasi teman, mudah meminta maaf dan
memaafkan, dan sebagainya; 4) kepada pekerjaannnya, tidak
menganggapnya sebagai beban tetapi sebagai sebuah amanah yang
diberikan kepadanya sehingga merupakan ibadah yang apabila
dilaksanakan dengan baik akan mendapat pahala, dan apabila tidak
melaksanakan dengan baik atau mengabaikannya akan mendapat hukuman
atau masuk neraka; 5) mensyukuri atas nikmat yang diberikan kepada Alloh
SWT. Posisi sebagai Pegawai negeri Sipil (PNS) adalah posisi yang
diidam-idamkan banyak orang. Kita sering menyaksikan di media massa,
banyak antrian masyarakat yang ingin mendaftar sebagai PNS. Dan kalau
sudah diterima menjadi PNS, harus mewujudkan rasa syukur itu dengan
ibadah; 6) berkaitan dengan posisinya sebagai PNS, maka memang harus
diawali dengan perjuangan dan do’a. Artinya para pegawai birokrasi itu
harus dilihat dulu bagaimana proses rekruitmen ketika dia masuk menjadi
PNS. Apakah murni berdasarkan hasil tes tertulis dan tes wawancara, atau
karena menggunakan cara pintas dengan menyogok kepada pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Kalau proses rekruitmen itu dasarnya adalah
kejujuran atau murni karena kapabilitas dia, maka tentunya kinerjanya juga
pasti akan bagus. Tetapi sebaliknya, apabila proses rekruitmennya sudah
cacat, maka kinerjanya juga pasti akan cacat atau banyak masalah.
69
3. Seluruh anggota organisasi harus tangguh menghadapi berbagai tantangan
baik internal maupun eksternal. Negara dan bangsa ini membutuhkan
orang-orang yang tangguh dan kuat dalam segala hal, bukan yang lemah,
lembek, dan tidak kuat iman. Karena kondisi bangsa saat ini sudah sangat
memprihatinkan, sehingga perubahan dalam organisasi birokrasi adalah
suatu keniscayaan. Yang dimaksud tangguh secara internal adalah tangguh
dalam hal motivasi dan keinginan yang datang dari dalam diri sendiri.
Motivasi untuk maju, berkembang, beribadah, bekerja dengan baik, harus
tangguh. Artinya, tidak gampang terpengaruh oleh teman sekantornya untuk
bekerja semaunya sendiri, sering mbolos, mangkir, dan sebagainya.
Tangguh dalam hal keinginan adalah keinginan untuk hidup santai, tidak
rekasa, bergelimang kemewahan, dan sebagainya. Karena pada akhirnya
keinginan-keinginan itu hanya bermuara pada satu hal yaitu korupsi.
Keinginan untuk hidup enak dan bergelimang kemewahan tidak mungkin
dinikmati oleh PNS jika hanya mengandalkan dari gaji semata meskipun
sudah ditambah dengan remunerasi. Padahal carut marutnya, amburadulnya
organisasi birokrasi saat ini sebab utamanya adalah korupsi. Oleh karena itu
ketangguhan dari keinginan untuk korupsi amat sangat
dibutuhkan.Sedangkan tangguh secara eksternal adalah tangguh terhadap
terpaan godaan dari luar. Ketika masyarakat sudah semakin pandai,
tentunya semakin berani pula mereka dalam menuntut haknya. Penyampain
kritik yang sebelumnya masih dengan bahasa yang sopan dan hati-hati,
sekarang menjadi lebih lugas dan tegas. Tahan terhadap kritik adalah
ketangguhan yang harus dimiliki oleh birokrat. Bukan dibalas dengan
kemarahan dan membalas dendam dengan pelayanan yang semaunya
sendiri.
Tiga hal di atas apabila dilaksanakan dengan baik, niscaya akan membawa pada
hubungan simbiosis mutualisme seperti yang sudah disebut di atas. Masyarakat puas
dengan kinerja birokrasi dan sebaliknya anggota birokrasi akan mampu bekerja
dengan baik tanpa direpoti dengan kritik, hujatan, dan demo-demo yang tak habis-
habisnya.
70
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan
birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja
tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi,
dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Adapun visi reformasi birokrasi yang tercantum dalam lembaran Grand
designReformasi Birokrasi Indonesia adalah terwujudnya pemerintahan kelas dunia.
Visi tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia,
yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang
mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan
manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada
abad ke 21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.
B. Saran
Harapan terwujudnya good governance di Indonesia adalah cita-cita yang
mungkin masih membutuhkan waktu panjang untuk bisa kita rasakan. Namun
setidaknya dengan penguasaan konsep yang jelas mengenai good governance
merupakan langkah awal untuk dapat mengevaluasi apa yang tengah kita lakukan dan
apa yang akan kita lakukan berikutnya. Dengan menggunakan konsep dari United
Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA) maka pemerintah
Indonesia telah memiliki bekal yang kuat dari aspek legitimasi dan penghormatan
terhadap hukum / hak asasi manusia. Namun masih perlu penguatan dari aspek
akuntabilitas dan kompetensi pemerintahan.
Dengan melihat dunia masa depan yang semakin terbuka akibat dari
globalisasi maka tentunya aspek akuntabilitas dan kompetensi harus sesegera
mungkin diwujudkan, jika tidak, maka siap-siapkah untuk terlindas.
71
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet :
http://blog.opengovindonesia.org/2016/11/19/open-government-budaya-integritas-dan-
agenda-anti-korupsi-di-indonesia/
https://endahpublik71.wordpress.com/2011/02/14/birokrasi/
http://pemerintah.net/reformasi-birokrasi/
http://ramadhanaprillio.blogspot.com/2015/12/makalah-pertanggungjawaban-publik.html
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-birokrasi-adalah.html
https://www.kompasiana.com/elipheldan/551016eaa333116837ba7f98/birokrasi-vs-politik
https://www.banyumaskab.go.id/read/15538/pelaksanaan-good-governance-di-
indonesia#.XL1qrokzbI
Sumber Buku :
Blau, Peter M. Dan Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, UI
Press Jakarta
Zuhro, Siti R (ed), 2009, Peran Aktor Dalam Demokratisasi, Penerbit Ombak, Jakarta.
72
73
74 | R e f o r m a s i B i r o k r a s i