Anda di halaman 1dari 18

TUGAS HUKUM PAJAK

Kelompok 4:
Nandito prasetyo (124223018)
Wakhid Prasetyo (124223006)
Muhammad Fahmi (123223003)

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2024
1. Subjek dan Objek Pajak dan Pengecuailian

1.1. Subjek Pajak Penghasilan


Definisi Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori yakni:
 PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi atas pegawai serta bukan
pegawai maupun pengusaha
 PPh yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan, hingga objek yang
dikenakan PPh itu sendiri
Secara garis besar, objek pajak penghasilan di sini dikelompokkan menjadi tiga kategori, yang
akan mengarah pada jenis-jenis PPh yang menjadi kewajiban wajib pajak, yakni:
Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun bagian tahun pajak. Subjek pajak penghasilan
artinya orang yang harus membayar pajak penghasilan dan disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Status
sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan mendaftarkan diri terlebih dahulu ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pendaftaran diri sebagai WP dilakukan di KPP tersebut harus sesuai dengan wilayah domisili
yang bersangkutan. Merujuk pada UU PPh, subjek pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa jenis,
di antaranya:
a. Subjek PPh Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang pribadi adalah subjek pajak penghasilan bagi yang mencakup orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia.
b. Subjek PPh OP Dalam Negeri
Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi yang telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ,
Penghasilan Tidak Kena Pajak atau yang sering disingkat PTKP adalah batasan nominal
tertentu dari pendapatan Wajib Pajak yang tidak dikenakan pajak.
c. Subjek PPh OP Luar Negeri
Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia maupun melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
d. Subjek PPh Warisan yang belum terbagi
Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum terbagi sebagai
subjek pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal warisan
tersebut tetap dilaksanakan.“Artinya, warisan yang di tinggalkan oleh subjek pajak dalam
negeri ini mengikuti status pewaris. Katika warisan yang di tinggalkan oleh pewaris
tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, bisa saja memberikan penghasilan meski
pewaris tersebut telah meninggal.” Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika
warisan itu telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, maka tidak dianggap sebagai subjek pajak
pengganti.
e. Subjek PPh Badan
Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Badan bisa
berupa Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya, firma,
kongsi, koperasi, dan lainnya.
Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:
 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
f. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)
Subjek PPh Bentuk Usaha Tetap adalah subjek pajak penghasilan yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak padan badan dalam negeri.
BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik
orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia. BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan NPWP.
Kemudian menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya pajak terutang dalam
satu tahun pajak. Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak
dengan menggunakan tarif pajak BUT umum sebesat 25% seperti yang berlaku pada
subjek pajak badan dalam negeri.

1.2. Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan


Yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan (Pasal 2 Ayat (3) UU PPh) adalah:
a. Badan perwakilan negara asing.
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negeri
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
dengan syarat :
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut,
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

1.3. Objek Pajak Penghasilan


Penghasilan merupakan Objek Pajak. Penghasilan sendiri dapat diartikan sebagai setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan yang
termasuk Objek Pajak menurut Pasal 4 ayat (1) UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
adalah sebagai berikut :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini,
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan, 15
c. Laba usaha,
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha,
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya,
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang,
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi,
h. Royalti,
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, 16
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala,
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing,
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva,
n. Premi asuransi,
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

1.4. Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2) Final


Maksud dari pengenaan pajak yang bersifat final adalah kesederhanaan dalam pemungutan
pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta kemudahan dalam pelaksanaan
pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jendral Pajak. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final (diatur dalam Peraturan
Pemerintahan) terdiri dari :
1. Transaksi penjualan efek di bursa efek, penjualan saham pendiri (0,6 x nilai transaksi) dan
penjualan saham biasa (0,1% x nilai transaksi).
2. Hadiah undian (20% x jumlah bruto)
3. Bunga deposito, tabungan, serta diskonto sertifikat BI (20% x nilai penghasilan bruto). 17
4. Penghasilan hak atas tanah dan bangunan oleh Wajib Pajak real estat (2% x nilai penjualan
rumah sakit) serta tanah dan bangunan lainya (5% x nilai penjualan).
5. Penghasilan dan sewa atas tanah atau bangunan orang pribadi (10% x nilai sewa) dan badan
(6% x nilai sewa).
6. Penghasilan pelayaran dalam negeri (1,2% x peredaran bruto).
7. Pelayaran atau penerbangan luar negeri (2,64% dari perederan).
8. Penghasilan jasa kontruksi untuk pelaksana (2% x nilai jasa pelaksana kontruksi) serta
untuk perencanaan dan pengawasan (4% x nilai jasa perencanaan kontruksi dan jasa
pengawasan kontruksi).

