Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau yang sering disingkat dengan nama PBB adalah
pajak atas tanah dan bangunan yang ditanggungkan kepada pemilik karena
adanya keuntungan ekonomi atau status ekonomi akibat kepemilikan tanah dan
bangunan tersebut. Simak artikel ini dan ketahui bagaimana cara menghitung
pajak bumi dan bangunan (PBB).
Sebelum Anda memahami bagaimana cara menghitung pajak bumi dan bangunan
(PBB), Anda perlu memahami dasar pengenaannya. Besarnya nilai PBB didasarkan
pada dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah atau bangunan terkait. NJOP adalah
nilai yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan, dimana nilai NJOP di setiap
daerah berbeda-beda karena tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi,
sebagaimana nilai tanah dan bangunan pada umumnya.
Faktor yang mempengaruhi besarnya nilai NJOP bumi dan bangunan adalah
sebagai berikut:
Rumus perhitungan pajak PBB = tarif 0.5% dikali Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
NJOPTKP = Rp 12.000.000,00
PT Hasta Prawira memiliki lahan di daerah Sukaarta dengan memiliki area tanah
seluas 1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi. Diketahui
NJOP tanah per meter di daerah tersebut adalah Rp 5.000.000,00 dan harga
bangunan per meter Rp 1.000.000,00.
Namun pengertian peredaran bruto Wajib Pajak Badan untuk setiap tahun pajak
dalam perhitungan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)
Badan berbeda-beda.
Sesuai Pasal 1 UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengertian Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak.
Sementara itu, PPh Badan ini terbagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yakni:
Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu.
Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan
atas penghasilan yang diterima oleh WP Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal
31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Wajib pajak terdiri dari dua yakni WP Orang Pribadi dan WP Badan. Jenis atau
yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak Badan menurut UU PPh adalah orang
dan/atau modal yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang
meliputi:
Ilustrasi Wajib Pajak Badan perseroan terbatas yang juga dikenakan pajak
penghasilan badan
PP 23/2018 ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan tertentu, dalam hal ini
memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun.
Tarif pada PP 23/2018 ini merupakan tarif PPh Final sebesar 0,5% yang
diperuntukkan bagi para UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No. 36 Tahun 2008 digunakan
untuk menghitung besarnya PPh Badan yang terutang bagi Wajib Pajak Badan
yang tidak termasuk dalam Kriteria PP 23/2018.
Contoh,
Seperti penjelasan di atas, artinya PT AAA ini tidak termasuk yang dapat
menggunakan PPh Final PP 23/2018. Maka, untuk SPT Tahunan PPh Badan Tahun
2023, pajak penghasilan dihitung berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU 36/2008.
3. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan bidang perpajakan.
Berikut contoh perhitungan peredaran bruto Wajib Pajak Badan dari masing-
masing dasar peraturannya:
a. Contoh Hitung Peredaran Bruto Sesuai UU 36/2008
PT AAA adalah perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Pariwisata dan Produksi
Tekstil. PT AAA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan sejak 25 November
2021.
Peredaran Bruto yang berasal dari penjualan tiket perjalanan wisata dan produk
tekstilnya untuk tahun 2022 sebesar Rp10.520.670.000.
Karena pendapatannya lebih dari Rp4,8 miliar setahun, sehingga untuk Tahun
Pajak 2022 ini PT AAA harus menghitung PPh Badan berdasarkan Pasal 17 dan 31E
UU No. 36/2008 ini.
Maka, penghitungan peredaran bruto dari usaha PT AAA pada Tahun Pajak 2020
adalah:
Peredaran Bruto:
Jumlah = Rp10.520.670.000
Peredaran Bruto Tahun Pajak 2021 dari usaha katering dan penjualan
perlengkapan rumah tangga ini sebesar Rp4.550.000.000.
Karena pendapatannya kurang dari Rp4,8 miliar setahun, maka untuk Tahun Pajak
2021 ini PT AAA dapat menghitung PPh Badan berdasarkan PP 23/2018.
Maka, penghitungan peredaran bruto dari usaha PT BBB pada Tahun Pajak 2021
adalah:
Peredaran Bruto:
Jumlah = Rp4.550.000.000
Di Indonesia, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP Dalam Negeri dan BUT,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk hal yang tercantum dalam poin
berikut:
1. Biaya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha.
Contohnya:
3. Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
4. Kerugian atas penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan
8. Piutang yang tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan sebagai biaya
dalam laporan laba rugi komersial;
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP);
Dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
Atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
Syarat telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus;
Atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan PMK.
13. Sumbangan untuk pembinaan olahraga yang juga ketentuannya diatur dengan
PP.
Jika WP mengalami penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut (1 –
13) mengalami kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
Contoh:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas
=
Penghasilan Neto (laba fiskal) tahun 2019
Rp. 120.000.000,00
PPh Terutang = 25% x Rp. 120.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan tahun 2019 = 1/12 x Rp.
= Rp. 2.500.000,00
30.000.000,00
PT. Mulia terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri pada KPP C tanggal 1
Februari 2015. Peredaran bruto setahun lebih dari 50 Miliar Rupiah. Penghasilan
neto (laba fiskal) dapat dihitung berdasarkan pembukuan sebesar
Rp120.000.000,00 setahun. Besarnya PPh pasal 25 bulan Februari 2019
sebagai berikut: