Anda di halaman 1dari 44

PERHITUNGAN PPH

Apa itu Pajak Penghasilan?

Definisi Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.

Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni:

 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang Pajak
Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983 tentang Pajak
Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983 tentang Pajak
Penghasilan
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983 tentang
Pajak Penghasilan.

Kategori Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori yakni PPh yang dikenakan pada wajib
pajak orang pribadi, yang terbagi atas pegawai serta bukan pegawai maupun pengusaha dan PPh
yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan, hingga objek yang
dikenakan PPh itu sendiri.

Apa Saja Objek Pajak Penghasilan

Secara garis besar, objek pajak penghasilan di sini dikelompokkan menjadi tiga kategori, yang
akan mengarah pada jenis-jenis PPh yang menjadi kewajiban wajib pajak, yakni:
Penghasilan sebagai Objek Pajak

Objek PPh dalam UU PPh dirincikan sebagai berikut:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang industri,
atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

 Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal
 Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk industri, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
 Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

14. Premi asuransi

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

17. Penghasilan dari usaha berbasis industri

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan

19. Surplus Bank Indonesia.

Penghasilan yang Dikenakan PPh Final

Sedangkan penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan bersifat final adalah:
 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
 Penghasilan berupa hadiah undian
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi industri yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
 Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Siapa Saja Subjek Pajak Penghasilan

Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun bagian tahun pajak.

Subjek pajak penghasilan artinya orang yang harus membayar pajak penghasilan dan disebut
sebagai Wajib Pajak (WP).

Status sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan mendaftarkan diri terlebih
dahulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).

Pendaftaran diri sebagai WP dilakukan di KPP tersebut harus sesuai dengan wilayah domisili
yang bersangkutan.

Jenis Subjek PPh

Merujuk pada UU PPh, subjek pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya:

Orang Pribadi

Orang pribadi adalah subjek pajak penghasilan bagi yang mencakup orang pribadi yang
bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Subjek PPh Orang Pribadi (OP) ini terdiri terdiri dari:

Subjek PPh OP Dalam Negeri

Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi yang telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Besar PTKP yang ditetapkan sebesar:

 Rp15.84.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi


 Rp1.320.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
 Rp15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat (1)
 Rp1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang
untuk setiap keluarga

Subjek PPh OP Luar Negeri

Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi yang menerima atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia maupun melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Warisan yang belum terbagi

Apa maksud dari warisan yang belum terbagi ini sebagai subjek pajak?

Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum terbagi sebagai subjek
pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal warisan tersebut tetap
dilaksanakan.

“Artinya, warisan yang di tinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri ini mengikuti status
pewaris. Katika warisan yang di tinggalkan oleh pewaris tersebut belum dibagikan kepada ahli
waris, bisa saja memberikan penghasilan meski pewaris tersebut telah meninggal.”
Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika warisan itu telah dibagi, maka kewajiban
perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek
pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia, maka tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti.

Badan

Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Badan bisa berupa perseroan terbatas
(PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lainnya.

Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:

 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.


 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Badan Usaha Tetap (BUT)

Subjek PPh BUT adalah subjek pajak penghasilan yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak padan badan dalam negeri.

BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik orang
pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan NPWP. Kemudian
menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya pajak terutang dalam satu tahun pajak.

Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan
tarif umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

Apa Saja Jenis Pajak Penghasilan?


Pajak penghasilan ini terbagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan objek dan subjek yang
dikenakan PPh. Berikut ini adalah jenis-jenis PPh, di antaranya:

1. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21

Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.

Objek PPh Pasal 21

Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:

 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang
industri atau penghasilan sejenisnya
 Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri,
tunjangan hari tua
 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan
 Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan
 Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan
sejenis dengan nama apapun.

Subjek yang dikenakan PPh 21

Jenis PPh 21 ini dikenakan pada wajib orang pribadi yang menerima penghasilan seperti
penjelasan definisi PPh tersebut. Kategori subjek yang dikenakan PPh 21 ini seperti pegawai,
bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pekerja
dan peserta kegiatan.

Subjek Pemotong PPh 21

Namun jenis PPh yang dibebankan atau dikenakan wajib pajak orang pribadi tersebut tidak
dibayarkan sendiri oleh yang bersangkutan.

Akan tetapi jenis PPh 21 ini dipotong atau dipungut oleh perusahan/pemberi kerja melalui
pemotongan pajak PPh Pasal 21.

Pihak pemotong/perusahaan/pemberi kerja kemudian menyetorkan atau membayarkan PPh


21 yang dipotong dari wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan kena pajak
tersebut ke kas negara.

2. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 22

Definisi PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dikenakan kepada badan-badan usaha
tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor,
impor dan re-impor.

Objek PPh Pasal 22

Objek PPh Pasal 22 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 adalah:

 Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam yang dilakukan oleh eksportir
 Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau lembaga Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya
 Pembayaran atas pembelian barang dengan mekanisme uang persediaan (UP) yang
dilakukan oleh bendahara pengeluaran
 Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh
KPA
 Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
 Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak
dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, yang merupakan industri hulu,
industri otomotif, dan industri farmasi
 Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
 Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir
 Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan
 Penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh wajib pajak badan.

Subjek yang dikenakan PPh 22

Jenis PPh 22 ini dikenakan pada wajib pajak badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah
maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.