1.5. Pengecualian Objek Pajak Penghasilan


Pengecualian Objek Pajak Penghasilan Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak (Pasal 4
Ayat (3) UU PPh) adalah sebagai berikut :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amal zakat atau
lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat
yang berhak.
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
b. Warisan.
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, dengan syarat :
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan,
2. Bagi Perseroan Terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar
kepemilikan saham tersebut.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 19
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. Perusahaan reksadana
adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau
jual beli sekuritas.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura merupakan bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
 Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Perusahaan modal ventura merupakan suatu perusahaan yang kegiatan usahanya
membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk
suatu jangka waktu tertentu.
2. Bentuk Usaha Tetap
UU Pajak Penghasilan (IU) No. 36 Tahun 2008, Pasal 2, Ayat 5. Bentuk usaha tetap adalah
bentuk usaha yang digunakan oleh orang perseorangan yang bukan penduduk Indonesia, orang
perseorangan yang tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan hukum bukan penduduk.
Namun, jika terdapat tax treaty atau P3B antara Indonesia dengan negara asal perusahaan, maka
jangka waktu pendirian tetap yang berlaku ditentukan berdasarkan kesepakatan yang disepakati kedua
negara.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah empat kali diubah, yang paling signifikan
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Sedangkan, UU 36/2008 merupakan amandemen
keempat atau terakhir terhadap kiblat pajak penghasilan negara. Bentuk usaha tetap (BUT) termasuk
dalam kategori kena pajak luar negeri dan dikenakan pajak penghasilan badan (WP).
Selain itu, juga dikenakan pajak penghasilan badan (WP) bersama dengan subjek pajak
penghasilan kena pajak lainnya seperti orang pribadi, perusahaan swasta (PT), yayasan, dan BUMN.
2.1. Jenis-Jenis BUT Pajak
Untuk mengukuhkan kegiatan usahanya, penduduk non-Indonesia tetap menggunakan usaha di
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000. Jenis entitas berikut akan
tetap dikenakan pajak adalah sebagai berikut:

 Perusahaan Cabang

Jika perusahaan asing memiliki kantor cabang di Indonesia, bisnis tersebut diklasifikasikan
sebagai badan usaha tetap. Kantor cabang merupakan sarana yang didirikan untuk
menjalankan usaha. Oleh karena itu, pendirian cabang merupakan bukti bentuk badan usaha
yang tetap. Semua bisnis harus bertujuan untuk mendirikan cabang. Namun, sebelum
melakukannya, Anda harus memastikan bahwa satu bukti kegiatan bisnis Anda tetap berada
di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, semua pendapatan bisnis harus dikenakan pajak yang
berlaku.

 Gedung Perusahaan

Keberadaan gedung perusahaan dagang tersebut merupakan salah satu bukti fisik bahwa
merupakan bentuk tetap dari perusahaan afiliasi asing di Indonesia. Keberadaan gedung ini
karenanya merupakan bagian dari penghasilan yang harus dikenakan pajak. Bisnis permanen
yang pendapatannya harus dikenakan pajak. Termasuk juga pembangunan pabrik atau
bangunan pabrik sebagai anak perusahaan dari bisnis otomotif perusahaan asing. Oleh karena
itu, semua penghasilannya kena pajak.

 Bangunan Pabrik

Dilihat dari jenis perusahaan asing yang bergerak di bidang manufaktur, mereka kerap
mendirikan pabrik di Indonesia untuk mendukung operasionalnya. Oleh karena itu,
keberadaan pabrik bersifat permanen. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa pabrik
untuk mendukung bisnis tersebut. Mendirikan pabrik di Indonesia melambangkan perusahaan
yang besar dan stabil. Oleh karena itu, keberadaan pabrik merupakan salah satu ciri berbisnis
di Indonesia yang tahan lama dan menghasilkan pendapatan.

2.2. Jenis Pajak dan Tarif Pajak BUT


Berdasarkan peraturan ini, pemerintah telah menetapkan tarif pajak sebesar 25% atas
penghasilan kena pajak dari bentuk usaha tetap yang peraturan ini mulai berlaku pada tahun 2010.
Selain itu, penetapan tarif pajak ini berlaku tidak hanya untuk wajib pajak luar negeri, tetapi juga
berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 36 Pasal 17 Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan
2008, yang sebelumnya memiliki tarif pajak bentuk usaha tetap dalam negeri progresif tergantung
pada jumlah penghasilan kena pajak. Di sisi lain, Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun
2000 menetapkan tarif pajak sekitar 10-30% untuk penghasilan kena pajak dari Rp 50.000.000
menjadi lebih dari Rp 100.000.000.
Pendapatan kena pajak yang dapat dikurangkan dari bentuk usaha tetap Indonesia dikenakan
pajak sebesar 20%. Berdasarkan pembahasan di atas, pajak badan tetap sama dengan wajib pajak
dalam negeri lainnya, dengan perbedaan bahwa bentuk usaha tetap Indonesia tidak dapat menikmati
perjanjian perpajakan. Wajib Pajak melunasi dan menghitung PPh pada dasarnya dengan dua cara,
yaitu pajak untuk tahun berjalan dan pajak pada akhir tahun, sebagai berikut:

 Pelunasan Pajak Tahun Berjalan


oPPh 21 sebagai pengurang PPh atas pekerjaan, jasa dan kegiatan
oPPh 22 merupakan pungutan PPh atas kegiatan di daerah pengimpor atau kegiatan
usaha di daerah lain
o PPh 23 berlaku sebagai reservasi PPh untuk penggunaan properti oleh orang lain,
keuntungan modal, layanan, hadiah, dan penghargaan
o PPh 24 sebagai pembayaran PPh di luar negeri
o PPh 26 sebagai withholding tax atas penghasilan wajib pajak luar negeri.
Pengurangan terdiri dari bunga atas harta kekayaan berupa deposito, tabungan
lainnya, transaksi saham, tanah, atau bangunan.
 Pelunasan Pajak Akhir Tahun

Jika pajak Anda kurang dibayar, hitung sendiri pajak penghasilan yang harus dibayar untuk
tahun pajak tersebut dan kurangi dengan jumlah kredit pajak untuk tahun itu. Dalam hal pajak
kurang bayar, ketetapan pajak atau ketetapan pemungutan pajak oleh DJP harus menentukan
apakah terdapat indikasi jumlah pajak yang tidak wajar. Tujuan dari tarif pajak ini adalah
untuk mengetahui adanya insentif pajak untuk kepentingan perusahaan

3. Biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense) dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan ( Non deductible expense)
3.1. deductible expense
Dalam istilah perpajakan, terdapat istilah deductible expense yang dimana ini merupakan
sebuah kebijakan atas biaya yang harus dikurangkan dengan cara menagih, mendapatkan, dan
memelihara penghasilan (3M). Dengan berdasar pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun
2008, dikatakan bahwa deductible expense merupakan suatu kebijakan biaya yang telah diatur untuk
mengurangi penghasilan kena pajak atau penghasilan bruto dengan tujuan mendapatkan, menagih,
serta memelihara penghasilan pajak. Dengan kata lain, deductible expense dapat diartikan sebagai
biaya-biaya pengurang pajak.
Deductible expense merupakan kebijakan yang berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam bentuk
usaha yang tetap. Biaya ini pula yang akan dikurangkan Wajib Pajak untuk dapat mengetahui besaran
penghasilan neto sebagai dasar dari perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).
Secara dasar, deductible expense memiliki 3 (tiga) prinsip umum agar suatu biaya ini dapat dikatakan
atau dapat menjadi deductible expense, yaitu:

1. Biaya tersebut merupakan biaya yang berhubungan dengan suatu kegiatan usaha
2. Kegiatan usaha yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai pajak
3. Biaya tersebut digunakan bukan untuk keperluan atau kepentingan pribadi

Sedangkan, apabila dilihat dari segi pengurangannya, biaya yang dikurangi oleh penghasilan bruto ini
dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

1. Biaya yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun


2. Biaya yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun.

3.2. Pajak Penghasilan pada Deductible Expense


Dengan berkaca pada Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh), Pasal 6 ayat (1), terdapat biaya yang dapat menjadi deductible expense, yaitu:
I. Biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung,
meliputi:
a. Beban pembelian bahan
b. Beban yang berkenaan dengan pekerjaan maupun jasa
c. Beban atas upah, gaji, honorarium, bonus, tunjangan dalam bentuk uang,
hingga gratifikasi
d. Biaya bunga, sewa, ataupun royalti
e. Beban atas perjalanan dinas
f. Beban atas pengolahan limbah
g. Biaya atas premi asuransi
h. Beban promosi dan penjualan yang berdasarkan pada Peraturan Menteri
Keuangan
i. Beban administrasi
j. Biaya atas pajak, kecuali Pajak Penghasilan (PPh)
II. Biaya penyusutan atas pengeluaran dengan tujuan memperoleh harta berwujud, maupun
amortisasi atas pengeluaran sebagai perolehan hak atau biaya lainnya yang memiliki batas
atau jangka waktu manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
III. Biaya atas iuran dana pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu)
IV. Biaya kerugian atas penjualan maupun pengalihan harta yang dimiliki, bahkan harta yang
digunakan dalam perusahaan. Dimana untuk dapat dimiliki, mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan
V. Biaya atas kerugian selisih kurs mata uang asing
VI. Beban atas kegiatan penelitian maupun kegiatan pengembangan perusahaan yang dijalankan
di Indonesia
VII. Beban beasiswa, magang, maupun pelatihan
VIII. Biaya atas piutang yang nyata-nyata dan tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. Telah dibebankan sebagai biaya pada laporan laba rugi komersial
b. Sebagai Wajib Pajak diharuskan memberikan daftar piutang yang tidak bisa ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
c. Menyerahkan perkara penagihan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri maupun instansi
pemerintah yang dimana dapat menangani piutang negara, perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang, pembebasan utang antara kreditur dengan debitur yang bersangkutan,
serta mempublikasikan penerbitan umum atau khusus, dengan pengakuan dari debitur apabila
hutang telah dihapuskan dalam jumlah tertentu
d. Persyaratan yang mengacu pada poin ketiga di atas, tidak berlaku untuk menghapuskan
piutang yang tidak tertagih oleh debitur dengan jumlah yang kecil serta pelaksanaannya ini
diatur dengan berdasar pada Peraturan Menteri Keuangan
I. Biaya sumbangan dalam rangka menanggulangi bencana nasional sesuai dengan peraturan
pemerintah
II. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
III. Beban atas pembangunan infrastruktur sosial
IV. Biaya atas sumbangan fasilitas Pendidikan
V. Biaya atas sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Sementara itu, dalam UU No. 36 Tahun 2008, khususnya pada Pasal 9 juga dibuatkan
kebijakan terkait biaya yang dikecualikan untuk menjadi deductible expense. Biaya ini umumnya
tidak dapat menjadi pengurangan penghasilan bruto. Namun, dalam Pasal 9 tersebut juga terdapat
biaya tertentu yang dikecualikan sehingga dapat menjadi deductible expense. Contoh dari biaya
tersebut merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh pihak pemberi kerja dan premi tersebut akan
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Selain itu, terdapat juga pemberian makanan dan minuman yang tergolong sebagai natura
sehingga tidak dapat menjadi deductible expense. Tetapi, pemberian makanan dan minuman ini dapat
menjadi deductible expense apabila makanan dan minuman ini disediakan bagi seluruh pegawai
sebagaimana yang sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 51/PJ/2009 dan PMK
No.167/PMK.03/2018.
Dalam hal ini biaya yang dapat dijadikan sebagai deductible expense telah diatur oleh masing-
masing pasal yang berbeda, antara lain jenis biaya untuk BUT (Badan Usaha Tetap) diatur dalam
Pasal 5 UU PPh, dan jenis biaya untuk penyusutan dan amortisasi diatur dalam Pasal 11 dan 11A UU
PPh. Adapun, beban atau biaya yang dapat dikurangi oleh penghasilan brutonya, yakni terbagi
menjadi 2 kategori, antara lain :

 Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
 Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun.

Sedangkan, bagi pengeluaran yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, maka
pembebanannya akan dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Di sisi lain jika dalam 1 (satu)
tahun pajak terdapat kerugian yang disebabkan penjualan harta ataupun terdapat selisih kurs mata
uang asing, maka kerugian-keruguan tersebut juga bisa dikurangi dari penghasilan brutonya.

3.3. Non-Deductible Expenses

Non-Deductible Expenses adalah biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dalam hal perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 sebagaimana terakhir diubah dalam Undang-Undang No 7
Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan disebutkan bawah biaya yang tidak dapat
dikurangkan atau bersifat Non-deductible expenses:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dan pembagian
SHU Koperasi
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi sekutu, pemegang saham atau
anggota (prive)
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
4. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, yang dibayar WPOP kecuali jika dibayar
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan
5. Natura atau kenikmatan dalam UU HPP telah dihapus
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
7. Hibah, bantuan, sumbangan dan warisan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau kebawah serta zakat yang dibayarkan kepada
Lembaga keagamaan yang pendiriannya disahkan oleh pemerintah PMK No
245/PMK.03/2008
8. Pajak penghasilan
9. Biaya untuk kepentingan pribadi
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham
11. Sanksi administrasi.

4. Penyusutan dan amortisasi


4.1. Penyusutan
Secara konsepnya, penyusutan merupakan sebuah alokasi dari biaya perolehan suatu aktiva
tetap (kecuali tanah) yang memiliki masa manfaat tertentu atau disesuaikan dengan kelompok
hartanya. Secara umum penyusutan didefinisikan sebagai sebuah akumulasi biaya yang akan
dialihkan atau dialokasikan sebagai aset tetap dalam kurun waktu atau periode tertentu. Penyusutan
pun dapat diartikan sebagai salah satu hal yang bisa mengubah biaya sebenarnya (asli) dari fixed
assets (aset tetap). Sebagai contoh, gedung-gedung pabrik, mesin produksi, hingga alat-alat kerja yang
termasuk beban selama masa manfaat yang dimiliki dari aset tetap terkait. Dimana beban yang
dimaksud dapat mempengaruhi hasil laba bersih, lantaran ditetapkan sebagai beban biaya ataupun
pengeluaran pada laporan keuangan. Penyusutan ini telah diatur dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) Pasal 11.
Dalam hal ini, penyusutan akan dimulai pada saat bulan dimana terjadinya pengeluaran.
Sementara apabila terjadi pada harta yang masih dalam proses pengerjaan, maka penyusutan baru
dapat dilakukan pada bulan selesainya pengerjaan atas harta tersebut. Sedangkan, dalam amortisasi
akan dimulai juga pada bulan saat terjadinya pengeluaran. Kedua ketentuan tersebut sama-sama akan
berakhir apabila masa manfaat dari harta tersebut telah habis sesuai dengan ketentuan perpajakannya.
Selanjutnya dalam UU PPh pada metode perhitungan, dimana terdapat 2 (dua) metode perhitungan
yakni metode garis lurus dan metode saldo menurun. Kedua metode tersebut ditentukan atas bagian-
bagian yang sebanding atau sama besar dan tentunya tergantung dari masa manfaat yang telah
ditetapkan. Masa manfaat pada aktiva tetap akan disesuaikan dengan kelompok aktiva tetap. Dalam
hal ini, ketentuan tersebut telah diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam hal ini, penyusutan biasanya terjadi atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, hingga perbaikan atau perubahan atas harta berwujud. Adapun, yang menjadi
pengecualian dalam hal ini, yakni atas tanah yang memiliki status hak milik, hak guna bangunan atau
usaha, dan hak pakai yang diperuntukkan atau digunakan sebagai menagih, mendapatkan, hingga
memelihara penghasilan yang memiliki masa manfaat lebih dari setahun (12 bulan) dalam bagian-
bagian yang memiliki masa manfaat sebanding atau sama besar atas ketentuan harta tersebut.
Penyusutan juga dapat dilakukan atas harta berwujud selain daripada bangunan, selain itu
juga pada bagian-bagian yang memiliki penurunan selama masa manfaatnya, atau yang dihitung
dengan menetapkan nilai sisa buku ataupun masa akhir manfaat sisa buku yang bisa disusutkan
sekaligus untuk penggunaan tarifnya. Dalam hal ini terdapat syarat dan ketentuan dalam menetapkan
tarif, dimana harus dilakukan sesuai dengan taat asas.

