Anda di halaman 1dari 11

RESUME

PERPAJAKAN

Nama : Christian Ade Putra


NIM : 223010303071
Kelas :A
Jurusan : Akuntansi
Dosen Pengampu : Lamria Simamora, SE, MSA, Ak

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2024
BAB IV

BAGIAN 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM

PENDAHULUAN

Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Un
dang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan ter- akhir kali diubah dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek paj
ak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak te
rsebut dikenai pajak apabila menerima atau mem- peroleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula diken
ai pa- jak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai a
tau berakhir dalam tahun pajak.

SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK

Yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. a. Orang Pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
2. Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD
dengan nama dan bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kon- trak investasi kolektif.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi:
 Subjek pajak dalam negeri
 Subjek pajak luar negeri

KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF


TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing.


2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka dengan syarat:
Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau mem- peroleh penghasilan
lain di luar jabatannya di Indonesia.
3. Organisasi internasional, dengan syarat:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat:
Bukan warga negara Indonesia.
Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia.

OBJEK PAJAK

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia and maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak
Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu diketahui dasar pengenaan pajaknya Untuk Wajib Pajak
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah
Penghasilan Kena Pajak. Sementara itu, untuk Wajib Pajak Luar negeri adalah penghasilan bruto

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak


Perhitungan besarnya Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat
dilakukan dengan cuara, yaitu:
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan Norma Perhitunfan Penghasilan Neto

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

Perhitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal Tahun Pajak atau awal bagian Tahun
Pajak. Perhitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia)
dilakukan dengan melihat keadaan pada awal tahun takwim (1 januari), sedangkan bagi pegawai yang
baru besarnya PTKP berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang
bersangkutan.

CARA MENGHITUNG PAJAK

Pajak Penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung dengan
cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh Pasal
17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan rumus sebagai berikut:

Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Badan)

= Penghasilan Kena Pajak x tarif Pasal 17

= Penghasilan neto x tarif Pasal 17

=(Penghasilan bruto - biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif Pasal 17

Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi)

= Penghasilan kena pajak x tarif Pasal 17

= (Penghasilan neto - PTKP) x tarif Pasal 17

= [(Penghasilan bruto - biaya yang diperkenankan UU PPh) - PTKP] x tarif Pasal 17

PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL

Dalam ketentuan mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini, ada beberapa jenis penghasilan
(objek pajak) yang dikenakan pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan ya
ng dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan dalam Surat Pe
mberitahuan (SPT), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan penghasilan lainnya. Pajak yang
sudah dipotong tidak diperhitungkan sebagai Kredit Pajak. Pembahasan mengenai pemotongan atau p
emungutan PPh yang bersifat final akan dikaitkan langsung dengan bab-bab selanjutnya.

CARA MELUNASI PAJAK.

Pada dasarnya, Wajib Pajak dapat menghitung dan melunasi Pajak Penghasilan melalui dua cara, yait
u:

1. Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan pajak dalam Masa Pajak .
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.

BAGIAN 2

BENTUK USAHA TETAP

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak tingga
l di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun, ser
ta badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegi
atan di Indonesia.

BUT dapat berupa:

 Tempat kedudukan manajemen


 Pertambangan dan penggalian sumber alam.
 Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
 Kegiatan di bidang perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
 Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan.
 Pemberian jasa oleh pegawai atau orang lain selama lebih dari 60 hari dalam setahun.
 Agen atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas.
 Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko Indonesia.
 Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik melalui internet.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN BUT

Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah:

1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki at dikuasai.
2) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT Indonesia.
3) Penghasilan tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif 20 yan BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud.

PENENTUAN LABA BUT


Dalam menentukan laba suatu BUT, terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Biaya Administrasi Kantor Pusat: Hanya biaya yang terkait langsung dengan usaha atau kegiatan
BUT yang dapat dibebankan, dan besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2) Pembayaran yang Tidak Diperbolehkan sebagai Biaya:* Pembayaran oleh BUT kepada kantor
pusat yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah:

- Royalti atau imbalan lain terkait dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya.

- Imbalan terkait dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.

- Bunga, kecuali bunga yang terkait dengan usaha perbankan.

PERLAKUAN PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK DARI SUATU BUT YANG DI
TANAMKAN KEMBALI DI INDONESIA

Penghasilan Kena Pajak dari BUT di Indonesia akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%, namun da
pat dihindari dengan penanaman kembali penghasilan, dengan syarat:

1) Seluruh penghasilan setelah pajak ditanamkan kembali sebagai modal pada perusahaan baru di
Indonesia.
2) Perusahaan baru harus aktif beroperasi sesuai akta pendiriannya selama 1 tahun.
3) Penanaman kembali dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan atau paling lambat tahun berikutnya.
4) Tidak ada pengalihan dalam 2 tahun setelah perusahaan berproduksi komersial.

BAGIAN 3

PENYUSUTAN, AMORTISASI, DAN REVALUASI

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau depresiasi merupakan konsep alokasi h
arga perolehan harta tetap berwujud, sedangkan amortisasi merupakan konsep alokasi harga perolehan
harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumber alam. Jadi, dalam UU PPh pengertian am
ortisasi mencakup juga pengertian deplesi seperti yang dikenal dalam dunia akuntansi keuangan.