Subjek pemotong PPh 22

Subjek yang memotong PPh Pasal 22 ini terbagi menjadi dua kategori utama, yakni:

Pemungut atau yang memotong PPh 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang

2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung
(LS)

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan, yang meliputi:

 PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara


(Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero)
 Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.

7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh 22 saat penjualan

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di
dalam negeri
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri

3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan ndustry antara dan industri hilir

5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:

 Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;


 Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

6. Sesuai dengan PMK No. 90/PMK.03/2015, pemerintah menambahkan pemungut PPh Pasal 22
dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

3. Pajak penghasilan Jenis PPh Pasal 23

Definisi jenis PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas modal, penyerahan
jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Objek PPh Pasal 23

Objek jenis PPh atau pajak penghasilan pasal 23 ini di antaranya:

 Dividen
 Bunga
 Royalti
 Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan
 Imbalan sehubungan dengan jasa industri, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Khusus untuk objek PPh 23 Jasa

Secara terinci yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015, khusus untuk objek
PPh 23 Jasa di antaranya:

1. Penilai (appraisal)
2. Aktuaris
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
4. Hukum
5. Arsitektur
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape
7. Perancang (design)
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang
dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT)
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas)
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas)
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
12. Penebangan hutan
13. Pengolahan limbah
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services)
15. Perantara dan/atau keagenan
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI)
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
19. Mixing film
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho
dan folder
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website
23. Internet termasuk sambungannya
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat
28. Maklon
29. Penyelidikan dan keamanan
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan
32. Pembasmian hama
33. Kebersihan atau cleaning service
34. Sedot septic tank
35. Pemeliharaan kolam
36. Katering atau tata boga
37. Freight forwarding
38. Logistik
39. Pengurusan dokumen
40. Pengepakan
41. Loading dan unloading
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan
dalam rangka penelitian akademis
43. Pengelolaan parkir
44. Penyondiran tanah
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit
47. Pemeliharaan tanaman
48. Permanenan
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan
50. Dekorasi
51. Pencetakan/penerbitan
52. Penerjemahan
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 UU PPh
54. Pelayanan pelabuhan
55. Pengangkutan melalui jalur pipa
56. Pengelolaan penitipan anak
57. Pelatihan dan/atau kursus
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM
59. Sertifikasi
60. Survey
61. Tester
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Subjek yang dikenakan PPh 23

Jenis PPh Pasal 23 ini dikenakan pada:

 Wajib pajak dalam negeri


 BUT

Subjek pemotong PPh 23

Pihak atau subjek yang memungut atau memotong jenis PPh Pasal 23 terbagi menjadi dua
kategori, yakni:

Pemotong PPh 23 Bentuk Badan


 Badan pemerintah
 Subjek pajak badan dalam negeri
 Penyelenggara kegiatan
 Bentuk usaha tetap
 Atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

Pemotong PPh 23 oleh Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (hanya memotong PPh Pasal 23 atas sewa saja) yang
ditunjuk sebagai pemotong jenis PPh 23.

Harus ada Surat Keputusan Penunjukan (SKP) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), namun tidak ada format baku yang tersedia, yaitu:

 Akuntan
 Arsitek
 Dokter
 Notaris
 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan
konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
 Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

4. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final

Definisi PPh Pasal 4 ayat (2) atau juga disebut PPh Final adalah pajak penghasilan yang
dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang didapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat
final serta tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang.

Istilah „Final‟ di sini artinya pemotongan pajaknya dilakukan hanya sekali dalam sebuah masa
pajak.

Objek PPh Pasal 4 ayat (2)/PPh Final


Objek jenis PPh atau pajak penghasilan pasal 4 ayat )2) atau PPh Final ini dikenakan pada jenis
tertentu dari penghasilan atau pendapatan berupa:

 Penghasilan berupa bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan lainnya serta diskonto sertifikat
Bank Indonesia
 Penghasilan berupa bunga dari obligasi swasta dan obligasi negara (SUN/Surat Utang Negara)
 Penghasilan berupa bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-
masing
 Penghasilan berupa hadiah berupa lotre/undian
 Penghasilan dari transaksi saham/dividen dan surat berharga lainnya
 Penghasilan dari transaksi industri perdagangan di bursa
 Penghasilan dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
mitranya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
 Penghasilan dari transaksi atas pengalihan ndus dalam bentuk tanah dan/atau bangunan
 Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
 Penghasilan dari usaha real estate
 Penghasilan dari sewa atas tanah dan/atau bangunan
 Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Subjek yang dikenakan PPh 4 ayat (2)/PPh Final

Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final ini dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib
pajak pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya
bersifat final.

Objek penghasilan yang dipotong PPh Final atau pajak UKM adalah usaha dengan total
peredaran bruto (omzet) kurang dari hingga Rp4,8 miliar dalam setahun.