4.2. Amortisasi
Sedangkan dalam amortisasi, dimana alokasi dilakukan atas perolehan harta tidak berwujud
yang memiliki masa manfaat tertentu. Amortisasi ini telah diatur dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) Pasal 11A ayat 2A. Ayat tersebut mengatur mengenai amortisasi harta tak
berwujud yang memiliki masa manfaat diatas 20 tahun. Amortisasi merupakan sebuah proses dari
pelunasan utang yang dilakukan dalam kurun waktu ataupun periode tertentu dan tentunya dikerjakan
secara bertahap. Sebagai contoh, pembayaran yang dilakukan atas tagihan atau tunggakan bulanan
pada kredit, baik kendaraan, pinjaman KPR, hingga pinjaman kartu kredit serta pembayaran sejenis
lainnya. Dalam hal perhitungan amortisasi memiliki perhitungan khusus.
Kendati demikian angka pembayaran atau cicilan diharuskan lebih besar dari pada pokok
pinjaman yang ditanggung oleh peminjam. Dengan kata lain amortisasi dilakukan dalam angsuran
bertahap agar terlunasi peminjaman atau cicilannya. Dalam hal ini, amortisasi biasa terjadi atas
pengeluaran guna memperoleh harta tidak berwujud ataupun pengeluaran lainnya, baik biaya
perpanjangan hak guna bangun atau usaha, hak pakai, hingga goodwill (kelebihan harga beli) yang
memiliki masa manfaat lebih dari setahun (12 bulan) dan tentunya diperuntukkan atau digunakan
sebagai menagih, mendapatkan, hingga memelihara penghasilan dalam bagian-bagian menurun yang
memiliki masa manfaat sebanding atau sama besar. Penggunaan tarif amortisasi pun dilakukan dengan
melihat pengeluaran atau atas nilai sisa buku di akhir masa manfaat yang diamortisasi sekaligus,
tentunya telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Penghasilan Tidak Kena Pajak atau yang sering disingkat PTKP adalah batasan nominal
tertentu dari pendapatan Wajib Pajak yang tidak dikenakan pajak. Menurut kepada UU No 36 Tahun
2008 tentang PPh, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah komponen pengurangan dalam
menghitung besarnya pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi. PTKP merupakan batas minimum
penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan bagi warga negara Indonesia. PTKP berlaku
untuk semua wajib pajak orang pribadi yang sudah memiliki penghasilan. Besarnya PTKP bisa
berbeda-beda, tergantung dari status perkawinan dan jumlah tanggungan keluarga.
Aturan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak dapat berubah-ubah sesuai peraturan pemerintah
yang berlaku. Sejauh ini, telah terjadi beberapa perubahan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak,
adapun perubahan yang terakhir dan masih berlaku hingga saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak.

Berdasarkan PMK 101/PMK.010/2016 besarnya penghasilan tidak kena pajak adalah sebagai berikut:

1. Untuk wajib pajak orang pribadi adalah Rp54.000.000


2. Jika wajib pajak sudah menikah maka diberi tambahan sebesar Rp4.500.000
3. Untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami maka diberi
tambahan sebesar Rp54.000.000
4. Jika wajib pajak memiliki tanggungan yang terdiri dari anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, maka diberi tambahan
sebesar Rp4.500.000.

Menjadi tanggungan sepenuhnya menurut UU PPh berdasarkan keadaan yang dapat nyata terlihat
yakni:

 Tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak


 Tidak mempunyai penghasilan sendiri
 Ditanggung oleh orang tuanya sendiri

Maksimal tanggungan dalam PTKP adalah 3 anak, meskipun memiliki lebih dari 3 anak. Ketentuan
jumlah tanggungan maksimal tiga orang setiap WP. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga
sedarah ialah orangtua kandung, saudara kandung dan anak. Sedangkan yang yang dimaksud keluarga
semenda adalah mertua, anak tiri serta ipar.

5. Kompensasi kerugian
Kompensasi kerugian fiskal merupakan sebuah skema untuk ganti rugi yang dilakukan oleh
wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang mengalami kerugian dalam hal
pembukuannya. Untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka penghasilan bruto dikurangkan
dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Apabila penghasilan bruto
yang telah dikurangi dengan biaya-biaya tersebut, dan masih terdapat kerugian, maka kerugian ini
bisa dikompensasikan dengan penghasilan tahun berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2 tentang
Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”
Umumnya suatu perusahaan mempunyai 2 jenis perhitungan pada keuangannya yaitu
perhitungan komersial dan fiskal, dimana dalam perhitungan fiskal akan lebih diperhitungkan ke
penyusunan laporan perpajakannya yang ada di SPT dan akan lebih mempertimbangkan konsekuensi
perpajakan dari sisi perusahaannya.
Perhitungan fiskal ini berfungsi untuk segala informasi keuangan yang ada di suatu
perusahaan yang kemudian nantinya akan diberikan kepada otoritas pajak untuk tanda kepatuhan
pajak perusahaan tersebut dimana atas hasil perhitungan tersebut wajib pajak akan mengetahui apakah
mengalami kerugian fiskal atau tidak.

Berdasarkan UU PPh, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian terkait kompensasi
kerugian fiskal, yaitu:

1. Kerugian fiskal sebagaimana dijelaskan dalam UU PPh adalah kerugian berdasarkan


ketetapan pajak yang telah diterbitkan DJP atau kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh
DJP.
2. Jika di kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah
kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian yang berdasarkan SPT Tahunan PPh atau hasil
pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera direvisi
sesuai dengan ketentuan atau prosedur pembetulan SPT sebagaimana dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan.
3. Kompensasi kerugian fiskal tidak akan berlaku bagi wajib pajak yang seluruh penghasilannya
bersifat final atau bukan merupakan objek pajak. Selain itu, kerugian yang diterima dari luar
negeri tidak bisa diikutsertakan dalam perhitungan kompensasi kerugian fiscal

Kompensasi kerugian ini pada dasarnya telah diatur dalam Undang-undang No.36 tahun 2008
pada pasal yang ke 6 ayat 2 yang membahas mengenai Pajak Penghasilan yang didalamnya
mencantumkan ayat pertama pada pasal tersebut. Ayat pertama yang tercantum itu sendiri membahas
tentang pengurangan yang antara lain :

