Anda di halaman 1dari 13

Teori Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau yang sering disingkat dengan nama PBB adalah
pajak atas tanah dan bangunan yang ditanggungkan kepada pemilik karena
adanya keuntungan ekonomi atau status ekonomi akibat kepemilikan tanah dan
bangunan tersebut. Simak artikel ini dan ketahui bagaimana cara menghitung
pajak bumi dan bangunan (PBB).

Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Sebelum Anda memahami bagaimana cara menghitung pajak bumi dan bangunan
(PBB), Anda perlu memahami dasar pengenaannya. Besarnya nilai PBB didasarkan
pada dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah atau bangunan terkait. NJOP adalah
nilai yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan, dimana nilai NJOP di setiap
daerah berbeda-beda karena tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi,
sebagaimana nilai tanah dan bangunan pada umumnya. 

Faktor yang mempengaruhi besarnya nilai NJOP bumi dan bangunan adalah
sebagai berikut:

1. Faktor yang mempengaruhi NJOP Bumi adalah lokasi, peruntukan,


pemanfaatan serta kondisi lingkungan di sekitarnya,
2. Faktor yang mempengaruhi NJOP Bangunan antara lain bahan baku atau
bahan bangunan yang digunakan, lokasi bangunan, rekayasa serta kondisi
lingkungan di sekitar bangunan.

Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 

Rumus perhitungan pajak PBB = tarif 0.5% dikali Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

Rumus NJKP = 40% x (Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) - NJOPTKP) 


40% apabila lebih dari Rp 1.000.000.000,00, 20% apabila kurang dari nilai
tersebut.

NJOPTKP = Rp 12.000.000,00

Atau dengan kata lain, nilai PBB = 0,5% x 40% x NJKP

Contoh Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 

PT Hasta Prawira memiliki lahan di daerah Sukaarta dengan memiliki area tanah
seluas 1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi. Diketahui
NJOP tanah per meter di daerah tersebut adalah Rp 5.000.000,00 dan harga
bangunan per meter Rp 1.000.000,00.

Langkah pertama, hitung NJOP bumi dan bangunan.

Bumi = 1.000 x Rp 5.000.000,00 = Rp 5.000.000.000,00

Bangunan = 800 x Rp 1.000.000,00 = Rp 800.000.000,00

NJOP Bumi dan Bangunan = Rp5.000.000.000,00 + Rp800.000.000,00 = Rp


5.800.000.000,00

Ketahui perhitungan lengkapnya di sini: NJOP Dalam Penghitungan Pajak Bumi


dan Bangunan

Langkah kedua, hitung NJKP.

NJKP = 40% x (Rp 5.800.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 2.315.200.000,00

Langkah ketiga, hitung PBB.

PPB = 0,5% x Rp 2.315.200.000,00 = Rp 11.576.000,00

Maka setiap tahunnya PT Hasta Prawira harus membayar PBB sebesar Rp


11.576.000,00
Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan, Perhitungan dan Biaya Pengurang
Penghasilan Bruto

Peredaran bruto merupakan salah satu komponen dalam penghitungan PPh WP


Badan. Pahami pengertian peredaran bruto Wajib Pajak Badan ini dan bagaimana
perhitungan serta ketentuan pengurang penghasilan bruto dalam SPT Tahunan
PPh Badan.

Namun pengertian peredaran bruto Wajib Pajak Badan untuk setiap tahun pajak
dalam perhitungan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)
Badan berbeda-beda.

Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Sesuai Pasal 1 UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengertian Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak.

Dengan demikian, pengertian Pajak Penghasilan Badan adalah pajak penghasilan


yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Badan.

Sementara itu, PPh Badan ini terbagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yakni:

 PPh Badan Final

Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu.

 PPh Badan Tidak Final

Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan
atas penghasilan yang diterima oleh WP Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal
31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Ilustrasi menghitung pajak penghasian badan

Jenis Wajib Pajak Badan

Wajib pajak terdiri dari dua yakni WP Orang Pribadi dan WP Badan. Jenis atau
yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak Badan menurut UU PPh adalah orang
dan/atau modal yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang
meliputi:

1. Perseroan Terbatas (PT)


2. Perseroan Komanditer (CV)
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
5. Firma
6. Kongsi
7. Koperasi
8. Dana Pensiun
9. Persekutuan
10. Yayasan
11. Perkumpulan
12. Organisasi Massa
13. Organisasi Sosial Politik
14. Organisasi lainnya
15. Lembaga
16. Bentuk Badan lainnya
17. Kontrak Investasi Kolektif
18. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Ilustrasi Wajib Pajak Badan perseroan terbatas yang juga dikenakan pajak
penghasilan badan

Pengertian Peredaran Bruto

Secara umum, pengertian peredaran bruto adalah semua penghasilan yang


diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya-biaya yang
dikeluarkan perusahaan/pengusaha.

