Anda di halaman 1dari 56

BAB 3 PERENCANAAN PAJAK

PENGHASILAN PASAL 21
Pendahuluan
Dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 21 disebabkan peraturan yang mengatur tentang pajak
penghasilan berada di Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2008. Adapun dasar hukum agar
Perusahaan bisa mengetahui informasi yang relevan tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 ini yaitu
1. PER 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan PPh pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 (Lama)
2. Undang-Undang PPh Pasal 26, dalam UU PPh Nomor 36 tahun 2008
3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 149 tahun 2000
4. PER-32/PJ/2015. Petunjuk Pelaksanaan Dalam, Memotong, Menyetor dan
MElaporkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 (Terbaru)
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP)
Penerimaan negara yang berasal dari pajak terdiri dari jenis pajak yaitu sebagai berikut,
1. PPh Pasal 21
2. PPh Pasal 22
3. PPh Pasal 25/29
• orang pribadi
• badan
4. PPh Final
5. PPN dalam Negeri
6. Pajak atas impor
• PPh 22 impor
• PPN impor
• PPnBM Impor
Dari enam jenis pajak diatas PPh pasal 21 menempati urutan ketiga yang memiliki
pendapatan besar yaitu sebesar 15,28 trilyun rupiah. Berikut adalah rincian penerimaan untuk
jenis pajak untuk tahun 2019,
Tabel Penerimaan Pajak Tahun 2019

Sumber: APBN Kita Februari 2020


Tabel diatas membuktikan bahwa PPh Pasal 21 memiliki peranan yang cukup besar dalam
penerimaan negara karena jika melihat pada rincian penerimaan pajak diatas PPh 21 merupakan
salah satu yang terbesar setelah PPN dalam negeri dan pajak atas impor. Pada tahun 2019 tercatat
ada 1,04 juta SPT yang telah disampaikan sampai dengan tanggal 1 Mei 2020. Meskipun secara
data mengalami penurunan, namun secara total khusus untuk PPh Pasal 21 masih berada di
urutan ketiga dengan pendapatan terbesar.
Subjek Pajak untuk PPh sebagaimana disebutkan dalam UU PPh yaitu
1. Orang pribadi
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
3. Badan
4. Bentuk usaha tetap
Jika melihat subjek pajak diatas setiap orang merupakan subjek pajak yang memiliki potensi
untuk dikenakan pajak sehingga siapapun kita baik itu pribadi maupun berkelompok maka
termasuk kedalam subjek pajak PPh. Oleh karena itu dalam hal perencanaan pajak untuk subjek
pajak PPh sulit untuk dilakukan.
Adapun untuk objek pajak penghasilan sebagaimana namanya adalah penghasilan. Definisi dari
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun daru luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun. Dijelaskan lebih lanjut tentang jenis-jenis penghasilan yang dijelaskan
yaitu
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan pengahargaan
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseoran, persekutuan, dan badan lainnya
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberukan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagaam, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
7. Dividen, dengan anam dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil suaha
koperasi
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
14. Premi asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wjaib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
18. Imbalan bunga
19. Surplus Bank Indonesia
Secara singkat yang menjadi objek pajak penghasilan adalah setiap penghasilan yang bentuknya
uang yang masuk ke rekening dan juga uang secara fisik. Karena banyaknya penghasilan yang
bisa dipajaki oleh negara dalam undang-undang pajak penghasilan menggunakan kalimat “dalam
nama dan bentuk apapun” sebagai tanda jika ada bentuk penghasilan yang nilainya uang tidak
diatur dalam UU tetap bisa dipajaki oleh negara apalagi penghasilan tersebut didapatkan berasal
dari Indonesia.
Untuk melakukan perencanaan pajak PPh 21 kita bisa berfokus kepada yang bukan termasuk
objek agar tidak dikenakan pajak. Pembahasan untuk itu akan dijelaskan dibagian perencanaan
pajak pihak yang dipotong.
PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang berhubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Bentuk penghasilan yang dimaksud
diantaranya yaitu gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan dari
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dan bukan pegawai dalam nama dan bentuk apapun.
Pembayaran PPh pasal 21 ini dilakukan pada tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-
pihak yang telah ditentukan. Adapun pihak tertentu yang diwajibkan melakukan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana
pensiun, orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penyelenggara
kegiatan
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa,
1. Setiap penghasilan yang diterima oleh wajib pajak pribadi akan dikenakan pajak.
2. Ada kewajiban memotong bagi pihak tertentu.
Pada umumnya PPh pasal 21 melibatkan dua pihak yaitu pihak pemotong dan pihak yang
dipotong. Pihak pemotong secara singkat yaitu pemberi kerja sedangkan pihak yang dipotong
yaitu orang yang bekerja. Bagi pihak pemotong dan pihak yang dipotong bisa melakukan
perencanaan pajak agar bisa membayar pajak lebih efisien.

Perencanaan Pajak Pihak yang Dipotong


Pihak yang dipotong dalam PPh Pasal 21 adalah penerima penghasilan. Penerima penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 yaitu orang pribadi yang memiliki status sebagai subjek pajak dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan, termasuk pensiun. Adapun Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu,
1. Pegawai
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya
3. Bukan pegawai
4. Angota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama
5. Mantan pegawai
6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan
Bagi pihak pemotong atau bagi wajib pajak yang dikenakan PPh Pasal 21 bisa melakukan
perencanaan pajak agar bisa efisien dalam pembayaran pajak yaitu,
1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Menurut Undang-Undang KUP NPWP
adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sebuah sarana dalam
administrasi perpajakan yang digunakan
sebagai tanda pengenal Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya. Selain sebagai identitas
seorang Wajib Pajak, NPWP memiliki fungsi lain yaitu untuk menjaga ketaatan dalam
pembayaran pajak dan juga pengawasan administrasi perpajakannya sehingga DJP
akan lebih mudah melakukan pengawasan. NPWP digunakan untuk pelaporan SPT,
baik itu SPT tahunan maupun SPT Masa. Untuk mendapatkan NPWP seseorang
hanya tinggal mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat kemudian
mengisi formulir dan memberikan KTP setelah itu petugas KPP akan memberikan
NPWP atau dikirimkan melalui pos ke alamat sesuai dengan KTP atau langkah lain
untuk mendapatkan NPWP yaitu bisa melalui online dengan mengunjungi situs resmi
dari DJP dan NPWP akan dikirimkan setelah dilakukan verifikasi data oleh DJP
melalui KPP. NPWP diwajibkan dimiliki oleh setiap Wajib Pajak khususnya kepada
wajib pajak yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) selama satu tahun. Sebagai langkah menjaga ketaatan dari setiap WAjibb
Pajaknya apabila seorang wajib pajak tidak memiliki NPWP maka akan dikenakan
sanksi yaitu
1) Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun.
2) Denda senilai dua kali jumlah terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling
banyak empat kali jumlah terutang yang tidak atau kurang bayar.
Selain sanksi yang akan didapatkan ada resiko-resiko yang harus dihadapi oleh wajib pajak
yaitu
1) Membayar PPh Pasal 21 lebih tinggi
Resiko yang paling besar dari tidak memiliki NPWP yaitu harus membayar
PPh Pasal 21 lebih tinggi yaitu sebesar 20% sesuai dengan UU PPh pasal 21
ayat (5c) bahwa besarnya tarif yang diterapkan terhadap WAjib Pajak yang tidak
memiliki NPWP lebih tinggi yaitu sebesar 20% daripada tarif yang ditetapkan
terhadap Wajib Pajak yang memilliki NPWP.
Gambar Kutipan UU PPh Pasal 5

Sebagai contoh apabila wajib pajak dikenakan tarif PPh Pasal 21 pada
lapisan kesatu yaitu 5% maka ketika wajib pajak tidak memiliki NPWP maka wajib
pajak akan dikenakan 20% dari PKP. Jika dihitung maka wajib pajak membayar
empat kali lipat pajak yang seharusnya dibayar.
Contoh:
Tuan Rijal merupakan pegawai tetap yang sudah bekerja di PT. MSA selama 3 tahun.
Dia menikah dengan memiliki dua anak. Gaji yang didapatkan oleh Tuan Rijal adalah
15 juta rupiah dengan tunjangan yang didapatkan berupa tunjangan transport 5% dari
gaji, tunjangan keluarga 3% dari gaji, premi BPJS kesehatan sebesar 2% dari gaji dan
premi BPJS ketenagakerjaan 2,5% dari gaji yang dibayarkan oleh PT. MSA. Selain itu
PT MSA juga memberikan tunjangan pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun
senilai 3,5%. Adapun iuran yang dibayar oleh Tuan Rijal setiap bulannya yaitu iuran
BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebesar 4% dari gaji pokok dan iuran
pension sebesar 2%. Berapakah PPh Pasal 21 yang terutang oleh Tuan Rijal setiap
bulannya? Apabila Tuan Rijal tidak memiliki NPWP berapakah yang harus Tuan Rijal
bayar setiap bulannya?
Jawab:
Gaji sebulan 15,000,000
Tunjangan transport 5% 750,000
Tunjangan keluarga 3% 450,000
Premi BPJS Kesehatan 2% 300,000
Premi BPJS Ketenagakerjaan 2.50% 375,000
Gaji bruto sebulan 16,875,000
Pengurang
Biaya jabatan 5% 500,000
Iuran BPJS Kesehatan 4% 600,000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 4% 600,000
Iuran pensiun 2% 300,000
Total pengurang 2,000,000
Gaji neto sebulan 14,875,000
Gaji neto setahun 178,500,000
PTKP K/2 67,500,000
PKP 111,000,000
PPh Pasal 21 Terutang
50,000,000 5% 2,500,000
61,000,000 15% 9,150,000
Total PPh Pasal 21 Terutang Sebulan 11,650,000
Total PPh Pasal 21 Terutang Setahun 970,833

Adapun apabila Tuan Rijal tidak memiliki NPWP maka perhitungan pajak yang
terutangnya yaitu

