Anda di halaman 1dari 20

PPh Wajib Pajak Orang Pribadi

dan PPh Badan

UNIVERSITAS WIDYATAMA

1
CAPAIAN PEMBELAJARAN :

Setelah menempuh mata kuliah ini mahasiswa mampu menjelaskan, memahami dan
mendemonstrasikan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan PPh Badan.

KEMAMPUAN AKHIR :

Setelah menyelesaikan bahan kajian ini mahasiswa akan mampu menjelaskan,


memahami sistematika perhitungan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan PPh Badan
serta dapat mendemonstrasikan PPh WPOP dan PPh Badan.

Dasar Hukum:
2
1. Undang Undang No. 28 tahun 2008 tentang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
2. Undang Undang No. 36 tahun 2008 tentang tentang Pajak Penghasilan
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 46 tahun 2013 tentang Pajak penghasilan
atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.

Definisi
- Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek
Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak.
- Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak.
- Menurut UU No.28 tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap. 
- Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak Badan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.

Subjek Pajak Penghasilan


Subjek PPh meliputi :
1. Orang pribadi;
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
3. Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

3
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap; dan
4. Bentuk usaha tetap (BUT), adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.

4
Subjek Pajak Dalam Negeri
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
reksadana.
3. Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
b. pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.

Subjek Pajak Luar Negeri


1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.

Tidak termasuk Subjek Pajak


1. Kantor perwakilan negara asing;

5
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. bukan warga Negara Indonesia; dan
b. di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut; serta
c. negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b. tidak menjalankan usaha; atau
c. kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
a. bukan warga negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

Objek Pajak Penghasilan (pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008)


Adalah yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:
1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

6
b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan.
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8. royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
19. surplus Bank Indonesia.

7
Objek Pajak PPh Final (pasal 4 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008)
1. bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
5. penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Tidak Termasuk Objek Pajak (pasal 4 ayat (3) UU No. 36 tahun 2008)


1. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi
beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP
Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

8
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:
a. Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik
di dalam negeri maupun luar negeri;
b. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau
pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa;
c. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah,
biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya
untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi
tempat belajar;
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan

9
prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Jenis Wajib Pajak Orang Pribadi Berdasarkan Penghasilan Yang Diterima
Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak orang pribadi
dapat dibagi menjadi :
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaan
Contoh : 
1. Pegawai swasta
2. Pegawai BUMN
3. Anggota TNI/POLRI
4. PNS.
5. Pensiunan.
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.
Contoh :
1. Pengusaha toko
2. Pengusaha Industri Mie Kering
3. Pengusaha Persewaan Mobil 
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Pekerjaan
bebas.
Contoh : Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang tidak
bersifat final (sehubungan dengan pemodalan).
Contoh : Penghasilan Bunga pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bersifat
final.
Contoh : Bunga deposito dan tabungan, Hadiah undian, Persewaan tanah dan atau
bangunan. 

10
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bukan objek
pajak.
Contoh : Penerima bantuan, Sumbangan, Hibah 
 Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar negeri.
Contoh : Bunga dari luar negeri, Royalti dari luar negeri, Gaji dari luar negeri
  Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contoh :
1. Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan.
2. PNS tetapi membuka praktek dokter.

Tarif Pajak Penghasilan Objek Pajak Dalam Negeri (OPDN) sesuai pasal 17 Undang-
Undang PPh :
a. Penghasilan sampai 50 juta dikenakan tarif 5%
b. Penghasilan antara 50 sampai 250 juta dikenakan tarif 15%
c. Penghasilan antara 250 sampai dengan 500 juta dikenakan tarif 25%
d. Penghasilan lebih dari 500 juta dikenakan tarif 30%

PTKP atau Penghasilan tidak kena pajak untuk PPh OP Dalam Negeri sebagai berikut :
a. Rp. 54.000.000,- untuk diri sendiri wajib pajak.
b. Rp. 4.500.000,- untuk tambahan wajib pajak / wp kawin.
c. Rp. 4.500.000,- untuk tambahan untuk setiap anggota keluarga maksimal 3 orang.

Ada beberapa cara penghitungan pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan diikuti
dengan tingkat tarif pajak yang berbeda. Berikut ini akan dijelaskan tentang ketentuan
peraturan perpajakan tentang penghitungan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

1. Undang-Undang Nomor 16 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


(Undang-Undang KUP) menyatakan:
a.Wajib Pajak  Orang  Pribadi di Indonesia yang
1) melakukan kegiatan usaha, atau
2) pekerjaan bebas, dan
b. Wajib Pajak  Badan di Indonesia
wajib  menyelenggarakan pembukuan (pasal 28 ayat 1).