Sedangkan pengertian peredaran bruto Wajib Pajak Badan berdasarkan


ketentuan perpajakan dan perundang-undangan pajak terbagi menjadi dua, yaiu:

1. Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No. 36 Tahun 2008


tentang Pajak Penghasilan
2. Peredaran Bruto berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu

PP 23/2018 ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan tertentu, dalam hal ini
memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun.

Tarif pada PP 23/2018 ini merupakan tarif PPh Final sebesar 0,5% yang
diperuntukkan bagi para UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).

Namun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan keringanan terhadap WP


Badan yang peredaran brutonya lebih dari Rp4,8 miliar tetap dapat menikmati
fasilitas tarif PPh pada PP 23/2018 ini dengan masa berlaku terbatas.

Berikut penjelasan mengenati pengertian peredaran bruto berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan yang mengaturnya:

a. Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Berdasarkan UU 36/2008


Berdasarkan UU 23/2008, Peredaran Bruto adalah semua penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia.

Pendapatan tersebut meliputi:

 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final


 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final
 Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No. 36 Tahun 2008 digunakan
untuk menghitung besarnya PPh Badan yang terutang bagi Wajib Pajak Badan
yang tidak termasuk dalam Kriteria PP 23/2018.

Contoh,

PT AAA merupakan WP Badan Perseroan Terbatas (PT) memiliki peredaran usaha


bruto Tahun Pajak 2022 sebesar Rp8.000.000.000. Ini tergolong UKM.

Seperti penjelasan di atas, artinya PT AAA ini tidak termasuk yang dapat
menggunakan PPh Final PP 23/2018. Maka, untuk SPT Tahunan PPh Badan Tahun
2023, pajak penghasilan dihitung berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU 36/2008.

b. Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Berdasarkan PP 23/2018

Berdasarkan PP 23/2018, Peredaran Bruto adalah dalah penghasilan atau omset


atau penghasilan bruto dari usaha, tidak termasuk:

1. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (khusus untuk WP


Badan berbentuk CV atau firma yang dibentuk oleh beberapa WP Orang Pribadi
yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas).
2. Penghasilan selain dari usaha atau penghasilan luar usaha/penghasilan lain-
lain.

3. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan bidang perpajakan.

4. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

5. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan yang bukan


objek pajak penghasilan. 

Peredaran Bruto berpegang pada PP 23/2018 ini digunakan untuk perhitungan


PPh Badan, yang detailnya sebagai berikut:

1. Peredaran Bruto dengan pengertian tersebut digunakan untuk melihat apakah


Peredaran Bruto berjumlah tidak melebihi Rp4.800.000.000

2. Jika Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah tidak melebihi


Rp4.800.000.000, maka perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari-
Desember Tahun berikutnya dihitung sebagai PPh Pasal 4 ayat (2) yakni sebesar
0,5 % dari Peredaran Bruto tersebut dengan Kode Jenis Setoran (KJS) Pajak
411128-420 (PPh Pasal 4 ayat 2).

3. Jika Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah melebihi


Rp4.800.000.000, maka perhitungan PPh Badan untuk Tahun berikutnya mengacu
pada Pasal 17 dan 31E UU 36/2008.

Ilustrasi UKM yang dapat menggunakan tarif PPh Final PP 23/2018

Contoh Perhitungan Peredaran Bruto WP Badan

Setelah mengetahui dasar pengertian peredaran bruto yang digunakan WP Badan


sesuai dengan status usahanya, berikutnya adalah cara perhitungannya.

Berikut contoh perhitungan peredaran bruto Wajib Pajak Badan dari masing-
masing dasar peraturannya:
a. Contoh Hitung Peredaran Bruto Sesuai UU 36/2008

PT AAA adalah perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Pariwisata dan Produksi
Tekstil. PT AAA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan sejak 25  November
2021.

Peredaran Bruto yang berasal dari penjualan tiket perjalanan wisata dan produk
tekstilnya untuk tahun 2022 sebesar Rp10.520.670.000.

Karena pendapatannya lebih dari Rp4,8 miliar setahun, sehingga untuk Tahun
Pajak 2022 ini PT AAA harus menghitung PPh Badan berdasarkan Pasal 17 dan 31E
UU No. 36/2008 ini.