Jika tidak memiliki NPWP


5% x 120% x 50.000.000 3,000,000
15% x 120% x 61.000.000 10,980,000
Total PPh terutang setahun 13,980,000
Total PPh terutang sebulan 1,165,000
Apabila dihitung Tuan Rijal diharuskan membayar 1.165.000 rupiah setiap bulannya
atau 13.980.000 setiap tahunnya jika tidak memilki NPWP atau lebih tinggi sebesar
2.330.000 setuap tahunnya atau 194.167 setiap bulannya. Hal ini tentu sangat
merugikan mengingat untuk membuat NPWP sangatlah mudah hanya dengan
persyaratan KTP saja bisa mendapatkannya.
2) Akan kesulitan dalam mengajukan kredit
Dalam pembuatan rekening bank maka pihak bank biasanya akan
meminta NPWP sebagai salah satu syaratnya. Apabila tidak memiliki NPWP
maka pihak bank akan meminta surat pernyataan bahwa kita tidak memiliki
NPWP. Tidak hanya kesulitan dalam pembuatan rekening saja, pada saat akan
mengajukan kredit NPWP menjadi salah satu syarat utama. Apabila tidak
terpenuhi maka kredit tidak akan diberikan. Kredit yang membutuhkan NPWP
dalam pengajuannya yaitu Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB), Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Multi Guna, Kartu KRedit,
Deposito dan Investasi Saham. Berikut ini adalah salah satu persyaratan
dokumen yang harus dipenuhi jika ingin mengajukan kredit yang dikeluarkan oleh
salah satu bank,
Gambar persyaratan dokumen pengajuan kredit

3) Akan kesulitan traveling ke luar negeri


Ketika akan pergi keluar negeri baik itu urusan bisnis, belajar, maupun
traveling maka diperlukan visa agar bisa masuk kedalam negeri yang dituju.
Dalam pengurusan visa diperlukan beberapa dokumen yang salah satunya
adalah Surat Keterangan Kerja yang ditujukkan dengan kepemilikan NPWP.
Apabila pada saat pengajuan visa tidak disertakan NPWP maka ada
kemungkinan visa tidak akan keluar atau bahkan visa yang diajukan akan ditolak
oleh negara tujuan karena keterangan kerja dibutuhkan negara tujuan untuk
memastikan selama dinegaranya mampu bertahan hidup sehingga kadang
diperlukan kecukupan dana dengan bukti rekening bank selama 3 bulan terakhir.
4) Dikenakan PPh tinggi apabila belanja barang luar negeri
Selain belanja yang biasa dilakukan didalam negeri kadang-kadang warga
negara Indionesia membeli barang yang berasal dari luar negeri. Hal yang
berhubungan dengan NPWP adalah pajak yang harus dibayar. Apabila barang
yang dibeli lebih dari 50 dollar maka akan dikenakan pajak sebesar 7.5%. Namun
apabila tidak memiliki NPWP maka diharuskan membayar pajak lebih tinggi dua
kali lipat yaitu 15%. Memang tidak semua negara menerapkan pembayaran yang
lebih tinggi jika kita tidak memiliki NPWP namun jika kita berada di negara yang
mewajibkan setiap pembeli memberikan NPWP nya maka kita akan mengalami
kerugian mengingat mudahnya untuk mendapatkan NPWP
Contoh:
Sarmila membeli parfum di Mustafa Center secara online dengan harga 200
dollar singapura. Tarif pajak yang dikenakan yaitu 7.5%. Berapakah total yang
harus dibayar oleh Sarmila apabila Sarmila memiliki NPWP dan apabila Sarmila
tidak memiliki NPWP?
Jawab:
Harga barang 200
Pajak 7.50% 15
Total yang harus dibayar 215

Jika tidak memiliki NPWP


Harga barang 200
Denda tidak punya NPWP 100% 30
Total yang harus dibayar 230

5) Akan membayar pajak tinggi pada saat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa dilakukan oleh perusahaan
apabila sudah tidak membutuhkan lagi karyawan dikarenakan banyak sebab.
Akibat dari PHK tersebut maka pegawai (wajib pajak) akan diberikan kompensasi
yang dikenal sebagai pesangon akibat kondisi tersebut. Pesangon adaaah uang
yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi
pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak. Apabila seseorangan kena PHK sesuai UU Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah dengan adanya UU Cipta Lapangan
Kerja atau disingkat UU CILAKA dia akan mendapakan uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak yang dihitung dari upah pokok dan
segala macam tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja dan
keluarganya. Pesangon dan yang lainnya ini termasuk kedalam objek pajak PPh
Pasal 21 karena merupakan kategori penghasilan. Apabila wajib pajak tidak
memiliki NPWP maka akan dikenakan tarif lebih tinggi 20% dari yang memilki
NPWP sehingga akan terlihat perbedaan yang signifikan antara pajak yang
dikenakan atas pesangon yang diberikan kepada wajib pajak yang memiliki
NPWP dan wajib pajak yang tidak memilki NPWP.
Contoh:
Humam setelah bekerja 20 tahun di PHK oleh tempat dia bekerja dikarenakan di
perusahannya sedang melakukan perampingan tenaga kerja. Untuk kompensasinya
Humam diberikan uang pesangon sebesar 80 juta rupiah. Berapakah PPh Pasal 21
terutang untuk Humam apabila Humam memiliki NPWP dan tidak memiliki NPWP?
Jawab:
Uang pesangon 80,000,000
PPh pasal 21 terutang
50,000,000 0% 0
30,000,000 5% 1,500,000
Total PPh pasal 21 terutang 1,500,000