PENYUSUTAN

Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan.

2. Harta berwujud yang berupa

Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:

1. Kelompok 1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.

2. Kelompok 2: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8 tahun.

3. Kelompok 3: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16 tahun.

4. Kelompok 4: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20 tahun.
Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Permanen: masa manfaatnya 20 tahun.

2. Tidak permanen: bangunan yang bersifat semenangan dari bahan yang Tidak lama, atau bangunan
yang dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.

METODE DAN TARIF PENYUSUTAN

Metode penyusutan yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method) dan metode s
aldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu meto
de untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus diperkenankan dipergunakan untuk semua kelom
pok harta tetap berwujud. Sementara itu, metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untu
k kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.

Tabel berikut menggambarkan pengelompokan harta berwujud, metode, serta tarif penyusutannya:

SAAT DIMULAINYA PENYUSUTAN

Saat penyusutan dapat dimulai pada:

1. Bulan dilakukannya pengeluaran.


2. Untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan harta
tersebut selesai.
3. Dengan izin dari Direktur Jenderal Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta berwujud
mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta tersebut mulai menghasilkan.

AMORTISASI

Harta tak berwujud digolongkan menjadi:

1. Kelompok 1: kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.
2. Kelompok 2 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 8 tahun.
3. Kelompok 3: kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 16 tahun.
4. Kelompok 4 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 20 tahun.
METODE DAN TARIF AMORTISASI

Kelompok metode, dan tarif amortisasi seperti disebutkan dalam tabel itu berlaku juga untuk :
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perusahaan modal suatu perusahaan. Pengeluaran ini
dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
2. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial misalnya biaya studi kelayakan dan biaya
produksi percobaan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

CONTOH PENGHITUNGAN AMORTISASI

Asti Jaya pada tanggal 4 Januari 2014 mengeluarkan uang sebanyak Rp100.000.000,00 ntuk mempero
leh haklisensi dari Phoenixcycle Ltd. salama 4 tahun untuk memproduksi pada Phoenix. Penghitungan
amortisasi atas hak lisensi tersebut adalah sebagai berikut:

Alternatif I: Metode garis Lurus

Amortisasi tahun 2014:

25% x Rp100.000.000,00 Rp25.000.000,00

Amortisasi tahun 2015

25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00

Amortisasi tahun 2016:

25% x Rp100.000.000,00 Rp25.000.000,00

Amortisasi tahun 2017:

25% x Rp100.000.000,00-Rp25.000.000,00

Alternatif II: Metode Saldo Menurun

Amortisasi tahun 2014:

50% x Rp100.000.000,00 Rp50.000.000,00

Amortisasi tahun 2015:

50% x (Rp100.000.000,00-Rp50.000.000,00) 50% x Rp50.000.000,00 Rp25.000.000,00


Amortisasi tahun 2016:

50% x (Rp50.000.000,00 - Rp25.000.000,00)

50% x Rp25.000.000,00 Rp12.500.000,00

Amortisasi tahun 2017:

Diamortisasi sekaligus = Rp12.500.000,00

AMORTISASI BERDASAR METODE SATUAN PRODUKSI

Amortisasi dengan metode satuan produksi diterapkan pada amortisasi atan pengeluaran untuk mempe
roleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penam
bangan minyak dan gas bumi. Dalam hal ini, metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan p
ersentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara real
isasi penambangan minyak dan gue bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah selur
uh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.

REVALUASI(PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP)

Aktiva tetap yang dapat dilakukan penilaian kembali adalah:

1. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan.
2. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia,
dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak.

Kasus:

“DJP Usut Kasus SPT Pajak yang Rugikan Negara hingga Rp 317 M”
Kanwil DJP Jakarta Pusat resmi menyerahkan barang bukti tahap 2 ke Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat atas penyidikan kasus pajak yang melibatkan tersangka dengan insial TB.Kajari Jakarta Pusat
Hari Wibowo menyampaikan bahwa TB melakukan pelanggaran pidana melalui Wajib Pajak PT
Uniflora Prima (UP) dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan untuk Tahun
Pajak 2014.

Saat itu, PT UP menjual aset dengan nilai US$ 120 juta, hasil penjualan sebagian besar dilarikan ke
luar negeri. Atas penjualan aset tersebut tidak dilaporkan oleh PT UP dalam SPT Tahunan PPh Badan
Tahun 2014 hingga menimbulkan kerugian negara kurang lebih Rp 317 miliar.

"Jumlah tersebut merupakan salah satu kasus dengan kerugian negara terbesar yang pernah ditangani
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP," kata Kakanwil Jakarta Pusat Yunirwansyah saat
konferensi pers di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Hari menyampaikan bahwa tersangka TB merupakan salah satu pihak penerima manfaat (Beneficial
Owner/BO) dari PT UP. Dia melakukan pengalihan aset bersama tersangka lainnya yang berinisial IS
dan HS yang statusnya sudah meninggal dunia. Adapun, penyerahan tersangka TB ke Kejaksaan ini
dilakukan setelah sebelumnya diserahkan tersangka LS yang telah diadili terlebih dahulu dalam
berkas perkara terpisah dan telah divonis bersalah sesuai dengan keputusan kasasi di Mahkamah
Agung pada tahun 2022.

