Kelompok 4:
Nandito prasetyo (124223018)
Wakhid Prasetyo (124223006)
Muhammad Fahmi (123223003)
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2024
1. Subjek dan Objek Pajak dan Pengecuailian
Perusahaan Cabang
Jika perusahaan asing memiliki kantor cabang di Indonesia, bisnis tersebut diklasifikasikan
sebagai badan usaha tetap. Kantor cabang merupakan sarana yang didirikan untuk
menjalankan usaha. Oleh karena itu, pendirian cabang merupakan bukti bentuk badan usaha
yang tetap. Semua bisnis harus bertujuan untuk mendirikan cabang. Namun, sebelum
melakukannya, Anda harus memastikan bahwa satu bukti kegiatan bisnis Anda tetap berada
di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, semua pendapatan bisnis harus dikenakan pajak yang
berlaku.
Gedung Perusahaan
Keberadaan gedung perusahaan dagang tersebut merupakan salah satu bukti fisik bahwa
merupakan bentuk tetap dari perusahaan afiliasi asing di Indonesia. Keberadaan gedung ini
karenanya merupakan bagian dari penghasilan yang harus dikenakan pajak. Bisnis permanen
yang pendapatannya harus dikenakan pajak. Termasuk juga pembangunan pabrik atau
bangunan pabrik sebagai anak perusahaan dari bisnis otomotif perusahaan asing. Oleh karena
itu, semua penghasilannya kena pajak.
Bangunan Pabrik
Dilihat dari jenis perusahaan asing yang bergerak di bidang manufaktur, mereka kerap
mendirikan pabrik di Indonesia untuk mendukung operasionalnya. Oleh karena itu,
keberadaan pabrik bersifat permanen. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa pabrik
untuk mendukung bisnis tersebut. Mendirikan pabrik di Indonesia melambangkan perusahaan
yang besar dan stabil. Oleh karena itu, keberadaan pabrik merupakan salah satu ciri berbisnis
di Indonesia yang tahan lama dan menghasilkan pendapatan.
Jika pajak Anda kurang dibayar, hitung sendiri pajak penghasilan yang harus dibayar untuk
tahun pajak tersebut dan kurangi dengan jumlah kredit pajak untuk tahun itu. Dalam hal pajak
kurang bayar, ketetapan pajak atau ketetapan pemungutan pajak oleh DJP harus menentukan
apakah terdapat indikasi jumlah pajak yang tidak wajar. Tujuan dari tarif pajak ini adalah
untuk mengetahui adanya insentif pajak untuk kepentingan perusahaan
3. Biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense) dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan ( Non deductible expense)
3.1. deductible expense
Dalam istilah perpajakan, terdapat istilah deductible expense yang dimana ini merupakan
sebuah kebijakan atas biaya yang harus dikurangkan dengan cara menagih, mendapatkan, dan
memelihara penghasilan (3M). Dengan berdasar pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun
2008, dikatakan bahwa deductible expense merupakan suatu kebijakan biaya yang telah diatur untuk
mengurangi penghasilan kena pajak atau penghasilan bruto dengan tujuan mendapatkan, menagih,
serta memelihara penghasilan pajak. Dengan kata lain, deductible expense dapat diartikan sebagai
biaya-biaya pengurang pajak.
Deductible expense merupakan kebijakan yang berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam bentuk
usaha yang tetap. Biaya ini pula yang akan dikurangkan Wajib Pajak untuk dapat mengetahui besaran
penghasilan neto sebagai dasar dari perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).
Secara dasar, deductible expense memiliki 3 (tiga) prinsip umum agar suatu biaya ini dapat dikatakan
atau dapat menjadi deductible expense, yaitu:
1. Biaya tersebut merupakan biaya yang berhubungan dengan suatu kegiatan usaha
2. Kegiatan usaha yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai pajak
3. Biaya tersebut digunakan bukan untuk keperluan atau kepentingan pribadi
Sedangkan, apabila dilihat dari segi pengurangannya, biaya yang dikurangi oleh penghasilan bruto ini
dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:
Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun.
Sedangkan, bagi pengeluaran yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, maka
pembebanannya akan dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Di sisi lain jika dalam 1 (satu)
tahun pajak terdapat kerugian yang disebabkan penjualan harta ataupun terdapat selisih kurs mata
uang asing, maka kerugian-keruguan tersebut juga bisa dikurangi dari penghasilan brutonya.