Subjek pemotong PPh 4 ayat (2)/PPh Final

Pemungutan jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu.
Pihak pemungut ini terdiri dari wajib pajak badan yang ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4
ayat (2) dan wajib padak orang pribadi yang merupakan pemungut PPh pasal 4 ayat (2) tanpa
ditunjuk, di antaranya:

Wajib Pajak Badan

Sebagai pemungut, wajib pajak badan ini ditunjuk untuk memotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2), di
antaranya:

 Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk


 Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli
 Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi
 Penyelenggara undian
 Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk sekali pembayar dividen
 Pengusaha jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak

Wajib Pajak Orang Pribadi

Sebagai pemungut, wajib pajak orang Pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat
(2), di antaranya:

 Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak
 Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar
menukar untuk objek pajak pengalihan hak atas tanah/bangunan

Wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

 Akuntan, arsitek, notaris, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) kecuali PPAT tersebut adalah
camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas
 Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar
sebagai wajib pajak dalam negeri

Alur pemotongan PPh 4 ayat (2)


Pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak
penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi
dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan.

Namun jika WP menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka
atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong
tersebut.

Apabila WP menerima penghasilan yang merupakan objek jenis PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak
pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka WP tersebut wajib menyetor
sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut

5. Pajak Penghasilan Jenis PPh Final PP 23/2018

Jenis PPh Final ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Objek PPh Final PP 23/2018

Objek yang pajak pernghasilan final berdasarkan PP 23/2018 ini adalah penghasilan dari usaha
yang dijalankan dengan jumlah penghasilan atau omzet/peredaran bruto hingga Rp4,8 miliar
dalam setahun.

Subjek yang dikenakan PPh Final PP 23/2018

Sedangkan pihak atau subjek yang dikenakan jenis PPh Final PP 23/2018 ini adalah para pelaku
usaha yakni usaha kecil dan menengah (UKM).

Subjek pemotong PPh Final PP 23/2018

Pelaku usaha sebagai subjek yang dikenakan jenis PPh Final PP 23/2018 ini menyetorkan sendiri
kewajiban pajaknya setiap bulan pada tahun pajak berjalan.
6. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 15

Definisi PPh Pasal 15 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak
yang bergerak pada industri-industri tertentu yang ditetapkan dalam UU PPh.

Objek PPh Pasal 15

Objek jenis PPh atau yang dikenakan pajak penghasilan pasal 15 di antaranya:

 Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
dari charter penerbangan dalam negeri
 Penghasilan yang diperoleh dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan
kapal, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri untuk usaha pelayaran
 Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari pengangkutan orang
dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia maupun luar
negeri untuk usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
 Nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri yang punya kantor perwakilan di Indonesia dari penyerahan barang pada orang
pribadi atau badan di Indonesia
 Jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk pemakaian bahan baku

Subjek yang dikenakan PPh 15

Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:

 Perusahaan pelayaran
 Perusahaan pelayaran dalam negeri
 Perusahaan pelayaran asing
 Perusahaan maskapai penerbangan internasional
 Perusahaan asuransi asing
 Wajib pajak luar negeri/asing yang memiliki kantor perdagangan perwakilan di Indonesia tapi
tidak memiliki perjanjian bilateral di bawah perjanjian pajak Indonesia (P3B/Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda)
 Pihak yang melakukan kemitraan dalam bentuk perjanjian bangun-guna-serah (BOT/build-
operate-transfer)

Subjek pemotong PPh 15

Sedangkan untuk pihak atau subjek yang memotong jenis PPh Pasal 15 adalah:

 Pencharter yang merupakan badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, untuk objek
pajak charter penerbangan dalam negeri
 Perusahaan pelayaran yang apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan
atau charter dengan pemotong pajak, pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib
melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang
 Bagi perusahaan pelayaran dalam hal penghasilan diperoleh bukan berdasarkan perjanjian
persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
menyetor sendiri PPh yang terutang
 Dalam hal pengguna jasa adalah bukan pemotong pajak, maka perusahaan pelayaran dalam
negeri wajib menyetor sendiri PPh terutang
 Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang untuk
usaha pelayaran/penerbangan luar negeri
 Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri wajib menyetor sendiri untuk usaha pelayaran/penerbangan luar negeri
 Wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (contract manufacturing) internasional,
yang merupakan wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan jasa pembuatan atau perakitan
barang berupa produk mainan anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan
penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan mempunyai
hubungan istimewa dengan wajib pajak. PPh terutang disetor sendiri oleh wajib pajak.

7. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 19

Dalam UU PPh No. 36/2008, pada Pasal 19 disebutkan:


(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
karena perkembangan harga.

(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif
pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

Atas dasar itulah, diterbitkannya PMK No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.

Artinya, perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa
pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.

Objek PPh 19 atau objek penilaian kembali aktiva

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:

 Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan
 Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia,
dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak

Subjek PPh 19

Jenis PPh Pasal 19 ini dikenakan pada wajib pajak badan dalam negeri dan BUT, tidak termasuk
perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan
mata uang Dolar Amerika Serikat.

8. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 24


Definisi PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, di mana pembayaran
pajaknya bisa dikreditkan.

Sehingga jumlah pajak yang dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang
telah dibayarkan di luar negeri tersebut. Dengan demikian tidak terkena pajak berganda.

Objek PPh Pasal 24

Objek pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24 ini dikenakan atas:

 Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang memberikan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan.
 Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
 Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak.
 Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
 Penghasilan BUT adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.
 Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada.
 Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
 Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu BUT adalah negara
tempat bentuk usaha tetap berada.

