Anda di halaman 1dari 18

RMK

PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI & BADAN

Dosen Pengampu : Pak Muhammad Istiyansyah Ulman Idris, S.E., M.Sc.

Oleh :

Miftahul Fuji Amalia Burhan

(A031201119)

DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2023
PPH ORANG PRIBADI

A. Pengertian Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau PPh Orang Pribadi (PPh OP) adalah pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak Orang Pribadi (OP) atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam Tahun Pajak maupun bagian Tahun Pajak.
Orang Pribadi adalah subjek pajak penghasilan yang mencakup orang pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.
B. Subjek Pajak Penghasilan Dalam Negeri dan Luar Negeri
- Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri
Merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, subjek PPh Orang
Pribadi Dalam Negeri adalah WP Orang Pribadi yang merupakan Warga Negara
Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA), yang:
• Bertempat tinggal di Indonesia
• Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
• Atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia

PPh Orang Pribadi Dalam Negeri ini dikenakan pada bagi WP OP yang telah menerima
atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).

- Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi Luar Negeri


Masih sesuai UU Cipta Kerja, sedangkan subjek PPh Orang Pribadi Luar Negeri WP
Orang Pribadi, yang:
• Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
• WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan
• WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan serta memenuhi persyaratan
C. Bukan Subjek Pajak
1. Kantor perwakilan negara asing;
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing
3. Organisasi-organisasi internasionak
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional

D. Saat mulai dan akhir kewajiban subjektif


- Dalam negeri : dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
- Luar Negeri : dimulai pada saat menerima dan memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima dan memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
E. Objek Pajak Penghasilan Pribadi
Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah penghasilan yang merupakan setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh orang pribadi, baik berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Jenis-Jenis Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Merujuk Pasal 4 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008, berikut jenis-jenis objek PPh
Orang Pribadi:
a. Penghasilan dari Pekerjaan
Penghasilan yang merupakan objek PPh Orang Pribadi dari pekerjaan ini meliputi:
• Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang
• Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
• Penghasilan dari Usaha atau Pekerjaan Bebas
b. Penghasilan dari Modal
• Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
• Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian laba dari sisa hasil
usaha koperasi
• Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan harta
• Keuntungan karena penjualan

c. Penghasilan Lain-Lain
• Hadiah dari undian
• Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
• Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
• Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai jumlah tertentu yang
diterapkan dengan peraturan pemerintah
• Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
• Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak
• Penghasilan dari usaha berbasis syariah
• Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur KUP
• Surplus Bank Indonesia
F. Objek Pajak Final
Pajak yang terutang dan dibayarkan seketika penghasilan diperoleh atau diterima.
Pemotongan dilakukan oleh pemberi penghasilan, atau pihak lain yang ditentukan.
Ketika dilakukan penghitungan pajak terutang di akhir tahun, penghasilan yang
dikenakan pajak final bukan sebagai penambah penghasilan dan pajak final tidak dapat
menjadi kredit pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan Final tidak akan
dihitung lagi di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama dengan penghasilan
lainnya
Dalam Pajak 4 ayat (2) ditentukan bahwa jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya
ditetapkan secara final, diantaranya :
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan Surat
Utang Negara (SUN), dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi
2. Penghasilan berupa hadiah undian
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, PPh Pasal
4 ayat 2 jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP).
G. Objek Pajak Tidak Final
PPh Tidak Final adalah pajak yang belum selesai atau pajak yang diperhitungkan
kembali dengan penghasilan lainnya untuk dikenakan tarif umum dalam pelaporan SPT
Tahunan.
Adapun Objek Pajak PPh Tidak Final adalah sebagai berikut Penggantian atau imbalan
berkenaan dengan pekerjaan.
1. Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
2. Laba usaha
3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
5. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
6. Dividen
7. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Surplus Bank
Indonesia
H. Dikecualikan dari Objek PPh Orang Pribadi
Sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh No. 36 Tahun 2008 ini, objek pajak penghasilan orang
pribadi yang dikecualikan dari PPh Orang Pribadi diantaranya:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PP
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan
3. Warisan. Ini akan dikecualikan dari objek pajak penghasilan orang pribadi.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa
6. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
I. Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Pada Dasarnya Terdapat Tiga Mekanisme Perhitungan PPh Op Yang Dibedakan
Berdasarkan Jumlah Penghasilan Dan Penggunaan Metode Pencatatan Atau Pembukuan
Yang Dilakukan, Yaitu:
1. Mekanisme PPh OP secara Umum
Mekanisme umum ini berlaku bagi WP OP yang menjalankan usaha dan/atau
pekerjaan bebas dengan melakukan pembukuan.
Pembukuan di sini adalah proses pencatatan keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Perhitungan pajak bagi orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini
dilakukan dengan menggunakan mekanisme perhitungan biasa sesuai ketentuan tarif
pada UU PPh Pasal 17.
2. Mekanisme PPh Final PP 23/2018
Mekanisme perhitungan PPh OP ini berlaku bagi wajib pajak pribadi yang
memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. WP OP ini
hanya menyelenggarakan pencatatan saja dalam satu tahun pajak.
Perhitungan PPh OP ini tidak menyelenggarakan pembukuan, sehingga akan
dikenakan PPh yang bersifat final sesuai tarif dan ketentuan pada PP 23 Tahun 2018,
yakni tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto.
3. Mekanisme PPh OP secara NPPN
Penghitungan PPh OP dengan mekanisme NPPN ini bagi yang tidak
menyelenggarakan pembukuan. Norma penghitungan penghasilan neto ini bisa
digunakan oleh wajib pajak dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam
satu tahun.
Untuk menggunakan mekanisme NPPN ini, WP OP / objek pajak penghasilan
orang pribadi harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
Dengan demikian, penghitungan pajak penghasilan dilakukan dengan terlebih
dahulu menetapkan jumlah penghasilan neto berdasarkan ketentuan norma yang
ditetapkan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015. Kemudian
PPh-nya dihitung berdasarkan tarif pada UU PPh Pasal 17.
J. Skema Pembagian Mekanisme Perhitungan PPh Orang Pribadi
Skema pembagian mekanisme perhitungan Pajak Penghasilan bagi wajib Pajak Orang
Pribadi yang berbeda, yang melakukan usaha atau pekerjaan, yakni:
1. Jika Peredaran Bruto > Rp4,8 Miliar
Apabila WP Orang Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan dengan peredaran
bruto lebih dari Rp4,8 miliar setahun, wajib melakukan pembukuan dan PPh dihitung
berdasarkan Mekanisme Umum.
2. Jika Peredaran Bruto < Rp4,8 Miliar
Ketika WP Orang Pribadi / objek pajak penghasilan orang pribadi yang melakukan
usaha atau pekerjaan memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun, dapat
memilih metode perhitungan pajak penghasilan, yaitu:
• Melakukan Pencatatan
PPh dihitung berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (Pasal 17 UU
PPh No. 38 Tahun 2008), atau PPh dihitung berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018.
• Memilih Pembukuan
Jika memilih pembukuan, maka PPh dihitung berdasarkan Mekanisme Umum.
K. NPPN
Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) merupakan norma yang berguna dan
dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam perhitungan penghasilan netonya dalam satu
tahun pajak sebagai dasar perhitungan PPh Terutang 25/29.
- Syarat menggunakan
• WP Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto dalam 1 (satu) tahunnya kurang dari Rp 4,8 miliar, maka wajib
menyelenggarakan pencatatan dan menghitung penghasilan neto menggunakan
NPPN.
• WP Pribadi yang diwajibkan menyelenggarakan pencatatan dan memperoleh
penghasilan tidak dikenai PPh bersifat final, maka menghitung penghasilan
netonya menggunakan NPPN
• Apabila WP Pribadi atau badan yang menjalankan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas dilakukan pemeriksaan sesuai dengan diatur dalam UU KUP, ternyata
WP Pribadi atau badan tersebut tidak atau belum sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia menunjukkan pembukuan,
pencatatan, atau bukti-bukti lainnya, maka penghasilan netonya dihitung
menggunakan NPPN
- Besaran
Diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
17/PJ/2015 tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto, besarnya norma
perhitungan ditentukan atas beberapa kondisi.
• Pembagian persentase yang dikelompokkan berdasarkan wilayah di ibukota
provinsi, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan,
Palembang, Manado, Makasar, Pontianak, serta ibukota provinsi maupun
daerah lainnya
• Persentase tersebut untuk Wajib Pajak orang yang menghitung penghasilan
netonya menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)
• Persentase bagi Wajib Pajak orang pribadi yang ternyata tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya
• Persentase bagi Wajib Pajak badan yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya
- Rumus
Rumus mendapatkan penghasilan neto = Peredaran penghasilan bruto x Tarif
persentase NPPN.
L. DPP dan Tarif
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah :
1. Pegawai Tetap. Pegawai tetap adalah seorang pegawai yang menerima gaji atau upah
dalam jumlah tertentu secara berkala per bulan.
2. Pegawai Tidak Tetap. Kebalikan dari pegawai tetap, pegawai tidak tetap adalah seorang
pegawai yang menerima gaji atau upah berdasarkan ketentuan tertentu dan biasanya
tidak teratur.
3. Penerima Pensiun berkala. Penerima pensiun berkala adalah seseorang secara pribadi
atau ahli warisnya yang menerima imbalan untuk pekerjaan yang dahulu pernah
dilakukan.
4. Bukan Pegawai. Dari namanya sudah jelas, bahwa wajib pajak bukan tidak termasuk
pegawai tetap maupun tidak tetap, atau seorang pekerja lepas atau bekerja secara
pribadi.

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah :

• Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan
• 50% dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi Bukan Pegawai.

Adapun Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi adalah :

M. PTKP
Penghasilan Tidak Kena Pajak atau yang sering disingkat PTKP adalah batasan
nominal tertentu dari pendapatan Wajib Pajak yang tidak dikenakan pajak. PTKP dapat
dikatakan sebagai dasar untuk perhitungan PPh 21.
Tidak dikenakan PPh Pasal 21 jika penghasilan Wajib Pajak tidak lebih dari PTKP.
Begitu pun sebaliknya jika wajib pajak memiliki penghasilan lebih dari PTKP maka
penghasilan neto yang sudah dikurangi dengan PTKP yang akan menjadi dasar
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Penghasilan suami dan istri yang dikenakan pajak secara terpisah didasarkan dengan syarat
dan kebijakan seperti berikut:
1. Suami dan istri telah hidup berpisah berdasarkan dengan keputusan hakim
2. Suami dan istri menghendaki adanya perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis
3. Dengan keputusan pribadi, istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri

N. Angsuran Pajak PPh 25


PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak atas penghasilan secara angsuran setiap
bulannya. Angsuran pembayaran pajak yang merupakan PPh Pasal 25 tujuannya adalah
untuk meringankan beban Wajib Pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi.
Berdasarkan PPh Pasal 25 ayat (1) besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT
Tahunan PPh tahun pajak, yang lalu dikurangi dengan :
1. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta PPh yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
2. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 bulan atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak
O. SPT Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang Pribadi wajib melaporkan penghasilan, harta dan kewajiban mereka
setahun sekali dalam bentuk formulir SPT Tahunan ke KPP. Periode pelaporan SPT PPh
Orang Pribadi adalah dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember dan harus dilaporkan ke
KPP sebelum tanggal 31 Maret pada tahun berikutnya.
WP memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan kepada DJP setiap tahun.
Menurut Pasal 3 UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP. Ada 3 jenis formulir SPT yang
dapat digunakan WP OP
a. 1770SS
• Memperoleh penghasilan dari 1 pemberi kerja
• Penghasilan bruto kurang dari atau sama dengan 60jt dalam 1 tahun
• Tidak memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas
• Tidak berstatus PH atau MT

Bagi karyawan swasta, harus melampirkan Bukti Potong 1721 A1 sebagai syarat
pengisian SPT WP OP dan Bukti Potong 1721 A2 bagi pegawai negeri.

b. 1770S
• Memperoleh pengasilan dari 1 pemberi kerja atau lebih
• Penghasilan bruto lebih dari 60 juta dalam 1 tahun
• Tidak memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas
c. 1770
• Memperoleh penghasilan dari 1 pemberi kerja atau lebih
• Memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas

Daftar Referensi

Klik Pajak (2022). “Pajak Penghasilan Orang Pribadi : Ulasan Lengkap PPh Orang Pribadi”.
https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-orang-pribadi/

Poppy, Insight Talenta (2022). “ Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 21, Begini
Penjelasannya”. https://www.talenta.co/blog/dasar-pengenaan-pph-21/

Mevi Sukmawati (2022). “PTKP 2023 Bagi Wajib Pajak : Simak Aturan Terbarunya”.
https://www.pajakku.com/read/633e8168b577d80e80bb2f17/PTKP-2022-Bagi-Wajib-
Pajak:-Simak-Aturan-Terbarunya-
PPH BADAN