Jika tidak memiliki NPWP


1,500,000 120% 1,800,000

2. Menjadi Bukan Subjek Pajak


Agar tidak dikenakan PPh pasal 21 kita bisa memilih untuk menjadi bukan
subjek pajak. Untuk menjadi bukan subjek pajak kita harus memenuhi kriteria yang
sudah ditentukan oleh UU dalam hal ini UU PPh. Disebutkan dalan pasal 3 UU PPh
yang tidak termasuk kedalam subjek pajak yaitu
a. Kantor Perwakilan negara asing
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sma mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik
c. Organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
Hal yang cukup sulit untuk menghilangkan subjek pajak PPh 21 karena meskipun
kita merupakan utusan dari luar negeri jika kita memperoleh penghasilan dari Indonesia
maka kita tergolong kedalam subjek pajak. Namun kita perlu mengetahui hal ini
dikarenakan apabila kondisi diatas terpenuhi maka secara otomatis kita tidak perlu
membayar pajak.

3. Mendapatkan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak penghasilan


Agar tidak dipotong PPh pasal 21 kita harus mengetahui apa saja penghasilan yang bukan
merupakan objek PPh pasal 21 sehingga pada saat mendapatkan penghasilan yang bukan
objek kita tidak perlu membayar pajak. Merupakan suatu perencanaan pajak juga jika kita
mendapatkan penghasilan dengan mengkondisikan penghasilan tersebut menjadi bukan
objek penghasilan. Adapun yang bukan termasuk kedalam objek penghasilan yaitu
1) Berupa
1) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan kegamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diteirma oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PMK, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan
2) Warisan
3) Harta termasuk setoran tunai yang ditrerima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib pajak
yang menggunakan norma penghitungan khsusu
5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa
6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseoran terbatas
sebagai WPDN, koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai
8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseoran
komanditer yag modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan
perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif
10) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha atau kegiatan di Indonesia
11) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
12) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dibidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telh terdaftar pada isntansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan.atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama empat tahun sejak diperolehkan sisa lebih tersebut
13) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada WP tertentu
Jika memungkinkan kita bisa mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan
objek maka hal itu bagus namun jika tidak bisa kita bisa sedikit mengalihkan dengan
dasar yang kuat sehingga menjadi bukan objek dengan tetap memtahui peraturan yang
berlaku agar tidak terjatuh kedalam penggelapan pajak atau tax evasion.

4. Menghindari Tarif PPh tertinggi


Setiap orang hanya bisa memiliki satu NPWP sehingga seluruh penghasilan
yang didapatkannya dari berbagai sumber baik itu dari hasil bekerja atau dari hasil
kegiatan usaha dan termasuk juga penghasilan istri dan anak yang belum dewasa
harus digabungkan. Hal ini akan berdampak kepada pada pengenaan tarif yang tinggi
sehingga pajak yang dibayarkan pun akan menjadi besar. Solusi agar tidak
dikenakan tarif PPh yang tinggi, wajib pajak dapat memecah besar penghasilan kena
pajaknya.
Bagi wajib pajak perseorangan tidak ada kemungkinan lain dalam memecah
besarnya penghasilan kena pajak selain dengan cara membentuk badan usaha baru
karena jika hanya dengan memecah kegiatan usaha (diversifikasi) maka hal itu tidak
akan memecahkan masalah. Pembahasan ini hampir sama dengan pembahasan
sebelumnya mengenai Pemilihan Bentuk Usaha dimana dijelaskan disana tentang
perhitungan yang bisa dilakukan dan pemilihan antara memilih bentuk usaha
perseorangan atau bentuk usaha badan. Berikut adalah ilustrasi apabila wajib pajak
tidak membentuk badan usaha baru.
Dadang berstatus kawin dengan memiliki 3 orang anak. Pada tahun 2020
Dadang memiliki penghasilan neto yang berasal dari beberapa kegiatan usaha
sebesar Rp. 3.000.000.000 dengan rincian sebagai berikut
Konsultan 250.000.000
Perdagangan 1.500.000.000
Percetakan 1.250.000.000
Total 3.000.000.000
Berdasarkan penghasilan neto tersebut, besarnya PPh terutang dihitung
seperti berikut ini
Penghasilan Neto 3.000.000.000
PTKP (K/3) 72.000.000
Penghasilan Kena Pajak 2.928.000.000
PPh Terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 200.000.000 30.000.000
25% x 250.000.000 62.500.000
30% x 2.428.000.000 728.000.000
Jumlah PPh Terutang 823.000.000

Apabila membentuk badan usaha baru maka perhitungannya akan seperti ini
1) PPh Perseorangan
Penghasilan Neto Perseorangan 250.000.000
PTPKP 72.000.000
Penghasilan Kena Pajak 178.000.000
PPh Terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 128.000.000 19.200.000
Jumlah PPh Terutang 21.700.000

2) PPh Badan untuk Perdagangan


Penghasilan Kena Pajak 1.500.000.000
PPh Terutang 375.000.000

3) PPh Badan untuk Percetakan


Penghasilan Kena Pajak 1.250.000.000
PPh Terutang 312.500.000
Jumlah Pajak yang harus dibayar oleh Dadang adalah 823.000.000 jika
menjadi bentuk usaha perseorangan sedangkan jika Dadang membuat bentuk
usaha badan untuk usahanya maka pajak yang harus dibayar adalah 21.700.000
+ 375.000.000 + 312.500.000 = 709.200.000. Dengan demikian apabila dengan
membentuk usaha baru maka Dadang akan menghemat 113.800.000. Dari
perhitungan diatas dapat dilihat dengan adanya pembuatan usaha dibidang
perdagangan dan percetakan yang dipisah menjadikan pajak yang dibayar
menjadi jauh lebih efisien meskipun secara non pajak ada biaya yang harus
dikeluarkan seperti dalam pembuatan usaha, administrasi dan yang lain
sebagainya. Untuk itu perlu diperhitungkan ulang agar ketika usaha telah dibuat
terpisah biaya yang dikeluarkannya lebih kecil dibandingkan dengan disatukan.
Perencanaan khususnya dalam perpajakan harus dilakukan untuk ini karena
nilainya signifikan.