Kanwil DJP Jakarta Pusat dalam keterangannya mengatakan bahwa TB tidak kooperatif selama
proses penyidikan dan sempat melarikan diri ke luar negeri sehingga ditetapkan sebagai DPO oleh
Kepolisian. Tersangka ditangkap di persembunyiannya dan selanjutnya ditahan di Bareskrim Polri.

Tersangka TB sebelumnya juga telah dua kali melakukan upaya hukum gugatan praperadilan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah diputuskan ditolak.Terhadap tersangka TB selain
dikenakan pasal pidana di bidang perpajakan juga disangkakan melakukan perbuatan tindak pidana
pencucian uang (TPPU).

"Sejumlah aset milik tersangka TB berupa tanah bangunan, kendaraan, obligasi, dan uang dalam
rekening bank telah dilakukan pemblokiran dan penyitaan guna pemulihan Kerugian negara," tertulis
dalam keterangan Kakanwil DJP.

Berdasarkan surat 23 Maret 2023, tersangka ditahan di Rutan Salemba mulai hari ini Rabu
(29/3/2023) sampai 20 hari ke depan.

Adapun penyerahan tersangka dan barang bukti ini berasal dari kolaborasi antara Kanwil DJP Jakarta
Pusat dengan PPNS Kanwil DJP Jakarta Pusat, Interpol, Kepolisian (Polda Metro Jaya dan Bareskrim
Polri), dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta serta didukung oleh PPATK, OJK, BPN, dan
Kemenkumham.

"Mengingat kasus pidana ini melibatkan transaksi keuangan lintas negara dalam prosesnya
keberhasilan pengungkapan kasus in juga berkat kerjasama Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara mitra, antara lain Singapura, Malaysia, dan British Virgin Island,"

Analisis :

menggambarkan kasus pidana yang melibatkan pelanggaran pajak yang dilakukan oleh tersangka TB
melalui perusahaan PT Uniflora Prima (UP). Tersangka TB diduga sengaja tidak melaporkan
penjualan aset perusahaan dalam SPT Tahunan PPh Badan untuk Tahun Pajak 2014, yang
mengakibatkan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp 317 miliar. Selain itu, tersangka juga diduga
terlibat dalam pengalihan aset bersama tersangka lainnya yang sudah meninggal dunia. Tersangka
telah ditetapkan sebagai DPO oleh Kepolisian karena tidak kooperatif selama proses penyidikan dan
sempat melarikan diri ke luar negeri. Namun, akhirnya dia ditangkap dan ditahan di Bareskrim Polri.

Tersangka TB juga telah melakukan upaya hukum gugatan praperadilan yang ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Selain kasus pidana di bidang perpajakan, tersangka juga disangkakan
melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sejumlah aset milik tersangka, seperti tanah,
bangunan, kendaraan, obligasi, dan uang dalam rekening bank, telah diblokir dan disita untuk
pemulihan kerugian negara. Tersangka TB ditahan di Rutan Salemba mulai Rabu, 29 Maret 2023,
sampai 20 hari ke depan. Kasus ini melibatkan kolaborasi antara berbagai lembaga, termasuk Kanwil
DJP Jakarta Pusat, Interpol, Kepolisian, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, PPATK, OJK, BPN, dan
Kemenkumham. Kerjasama dengan otoritas perpajakan negara mitra, seperti Singapura, Malaysia,
dan British Virgin Island, juga membantu dalam pengungkapan kasus yang melibatkan transaksi
keuangan lintas negara.

Untuk menangani kasus seperti ini, beberapa solusi dapat diusulkan:


 Penegakan Hukum yang Tegas:
Penting untuk memastikan bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku pelanggaran pajak dan
pencucian uang sesuai dengan hukum yang berlaku. Ini mencakup penyelidikan yang cermat,
pengadilan yang adil, dan hukuman yang sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
 Pemulihan Kerugian Negara:
Aset yang telah diblokir dan disita perlu dikelola dengan baik untuk memastikan pemulihan
kerugian negara yang telah terjadi akibat tindakan pelanggaran pajak dan pencucian uang.
 Peningkatan Kerjasama Internasional
Kasus-kasus yang melibatkan transaksi lintas negara memerlukan kerjasama yang erat antara
berbagai otoritas perpajakan dan penegakan hukum di negara-negara yang terlibat. Kerjasama ini
perlu ditingkatkan dan diperkuat untuk memastikan keberhasilan dalam pengungkapan dan
penanganan kasus semacam ini.
 Penguatan Sistem Perpajakan dan Pemantauan Keuangan:
Untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan, penting untuk memperkuat sistem
perpajakan dan pemantauan keuangan. Ini termasuk peningkatan dalam pelaporan keuangan yang
transparan, audit yang ketat, dan penggunaan teknologi untuk mendeteksi potensi pelanggaran.

Anda mungkin juga menyukai