Penghasilan luar negeri yang bisa jadi pengurang pajak


Sumber penghasilan kena pajak yang bisa digunakan untuk memotong utang pajak di Indonesia
adalah:

 Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan saham dan
surat berharga lainnya.
 Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda
bergerak.
 Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak bergerak.
 Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Pendapatan dari BUT di luar negeri.
 Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda keikutsertaan
dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan.
 Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
 Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap (BUT).

Subjek yang dikenakan PPh 24

Jenis PPh 24 ini dikenakan pada wajib pajak yang memiliki sumber penghasilan sebagai objek
PPh Pasal 24.

Subjek pemotong PPh 24

Pihak atau subjek yang memotong pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24 adalah wajib pajak
badan maupun orang pribadi pemberi penghasilan atau dari pengalihan harta/aset di luar negeri.

9. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 25

Definisi PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran setiap bulannya dalam
tahun pajak berjalan dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang
terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.

Objek PPh Pasal 25


Objek yang dikenakan pajak penghasilan pasal 25 ini adalah suatu penghasilan yang diperoleh
dari kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak.

Subjek yang dikenakan PPh 25

Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:

 Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer
atau penyerahan jasa
 Wajib pajak badan yang melakukan suatu kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer
atau penyerahan jasa

Subjek pemotong PPh 25

Pajak penghasilan jenis PPh Pasal 25 ini tidak ada pihak yang memungut atau pemotongnya,
akan tetapi wajib pajak badan atau wajib pajak pribadi yang melakukan usaha ini menyetor
sendiri kewajiban PPh 25 ini dan tidak bisa diwakilkan.

10. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 26

Definisi pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan
yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain BUT dari pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, dan perwakilan perusahaan luar negeri.

Objek PPh Pasal 26

Objek atau penghasilan yang dikenakan jenis PPh Pasal 26 di antaranya:

 Dividen
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
 Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
 Imbalan dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
 Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
 Keuntungan karena pembebasan utang

Subjek yang dikenakan PPh 26

Jenis PPh 26 ini dikenakan pada dua kategori wajib pajak yakni seorang individu atau
perusahaan sebagai wajib pajak luar negeri yakni:

 Pengoperasian Usaha di Indonesia

Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau
berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

 Memperoleh Penghasilan dari Indonesia

Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau
berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pemotong PPh 26

Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran, seperti gaji, bunga, dividen, royalti
dan sejenisnya kepada wajib pajak Luar Negeri, wajib memotong pajak penghasilan pasal 26 atas
transaksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam PPh 26 ini.

11. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 29

Definisi PPh Pasal 29 adalah pajak penghasilan atau PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam
SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan
dikurangi dengan kredit PPh (jenis PPh Pasal 21, jenis PPh 22, jenis PPh 23, jenis PPh 24) dan
PPh Pasal 25.

Subjek yang dikenakan PPh Pasal 29


Jenis PPh 29 ini dikenakan pada:

 Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu


 Wajib pajak badan

Aturan melunasi kekurangan pembayaran pajak terutang

Wajib pajak wajib melunasi kurang bayar pajak yang terutang tersebut sebelum menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

Jika tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak itu wajib dilunasi paling lambat
31 Maret bagi wajib pajak orang pribadi atau 30 April bagi wajib pajak badan setelah tahun
pajak berakhir.

Jika tahun buku tidak dengan tahun kalender, misal dimulai dari 1 Juli hingga 30 Juni tahun
depan, maka kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling lambat 30 September bagi wajib
pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi wajib pajak badan.

12. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21/26

Definisi PPh Pasal 21/26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek pemotong PPh Pasal 21/26

Pihak pemotong atau yang memungut pajak penghasilan pasal 21/26 ini sesuai UU PPh terkait
jenis PPh 21 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

PPh Pasal 23/26

Pengertian dari jenis PPh Pasal 23/26 adalah pajak penghasilan yang berasal dari transaksi badan
usaha Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan perusahaan terkait jenis transaksi tertentu sesuai
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Terkait objek dan subjek yang dikenakan serta pemotong PPh Pasal 23/26 sesuai UU PPh untuk
jenis PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Berapa Tarif Pajak Penghasilan (Tarif PPh)?

Setiap jenis-jenis PPh ditetapkan besar tarif pajak berbeda-berbeda sesuai ketentuan yang
berlaku dalam UU PPh. Berikut besar tarif PPh dari masing-masing pajak penghasilan:

1. Tarif PPh 21

Tarif PPh Pasal 21 berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2015 yang memiliki NPWP dan tidak punya NPWP, adalah:

Tarif PPh 21 memiliki NPWP

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, perhitungan tarif pajak pribadi
menggunakan tarif progresif. Atau sama halnya dengan tarif PPh Pasal 21 dengan ketentuan
besar tarif adalah:

 5% untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun


 15% untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun
 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 per tahun
 30% untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun
 Untuk WP yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dikenakan tarif 20% lebih
tinggi dari mereka yang memiliki NPWP

Tarif PPh 21 tanpa NPWP

Bagi wajib pajak yang menerima penghasilan namun tidak memiliki NPWP, maka tarif pajak
penghasilannya dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan terhadap yang memiliki
NPWP, yakni:

 Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 20% lebih tinggi dari jumlah PPh Pasal
21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
 Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
 Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21
untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut
diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

2. Tarif PPh 22

Besar tarif atau pungutan pajak penghasilan pasal 22 adalah:

Atas impor:

 Bagi yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor
 Bagi non-API = 7,5% x nilai impor
 Bagi yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang

Atas pembelian barang

Pembelian barang ini dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, yakni:

= 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final)

Atas penjualan hasil produksi

Penjualan hasil produksi ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

 Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)


 Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
 Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
 Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

Atas penjualan hasil produksi


Penjelasan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

 Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final


 Selain penyalur/agen bersifat tidak final

Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri

Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul
ditetapkan, yaitu:

= 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)

Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir

Impor beberapa komoditas tersebut bagi importir yang menggunakan API, dengan tarif sebesar:

= 0,5% x nilai impor.