Non-Deductible Expenses adalah biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dalam hal perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 sebagaimana terakhir diubah dalam Undang-Undang No 7
Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan disebutkan bawah biaya yang tidak dapat
dikurangkan atau bersifat Non-deductible expenses:
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dan pembagian
SHU Koperasi
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi sekutu, pemegang saham atau
anggota (prive)
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
4. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, yang dibayar WPOP kecuali jika dibayar
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan
5. Natura atau kenikmatan dalam UU HPP telah dihapus
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
7. Hibah, bantuan, sumbangan dan warisan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau kebawah serta zakat yang dibayarkan kepada
Lembaga keagamaan yang pendiriannya disahkan oleh pemerintah PMK No
245/PMK.03/2008
8. Pajak penghasilan
9. Biaya untuk kepentingan pribadi
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham
11. Sanksi administrasi.
4.2. Amortisasi
Sedangkan dalam amortisasi, dimana alokasi dilakukan atas perolehan harta tidak berwujud
yang memiliki masa manfaat tertentu. Amortisasi ini telah diatur dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) Pasal 11A ayat 2A. Ayat tersebut mengatur mengenai amortisasi harta tak
berwujud yang memiliki masa manfaat diatas 20 tahun. Amortisasi merupakan sebuah proses dari
pelunasan utang yang dilakukan dalam kurun waktu ataupun periode tertentu dan tentunya dikerjakan
secara bertahap. Sebagai contoh, pembayaran yang dilakukan atas tagihan atau tunggakan bulanan
pada kredit, baik kendaraan, pinjaman KPR, hingga pinjaman kartu kredit serta pembayaran sejenis
lainnya. Dalam hal perhitungan amortisasi memiliki perhitungan khusus.
Kendati demikian angka pembayaran atau cicilan diharuskan lebih besar dari pada pokok
pinjaman yang ditanggung oleh peminjam. Dengan kata lain amortisasi dilakukan dalam angsuran
bertahap agar terlunasi peminjaman atau cicilannya. Dalam hal ini, amortisasi biasa terjadi atas
pengeluaran guna memperoleh harta tidak berwujud ataupun pengeluaran lainnya, baik biaya
perpanjangan hak guna bangun atau usaha, hak pakai, hingga goodwill (kelebihan harga beli) yang
memiliki masa manfaat lebih dari setahun (12 bulan) dan tentunya diperuntukkan atau digunakan
sebagai menagih, mendapatkan, hingga memelihara penghasilan dalam bagian-bagian menurun yang
memiliki masa manfaat sebanding atau sama besar. Penggunaan tarif amortisasi pun dilakukan dengan
melihat pengeluaran atau atas nilai sisa buku di akhir masa manfaat yang diamortisasi sekaligus,
tentunya telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan PMK 101/PMK.010/2016 besarnya penghasilan tidak kena pajak adalah sebagai berikut:
Menjadi tanggungan sepenuhnya menurut UU PPh berdasarkan keadaan yang dapat nyata terlihat
yakni:
Maksimal tanggungan dalam PTKP adalah 3 anak, meskipun memiliki lebih dari 3 anak. Ketentuan
jumlah tanggungan maksimal tiga orang setiap WP. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga
sedarah ialah orangtua kandung, saudara kandung dan anak. Sedangkan yang yang dimaksud keluarga
semenda adalah mertua, anak tiri serta ipar.
5. Kompensasi kerugian
Kompensasi kerugian fiskal merupakan sebuah skema untuk ganti rugi yang dilakukan oleh
wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang mengalami kerugian dalam hal
pembukuannya. Untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka penghasilan bruto dikurangkan
dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Apabila penghasilan bruto
yang telah dikurangi dengan biaya-biaya tersebut, dan masih terdapat kerugian, maka kerugian ini
bisa dikompensasikan dengan penghasilan tahun berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2 tentang
Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”
Umumnya suatu perusahaan mempunyai 2 jenis perhitungan pada keuangannya yaitu
perhitungan komersial dan fiskal, dimana dalam perhitungan fiskal akan lebih diperhitungkan ke
penyusunan laporan perpajakannya yang ada di SPT dan akan lebih mempertimbangkan konsekuensi
perpajakan dari sisi perusahaannya.
Perhitungan fiskal ini berfungsi untuk segala informasi keuangan yang ada di suatu
perusahaan yang kemudian nantinya akan diberikan kepada otoritas pajak untuk tanda kepatuhan
pajak perusahaan tersebut dimana atas hasil perhitungan tersebut wajib pajak akan mengetahui apakah
mengalami kerugian fiskal atau tidak.
Berdasarkan UU PPh, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian terkait kompensasi
kerugian fiskal, yaitu:
Kompensasi kerugian ini pada dasarnya telah diatur dalam Undang-undang No.36 tahun 2008
pada pasal yang ke 6 ayat 2 yang membahas mengenai Pajak Penghasilan yang didalamnya
mencantumkan ayat pertama pada pasal tersebut. Ayat pertama yang tercantum itu sendiri membahas
tentang pengurangan yang antara lain :
1. Adanya pengurangan biaya langsung atau tidak terkait dengan kegiatan usaha.
2. Adanya penyusutan untuk pengeluaran agar mendapat harta berwujud dan adanya amortisasi
untuk pengeluaran agar mendapat hak, serta atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari setahun
3. Adanya iuran dana pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Adanya kerugian akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan dalam hal itu
digunakan dalam perusahaan terkait.