1. Adanya pengurangan biaya langsung atau tidak terkait dengan kegiatan usaha.
2. Adanya penyusutan untuk pengeluaran agar mendapat harta berwujud dan adanya amortisasi
untuk pengeluaran agar mendapat hak, serta atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari setahun
3. Adanya iuran dana pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Adanya kerugian akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan dalam hal itu
digunakan dalam perusahaan terkait.
5. Adanya kerugian yang diakibatkan karena adanya selisih kurs mata uang asing.
6. Adanya pengurangan untuk biaya penelitian serta pengembangan atas perusahaan yang
dilakukan di Indonesia.
7. Adanya biaya beasiswa, pelatihan, serta magang.
8. Adanya Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
9. Adanya sumbangan yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana nasional yang telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

6. Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan yang menjadi dasar dalam menghitung
Pajak Penghasilan (PPh). Merujuk ketentuan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh,
Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan wajib pajak yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung pajak penghasilan. Penghasilan kena pajak tersebut dihitung dari penghasilan bruto yang
dikurangi dengan komponen pengurang pajak hingga menghasilkan penghasilan neto. Penghasilan
neto tersebut akan dikurangkan dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) untuk memperoleh
perhitungan pendapatan kena pajak untuk WP Pribadi. Sedangkan untuk mengetahui penghasilan
kena pajak bagi WP Badan, caranya yakni mengurangi penghasilan neto fiskal dengan kompensasi
kerugian fiskal. Pendapatan kena pajak atau PKP itu nantinya akan dikalikan dengan tarif pajak
penghasilan yang berlaku sesuai dengan kewajibannya sebagai wajib pajak pribadi atau badan dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Tarif Pendapatan Kena Pajak (PKP)

Berikut tarif pajak yang akan dikalikan dengan pendapatan kena pajak untuk mendapatkan
sejumlah nilai pajak yang harus dibayarkan ke kas negara.

A. Tarif Penghasilan Kena Pajak PPh Pribadi

Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan


(UU HPP) yang memperbarui Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, tarif pajak orang pribadi sebagai
berikut:

Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Tarif
No.
Setahun
Memiliki NPWP Tidak Memiliki NPWP
1. Sampai dengan Rp60 juta 5% 6%
2. Rp60 juta – Rp250 juta 15% 17,4%
3. Rp250 juta – Rp500 juta 25% 30%
4. Rp500 juta – Rp5 miliar 30% 36%
5. Di atas Rp5 miliar 35% 42%

Catatan:

Bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan PPh 20%
lebih tinggi dari tarif pajak normalnya.

B. Tarif Penghasilan Kena Pajak PPh Badan


Tarif penghasilan kena pajak WP Badan saat ini sebesar 22% sebagaimana diatur dalam UU
HPP.
Perhitungan Penghasilan Kena Pajak
Pendapatan kena pajak WP pribadi yang didapat setelah menghitung penghasilan neto dalam
setahun dan dikurangi PTKP, akan menjadi dasar menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam satu
tahun.
Penghasilan kena pajak didapat dengan menghitung penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Apabila dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan bruto setelah dikurangkan
dengan biaya didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan mulai dengan penghasilan
tahun pajak berikutnya sampai dengan berturut-turut lima tahun.
Berikut rumus perhitungan Penghasilan Kena Pajak:

1. Pendapatan Kena Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam
suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) UU PPh dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
B. Metode Pembukuan

1. PKP = Penghasilan neto – PTKP


2. PKP = Penghasilan neto – Zakat – PTKP
3. PKP = Penghasilan neto – Zakat – Kompensasi Rugi – PTKP

Rumus:
Penghasilan neto = Penghasilan Bruto – Pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh
C. Metode NPPN
PKP = Penghasilan Neto – PTKP
Apabila Wajib Pajak membayar zakat, maka perhitungannya seperti berikut:
PKP = Penghasilan Neto – Zakat – PTKP
Rumus:
Penghasilan Neto = Peredaran Usaha x Persentase NPPN
2. Pendapatan Kena Pajak bagi WP Badan
Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan didapat dari Penghasilan Neto yang didapat dari
penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang/biaya yang diperkenankan sesuai UU PPh.
Rumus:
Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – Pengurang/biaya yang diperkenankan UU PPh
Misalnya terdapat rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka PKP dapat
dihitung dari penghasilan neto dikurangi kompensasi kerugian.
7. Tarif pajak
Tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak terhadap seluruh objek pajak yg memang sebagai
tanggung-jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak berupa besaran presentase yg sudah ditetapkan
pemerintah menjadi acuan pada pengenaan pajak.
Setiap jenis pajak mempunyai tarif pajak yg tidak sama atau beda. Dasar pengenaan pajak merupakan
nilai pada bentuk uang yg dipakai menjadi dasar buat menghitung pajak terutang. Setidaknya terdapat
4 jenis tarif pajak yakni, tarif progresif, tarif degresif, tarif proporsional, & tarif regresif.
a. tarif progresif pada tarif ini pemungutan pajaknya atas presentasenya akan naik sebanding
menggunakan jumlah dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia sendiri, jenis tarif pajak ini
diterapkan menjadi metode pengenaan pajak penghasilan untuk orang pribadi.
b. tarif degresif yg kebalikan menurut tarif progresif yaitu presentase pajak menggunakan tarif ini
akan dipungut lebih kecil dengan dasar pengenaan pajaknya meningkat. Artinya, presentase
atas tarif pajak akan semakin rendah atau turun saat dasar pengenaan pajaknya semakin besar.
Dalam praktik perundang-undangan Indonesia, tarif ini tidak pernah dipakai.
c. tarif proporsional, tidak sinkron halnya menggunakan tarif progresif & degresif, tarif ini
pemungutan pajaknya atas presentasenya akan permanen & tidak terjadi perubahan terhadap
seluruh dasar pengenaan pajaknya. Bisa dikatakan bahwa sebanyak apapun jumlah objek pajak
yg akan dikenakan pada pajak penghasilannya, presentasenya pun akan permanen sama.
d. tarif regresif yakni tarif yg waktu pemungutan tarif pajaknya akan selalu permanen tanpa
melihat jumlah menurut seluruh dasar pengenaan pajaknya. Sehingga, tarif yg dikenakan
besarnya sama bagi semua wajib pajak. Dapat dikatakan bahwa tarif ini akan selalu sama &
sinkron menggunakan peraturan yg diberlakukan oleh pemerintah.