Atas penjualan

 Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 miliar
 Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 miliar
 Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10 miliar
dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
 Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp10 miliar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
 Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan
harga jual lebih dari Rp5 miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk (BM)
yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.

Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap wajib pajak
yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib
pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.

3. Tarif PPh 23

Besar tarif pajak penghasilan pasal 23 ditetapkan sebesar:

 15% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 2% dari DPP untuk objek pajak lainnya
 100% atau dua kali lipat tarif standar PPh 23, jika tidak memiliki NPWP

Pengenaan tarif PPh 23 yang mengalami kenaikan 2 kali lipat tarif standar karena tak
punya NPWP ini maka besar tarifnya menjadi:

 30% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 4% dari DPP untuk objek pajak lainnya

Jumlah transaksi yang akan dikenakan angka tarif PPh yang naik 2 kali lipat ini adalah jumlah
bruto sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tarif Khusus PPh 23

Pada tarif kategori objek pajak hadiah dan penghargaan diterapkan ketentuan khusus, yakni:

 25% dari DPP jika hadiah undian atau lotre yang dianggap sebagai penghasilan
 20% dari DPP jika penerima hadiah dan penghargaan ekspatriat, dan bukan termasuk BUT
internasional
 15% dari DPP jika penerima adalah sebuah organisasi, termasuk BUT
 Hadiah lainnya dan penghargaan, termasuk penghargaan karier akan dikenakan tarif yang sama
seperti halnya tarif pajak yang berlaku menurut PPh 21

4. Tarif PPh Final Pasal 4 ayat (2)

PPh Final Pasal 4 ayat (2) ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau lainnya
yang telah ditentukan pada objek-objek PPh 4 ayat (2) ini, di antaranya:

 20% untuk penghasilan dari deposito, tabungan, diskonto SBI (Surat Berharga Indonesia)
 5%-15% untuk penghasilan dari bunga obligasi
 0-10% untuk penghasilan dari simpanan koperasi
 0,1% untuk penghasilan atas penjualan saham

5. Tarif PPh Final PP 23/2018

Besar tarif PPh Final untuk UKM berdasarkan PP No. 23/2018 ditetapkan sebesar 0,5% dari
penghasilan atau total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan. Pembayaran PPh Final PP
23/2018 ini dibayarkan pada tanggal 10 setiap bulannya.

6. Tarif PPh 15

Besar tarif pajak penghasilan pasal 15 di antaranya:

Atas ‘charter’ penerbangan dalam negeri

 PPh terutang = 30% x Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NTPN)


 NTPN = 6% x Peredaran Bruto
 Tarif efektif PPh terutang = 1,8% x peredaran bruto (1,8% berasal dari 6% x 30%)
 Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan
terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Atas pelayanan dalam negeri

 PPh terutang = 30% NTPN


 NTPN = 4% x Peredaran Bruto
 Tarif efektif PPh terutang = 30% x 4% Peredaran Bruto = 1.2% x Peredaran Bruto dan bersifat
final

Atas pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri

 Penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
ditetapkan sebesar = 6% dari peredaran bruto
 Besarnya pajak penghasilan bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri sebesar = 2,6% dari peredaran bruto dan bersifat final

Atas kantor perwakilan dagang asing di Indonesia

 Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto


 Pajak penghasilan terutang = 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final
 Khusus dari negara mitra P3B = tarif pajak terutang disesuaikan tarif BPT (Branch Profit Tax)
dari suatu BUT tersebut

Atas kegiatan usaha jasa maklon internasional di bidang produksi mainan anak-anak

 Penghasilan neto sebesar = 7% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak
termasuk biaya pemakaian bahan baku
 PPh terutang sebesar = 2,1% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak
termasuk biaya pemakaian bahan baku
 Ketentuan tarif norma sebesar = 7% berlaku sepanjang wajib pajak tidak mengadakan perjanjian
penentuan harga transfer dengan DJP

7. Tarif PPh 19

 Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula
dikenakan PPh bersifat final sebesar = 10%
 Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus
PPh yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dapat mengajukan permohonan
pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan
8. Tarif PPh 24

Karena PPh Pasal 24 merupakan sebagai pengurang jumlah pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, maka perhitungan tarifnya menggunakan Pasal 17 ayat 1 UU PPh, yakni tarif pajak
progresif.

9. Tarif PPh 25

Tarif jenis PPh Pasal 25 wajib pajak orang pribadi pengusaha atau badan tertentu
adalah 0,75% dari jumlah peredaran bruto per bulan dari masing-masing tempat usaha. Pajak ini
bersifat tidak final, sehingga dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak.