11
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan
pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Undang-Undang PPh pasal 14 ayat 2) diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas (pasal 28 ayat 2).

Selanjutnya Pasal 14 ayat 2 Undang Undang PPh menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang
Pribadi yang: a) melakukan kegiatan usaha atau b) melakukan pekerjaan bebas, yang
peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00, boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan peredaran


bruto dalam satu tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (seperti yang dimaksud dalam
pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), penghitungan pajak penghasilannya menggunakan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 (PP 46/2013). Hal-hal yang diatur dalam PP
46/2013 sehubungan dengan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah:
1) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tidak termasuk
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1
tahun pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1%.
2) Tidak termasuk/dikecualikan dariWajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
dalam usahanya:

a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
) Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi
jumlah Rp 4.800.000.000,00 dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif
12
pajak penghasilan bersifat final 1% sampai dengan akhir tahun pajak yang
bersangkutan.
) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,00
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan (pasal 17).
) Ketentuan dikenai tarif pajak penghasilan bersifat final 1% ini tidak berlaku atas
penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakan (pasal 5
PP 46/2013).
) Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) PP
46/2013 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Selanjutnya aturan turunan dari PP 46/2013 adalah Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-
42/PJ/2013 menjelaskan bahwa peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000
ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha
cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
1) jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3) usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

3. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas (seperti yang


dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), yang peredaran brutonya dalam 1
tahun kurang dari boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas tersebut sesuai penjelasan PP 46/2013 meliputi:

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

13
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintangiklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
dan penari;  
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi; dan
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang digunakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
yangmelakukan pekerjaan bebas untuk menghitung pajak penghasilan adalah
menggunakan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 Tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto
Dengan Menggunakan Norma Penghitungan. Beberapa poin yang diatur dalam Kep-
536/PJ.2000 ini adalah:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 dalam satu tahun wajib menyelenggarakan
pencatatan jika Wajib Pajak yang bersangkutan tidak memilih menyelenggarakan
pembukuan,
2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib
memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal
Pajak paling lama 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.Pemberitahuan
penggunaan NPPN yang disampaikan dalam jangka waktu 3 bulan tersebut dianggap
disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan untuk menggunakan NPPN.
3. Ketentuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

14
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 atau lebih dalam satu tahun,
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 namun Wajib Pajak
tersebut memilih menyelenggarakan pembukuan, dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto dibawah namun Wajib Pajak tersebut tidak
memberitahukan tentang penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan.
d. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas seharusnya menyelenggarakan pembukuan namun tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya penghasilan netonya
dihitung dengan menggunakan NPPN.
e. Terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan
angka 3 huruf “ d” di atas” dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
(sesuai pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Kep 536/PJ/2000).
. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep.01/PJ./1991 dan Kep.02/PJ.1991
dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 2001.
. Angka Prosentase NPPN yang digunakan adalah angka yang tertera pada Lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.536/PJ./2000 ini.
. Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2001 dan
seterusnya.
 
Tarif pajak Badan
Ketentuan Tarif dan Fasilitas PPh Badan
a.  Pasal 17 ayat 1 huruf b
Pada dasarnya tarif PPh Badan menganut tarif tunggal  yaitu sebesar 28%. Tarif ini
berlaku pada tahun 2009 kemudian diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Tarif PPh
Badan sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya. Tarif ini diterapkan
kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
 
b.  Pasal 17 ayat 2b
15
Tarif ini diterapkan pada wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka  yang memperoleh pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal.
Untuk mendapatkan fasilitas pengurangan tarif ini Wajib Pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
b. Saham sebagaimana dimaksud point a harus dimiliki oleh paling sedikit oleh 300
(tiga ratus) Pihak.
c. Masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam point b hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan
disetor penuh
d. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus
dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 
  
c.  Tarif PPh Wajib Pajak Tertentu
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Ketentuan-ketentuan Pasal 31 E UU No. 36 tahun 2008 sebagai berikut :    
a.  Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang- Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada
saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan, sehingga Wajib Pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan
permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
b. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c.  Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas
pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang

16
Pajak Penghasilan.
d.  Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau
diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan
retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, meliputi:
1) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3) penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
e. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto
sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri tersebut wajib mengikuti
ketentuan pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
f. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan ini berlaku untuk penghitungan Pajak
Penghasilan Terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari penghasilan
yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final.
g. Untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, Wajib Pajak
badan dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan wajib menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh Perhitungan PPh:


Pengenaan tarif 1% atas WP yang melakukan kegiatan Usaha
Bengkel Makmur, pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran
bruto sebesar Rp 4,5 milyar, Maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh Bengkel
Makmur pada tahun 2014 dikenai PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto
(PP 46). Misalkan pada bulan Januari 2015 CV. Makmur memperoleh peredaran bruto
sebesar Rp. 200 juta. Maka PPh terutang Bengkel Makmur pada bulan Januari 2015 adalah:
17
PPh terutang = 1% x Rp. 200 juta = Rp. 2.000.000

Contoh Perhitungan PPh:


Penghasilan Neto menggunakan Norma Penghitungan dan pajak penghasilan
menggunakan tarif pajak umum (pasal 17).

Bapak Susilo adalah seorang akuntan publik, menikah dan mempunyai tanggungan seorang
anak. Pada tahun 2015 memiliki peredaran bruto dari jasa akuntan publik sebesar Rp 1 miliar.
Bapak Susilo telah menyampaikan pemberitahuan mengenai penggunaan Norma
Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal Tahun Pajak 2016. Karena
penghasilan yang diperoleh Bapak Susilo pada tahun 2015 dari usaha jasa akuntan publik
tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka Bapak Susilo boleh menghitung penghasilan neto atas
penghasilan yang diperoleh dari jasa akuntan publik dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto. Penghitungan Pajak Penghasilan Bapak Susilo yang terutang
pada Tahun Pajak 2016 adalah sebagai berikut:

Jawab:
Norma Jasa Akuntan Publik 50%
Penghasilan Neto:
Penghasilan neto 50% x Rp. 1 milyar          = Rp. 500.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP terbaru)
WP Sendiri                                     = 54.000.000,-
Istri                                                =   4.500.000,-
Tanggunan Anak (1)                =   4.500.000,-
       Jumlah PTKP                                                                                = Rp.   63.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak                                                                  = Rp. 437.000.000,

Pajak Terutang:
5%     X Rp.   50.000.000,-   = Rp.     2.500.000,-
15%   X Rp. 200.000.000,-   = Rp.   30.000.000,-
25%   X Rp. 187.000.000,-   = Rp.   46.750.000,-
     Jumlah                            = Rp. 79.250.000,-

18
Contoh Perhitungan PPh:

Perhitungan Pajak Penghasilan Badan  Bila Penghasilan Kotor Lebih dari 


Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar

Peredaran Bruto PT. Raya tahun 2015 sebesar Rp. 5.275.500.000,- karena peredaran bruto
untuk tahun 2015 ini melebihi diantara Rp, 4,8 milyar s/d 50 milyar,- maka untuk tahun
pajak 2015 PT. Raya dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 50% dari tarif
PPh 25 Badan.
Selama tahun 2016 peredaran bruto PT. Raya diketahui sebesar Rp. 6 milyar,- dengan laba
sebelum pajak (Penghasilan Kena Pajak) sebesar Rp.500 juta. Hitung berapa Pajak terutang
PT. Raya untuk tahun pajak 2016? 

Jawab:
PKP Mendapat Fasilitas = Rp 4,8 Miliar         x PKP
Peredaran Bruto
= (4.800.000.000 /  6.000.000.000) x 500.000.000
= Rp. Rp. 400.000.000

PKP Tidak Mendapat Fasilitas = Keseluruhan PKP – PKP yang memperoleh fasilitas
= Rp. 500.000.000 – Rp. 400.000.000
= Rp. 100.000.000,-

PPh Terutang:
Mendapat Fasilitas = 50% x 25% x Rp. 400.000.000
=  50.000.000,-

Tidak Mendapat Fasilitas = 25% x Rp. 100.000.000


=  Rp. 25.000.000,-

Jadi Total PPh Terutang = Rp. 50.000.000,- + Rp. 25.000.000,-


= Rp. 75.000.000,-

19
Contoh 2

Perhitungan Pajak Penghasilan Badan  Bila Penghasilan Kotor Lebih Rp50 Miliar

Peredaran Bruto PT. ABC tahun 2015 sebesar Rp. 51 milyar,- karena peredaran bruto untuk
tahun 2015 ini melebihi Rp. 50 milyar,- maka untuk tahun pajak 2016 PT. Raya
menggunakan perhitungan yang umum untuk menghitung pajak terutangnya.
Selama tahun 2016 peredaran bruto sebesar Rp. 60 milyar, laba sebelum pajak (Penghasilan
Kena Pajak) sebesar Rp.28 milyar.
Maka besar PPh terutang PT. ABC tahun 2016 adalah = 25% x Rp28 Miliar
= Rp7 Miliar

20

Anda mungkin juga menyukai