A. Definisi Badan
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.
Definisi Badan BUT ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh
karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan,
untuk pengenaan PPh BUT mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam
pengertian badan. Khusus mengenai BUT dan perlakuan perpajakannya akan dibahas
tersendiri
B. Subjek Pajak Badan dan Tempat Kedudukan Badan
Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan
kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan disetor ke
kas negara.
- Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
• Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
• Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
• Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat (Pempus) atau
Pemerintah Daerah (Pemda)
• Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
• Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
- Subjek Pajak Luar Negeri
Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima / memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha /
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, juga termasuk subjek pajak luar negeri.
- Tempat Kedudukan Badan
• Tempat kantor pimpinan, pusat administrasi dan keuangan, dan tempat
menjalankan kegiatan usaha berada sesuai akta pendirian.
• Tempat kantor pimpinan berasa
• Tempat menjalankan kegiatan usaha
• Tempat yang ditetapkan oleh DJP
C. Hubungan Istimewa Wajib Pajak
• Hubungan Istimewa karena Kepemilikan atau Penyertaan Modal
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada
apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling sedikit 25% pada Wajib Pajak lain; atau
2. hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua
Wajib Pajak atau lebih (dan hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih
tersebut).
• Hubungan Istimewa karena Penguasaan
Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila Wajib Pajak
menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Penguasaan dapat
terjadi melalui penguasaan manajemen maupun penguasaan penggunaan
teknologi. Perlu dipahami bahwa hubungan istimewa dapat dianggap terjadi di
antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama.
• Hubungan Istimewa karena Hubungan Darah atau Perkawinan
Hubungan istimewa karena hubungan darah atau perkawinan dianggap ada apabila
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus:
1. satu derajat, adalah ayah, ibu, dan anak;
2. ke samping satu derajat, yakni saudara.
Sementara itu, yang dimaksud dengan hubungan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus:
1. satu derajat, adalah mertua dan anak tiri;
2. ke samping satu derajat, yakni saudara ipar.
D. Objek Pajak PPh Badan
- setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun. Penghasilan (Pasal 4 ayat 1 UU PPh)
- Penghasilan Dikenakan Pajak Final dan terpisah (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
- Penghasilan Tidak Dikenakan Pajak (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
E. PPh Final
Atas Penghasilan WP yang memiliki peredaran bruto Tertentu WP OP atau WP Badan
tidak termasuk BUT WP yang memiliki peredaran bruto tertentu ini adalah WP yang
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. WP OP dan WP Badan tidak termasuk BUT
2. Menerima penghasilan dari usaha , tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas , dengan peredaran bruto tidak melebihi 4.800.000.000 dalam
satu tahun pajak tidak termasuk peredaran bruto dari : (1) Jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas (2) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri (3) usaha
yang atas penghasilannya telah dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan tersendiri (4) penghasilan yang
dikecualikan sebagai objek pajak.
F. Skema Perhitungan
Skema Perbedaan Penggunaan Tarif PPh Badan

G. Komersial dan Fiskal


Dalam penghitungan PPh, Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi fiskal atas
pendapatan dan biaya yang diakuinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara
akuntansi komersial dengan UU PPh.
Secara umum biaya komersial menurut ketentuan PPh dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dan biaya-biaya yang
tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka untuk menentukan
atau mengubah jumlah Laba Komersial menjadi Laba Fiskal.
H. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah proses pencatatan penyesuaian, dan pembetulan yang dilakukan
karena ada perbedaan perlakuan atas pendapatan atau laba komersial maupun biaya antara
standar akuntansi dan aturan perpajakan. Sehingga rekonsiliasi fiskal ini terbagi menjadi
dua, yaitu:
• Rekonsiliasi beda tetap : karena perbedaan antara laba yang dikenakan pajak
dengan laba akuntansi yang belum terkena pajak. seperti penghasilan final, PPh.
• Rekonsiliasi beda waktu: karena perbedaan waktu pengakuan, baik penghasilan
maupun biaya antara sistem akuntansi dan sistem perpajakan, seperti perbedaan
metode penyusutan.