10. Tarif PPh 26

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Akan tetapi jika mengikuti perjanjian pajak (tax
treaty) atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah, sesuatu
ketentuan yang berlaku.

Pengenaan tarif pajak penghasilan pasal 26 ini juga didasarkan dari DPP atau jumlah bruto
penghasilan. Besar tarif PPh 26 ditetapkan sebesar:

Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Jumlah Bruto

Tarif 20 persen dari jumlah bruto yang dikenakan atas:

 Dividen
 Bunga (termasuk premium, diskonto, insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman)
 Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset/harta
 Imbalan/insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya
 Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Perkiraan Penghasilan Neto

Tarif 20 persen dari perkiraan penghasilan neto ini dikenakan atas:

1. Penghasilan dari laba bersih atas pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dengan nilai
lebih dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi berupa: perhiasan mewah, berlian, emas, intan,
jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil dan motor, kapal pesiar dan pesawat terbang
ringan.

2. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini untuk penjualan harta dengan jumlah persentase
sebesar 25% dari harga jual.

3. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang pada
perusahaan asuransi di luar negeri. Besar perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan
reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah:

 0% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi asuransi yang dibayar tertanggung kepada
perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
 10% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung
maupun melalui pialang
 5% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan reasuransi
yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung
maupun melalui pialang

 Pengalihan atau penjualan saham. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini 25% dari harga jual.

Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Laba Bersih Penjualan atau Pengalihan Saham
Perusahaan

Laba bersih penjualan atau pengalihan saham perusahaan ini adalah antara perusahaan media
atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan. Atau bertempat di negara yang memberikan
perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau BUT didirikan di
Indonesia
Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak
dari BUT di Indonesia

Tarif PPh 26 dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari BUT di Indonesia ini
adalah yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu BUT di
Indonesia.

Pengenaan tarif ini dikecualikan atas penghasilan tersebut jika penghasilan itu ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:

 Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam
bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta Pendiri
 Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut
 Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada
angka, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya paling lama
1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
 Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun
sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersial

Tarif PPh 26 sebesar 0% hingga kurang dari 20%

Tarif ini diberlakukan untuk negara-negara yang berada dalam perjanjian pajak (tax treaty)
dengan Indonesia yang dikenal sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Contoh Perhitungan DPP untuk PPh

DPP juga digunakan untuk menghitung PPh salah satunya PPh 21. Perhitungan ini dikenakan
bagi pegawai tetap, penerima uang pesangon, tenaga ahli, anggota dewan komisaris perusahaan,
dan beberapa jenis pekerjaan lain yang sudah ditentukan memiliki PPh 21 sendiri.

Berikut adalah contoh perhitungan DPP PPh Pasal 21 untuk seorang pegawai:
Pak Kelik merupakan pegawai tetap sebuah perusahaan swasta. Ia belum menikah dengan
pendapatan Rp15.000.000 per bulan dan biaya jabatan 5%. Pak Kelik terhitung mulai bekerja
pada Januari-Desember 2019.

Maka untuk menghitung nilai DPP A sebagai berikut:

Gaji satu tahun = 12 x Rp15.000.000 = Rp180.000.000

Biaya Jabatan = 5 persen x Rp180.000.000 = Rp9.000.000

Penghasilan Neto = Rp180.000.000 – Rp9.000.000 = Rp 171.000.000

Jika Penghasilan Tidak Kena Pajak karena belum menikah dan tanggungan = Rp55.000.000,
maka:

DPP PPh 21 = Penghasilan Netto – Penghasilan Tidak Kena Pajak

DPP PPh 21 = Rp171.000.000 – Rp55.000.000

DPP PPh 21 = Rp116.000.000

Jadi, Dasar Pengenaan Pajak untuk PPh 21 dari A sebesar Rp 116.000.000.

Demikian informasi seputar Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terkait dengan akuntansi pajak.

Pada dasarnya, pengenaan pajak ini adalah variabel dalam menghitung jumlah pajak terutang
yang harus dibayar.

Perhitungan DPP ini akan berbeda-beda tergantung jenis objek pajak dan jenis pajaknya itu
sendiri.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Pajak yang terutang itu, baik PPN atau PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat 2.

Adapun jenis-jenis DPP sesuai ketetapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dijadikan
dasar untuk menghitung pajak terutang sebagai berikut:

a. Harga Jual

Harga jual merupakan nilai uang dari semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerapan suatu Barang Kena Pajak.

Harga jual ini tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang (UU) PPN dan
potongan harga yang dituliskan pada faktur pajak.

b. Penggantian

Penggantian yang dimaksud adalah nilai uang dari semua biaya yang diminta atau yang
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Nilai penggantian ini tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN serta potongan harga
yang dituliskan pada faktur pajak.

c. Nilai Impor

Nilai impor merupakan nilai uang yang menjadi dasar untuk penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lain yang dikenakan pajak sesuai Undang-Undang Pabean untuk impor Barang Kena
Pajak.

Nilai impor ini tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.

d. Nilai Ekspor

Nilai Ekspor merupakan nilai uang atas semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.

e. Nilai Lain
Nilai lain menjadi suatu nilai uang yang dipakai sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Nilai lain ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.567/KMK.04/2000.

