Anda di halaman 1dari 6

1

BAB IV
PAJAK PENGHASILAN UMUM
A. Subyek Pajak
Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
1. a. Orang Pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan terdiri dari; PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan
bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subyek Pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Subyek Pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subyek Pajak orang pribadi, yaitu:
 Orang pribadi yang bertempat tingggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subyek Pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Subyek Pajak warisan, yaitu:
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subyek Pajak luar negeri yang terdiri dari:
a. Subyek Pajak orang pribadi, yaitu:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan yang:
1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b. Subyek Pajak badan, yaitu:
1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
B. Tidak Termasuk Subyek Pajak
Yang tidak termasuk subyek pajak adalah :
1. Badan perwakilan negara asing
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka.
3. Organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998.
4. Organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998.
C. Obyek Pajak
2

Yang menjadi obyek pajak penghasilan. Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun.
Yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun,
atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian
utang.
7. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih libeh karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalti,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas.
D. Tidak Termasuk Obyek Pajak
Tidak termasuk sebagai Obyek Pajaka adalah :
1. - Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak.
- Harta hibaan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis lurus atau sederajat,
dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha
kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dalam usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah.
3

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan


asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudujan di Indonesia.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriaannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan perkumpulan, firma dan
kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia.
E. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak
1. Dasar Pengenaan Pajak.
Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan
pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang
menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk
Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar
penghasilan netto. Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan
netto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Cara Perhitungan Penghasilan Kena Pajak.
Perhitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Menggunakan Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan.
b. Menggunakan Norma Perhitungan
3. Menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Pembukuan.
Untuk Wajib Pajak badan besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan penghasilan
netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh
Undang-Undang PPh. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi besarnya
Penghasilan Kena Pajak sama dengan penghasilan netto dikurangi dengan PTKP.
4. Menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Norma Perhitungan
Penghasilan Netto.
Apabila dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak-nya Wajib Pajak menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama
besarnya dengan besarnya (presentase) Norma Perhitungan Penghasilan Netto
dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas
setahun.
Wajib Pajak yang menggunakan Norma Perhitungan adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang memenuhi syarat sebagai berikut:
4

a. Peredaran bruto kurang dari Rp 600.000.000,00 per tahun.


b. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
buku.
c. Menyelenggarakan pencatatan.
Contoh:
Wajib Pajak Anto Kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang
dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebor.
Besarnya presentase norma untuk industri rotan di cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta
40 %..
Peredaran usaha dari industri rotan di Cirebon setahun Rp 400.000.000,00
Penerimaan bruto seorang dokter di Jakarta setahun Rp 75.000.000,00
Penyelesaiannya:
Penghasilan netto dihitung sebagai berikut:
- Industri rotang 12,5 % x Rp 400.000.000,00 Rp 50.000.000,00
- Sebagai seorang dokter 40% x Rp 75.000.000,00 Rp 30.000.000,00
Jumlah Penghasilan Netto Rp 80.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 8.640.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 71.360.000,00
F. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya PTKP setahun yang belaku saat ini adalah:
1. Rp 15.840.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3. Rp 15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.
4. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan satu derajat serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
G. Tarif Pajak
Sesuai dengan pasal 17 UU PPh, besarnya tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5 % (lima persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 10 % (sepuluh persen)
Di atas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 15 % (lima belas persen)
Di atas Rp 500.000.000,00 25 % (dua puluh lima persen)

2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 % (sepuluh persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00 15 % (lima belas persen)
Di atas Rp 100.000.000,00 30 % (tiga puluh persen)
H. Cara Menghitung Pajak
1. Wajib Pajak Badan
Pajak Penghasilan
= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17
= Penghasilan Netto x tarif pasal 17
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif pasal 17
2. Wajib Pajak Orang Pribadi
Pajak Penghasilan
= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP) x tarif pasal 17
5

I. Bentuk Usaha Tetap


Bentuk usaha tetap (BUT) merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak
luar negeri (baik orang pribadi atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap dapat berupa:
1. Tempat kedudukan manajemen.
2. Cabang perusahaan.
3. Kantor perwakilan.
4. Gedung kantor.
5. Pabrik.
6. Bengkel
7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan.
8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
12. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung resiko di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap dikenakan pajak atas penghasilan baik yang bersasal dari usaha atau
kegiatan, maupun yang bersasal dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan
demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.
J. Obyek Pajak Penghasilan BUT.
Yang menjadi obyek pajak penghasilan BUT adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai. Sebagai contoh, Communitel Ltd. Yang bergerak dalam usaha penjualan
satelit komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama PT Communitel
Indonesia. Apabila PT Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha
penjualan satelit komunikasi, maka atas laba penjualan tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan sebagai pajak atas penghasilan Wajib Pajak BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di
Indonesia.
Sebagai contoh, New York Bank mempunyai cabang di Jakarta dengan nama New
York Bank Indonesia. Apabila New York Bank memperoleh penghasilan berupa bunga
atas pinjaman yang diberikan tanpa melalui New York Bank Indonesia, maka
penghasilan bunga tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (New York Bank
Indonesia).
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Sebagai contoh, Food Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat untuk menggunakan
merek dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan
berupa royalti dari PT Lezzat. Dalam rangka pemasangan produk, Foodz Inc. juga
memberikan jasa manajemen kepada PT Lezzat melalui PT Foodz Indonesia. Dalam
hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT Lezzat mempunyai hubungan efektif
dengan BUT di Indonesia. Oleh karena itu penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalti
diperlakukan sebagai penghasilan BUT (PT Foodz Indonesia).
Catatan:
Disamping biaya-biaya yang berkenaan dengan poin 1, biaya-biaya atau pengeluaran
kantor pusat yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada poin 2
dan 3 boleh dikurangkan dari penghasilan Bentuk Usaha Tetap.
6

K. Penentuan Laba BUT.


Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan Direktur Jenderal
Pajak.
2. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah:
a. Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya.
b.Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
Sebagai konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas, yang diterima atau
diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga
yang berkenaan dengan usaha perbankan.
L. Perlakuan Pajak atas Penghasilan Kena Pajak dari suatu BUT yang ditanamkan kembali
di Indonesia.
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%, kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Pemotongan pajak tersebut bersifat final.
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 602/KMK.04/1994, maka penanaman
kembali atas penghasilan BUT di Indonesia tersebut tidak dikenai pemotongan PPh
pasal 26, dengan syarat sebagai berikut:
1. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan
yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya
tahun pajak berikutnya.
3. Tidak mengalihkan penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam jangka
waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi
komersiil.
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada
Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPh tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
Contoh:
PT Foodz Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap di Indonesia mempunyai
penghasilan kena pajak dalam tahun 2001 sebesar Rp 1.050.000.000,00.
Penghitungan pajak atas BUT tersebut adalah sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak Rp 1.050.000.000,00
PPh terutang :
10 % x Rp 50.000.000,00 Rp 5.000.000,00
15 % x Rp 50.000.000,00 Rp 7.500.000,00
30 % x Rp950.000.000,00 Rp285.000.000,00
PPh terutang Rp 297.500.000,00
Penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi
Dengan pajak penghasilan Rp 752.500.000,00
Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar:
20% x Rp 752.500.000,00 atau sama dengan Rp 150.500.000,00
Namun apabila atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak penghasilan
tersebut (sebesar Rp 752.500.000,00) ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas
penghasilan sebesar 20% atau sebesar Rp 150.500.000,00.

Anda mungkin juga menyukai