Rincian pendapatan PT AAA untuk Tahun Pajak 2022:

1. Pendapatan dari penjualan tiket pesawat = Rp5.110.250.000

2. Penjualan pakaian = Rp3.310.310.000

3. Penjualan lain-lain termasuk aksesoris = Rp2.100.110.000


 

Maka, penghitungan peredaran bruto dari usaha PT AAA pada Tahun Pajak 2020
adalah:

1. Pendapatan dari penjualan tiket pesawat = Rp5.110.250.000

2. Penjualan pakaian = Rp3.310.310.000

3. Penjualan lain-lain termasuk aksesoris = Rp2.100.110.000 (

Peredaran Bruto:  

Jumlah = Rp10.520.670.000
 

b. Contoh Hitung Peredaran Bruto Sesuai PP 23/2018


PT BBB merupakan perusahaan bidang Jasa Katering dan Penjualan Perlengkapan
Rumah Tangga. PT BBB telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan pada 25
November 2020.

Peredaran Bruto Tahun Pajak 2021 dari usaha katering dan penjualan
perlengkapan rumah tangga ini sebesar Rp4.550.000.000.

Karena pendapatannya kurang dari Rp4,8 miliar setahun, maka untuk Tahun Pajak
2021 ini PT AAA dapat menghitung PPh Badan berdasarkan PP 23/2018.

Rincian pendapatan PT BBB untuk Tahun Pajak 2021:

1. Pendapatan dari usaha jasa katering = Rp2.500.000.000

2. Penjualan perlengkapan rumah tangga = Rp1.050.000.000

3. Penjualan lain-lain termasuk dekorasi rumah = Rp1.000.000.000


 

Maka, penghitungan peredaran bruto dari usaha PT BBB pada Tahun Pajak 2021
adalah:

1. Pendapatan dari usaha jasa katering = Rp2.500.000.000

2. Penjualan perlengkapan rumah tangga = Rp1.050.000.000

3. Penjualan lain-lain termasuk dekorasi rumah = Rp1.000.000.000 (

Peredaran Bruto:  

Jumlah = Rp4.550.000.000
 

Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Di Indonesia, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP Dalam Negeri dan BUT,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk hal yang tercantum dalam poin
berikut:

1. Biaya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha.

Contohnya:

 Biaya pembelian bahan


 Biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti upah pegawai,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang
 Bunga, sewa, dan royalti
 Biaya perjalanan
 Biaya pengolahan limbah
 Premi asuransi
 Piaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
 Biaya administrasi
 ajak kecuali Pajak Penghasilan;

2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun.

3. Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

4. Kerugian atas penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan

5. Kerugian selisih kurs mata uang asing

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia


7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan

8. Piutang yang tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan sebagai biaya
dalam laporan laba rugi komersial;

 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP);
 Dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
 Atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
 atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
 Syarat telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus;
 Atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan PMK.

9. Sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur


dengan PP.

10. Sumbangan yang ditujukan untuk penelitian dan pengembangan yang


dilakukan di wilayah Indonesia dan ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah

11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang penggunaannya diatur dengan


PP

12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP

13. Sumbangan untuk pembinaan olahraga yang juga ketentuannya diatur dengan
PP.
Jika WP mengalami penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut (1 –
13) mengalami kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan


Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh:

Menggunakan Contoh Penghitungan di atas, maka Pajak Penghasilan yang


terutang dihitung sebagai berikut:

Peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dengan


Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 610.000.000,00 (enam ratus sepuluh juta
rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

1.  Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas

     (Rp 4.800.000.000,00 : Rp 6.000.000.000,00) x Rp 610.000.000,00 = Rp


488.000.000,00

2.  Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas 

     Rp 610.000.000,00 – Rp 488.000.000,00 = Rp 122.000.000,00


Pajak Penghasilan yang terutang:

- (50% x 25%) x Rp 488.000.000,00              =          Rp 61.000.000,00

- 25% x Rp 122.000.000,00                            =         Rp 30.500.000,00 (+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang                  Rp 91.500.000,00

Contoh perhitungan PPh Pasal 25

=
Penghasilan Neto (laba fiskal) tahun 2019
Rp. 120.000.000,00
PPh Terutang = 25% x Rp. 120.000.000,00 = Rp.   30.000.000,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan tahun 2019 = 1/12 x Rp.  
= Rp.     2.500.000,00
30.000.000,00
PT. Mulia terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri pada KPP C tanggal 1
Februari 2015. Peredaran bruto setahun lebih dari 50 Miliar Rupiah. Penghasilan
neto (laba fiskal) dapat dihitung berdasarkan pembukuan sebesar
Rp120.000.000,00 setahun. Besarnya PPh pasal 25 bulan Februari 2019
sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai