Anda di halaman 1dari 12

Nama : Ni Made Arie Krisnayanti

No : 11

Nim :1902612010761

Kelas : Pemasaran C

1. Subjek pajak penghasilan & tidak subjek pajak penghasilan


Subjek Pajak Penghasilan (PPh)
Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pajak subjektif, adalah pajak yang pemungutannya berdasar atas
subjeknya (orangnya), di mana keadaan diri pajak dapat memengaruhi jumlah yang harus
dibayar, meliputi:
a. Orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu.
c. Bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha dan melakukan kegiatan di Indonesia.
Bentuk usaha tetap tersebut meliputi: Tempat kedudukan manajemen; Cabang
perusahaan; Kantor perwakilan; Gedung kantor; Pabrik; Bengkel; Gudang; Ruang untuk
promosi dan penjualan; Pertambangan dan penggalian sumber alam; Wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi; Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau
kehutanan; Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; Pemberian jasa dalam
bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; Badan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas; Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung risiko di Indonesia; dan Komputer, agen elektronik, atau peralatan
otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Jenis- Jenis Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak terdiri atas subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri:

a. Subjek pajak dalam negeri Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan; Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b. Subjek pajak luar negeri Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan
badan yang menjalankan usaha; Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Bukan Subjek Pajak Penghasilan

Berikut ini merupakan contoh orang perorangan dan badan yang tidak termasuk subjek pajak
penghasilan:

1. kantor perwakilan negara asing;


2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

2. Objek Pajak Penghasilan & Tidak Termasuk Pajak Penghasilan

Objek PPh dalam UU PPh dirincikan sebagai berikut:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
industri, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
• Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
• Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun
• Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk industri,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
• Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha berbasis industri.
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
19. Surplus Bank Indonesia.

Bukan Objek Pajak

Dalam UU tersebut juga diatur mengenai jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek
pajak. Perkara ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh. Menurut aturan itu, berikut ini daftar
bukan objek pajak.

1. (a). Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
(b). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 (UU. PPh).
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat; (1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan (2) bagi perseroan
terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah modal yang disetor
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut; (1) merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan (2) sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

3. Jenis Penghasilan yang Dikenakan PPh Final

Wajib pajak juga harus mengetahui beberapa penghasilan yang dikenakan PPh Final. Selain
bekerja, imbal balik hasil investasi atau keuntungan dari bisnis atau penjualan juga dikenakan
pajak penghasilan.

Ketentuan mengenai penghasilan yang dikenakan PPh Final juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Inilah beberapa kategori
penghasilan yang dikenakan PPh Final:

1. Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi, dan Surat Utang Negara (SUN),
dan bunga simpanan dari koperasi kepada anggotanya secara pribadi.
2. Hadiah undian. Pernah dengar istilah “hadiah dipotong pajak” ketika mengikuti sebuah
undian berhadiah uang tunai? Itulah yang dimaksud PPh Final.
3. Hasil dari investasi atau trading yang dilakukan, seperti transaksi saham dan sekuritas
lainnya, transaksi derivatif dari perdagangan di bursa, dan transaksi penjualan saham.
4. Hasil dari transaksi pengalihan harta, seperti tanah, bangunan (keduanya bisa bersamaan
atau terpisah), usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau
bangunan. Intinya, penghasilan apapun yang didapat dari sektor properti juga termasuk
PPh Final.
Namun, ada juga kategori penghasilan lain yang pajaknya dihitung dengan PPh Final.
Kategori penghasilan tersebut masih diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Berikut ini adalah jenis penghasilan lain yang dikenakan PPh Final:
1. Penghasilan neto (bersih) yang dihitung dengan Norma Penghitungan Khusus. Norma
Penghitungan Khusus ini digunakan apabila ada penghasilan bersih dari wajib pajak
tertentu yang tidak bisa dihitung berdasarkan Pasal 16 UU Pajak Penghasilan No. 7
Tahun 1983, sebesar 0,5% dari omzet kotor (bruto).
2. Penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada WP Orang Pribadi dalam negeri,
sebesar maksimum 10%. Peraturan ini ditetapkan dalam Pasal 17 ayat (2c) UU Pajak
Penghasilan No. 36 Tahun 2008.
3. Selisih penilaian kembali harta (aktiva) bila ada ketidaksesuaian antara penghitungan
unsur-unsur biaya dan penghasilan karena kenaikan harga (inflasi). Peraturan ini
tercantum dalam pasal 19 UU PPh yang masih berlaku.
4. Penghasilan dari pekerjaan dan jasa yang dilakukan oleh WP Orang Pribadi dalam negeri,
seperti gaji, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lainnya. Peraturan ini
ada dalam Pasal 21 UU PPh.