5. Mengubah status pajak


Status pajak adalah kondisi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Status pajak ini berhubungan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). PTKP adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak
bagi wajib pajak orang pribadi. Oleh karena itu apabila penghasilan neto wajib pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya
dibawah PTKP maka tidak akan dikenakan PPh Pasal 21, begitupun sebaliknya.
Namun sebagai pegawai kita ingin memiliki penghasilan yang tinggi namun pajak
yang ingin kita bayar rendah sehingga kita bisa melakukan perencanaan pajak salah
satunya dengan mengubah status pajak kita.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/010/2016
besaran PTKP adalah Rp. 54.000.000 (lima puluh empat juta rupiah) untuk wajib
pajak sendiri; Rp. 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk wajib
pajak yang kawin dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga. Contoh keluarga
sedarah yang dimaksud adalah orang tua kandung, saudara kandung dan anak
sedangkan yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah mertua, anak tiri dan
ipar. Berikut adalah simulasi apalabila wajib pajak merupakan seorang laki-laki yang
menikah dengan wanita dan tidak melakukan perjanjian pisah harta.
Tabel Penghasilan Tidak Kena Pajak
Status PTKP Keterangan
TK/0 54.000.000 Belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan
K/0 = TK/1 58.500.000 Sudah menikah namun belum mempunyai anak/tanggungan
K/1 = TK/2 63.000.000 Sudah menikah dan memiliki satu orang anak/tanggungan
K/2 = TK/3 67.500.000 Sudah menikah dan memiliki dua orang anak/tanggungan
K/3 72.000.000 Sudah menikah dan memiliki tiga orang anak/tanggungan
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar status seorang wajib pajak
maka akan semakin besar pula penghasilan yang tidak dikenakan pajak sehingga
pembayaran pajak akan lebih rendah. Begitupun sebaliknya, semakin kecil status wajib
pajak (tidak memiliki tanggungan atau belum menikah) maka penghasilan yang tidak
dikenakan pajak semakin kecil sehingga pajak yang dibayar menjadi lebih besar. Berikut
pembuktiannya
TK/0 K/0 K/1 K/2 K/1
Penghasilan Netto 150,000 150,000 150,000 150,000 150,000
PTKP
WP Sendiri 54,000 54,000 54,000 54,000 54,000
Status Kawin 4,500 4,500 4,500 4,500
Tanggungan 1 4,500 4,500 4,500
Tanggungan 2 4,500 4,500
Tanggungan 3 4,500
Jumlah PTKP 54,000 58,500 63,000 67,500 72,000
PKP 96,000 91,500 87,000 82,500 78,000
PPh Terutang
5% 2,500 2,500 2,500 2,500 2,500
15% 2,300 2,075, 1,850 1,625 1,400
Total PPh terutang 4,800 4,575 4,350 4,125 3,900
(dalam ribuan)
Jika berbicara tentang pajak maka mengubah status pajak menjadi pembayaran lebih
murah namun secara realitas pembayaran yang harusnya dibayarkan kepajak beralih menjadi
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak. Namun secara psikologis kita akan lebih
enak memberikan uang kepada keluarga sendiri dibandingkan dengan memberikan uang
untuk pajak. Jika orientasi mengubah status pajak adalah untuk menjadikan pajak menjadi
sedikit maka batasi anak dengan maksimal sebanyak 3 orang karena pajak hanya mengakui
sampai dengan 3 anak saja. Adapun jika memiliki lebih dari 3 anak maka dihitung pada saat
maksimal yaitu 3 orang saja. Tetapi jika tujuannya bukan untuk memperkecil pajak secara
prinsip berapapun anak maupun istri dikembalikan lagi kepada wajib pajak yang memiliki
hak penuh dalam hal itu.
Selain PTKP yang dikenakan jika status wajib pajak berubah menjadi kawin dan
memiliki tanggungan, terdapat status yang lain yaitu wajib pajak kawin dan penghasilan
yang dimiliki istri digabung dengan penghasilan suami. Berikut adalah rincian apabila
penghasilan yang dimiliki oleh suami dan isteri digabung
Status PTKP Keterangan
Wajib Pajak Kawin dan Penghasilan Istri digabung dengan
K/I/0 108.000.000
penghasilan suami dengan tanpa tanggungan
Wajib Pajak Kawin dan Penghasilan Istri digabung dengan
K/I/1 112.500.000
penghasilan suami dengan satu tanggungan
Wajib Pajak Kawin dan Penghasilan Istri digabung dengan
K/I/2 117.000.000
penghasilan suami dengan dua tanggungan
Wajib Pajak Kawin dan Penghasilan Istri digabung dengan
K/I/3 121.500.000
penghasilan suami dengan tiga tanggungan