Setelah mengetahui besar DPP, maka nilai pajak yang terutang bisa diketahui pula dengan
metode perhitungan sesuai regulasi yang berlaku.

Perhitungannya tentu berbeda antara DPP untuk PPN dan DPP untuk PPh.

Contoh Perhitungan DPP PPh Pasal 21

Setelah membaca pengertian dan norma perhitungan DPP, mari kita simak pembahasan
perhitungan DPP Pasal 21 berikut ini.

Nico merupakan seorang karyawan tetap di sebuah perusahaan swasta yang belum menikah dan
memiliki pendapatan Rp 10.000.000/bulan. Nico baru mulai bekerja mulai bulan Maret hingga
November 2018.

Cara Hitung DPP PPh 21 untuk Karyawan Tetap:

Gaji Setahun = 10 x Rp 10.000.000 = Rp 100.000.000


Biaya Jabatan = 5% x Rp 100.000.000 = Rp 5.000.000
Penghasilan Netto = Rp 100.000.000 – Rp 5.000.000 = Rp 95.000.000
PTKP belum menikah dan tidak memiliki tanggungan = Rp 54.000.000

DPP PPh 21 = Penghasilan Netto – PTKP


= Rp 95.000.000 – Rp 54.000.000
= Rp 41.000.000

Contoh Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :


1. CV.Aditya Sakti menjual komputer seharga Rp.10.000.000,00 tidak termasuk PPN kepada
PT.Sari Rasa Abadi,
Perhitungan Pajak :

Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan komputer adalah sebesar 10.000.000

PPN terutang : 10 % x 10.000.000 = 1.000.000

Pengertian Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Pengertian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah :


Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau
nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

Dasar Pengenaan Pajak digunakan untuk menghitung besarnya PPN terutang, PPh Pasal 22
terutang, PPh Pasal 23 terutang, dan PPh Pasal 4 ayat 2 terutang.

Contoh Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :


1. CV.Aditya Sakti menjual komputer seharga Rp.10.000.000,00 tidak termasuk PPN kepada
PT.Sari Rasa Abadi,

Perhitungan Pajak :

Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan komputer adalah sebesar 10.000.000

PPN terutang : 10 % x 10.000.000 = 1.000.000

2. CV.Gunung Slamet menjual komputer seharga 22.000.000 termasuk PPN kepada Bendahara
Dinas Pendidikan, maka Dasar Pengenaan Pajak atas komputer adalah :
Perhitungan Pajak :

Dasar Pengenaan Pajak : 100/110 x 22.000.000 = 20.000.000

PPN terutang : 10 % x 20.000.000 = 2.000.000

PPh Pasal 22 Terutang : 1,5 % x 20.000.000 = 300.000

3. PT. Samudera Surya Motor menyerahkan jasa servis sepeda motor kepada Instansi Pemerintah
Dinas Pertanian sebesar Rp. 5.500.000 termasuk PPN.

Perhitungan Pajak :

Dasar Pengenaan Pajak : 100/110 x 5.500.000 = 5.000.000

PPN terutang : 10 % x 5.000.000 = 500.000

PPh Pasal 23 terutang : 2 % x 5.000.000 = 100.000

4. PT. Jaya Teknik Kontruksi menyerahkan jasa pembuatan gedung untuk kantor kepada PT.
Tunas Agung Elektrik sebesar Rp. 500.000.000 belum termasuk PPN.

Perhitungan Pajak :

Dasar Pengenaan Pajak : 500.000.000

PPN Terutang : 10 % x 500,000,000 = 50.000.000

PPh Pasal 4 ayat 2 terutang : 2 % x 500.000.000 = 10.000.000

Mengenal PPh Pasal 17


Pajak Penghasilan pasal 17 atau sering disebut PPh pasal 17 merupakan aturan yang tertera pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

PPh pasal 17 merupakan pasal yang secara terperinci mengatur tarif pajak yang dibebankan
kepada wajib pajak, baik wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan.
Jika mengacu pada PPh pasal 17, tarif pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia menerapkan
skema tarif progresif. Maksudnya, tarif pajak yang dikenakan semakin tinggi seiring kenaikan
jumlah penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak.

Penggunaan tarif progresif pada PPh pasal 17 merupakan perwujudan asas keadilan. Sebab,
orang yang memiliki penghasilan tinggi akan membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan
orang yang penghasilannya rendah.

Tarif PPh Pasal 17

Tarif yang dikenakan pada PPh pasal 17 untuk wajib pajak pribadi dibagi atas beberapa lapisan
penghasilan. Perhitungan tarif pajak pada PPh pasal 17 Ayat 1(a) adalah sebagai berikut:

 Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000, tarif pajak yang dibebankan 5%


 Penghasilan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, tarif pajaknya 15%
 Penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000, tarif pajaknya 25%
 Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif pajaknya 30%

Sementara, tarif pajak yang dibebankan pada wajib pajak badan tertera dalam PPh pasal 17 Ayat
1(b), yakni sebesar 28%. Namun, pada Ayat 2(a) disebutkan mulai tahun pajak 2010 tarif pajak
penghasilan bagi wajib pajak badan ditetapkan sebesar 25%.