4. Penghasilan Kena Pajak


Penghasilan kena pajak (pkp) adalah penghasilan yang dijadikan dasar untuk menghitung
Pajak Penghasilan (PPh). Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Dalam aturan tersebut penghasilan kena pajak dihitung dari penghasilan kotor
dikurang dengan upah untuk mengumpulkan dan menjaga penghasilan. Kemudian jika kasus
demikian hasilnya rugi maka akan digantikan oleh penghasilan tahun pajak selanjutnya sampai
dengan lima tahun kedepan.

Tarif penghasilan kena pajak terbagi dalam dua jenis berdasarkan subjek pajaknya, yaitu:
• Tarif penghasilan kena pajak dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi (WP OP)
dalam negeri.
• Tarif penghasilan kena pajak yang dikenakan kepada wajib pajak badan dalam negeri
atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Tarif yang dikenakan untuk keduanya berbeda. Untuk tarif penghasilan kena pajak dibedakan
berdasarkan jumlah penghasilannya:

Tarif Penghasilan Orang Pribadi

Tarif Lama (UU Pajak Penghasilan) Tarif Baru (RUU HPP)

Penghasilan 0 - Rp 50 juta 5% Penghasilan 0 - Rp 60 juta 5%

15% Penghasilan Rp 60 juta - Rp 250 juta 15%


Penghasilan Rp 50 juta - Rp 250
juta

Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500


25% Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 juta 25%
juta

Penghasilan di atas Rp 500 juta 30% Penghasilan Rp 500 juta - Rp 5 miliar 30%

Penghasilan di atas Rp 5 miliar 35%

Orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki
peredaran bruto sampai Rp500.000.000 dalam setahun tidak dikenakan PPh.

Tarif Penghasilan Badan

Tahun Pajak Tarif UU PPh Tarif UU HPP

Tahun 2020 - 2021 22%


Tahun 2022 dst. 20% 22%

Terhadap pelaku usaha UMKM berbentuk badan dalam negeri tetap diberikan insentif penurunan
tarif sebesar 50% sebagaimana diatur dalam Pasal 31E. Bagi WP orang pribadi dengan peredaran
bruto tertentu, diberikan pengecualian pengenaan pajak terhadap peredaran bruto sampai dengan
Rp500.000.000.

Perhitungan Penghasilan Kena Pajak

(Contoh )

Rudi adalah seorang wajib pajak yang taat pajak. Ia memiliki penghasilan sebesar Rp
100.000.000 per tahun. Cara menghitung PPh yang wajib dibayarkan Rudi adalah:

= (Penghasilan Setahun - PTKP) = PKP

= PKP x Tarif Lapisan Pajak = Pajak yang harus dibayar

= Rp 100.000.000 - Rp 54.000.000 = Rp 46.000.000 (Tarif Lapisan Pertama)

= Rp 46.000.000 x 5% = Rp 2.300.000

Jadi jumlah pajak yang wajib dibayar adalah : Rp 2.300.000

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan besaran dari penghasilan yang tidak
dikenakan, artinya seseorang tidak perlu membayar pajak apabila gaji bulanan tidak mencapai
ketentuan PTKP. Meski sudah diringankan bebannya, orang tersebut tetap wajib melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT).

Pada ketentuan tarif PTKP 2019 yang disusun dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
101/ PMK.010/2016. Sedangkan untuk perhitungan lebih detail ada di dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016. Untuk ketentuan PTKP bagi pegawai diatur dalam PMK
No. 102/PMK.010/2016 yang belum berubah hingga sekarang.

Ketentuan PTKP yang sampai saat ini dijalankan yaitu sebagai berikut:

• Wajib pajak pribadi berstatus tanpa tanggungan sebesar Rp. 54.000.000


• Penghasilan istri ditambah dengan penghasilan suami sebesar Rp. 112.500.000
• Wajib pajak pribadi dengan status kawin mendapat tambahan sebesar Rp. 4.500.00
• Setiap anggota keluarga sedarah yang menjadi tanggungan (maksimal 3 tanggungan)
mendapat tambahan sebesar Rp. 4.500.000