6. Menghitung kembali PPh yang dipotong


Adakalanya ketika menghitung terjadi kesalahan. Selama dilakukan oleh
manusia maka ada kemungkinan terjadi kesalahan. Olehkarena itu pada saat
mendapatkan gaji/upah atau penghasiilan dimana pajaknya dipotong oleh pihak
ketiga/tertentu maka sebagai wajib pajak seharusnya mengitung kembali apakah
perhitungan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan atau belum. Dalam hal ini
wajib pajak diperlukan memiliki pengetahuan perpajakan yang memadai agar
perhitungan yang dilakukan benar. Jika status kita merupakan pegawai kemudian
diakhir tahun pajak kita mendapatkan lebih bayar pajak selama tahun berjalan maka
itu membuktikan bahwa terdapat kesalahan hitung yang dilakukan oleh pemotong
atau pemberi kerja atau perusahaan tempat kita bekerja, begitupun jika kita
diwajibkan melakukan pembayaran pajak PPh Pasal 21 dikarenakan terjadi kurang
bayar karena hal itu bukan merupakan kesalahan kita sebagai pegawai melainkan
kesalahan dari penghitung pajak yang harus kita bayar. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa kewajiban memotong pajak ada pada pemberi kerja. Berbeda
kasusnya jika kita mempekerjaan diri kita sendiri, maka yang harus melakukan
penghitungan pajak adalah diri kita sendiri. Oleh karena itu pentingnya kita
mengetahui pengitungan pajak yang harus kita bayar agar tidak terjadi lebih bayar
atau kurang bayar. Terjadi kurang bayar dikarenakan pajak yang dibayar lebih kecil
dari pajak yang terutang sedangkan pajak yang lebih bayar adalah kondisi dimana
pajak yang sudah dibayar lebih besar dibandingkan pajak yang terutang. Berikut
adalah garis besar perhitungan secara umum PPh Pasal 21.
´
1 Gaji Sebulan Rp. xxx
2 Tunjangan PPH Rp. xxx
3 Tunjangan dan Honorarium lainnya Rp. xxx
4 Premi JKK, JK, JHT, JPK dibayar pemberi kerja Rp. xxx
5 Premi Asuransi yang dibayar pemberi kerja Rp. xxx
6 Penerimaan dalam bentk natura yang dikenakan Rp. xxx
pemotongan PPh Pasal 21
7 Jumlah Penghasilan bruto Rp. xxx
PENGURANGAN
8 Biaya jabatan (5% x penghasilan bruto, maksimal Rp. Rp. xxx
500.000 sebulan)
9 Iuran pensiun atau iuran THT/JHT (yang dibayar oleh Rp. xxx
penerima penghasilan)
10 Jumlah Pengurangan (Rp. xxx)
PENGHITUNGAN PPH PASAL 21
11 Penghasilan netto sebulan (7-10) Rp. xxx
12 Penghasilan netto setahun/disetahunkan (11x12) Rp. xxx
13 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp. xxx
14 Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun (12-13) Rp. xxx
15 PPh Pasal 21 yang terutang (14 x tarif pasal 17 ayat (1) Rp. xxx
huruf a
PPh Pasal 21 yang dipotong sebulan (15 ÷ 12) Rp. xxx
7. Memilih Perusahaan yang Menanggung Pajak Pegawai
Perusahaan memiliki berbagai alternatif dalam hal pajak yang seharusnya
dibayar oleh pegawai diantaranya yaitu
1. Pajak ditanggung oleh pegawai (gross method)
Didalam metode ini pegawai membayar kewajiban yang harus dia lakukan
dikarenakan mendapatkan penghasilan yang termasuk kedalam objek pajak
penghasilan. Pembayaran yang dilakukan bukan dengan cara seorang wajib
pajak membayar langsung ke bank atau kantor pos setiap bulan melainkan
wajib pajak menitipkan kepada pemberi kerja atau perusahaan untuk
membayarkan pajaknya setiap bulan. Diakhir tahun pajak wajb pajak berhak
mendapatkan bukti potong yang sudah dipotong selama 12 bulan untuk
dilaporkan di SPT orang pribadi setiap tahunnya. Saat ini di Indonesia banyak
sekali perusahaan yang menerapkan metode ini karena pada dasarnya
kewajiban membayar PPh 21 adalah pegawai sehingga yang harus membayar
adalah wajib pajak bersangkutan. Kekurangan dari metode ini bagi pegawai
adalah
1) Take home pay atau uang bersih yang diterima setiap bulan oleh pegawai
menjadi berkurang
2) Take home pay menjadi tidak bulat jumlahnya karena harus membayar
Pajak
3) Jumlah take home pay tidak sesuai dengan yang dijanjikan dikontrak
perjanjian kerja karena dipotong pajak
Adapun untuk kelebihan dari metode gross method adalah
1) Pajak sudah pasti dibayarkan karena jumlah pajak menjadi komponen
pengurang take home pay
2) Nominal pajak sama setiap bulannya selama tidak ada tambahan
penghasilan diluar gaji pokok
Dibawah ini contoh perhitungan disisi pegawai jika PPh 21 ditanggung oleh
pegawai,
Tuan Doli pegawai tetap di PT. MSA. Dia menikah dengan memiliki tiga anak.
Gaji yang didapatkan oleh Tuan Doli adalah 18 juta rupiah dengan tunjangan
yang didapatkan berupa tunjangan transport 4.5% dari gaji, tunjangan keluarga
3.5% dari gaji, premi BPJS kesehatan sebesar 2.5% dari gaji dan premi BPJS
ketenagakerjaan 2.5% dari gaji yang dibayarkan oleh PT. MSA. Selain itu PT
MSA juga memberikan tunjangan pensiun yang dibayarkan kepada dana
pensiun senilai 4.5%. Adapun iuran yang dibayar oleh Tuan Rijal setiap
bulannya yaitu iuran BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebesar
4.5% dari gaji pokok dan iuran pension sebesar 3.5%. Apabila PT. MSA
menerapkan perencanaan pajak PPh Pasal 21 untuk pegawai menggunakan
gross method?
Jawab:
Gaji sebulan 18.000.000
Tunjangan pajak 0
Tunjangan transport 4,5% 810.000
Tunjangan keluarga 3,5% 630.000
Premi BPJS Kesehatan 2,5% 450.000
Premi BPJS Ketenagakerjaan 2,5% 450.000
Gaji bruto sebulan 20.340.000

