SESUAI dengan namanya, pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan.
Menurut Undang-Undang (UU) PPh, penghasilan mengacu pada setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, dari dalam maupun luar negeri, baik untuk
menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya.
Secara sederhana, ada dua jenis subjek PPh, yakni orang pribadi dan badan. Bagi wajib pajak yang
memiliki usaha sendiri, maka wajib membayar PPh badan. Berikut penjelasan mengenai subjek,
objek, dan tarif PPh badan serta contoh perhitungannya.
Adapun merujuk UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.156/PMK.010/2015 tentang
Perubahan Keempat atas PMK No.215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi
Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk
Subjek Pajak Penghasilan, ada pihak-pihak yang dikecualikan sebagai subjek pajak badan, yaitu:
Pertama, kantor perwakilan negara asing. Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor
perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-
pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Baca Juga: Kelompok Bisnis Dukung Penurunan Tarif & Rasionalisasi Insentif
Kedua, organisasi-organisasi internasional, dengan syarat:
Baca Juga: Otoritas Zona Ekonomi Setujui Paket Reformasi Pajak Penghasilan Badan
Objek PPh Badan
Secara umum, objek PPh badan dibagi menjadi dua jenis, yaitu objek PPh tidak final dan objek PPh
final. Objek PPh tidak final adalah objek pajak yang pada akhir tahun dihitung ulang, lalu
diperhitungkan dengan kredit pajak yang telah dipotong pihak lain (jika ada).
Sementara itu, objek PPh final adalah objek PPh yang pajaknya telah final atau selesai pada saat
dipotong oleh pihak lain atau dipotong sendiri pada akhir tahun dan tidak dihitung ulang. Artinya,
pemajakannya dilakukan satu kali dengan tarif tersendiri dan tidak digunggung dengan penghasilan
lainnya.
Pertama, badan usaha yang memiliki pendapatan bruto sampai Rp4,8 miliar per tahun atau sering
disebut usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018 dikenakan tarif pajak PPh final, yaitu PPh Pasal 4 Ayat 2 dengan perhitungan pajak
0,5% dikalikan dengan seluruh pendapatan bruto dari hasil usaha.
Kedua, badan usaha yang memiliki pendapatan bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun, PPh badan
dikenakan tarif pajak tunggal 25% dikalikan dengan laba bersih sebelum pajak. Laba bersih
sebelum pajak didapatkan dari laba kotor dikurangi dengan biaya-biaya usaha yang diperbolehkan
secara fiskal.
UMenghitung PPh untuk UMKM sangat mudah, wajib pajak hanya perlu menjumlahkan omzet
dalam sebulan, lalu dikalikan tarif 0,5%. PPh tersebut wajib dibayarkan tanggal 15 setiap bulan
berikutnya.
Contoh 1
Baca Juga: Biaya Bunga Pinjaman yang Boleh Dibebankan Secara Fiskal
Tuan Agus memiliki usaha kecil sebagai pedagang baju dengan omzet sebulan Rp15.000.000. Dia
memenuhi syarat untuk menggunakan PP 23 Tahun 2018. Jadi perhitungan pajaknya:
Untuk omzet Juli 2018 yang disetorkan Agustus = 0,5% x Rp15.000.000= Rp75.000,
Jika Rp15.000.000 merupakan omzet Juni yang akan dibayar Juli ini, maka
perhitungannya masih menggunakan tarif 1% x Rp15.000.000 = Rp150.000.
Tuan Agus bisa memanfaatkan tarif setengah persen itu hingga 7 tahun. Setelah itu, dia wajib
membuat pembukuan dan menjadi wajib pajak normal.
Contoh 2
Contoh 3
Tuan Agus mengantongi omzet sebesar Rp700.000.000 per tahun. Kemudian ternyata istrinya
memiliki usaha salon dengan omzet Rp500.000.000 per tahun. Keduanya belum memiliki anak.
Maka perhitungan PPh finalnya sebagai berikut:
Baca Juga: Soal RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan, Ini Komentar Anggota DPR
Peredaran bruto PT ABC pada tahun sebelumnya mencapai lebih dari Rp4,8 miliar. Tahun ini,
peredaran brutonya mencapai Rp30 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp3 miliar.
Berikut adalah penghitungan PPh-nya:
Kedua, menghitung bagian penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas:
Dengan demikian, total PPh badan yang harus dibayar adalah Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-02/PJ/2015 mengenai Penegasan atas
Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU PPh yang mencabut SE-66/PJ/2010 tentang perihal yang sama,
disebutkan bahwa fasilitas pengurangan tarif tersebut dilaksanakan dengan cara self assesment pada
saat penyampaian SPT tahunan PPh badan, sehingga wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu
menyampaikan permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut.
Selain itu, BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas pengurangan
tarif menurut Pasal 31E. Fasilitas pengurangan tarif juga bukan merupakan pilihan, sehingga wajib
pajak yang memenuhi ketentuan wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif tersebut.
LAPORAN keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal
ketika laporan keuangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk membuat SPT PPh yang
disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan mengacu pada
standar akuntansi keuangan (SAK), yang tidak selalu sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Secara umum, rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak (WP) karena terdapat perbedaan
perhitungan antara laba menurut komersial atau akuntansi dengan laba menurut perpajakan.
Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari
sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak.
Dengan demikian, rekonsiliasi fiskal dapat diartikan sebagai usaha mencocokan perbedaan yang
terdapat dalam laporan keuangan komersial dengan perbedaan yang terdapat dalam laporan
keuangan fiskal yang disusun berdasarkan UU perpajakan.
Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh WP yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi
dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan dalam Laporan keuangan komersial,
antara lain:
Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan
pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial atau dengan
secara fiskal. Koreksi fiskal dibedakan menjadi 2 yaitu koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal
negatif. Koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan
koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang.
Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda,
melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan
pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal.
Koreksi fiskal sangat erat kaitannya dengan persiapan dan penghitungan pajak terutang selama satu
tahun, terutama bagi wajib pajak badan. Karena itu pemahaman atas rekonsiliasi fiskal ini sangat
penting terutama untuk memudahkan dalam pengisian SPT PPh Badan yang jatuh tempo setiap
tanggal 30 April.
PT. ABADI JAYA SENTOSA (AJS) bergerak dalam bisnis perdagangan kain tenun. PT AJS
merupakan wajib pajak badan yang berdomisili di Jepara, Jawa Tengah. Informsasi dan data
laporan keuangan komersial PT AJS pada 2019 adalah sebagai berikut (dalam ribuan rupiah):
Keterangan tambahan:
Pertanyaan:
1. Buatlah rekonsiliasi fiskal untuk PT. AJS, sehingga diketahui penghasilan kena
pajaknya.
2. Hitunglah PPh Pasal 29 untuk tahun pajak 2019.
Jawaban:
Penghitungan PPh Pasal 29 PT AJS untuk tahun pajak 2019:
Dengan demikian, PT AJS wajib melunasi sisa kekurangan pembayaran PPh Badan terutang tahun
pajak 2019 sebesar Rp6.550.000 maksimal sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.
KASUS : PPh BADAN
NPWP : 01.234.678.9-035.000 Terdaftar di KPP Kebun Jeruk Th 2012 dengan peredaran bruto
setahun Rp. 5.000.000.000
Alamat : Jl. H. Kelik No.36 Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11550
1. Kendaraan terdiri dari kendaraan sedan BMW (bekas) yang dibeli tahun 2010 senilai Rp 45.000.000,- dan kendaraan Isuzu pick-
up (bekas juga) yang dibeli tahun 2010 senilai Rp 40.000.000,-.Kendaraan ini dikelompokkan dalam kelompok II. Komputer senilai
Rp 12.000.000,- dibeli tahun 2009 dan dikelompokkan dalam kelompok I.
Menurut Perhitungan komersial atas penyusutan 2 buah kendaraan sebesar Rp. 7.500.000 dan menurut fiscal sebesar Rp. 7.812.500 (
Rp. 312.500 ) (korek negatif )
Biaya Pemeliharaan Sedan sesuai ketentuan perpajakan ( 50 % x BY PEMELIHARAN) (KOREK POSITIF )
Penyusutan atas computer & ATK menurut komersial sebesar Rp. 4.500.000,- sedangkan menurut fiscal sebesar Rp. 3.000.000,- ( Rp.
1.500.000 ) KOREK POSITIF
2. Dari biaya pelumas dan bahan bakar senilai Rp 1.000.000,- diberikan sebagai fasilitas bahan bakar isteri direksi ( KOREK POSITIF ) Rp. 1
JUTA
3. Rugi fiskal tahun 2010 yang belum dikompensasikan sebesar Rp. 103.000.000 ( PENGURANGAN PENGHASILAN NETTO )
4. Dari data jamuan makan, Rp 6.000.000 tidak terdapat bukti-bukti transaksi yang valid tapi tetap dibuatkan daftar nominatif ( DIKOREK
POSITIF )
5. Dalam biaya sewa kantor Rp. 10 juta terdapat PPh Pasal 4 ayat2 yang ditanggung perusahaan sebesar Rp. 909.091 (KOREK POSITIF )
6. Terdapat PPh yang dibayar di LN sebesar Rp 6.000.000 merupakan pemotongan pajak daripenghasilan yang diterima di Singapura berupa
dividen (yang tidak setiap tahun diterima) sebesar Rp 16.000.000. ( KREDIT PAJAK )
7. Dari Malaysia terdapat pembayaran royalti (tidak setiap tahun diterima) Rp 55.000.000 (sebelum pajak) dimana tarif pemotongan PPhnya
adalah 15% ( KREDIT PAJAK )
8. Setoran PPh Pasal 25 selama tahun 2013 adalah Rp. 5.000.000 ( KREDIT PAJAK )
Diminta :
1. Susunlah Laporan Keuangan Komersial serta rekonsiliasi fiskal untuk tahun pajak 2013
2. Hitunglah angsuran PPh Pasal 25 tahun 2014
3. Mengisi SPT Tahunan PPh Badan PT Menanti Menantu tahun 2013
4. Untuk hal-hal lain yang dirasa kurang jelas dapat membuat asumsi Jawaban terpisah