Status Penghasilan Tidak Kena Pajak


Dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak, tidak hanya tarif namun status PTKP juga penting untuk
dipahami. Status tersebut ditulis menggunakan kode-kode. Penjelasan mengenai sejumlah kode
PTKP diuraikan sebagai berikut:
Status Lajang
• TK/0 artinya seorang yang belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan
• TK/1 artinya seorang yang belum menikah namun memiliki satu tanggungan
• TK/2 artinya seorang yang belum menikah dan mempunyai dua tanggungan
• TK/3 artinya seorang yang belum menikah dan memiliki tiga tanggungan
Status Kawin
• TK/0 artinya telah menikah dan tidak mempunyai tanggungan
• K/1 artinya telah menikah dan memiliki satu tanggungan
• K/2 artinya telah menikah dan memiliki dua tanggungan
• K/3 artinya telah menikah dan memiliki tanggungan
Status PTKP Digabung
• K/1/0 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan tidak mempunyai tanggungan
• K/1/1 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki satu tanggungan
• K/1/2 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki dua tanggungan
• K/1/3 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki tiga tanggungan

6. Tarif PPh
1. Tarif Progresif
Tarif pajak progresif merupakan tarif pungutan pajak yang mana persentase akan naik
sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia itu sendiri, tarif pajak
progresif ini diterapkan untuk pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi, seperti:
• Lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai Rp50 juta, tarif pajaknya 5%.
• Lapisan PKP lebih dari Rp50 – Rp250 juta, tarif pajaknya 15%.
• Lapisan PKP lebih dari Rp250 -Rp500 juta, tarif pajakya 25%.
• Lapisan PKP di atas Rp500 juta, tarif pajaknya 30%.
2. Tarif Degresif
Tarif degresif ini kebalikan dari tarif progresif. Artinya, tarif pajak ini merupakan tarif
pajak yang persentasenya akan lebih kecil dari jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajak tinggi. Atau, persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar pengenaan
pajaknya semakin meningkat.
Jadi, jika persentasenya semakin kecil, jumlah pajak terutang tidak ikut mengecil.
Melainkan bisa jadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya
semakin besar.
3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional merupakan tarif yang persentasenya tetap meski terjadi perubahan
terhadap dasar pengenaan pajak. Jadi, seberapa pun jumlah objek pajak, persentasenya
akan tetap.
Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (10%) dan PBB (0,5%) dari berapa pun objek
pajaknya.
4. Tarif Tetap/Regresif
Tarif tetap atau tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya.
Tarif tetap juga dapat diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu tetap sesuai dengan
peraturan yang telah diberlakukan, seperti Bea Meterai dengan nilai atau nominal sebesar
Rp3.000 dan Rp6.000. Pada dasarnya tarif pajak dipungut berdasarkan atau sesuai dengan
pengelompokan jenis-jenis pajak.

7. Perhitungan PPh
Setelah berhasil menemukan setiap poinnya, langkah terakhir adalah menghitung pajak
penghasilan. Cara menghitung PPh final didasarkan pada persentase yang telah diatur oleh
Dirjen Pajak, sebagai berikut.
• PKP dibawah Rp50 juta dikenakan PPh sebesar 5%.
• PKP antara Rp50 juta - Rp250 juta dikenakan PPh sebesar 15%.
• PKP antara Rp250 juta - Rp500 juta dikenakan PPh sebesar 25%.
• PKP diatas Rp500 juta dikenakan PPh sebesar 50%.
Dari perhitungan di atas, cara menghitung PPh hanya perlu mengalikan penghasilan bersih
dengan persentase yang sesuai. Misalnya, pendapatan bersih Anda dalam satu tahun adalah
Rp100 juta, maka PPh yang dikenakan adalah sebesar 15% dari total pendapatan.

Contoh Simulasi Perhitungan PPh


Agar sobat OCBC lebih memahami cara menghitung PPh dengan baik, simak contoh simulasi
perhitungannya berikut ini.
Contoh:
Iqbal adalah seorang manajer perusahaan dengan estimasi penghasilan bersih sebesar Rp80 juta
per tahun. Ia masih lajang, sehingga tidak memiliki tanggungan terhadap anggota keluarga lain.
Maka pajak penghasilan yang harus dibayarkan adalah?
Langkah pertama adalah menghitung PKP, dikarenakan Iqbal lajang, maka Ia masuk dalam
kategori pertama. Maka PKP iqbal sebesar:

PKP
= Penghasilan bersih – PTKP
= Rp80 juta - Rp54 juta
= Rp26 jutab
Setelah diketahui berapa besar PKP-nya, saatnya Anda menghitung PPH. Karena PKP Iqbal
kurang dari Rp50 juta, maka PPh yang dikenakan adalah 5%. Yang berarti:

PPh
= Rp50 juta x 5%
= Rp2,5 juta
Dari perhitungan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Iqbal harus membayar pajak
penghasilan sebesar Rp2,5 juta per tahun.

Anda mungkin juga menyukai