Pengurang
Biaya jabatan 5,0% 500.000
Iuran BPJS Kesehatan 4,5% 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 4,5% 810.000
Iuran pensiun 3,5% 630.000
Total pengurang 2.750.000

Gaji neto sebulan 17.590.000


Gaji neto setahun 211.080.000
PTKP K/3 72.000.000
PKP 139.080.000
PPh Pasal 21 Terutang
50.000.000 5,0% 2.500.000
89.080.000 15,0% 13.362.000
Total PPh Pasal 21 Terutang Setahun 15.862.000
Total PPh Pasal 21 Terutang Sebulan 1.321.833
Tunjangan Pajak -
PPh Pasal 21 yang harus pegawai 1.321.833
Take home pay
Penghasilan bruto 20.340.000
PPh Pasal 21 1.321.833
Iuran BPJS Kesehatan 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 810.000
Iuran pensiun 630.000
Take home pay 16.768.167

Apabila perusahaan menggunakan metode gross method maka Tuan Doli harus
membayar sebesar 15,862,000 per tahun sehingga take home pay dari Tuan Doli yaitu
sebesar 16.768.167 per bulan. Wajib pajak harus mengetahui dan harus siap apabila
penghasilan yang diterima setiap bulannya berbeda dengan yang dijanjikan didalam
kontrak karena ada pajak yang harus dibayar setiap bulannya dan kebijakan
perusahaan ini harus tertuang didalam Surat Perjanjian Kerja (SPK) antara perusahaan
dengan pegawai.
2. Pajak ditanggung oleh perusahaan (net basis)
Didalam metode ini pajak yang terutang oleh wajib pajak dan harus dibayar
wajib pajak dibayarkan oleh perusahaan atau pemberi kerja atau tempat
mendapatkan penghasilan. Apabila ada tambahan penghasilan yang
didapatkan pada masa tertentu maka perusahaan pun akan membayarkan
pajak sesuai yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam penghitungan pajak
yang digunakan sama dengan penghitungan standar, bedanya pada saat
pembayaran yang harusnya dibayarkan oleh pegawai menjadi tanggungan dari
perusahaan. Adapun kelebihan dari metode ini bagi pegawai adalah
1) Take home pay sesuai dengan yang dijanjikan didalam kontrak kerja
tentang jumlah gaji yang diberikan
2) Nilainya bulat karena pajak yang harusnya dibayar oleh pegawai
ditanggung oleh perusahaan
3) Apabila ada tambahan penghasilan maka tambahan penghasilan itu akan
diterima 100% oleh pegawai karena pajaknya ditanggung perusahaan
Untuk kekurangan dari metode ini bagi pegawai yaitu
1) Pegawai atau wajib pajak tidak bisa memastikan apakah pajak yang harus
dibayar oleh dirinya dibayarkan kepada negara atau tidak
2) Pegawai biasanya tidak akan mendapatkan penghasilan tambahan
dikarenakan beban perusahaan yang tinggi untuk membayar pajak
penghasilan para pegawainya
Dengan kasus Tuan Doli pada metode sebelumnya penghitungan
menggunakan net basis adalah sebagai berikut
Gaji sebulan 18.000.000
Tunjangan pajak 0
Tunjangan transport 4,5% 810.000
Tunjangan keluarga 3,5% 630.000
Premi BPJS Kesehatan 2,5% 450.000
Premi BPJS Ketenagakerjaan 2,5% 450.000
Gaji bruto sebulan 20.340.000

Pengurang
Biaya jabatan 5,0% 500.000
Iuran BPJS Kesehatan 4,5% 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 4,5% 810.000
Iuran pensiun 3,5% 630.000
Total pengurang 2.750.000