Sedangkan koreksi fiskal terbagi menjadi dua, yaitu:

• Koreksi fiskal postitif : menambah laba komersial atau laba penghasilan kena
pajak, dengan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan
biaya-iaya yang tidak diakui secara fiskal.
• Koreksi fiskal negatif : mengurangi laba komersial atau laba penghasilan kena
pajak yang disebabkan pendapatan komersial lebih tinggi daripada pendapatan
fiskal dan biaya-biaya komersial yang lebih kecil daripada biaya-biaya fiskal.
I. Penghasilan Neto
Bagi WP Badan, PPh terutang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang identik dengan
Penghasilan Neto. Penghasilan Neto ini diperoleh dengan cara mengurangkan biaya-biaya
yang diperbolehkan menurut ketentuan pajak terhadap Penghasilan Bruto yang menjadi
objek pajak. Dalam proses pembukuan berdasarkan akuntansi komersial, Penghasilan
Neto atau Laba Neto komersial sudah dihitung melalui Laporan Laba-rugi komersial,
namun untuk tujuan penghitungan PPh, Penghasilan Neto komersial tersebut tidak bisa
secara otomatis dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh terutang. Ketentuan PPh mengatur
tersendiri masalah penentuan Penghasilan Neto yang menjadi basis pengenaan pajak. Oleh
karena itu, kemudian muncul istilah ‘Penghasilan Neto Fiskal atau Laba Fiskal
J. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
• Biaya yang secara langsung/tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
·Penyusutan dan amortisasi
• Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
• Kerugian karena penjualan/pengalihan harta yang dimiliki untuk kegiatan/usaha
perusahaan
• Kerugian selisih kurs mata uang asing
• Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
• Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
• Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (syarat di PMK No 81/PMK.03/2009)
• Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
• Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia
• Biaya pembangunan infrastruktur sosial
• Sumbangan fasilitas pendidikan
• Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
K. Jenis Formulir SPT Tahunan PPh Badan
Formulir SPT Tahunan PPh Badan, yaitu SPT dengan kode 1771 SPT 1771 diperuntukkan
untuk WP Badan pada umumnya yang meliputi WP Badan yang berbentuk hukum: PT,
CV, perseroan lainnya, BUMN/D, koperasi, yayasan dan lain-lain. Selain itu masih
terdapat golongan WP tertentu yang juga diwajibkan mengisi dan menyampaikan SPT
1771, yaitu:
• WP Orang Pribadi Luar Negeri yang berstatus sebagai BUT
• WP Badan yang semata-mata hanya memperoleh atau menerima penghasilan yang
telah dikenakan PPh Final
• WP Kontrak Investasi Kolektif (KIK)

Lampiran Khusus SPT Tahunan PPh Badan

• Bukti Penerimaan Negara PPh Pasal 29


• Laporan Keuangan lengkap
• Transkrip Transkrip Kutipan Elemen-Elemen dari Laporan Keuangan
• Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal Perhitungan Kompensasi Kerugian
Fiskal Daftar Fasilitas Penanaman Modal
• Daftar Cabang Utama Perusahaan Surat Setoran Pajak lembar ke 3 PPh Pasal 26
Ayat (4)
• Perhitungan PPh Pasal 26 Ayat (4)
• Kredit Pajak Luar Negeri
• Surat Kuasa Khusus
• Rincian Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Final PP 46/2013 Per Masa
Pajak dari Masing-Masing Tempat Usaha
• Lampiran-lampiran Lainnya

Lamporan Tambahan yang Dapat Dibuat Sendiri

• Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal dengan semua jenis Akun yang dikoreksi
• Laporan Keuangan Segmented (jika terdapat penghasilan dan biaya yang Final dan
Bukan Objek)
• Daftar Nominatif Biaya yang dipersyaratkan
• Kertas Kerja Mapping Laporan Keuangan ke Formulir SPT Tahunan
• Rekonsiliasi Akun Biaya dengan Pemotongan Pajak
• Laporan Audit (jika ada)
• Dokumen terkait dengan Penentuan Harga dalam Hubungan Istimewa (TP Doc)
Daftar Referensi

Fitriya, Klik Pajak (2023). “Pajak Penghasilan (PPh) Badan : Jenis, Tarif, Cara
Menghitung”. https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-badan-jenis-tarif-hitung-dan-lapor-
pajak/

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja.

Rikiasp.id : Hubungan Istimewa Berdasarkan UU PPh”. https://rikiasp.id/pph/hubungan-


istimewa-berdasarkan-uu-pph/

Anda mungkin juga menyukai