8. Penghasilan yang dikenakan PPh Final


Pajak penghasilan bersifat final diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008,
karenanya sering juga disebut sebagai pajak penghasilan pasal 4 ayat (2). Disebut sebagai pajak
penghasilan bersifat final karena pengenaan pajak penghasilannya diselesaikan pada saat terjadinya
transaksi dan tidak diperhitungkan kembali pajak penghasilannya pada akhir tahun.
Penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final tidak dijumlahkan dengan
penghasilan lainnya pada saat menghitung pajak penghasilan terutang pada akhir tahun. Pajak
penghasilan yang telah dipotong/dipungut/dibayarkan sendiri tidak dapat dipakai sebagai kredit pajak
penghasilan untuk mengurangi jumlah pajak penghasilan terutang pada akhir tahun.
Objek pajak penghasilan final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
b. penghasilan berupa hadiah undian
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
e. penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu (penghasilan umkm).
f. penghasilan tertentu lainnya.
Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) yang dikenakan kepada Wajib Pajak baik orang pribadi maupun
badan akan merujuk pada sumber-sumber penghasilan yang diperolehnya. Berikut ini tarif dari setiap
objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2):

a. Tarif sebesar 20% dikenakan atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), serta jasa giro. Ketentuan tarif ini diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 131 Tahun 2000
dan KMK Nomor 51/KMK.04/2001.
b. Tarif sebesar 10% dikenakan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada para
anggotanya (kecuali bunga dibawah Rp 240 ribu tidak dikenakan pajak). Ketentuan ini lebih
lanjut diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2009.
c. Tarif sebesar 10% dikenakan atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang tidak menginvestasikan dividennya di dalam negeri dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak dividen diperoleh. Apabila diinvestasikan, maka tidak dikenakan pajak. Ketentuan
ini sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
d. Tarif sebesar 10% dikenatan terhadap persewaan atas tanah dan/atau bangunan. Ketentuan ini
lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
e. Tarif sebesar 0% - 20% dikenakan atas bunga obligasi (surat utang negara) dan SUN lebih dari
12 bulan. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 16
Tahun 2009.
f. Tarif sebesar 25% dikenakan atas hadiah undian atau lotre. Ketentuan ini lebih lanjut diatur
dalam PP Nomor 132 Tahun 2000.
g. Tarif sebesar 0,5% dikenakan atas transaksi penjualan saham pendiri dan tarif
sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi saham bukan pendiri.
h. Tarif sebesar 5% dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, termasuk
usaha real estate. Sedangkan, tarif sebesar 1% dikenakan atas pengalihan rumah sederhana dan
rumah susun sederhana.
i. Tarif sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi penjualan saham atau pengalihan penyerahan
modal pada perusahaan pasangannya yang diperoleh perusahaan modal ventura.
j. Tarif sebesar 2,5% dikenakan atas transaksi derivatif berjangka panjang yang sudah
diperdagangkan di bursa. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2009.

Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022 adalah sebagai
berikut:

a. Tarif sebesar 1,75% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi kecil dengan sertifikasi;
b. Tarif sebesar 4% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi;
c. Tarif sebesar 2,65% dikenakan terhadap pelaksana konstruksi menengah dan besar;
d. Tarif sebesar 2,65% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan usaha;
e. Tarif sebesar 4% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan usaha;
f. Tarif sebesar 3,5% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia
jasa konstruksi yang mempunyai sertifikasi usaha;
g. Tarif sebesar 6% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia
jasa konstruksi yang tidak mempunyai sertifikasi usaha.

Batas Waktu Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2). Penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto (omzet) tertentu disetorkan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Sementara untuk pelaporannya, apabila sudah
validasi NTPN maka Wajib Pajak tidak perlu lapor lagi.

a. PPh Pasal 4 ayat (2) berupa bunga, deposito, tabungan, dan diskonto SBI disetorkan paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan dilaporkan paling
lambat tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak.
b. PPh Pasal 4 ayat (2) berupa transaksi penjualan saham disetorkan paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penjualan saham. Sementara dilaporkan paling lambat
tanggal 25 setelah bulan terjadinya penjualan saham.
c. PPh Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian disetorkan paling lambat tanggal 10 berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak dan dilaporkan paling lambat 20 hari setelah berakhirnya masa
pajak.
d. PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan disetorkan paling lambat tanggal
10 (untuk pemotong pajak) atau tanggal 15 (untuk Wajib Pajak pengusaha sewa) bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, serta dilaporkan paling lambat 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak.
e. PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi disetorkan paling lambat tanggal 10 (untuk pemotong
pajak) atau tanggal 15 (untuk Wajib Pajak jasa konstruksi) bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak. Sementara, untuk pelaporannya adalah paling lambat tanggal 20
setelah berakhirnya masa pajak.
9. Norma perhitungan
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dasar pengenaan pajak
(Penghasilan Kena Pajak) dihitung dengan menggunakan Norma Penghasilan Neto dengan syarat
peredaran usahanya tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Penghasilan neto ditetapkan sebesar presentase
tertentu dari peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas selama setahun. Pedoman untuk
menentukan Penghasilan Neto dibuat dan disempurnakan terus menerus oleh Direktorat Jendral Pajak
(sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 536/PJ.2/2000 tanggal 29 Desember 2000, disesuaikan dengan
KMK No. 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang perubahan usaha yang boleh
menggunakan Norma Penghitungan, berlaku mulai 2007). Besarnya norma ditentukan dengan
beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha.
b. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang,
Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
c. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
d. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto
(NPPN) wajib memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu tiga
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Adapun, tahun pajak adalah jangka waktu satu
tahun kalender kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun
kalender.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memberitahukan kepada DJP untuk menghitung
penghasilan neto menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), maka Wajib Pajak
tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Lebih lanjut, pemberitahuan penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang
disampaikan dalam jangka waktu tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan dianggap
disetujui, kecuali bila dari hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang memungkinkan untuk menghitung penghasilan netonya
menggunakan NPPN, yaitu tenaga ahli (dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara, dan pekerjaan
bebas lainnya), olahragawan, pekerjaan di bidang seni (pemusik, penyanyi, pelawak, aktor, penari,
bintang iklan, dan kru film), peneliti, pengarang, penerjemah, agen, perantara, pedagang, pengawas
proyek, serta agen asuransi.