5. Adanya kerugian yang diakibatkan karena adanya selisih kurs mata uang asing.
6. Adanya pengurangan untuk biaya penelitian serta pengembangan atas perusahaan yang
dilakukan di Indonesia.
7. Adanya biaya beasiswa, pelatihan, serta magang.
8. Adanya Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
9. Adanya sumbangan yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana nasional yang telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berikut tarif pajak yang akan dikalikan dengan pendapatan kena pajak untuk mendapatkan
sejumlah nilai pajak yang harus dibayarkan ke kas negara.
Catatan:
Bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan PPh 20%
lebih tinggi dari tarif pajak normalnya.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam
suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) UU PPh dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
B. Metode Pembukuan
Rumus:
Penghasilan neto = Penghasilan Bruto – Pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh
C. Metode NPPN
PKP = Penghasilan Neto – PTKP
Apabila Wajib Pajak membayar zakat, maka perhitungannya seperti berikut:
PKP = Penghasilan Neto – Zakat – PTKP
Rumus:
Penghasilan Neto = Peredaran Usaha x Persentase NPPN
2. Pendapatan Kena Pajak bagi WP Badan
Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan didapat dari Penghasilan Neto yang didapat dari
penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang/biaya yang diperkenankan sesuai UU PPh.
Rumus:
Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – Pengurang/biaya yang diperkenankan UU PPh
Misalnya terdapat rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka PKP dapat
dihitung dari penghasilan neto dikurangi kompensasi kerugian.
7. Tarif pajak
Tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak terhadap seluruh objek pajak yg memang sebagai
tanggung-jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak berupa besaran presentase yg sudah ditetapkan
pemerintah menjadi acuan pada pengenaan pajak.
Setiap jenis pajak mempunyai tarif pajak yg tidak sama atau beda. Dasar pengenaan pajak merupakan
nilai pada bentuk uang yg dipakai menjadi dasar buat menghitung pajak terutang. Setidaknya terdapat
4 jenis tarif pajak yakni, tarif progresif, tarif degresif, tarif proporsional, & tarif regresif.
a. tarif progresif pada tarif ini pemungutan pajaknya atas presentasenya akan naik sebanding
menggunakan jumlah dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia sendiri, jenis tarif pajak ini
diterapkan menjadi metode pengenaan pajak penghasilan untuk orang pribadi.
b. tarif degresif yg kebalikan menurut tarif progresif yaitu presentase pajak menggunakan tarif ini
akan dipungut lebih kecil dengan dasar pengenaan pajaknya meningkat. Artinya, presentase
atas tarif pajak akan semakin rendah atau turun saat dasar pengenaan pajaknya semakin besar.
Dalam praktik perundang-undangan Indonesia, tarif ini tidak pernah dipakai.
c. tarif proporsional, tidak sinkron halnya menggunakan tarif progresif & degresif, tarif ini
pemungutan pajaknya atas presentasenya akan permanen & tidak terjadi perubahan terhadap
seluruh dasar pengenaan pajaknya. Bisa dikatakan bahwa sebanyak apapun jumlah objek pajak
yg akan dikenakan pada pajak penghasilannya, presentasenya pun akan permanen sama.
d. tarif regresif yakni tarif yg waktu pemungutan tarif pajaknya akan selalu permanen tanpa
melihat jumlah menurut seluruh dasar pengenaan pajaknya. Sehingga, tarif yg dikenakan
besarnya sama bagi semua wajib pajak. Dapat dikatakan bahwa tarif ini akan selalu sama &
sinkron menggunakan peraturan yg diberlakukan oleh pemerintah.
a. Tarif sebesar 20% dikenakan atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), serta jasa giro. Ketentuan tarif ini diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 131 Tahun 2000
dan KMK Nomor 51/KMK.04/2001.
b. Tarif sebesar 10% dikenakan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada para
anggotanya (kecuali bunga dibawah Rp 240 ribu tidak dikenakan pajak). Ketentuan ini lebih
lanjut diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2009.
c. Tarif sebesar 10% dikenakan atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang tidak menginvestasikan dividennya di dalam negeri dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak dividen diperoleh. Apabila diinvestasikan, maka tidak dikenakan pajak. Ketentuan
ini sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
d. Tarif sebesar 10% dikenatan terhadap persewaan atas tanah dan/atau bangunan. Ketentuan ini
lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
e. Tarif sebesar 0% - 20% dikenakan atas bunga obligasi (surat utang negara) dan SUN lebih dari
12 bulan. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 16
Tahun 2009.