Detail PPh Pasal 17

Di luar perhitungan dan penetapan tarif pajak penghasilan umum untuk wajib pajak pribadi dan
wajib pajak badan, PPh Pasal 17 juga terdiri dari beberapa ayat yang secara detail mengatur
penetapan pajak penghasilan, di antaranya:

1. PPh pasal 17 ayat 2(b). Poin ini berisi tarif khusus bagi wajib pajak badan yang berstatus
perusahaan terbuka dengan jumlah saham sekitar 40% beredar dan diperdagangkan di Bursa
Efek Indonesia (BEI).
Bagi wajib pajak badan dengan klasifikasi tersebut, tarif pajak penghasilan yang dibebankan 5%
di bawah tarif pajak penghasilan yang tertera pada Ayat 1(b) dan ayat 2.

Artinya, perusahaan terbuka yang 40% sahamnya beredar di publik hanya dibebankan tarif
sebesar 23% dan per 2010 tarifnya hanya 20%.

2. PPh pasal 17 ayat 2(c) dan Ayat 2(d). Ayat ini berisi ketentuan tarif pajak untuk wajib pajak
pribadi yang mendapat penghasilan berupa deviden, yakni sebesar 10% dan sifatnya final.
Ketentuan mengenai pajak penghasilan deviden ini kemudian diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK).

Aturan yang paling baru tertuang dalam PMK Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Dividen Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

3. PPh pasal 17 ayat 3 menyebutkan, keputusan menteri keuangan dapat sewaktu-waktu


mengubah besaran tarif pajak yang tertera pada ayat 1. Maksudnya, menteri keuangan bisa
melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan beberapa hal, misalnya tingkat inflasi.

4. PPh pasal 17 ayat 4 berisi panduan pembulatan angka untuk memudahkan penghitungan pajak
penghasilan.

Pada ayat ini, penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contohnya, ketika penghasilan kena pajak seseorang tercatat senilai Rp 5.050.900, maka wajib
pajak tersebut bisa menuliskannya Rp 5.050.000.

5. PPh pasal 17 ayat 5 secara spesifik mengatur mengenai pajak yang harus dibayar wajib pajak
yang baru bekerja selama beberapa bulan.

Perhitungannya: (jumlah hari bekerja /360) x pajak yang terutang untuk satu tahun penuh. Jadi,
misalnya seseorang bagi bekerja 3 bulan sebelum masa pelaporan, maka perhitungannya adalah:
(90/360) X Pajak Yang Terutang
6. PPh pasal 17 ayat 6 berisi panduan bagi wajib pajak untuk memudahkan penghitungan yang
dimaksud dalam ayat 5. Dalam ayat 6 , diatur bahwa tiap bulan dihitung penuh 30 hari. Ini untuk
memudahkan penghitungan pajak penghasilan.

7. PPh pasal 17 ayat 7 mengatur kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak atas
penghasilan yang tertera pada pasal 4 ayat 2, misalnya pajak penghasilan atas bunga deposito,
tabungan, transaksi derivatif atau penghasilan yang diterima dari penjualan saham.

Contoh Penghitungan Sederhana PPh Pasal 17

Berikut ini ilustrasi penghitungan pajak sesuai dengan PPh pasal 17. Ilustrasi penghitungan PPh
pasal 17 ini sesuai dengan ilustrasi perhitungan yang tertera pada keterangan PPh pasal 17 UU
No. 36 Tahun 2008.

1. Wajib pajak pribadi dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp 600.000.000, perhitungan
pajaknya:

Penghasilan Kena Pajak: Rp 600.000.000

Pajak Penghasilan Terutang:

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000

25% x Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000

30% x Rp 100.000.000 = Rp 30.000.000

Jadi, total pajak penghasilan terutangn

Jadi, total pajak penghasilan terutangnya adalah = Rp125.000.000

2. Contoh penghitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak badan dengan penghasilan kena
pajak senilai Rp 1.250.000.000. Perhitungan pajak penghasilannya:
Penghasilan Kena Pajak: Rp 1.250.000.000

Pajak Penghasilan Terutang:

25% x Rp 1.250.000.000 = Rp 350.000.000

Pentingnya PPh Pasal 17

PPh pasal 17 merupakan jenis pajak yang dipungut langsung pemerintah dari penghasilan
masyarakat atau wajib pajak. Pajak yang dikumpulkan lewat PPh pasal 17 boleh dibilang sebagai
pajak yang memberikan kontribusi besar bagi pemerintah.

Bagi masyarakat atau wajib pajak, sangatlah penting mengetahui tarif pajak yang harus
dibayarkan. Pasalnya, pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem self
assessment. Artinya beban untuk menghitung, membayar dan melapor pajak ada pada wajib
pajak.

Memang, untuk wajib pajak yang berstatus karyawan atau PNS, pajaknya sudah dipotong
langsung oleh pemberi kerja atau bendahara negara. Namun, pengetahuan akan PPh pasal 17
tetap penting.

Sebab, wajib pajak bisa menghitung sendiri berapa pajak yang dia bayarkan ke negara. Lewat
perhitungan ini wajib pajak bisa mengetahui apakah ia kelebihan atau kekurangan bayar saat
hendak mengisi SPT Tahunan.

Anda mungkin juga menyukai