10. hubungan istimewa


Secara umum, definisi dari hubungan istimewa ialah sebuah kondisi yang paling mendasar dan
perlu diulas atau dikaji hingga tuntas. Istilah-istilah seperti itu tentunya kerap kali digunakan dalam
kasus perpajakan yang memiliki hubungan dengan transaksi antar perusahaan yang terkoneksi atau
terafiliasi. Pengertian dari pada hubungan istimewa ini hingga bagaimana hubungan antara pihak-
pihak yang bersangkutan telah dibahas dan dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan (PPh) atau dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Hubungan istimewa yang terjadi ketika wajib pajak telah memiliki suatu kondisi yang diduga
dapat memberikan dampak ataupun pengaruh dalam pengambilan keputusan secara tidak sewajarnya.
Hubungan istimewa itu sendiri terjalin di antara 2 ataupun lebih wajib pajak yang hasil akhirnya ialah
menyebabkan pajak terutang yang terjadi mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah pajak
terutang yang seharusnya. Selain itu, hubungan istimewa tidak menuntut kemungkinan untuk
menekan harga lebih rendah dari harga pasaran atau yang seharusnya.
Merujuk dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 22 Tahun 2020 Pasal 4 Ayat (1)
dimana disebutkan bahwa hubungan istimewa dapat diartikan juga sebagai keadaan, ketergantungan
ataupun ketertarikan dari salah satu pihak lain yang didasari dengan kepemilikan maupun penyertaan
modal, penguasaan, atau adanya hubungan keluarga sedarah.
Ditegaskan lagi dalam Pasal 33 ayat (1) PP Nomor 55 Tahun 2022, hubungan istimewa
merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang
disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal; penguasaan; atau hubungan keluarga sedarah
atau semenda.
Adapun, hubungan istimewa dalam PPN dapat dikatakan dianggap apabila memenuhi kriteria
atau ketentuan sesuai dengan UU yang berlaku. Kriteria atau ketentuan dalam PPN memiliki
kesamaan dengan hubungan istimewa atas PPh, yakni akan dianggap jika:
a. Wajib pajak memiliki penyertaan modal, baik secara langsung ataupun tidak langsung dan
paling rendah sebesar 25% pada wajib pajak lain. Selain itu, hubungan antara wajib pajak
dengan penyertaan paling kecil sebesar 25% pada 2 wajib pajak atau lebih atau hubungan
antara 2 wajib pajak atau lebih yang dikatakan/disebut terakhir.
b. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya, baik satu, dua, ataupun lebih wajib pajak yang
berada di bawah kekuasaan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Adanya hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
Dalam hal ini, terdapat kecenderungan dalam hubungan istimewa terhadap PPN, yakni sebagai
berikut:
a. Di antara pihak yang memiliki hubungan istimewa dapat dilakukan transaksi bisnis yang
tentunya tidak dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki koneksi atau afiliasi
terhadap pihak yang memiliki hubungan istimewa.
b. Transaksi atas penjualan dilakukan dengan cara memainkan harga jual dan biasanya akan
dilakukan untuk kepentingan antar pihak yang bersangkutan sebagai upaya penghindaran
pembayaran pajak yang besar atau bisa dikatakan sebagai pengalihan potensi pajak terhadap
negara agar dikenakan tarif yang lebih rendah.
Contoh hubungan istimewa dalam PPN
a. Penyertaan secara langsung
MG memiliki kepemilikan saham atas PT. JK sebesar 50%. Kepemilikan tersebut merupakan
penyertaan modal yang dilakukan secara langsung sebesar 25%. Maka dalam hal ini, PT. MG
memiliki hubungan istimewa terhadap PT. JK, dan begitupun sebaliknya.

b. Penyertaan secara tidak langsung

Jika PT. JK yang notabene sahamnya sudah dimiliki PT. MG, memiliki saham terhadap PT. DK
sebesar 50%, maka secara otomatis PT. MG yang memiliki kepemilikan saham atas PT. JK
juga secara tidak langsung memiliki penyertaan atas PT. DK sebesar 25%. Dalam hal ini, dapat
dikatakan PT. MG, PT. JK, dan DK. Yang memiliki hubungan istimewa dan hubungan seperti
itu dapat terjadi juga antara orang pribadi maupun badan.

Anda mungkin juga menyukai