f. Tarif sebesar 25% dikenakan atas hadiah undian atau lotre. Ketentuan ini lebih lanjut diatur
dalam PP Nomor 132 Tahun 2000.
g. Tarif sebesar 0,5% dikenakan atas transaksi penjualan saham pendiri dan tarif
sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi saham bukan pendiri.
h. Tarif sebesar 5% dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, termasuk
usaha real estate. Sedangkan, tarif sebesar 1% dikenakan atas pengalihan rumah sederhana dan
rumah susun sederhana.
i. Tarif sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi penjualan saham atau pengalihan penyerahan
modal pada perusahaan pasangannya yang diperoleh perusahaan modal ventura.
j. Tarif sebesar 2,5% dikenakan atas transaksi derivatif berjangka panjang yang sudah
diperdagangkan di bursa. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2009.
Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022 adalah sebagai
berikut:
a. Tarif sebesar 1,75% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi kecil dengan sertifikasi;
b. Tarif sebesar 4% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi;
c. Tarif sebesar 2,65% dikenakan terhadap pelaksana konstruksi menengah dan besar;
d. Tarif sebesar 2,65% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan usaha;
e. Tarif sebesar 4% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan usaha;
f. Tarif sebesar 3,5% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia
jasa konstruksi yang mempunyai sertifikasi usaha;
g. Tarif sebesar 6% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia
jasa konstruksi yang tidak mempunyai sertifikasi usaha.
Batas Waktu Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2). Penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto (omzet) tertentu disetorkan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Sementara untuk pelaporannya, apabila sudah
validasi NTPN maka Wajib Pajak tidak perlu lapor lagi.
a. PPh Pasal 4 ayat (2) berupa bunga, deposito, tabungan, dan diskonto SBI disetorkan paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan dilaporkan paling
lambat tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak.
b. PPh Pasal 4 ayat (2) berupa transaksi penjualan saham disetorkan paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penjualan saham. Sementara dilaporkan paling lambat
tanggal 25 setelah bulan terjadinya penjualan saham.
c. PPh Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian disetorkan paling lambat tanggal 10 berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak dan dilaporkan paling lambat 20 hari setelah berakhirnya masa
pajak.
d. PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan disetorkan paling lambat tanggal
10 (untuk pemotong pajak) atau tanggal 15 (untuk Wajib Pajak pengusaha sewa) bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, serta dilaporkan paling lambat 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak.
e. PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi disetorkan paling lambat tanggal 10 (untuk pemotong
pajak) atau tanggal 15 (untuk Wajib Pajak jasa konstruksi) bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak. Sementara, untuk pelaporannya adalah paling lambat tanggal 20
setelah berakhirnya masa pajak.
9. Norma perhitungan
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dasar pengenaan pajak
(Penghasilan Kena Pajak) dihitung dengan menggunakan Norma Penghasilan Neto dengan syarat
peredaran usahanya tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Penghasilan neto ditetapkan sebesar presentase
tertentu dari peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas selama setahun. Pedoman untuk
menentukan Penghasilan Neto dibuat dan disempurnakan terus menerus oleh Direktorat Jendral Pajak
(sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 536/PJ.2/2000 tanggal 29 Desember 2000, disesuaikan dengan
KMK No. 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang perubahan usaha yang boleh
menggunakan Norma Penghitungan, berlaku mulai 2007). Besarnya norma ditentukan dengan
beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha.
b. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang,
Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
c. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
d. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto
(NPPN) wajib memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu tiga
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Adapun, tahun pajak adalah jangka waktu satu
tahun kalender kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun
kalender.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memberitahukan kepada DJP untuk menghitung
penghasilan neto menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), maka Wajib Pajak
tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Lebih lanjut, pemberitahuan penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang
disampaikan dalam jangka waktu tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan dianggap
disetujui, kecuali bila dari hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang memungkinkan untuk menghitung penghasilan netonya
menggunakan NPPN, yaitu tenaga ahli (dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara, dan pekerjaan
bebas lainnya), olahragawan, pekerjaan di bidang seni (pemusik, penyanyi, pelawak, aktor, penari,
bintang iklan, dan kru film), peneliti, pengarang, penerjemah, agen, perantara, pedagang, pengawas
proyek, serta agen asuransi.
Jika PT. JK yang notabene sahamnya sudah dimiliki PT. MG, memiliki saham terhadap PT. DK
sebesar 50%, maka secara otomatis PT. MG yang memiliki kepemilikan saham atas PT. JK
juga secara tidak langsung memiliki penyertaan atas PT. DK sebesar 25%. Dalam hal ini, dapat
dikatakan PT. MG, PT. JK, dan DK. Yang memiliki hubungan istimewa dan hubungan seperti
itu dapat terjadi juga antara orang pribadi maupun badan.