Gaji neto sebulan 17.590.000


Gaji neto setahun 211.080.000
PTKP K/3 72.000.000
PKP 139.080.000
PPh Pasal 21 Terutang
50.000.000 5,0% 2.500.000
89.080.000 15,0% 13.362.000
Total PPh Pasal 21 Terutang Setahun 15.862.000
Total PPh Pasal 21 Terutang Sebulan 1.321.833
Tunjangan Pajak 1.321.833
PPh Pasal 21 yang harus pegawai -

Take home pay


Penghasilan bruto 20.340.000
PPh Pasal 21 -
Iuran BPJS Kesehatan 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 810.000
Iuran pensiun 630.000
Take home pay 18.090.000
Apabila pemberi kerja menunakan net method maka PPh Pasal 21 yang terutang harus
dibayar oleh pemberi kerja sehingga take home pay pegawai yaitu 18.090.000. Apabila
perusahaan menggunakan metode ini pegawai harus mengetahuinya agar diakhir masa
pajak tidak harus membayar pajak yang belum dibayarkan selama setahun yang
nilainya bisa mencapai satu kali gaji yaitu 15.862.000. Untuk memastikan pajak yang
dibayar oleh perusahaan harus muncul di slip gaji dan jika memungkinkan pegawai
meminta bukti pembayaran pajak disetiap bulannya kepada perusahaan dalam hal ini
adalah staf pajak yang memiliki tanggung jawab akan hal itu.
3. Pajak ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja dan pegawai dengan
menggunakan (Tunjangan pajak)
Metode ini menjadikan pegawai tidak harus membayar pajak yang terutang full karena
sebagian pembayarannya dilakukan oleh perusahaan. Tunjangan pajak ini akan
menjadi tambahan komponen penghasilan yang diterima oleh pegawai sehingga jika
dilihat dari penghasilan bruto akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan yang
dijanjikan dengan kontrak. Meskipun pajak dibayar oleh perusahaan pegawai tetap
harus membayar sisa pajak yang harus dibayar. Kelebihan dari metode ini bagi
pegawai adalah
1) Penghasilan bruto menjadi lebih tinggi
2) Take home pay menjadi lebih tinggi dengan adanya tambahan komponen
tunjangan yang diberikan oleh perusahaan
3) Jumlah take home pay bulat
Adapun kekurangan metode ini bagi pegawai adalah
1) Meskipun pajak ditanggung oleh pemerinah pegawai tetap harus membayar
kekurangan pembayaran pajaknya
2) Pegawai mendapatkan tambahan penghasilan namun tidak berbentuk uang
yang dia terima
Apabila pemberi kerja memberikan dalam bentuk tunjangan pajak berdasarkan
soal sebelumnya maka perhitungannya adalah sebagai berikut
Gaji sebulan 18.000.000
Tunjangan pajak 1.321.833
Tunjangan transport 4,5% 810.000
Tunjangan keluarga 3,5% 630.000
Premi BPJS Kesehatan 2,5% 450.000
Premi BPJS Ketenagakerjaan 2,5% 450.000
Gaji bruto sebulan 21.661.833

Pengurang
Biaya jabatan 5,0% 500.000
Iuran BPJS Kesehatan 4,5% 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 4,5% 810.000
Iuran pensiun 3,5% 630.000
Total pengurang 2.750.000

Gaji neto sebulan 18.911.833


Gaji neto setahun 226.942.000
PTKP K/3 72.000.000
PKP 154.942.000
PPh Pasal 21 Terutang
50.000.000 5,0% 2.500.000
104.942.000 15,0% 15.741.300
Total PPh Pasal 21 Terutang Setahun 18.241.300
Total PPh Pasal 21 Terutang Sebulan 1.520.108
Tunjangan Pajak 1.321.833
PPh Pasal 21 yang harus pegawai 198.275

Take home pay


Penghasilan bruto 21.661.833
PPh Pasal 21 198.275
Iuran BPJS Kesehatan 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 810.000
Iuran pensiun 630.000
Take home pay 19.213.558

Apabila perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada karyawan PPh Pasal


21 akan dibayar oleh keduanya. Oleh Tuan Doli sebesar 198.275 dan oleh
perusahaan sebesar 1.321.833. Secara nominal pajak yang harus dibayar lebih
kecil dibandingkan jika pegawai menanggung sendiri namun seorang pegawai
tentunya belum puas karena masih ada kemungkinan agar perusahaan
membayarkan pajaknya 100% sehingga dia tidak perlu lagi membayar pajak
meskipun sedikit. Adapun take home pay yang diterima Tuan Doli adalah
sebesar 19.213.558 setiap bulannya.
4. Pajak ditanggung oleh perusahaan gross up
Berdasarkan UU PPh yang wajib melakukan pembayaran PPh adalah penerima
penghasilan atau pegawai namun bukan hal yang dilarang jika pajak yang seharusnya
dibayar oleh pegawai menjadi tanggungan perusahaan. Di Indonesia sendiri sudah
banyak perusahaan yang menanggung pajak dari pegawainya sebagai tunjangan pajak.
Sebagai calon pegawai atau pegawai kita bisa memilih perusahaan yang pajak pegawai
ditanggung oleh perusahaan sehingga kita mendapatkan take home pay lebih besar
dibandingkan jika kita harus membayar pajak. Perbedaan antara metode gross up
dengan net basis adalah pegawai tidak perlu membayar pajak penghasilan atas
penghasilan yang dia dapatkan sama sekali sehingga yang akan membayar pajak
adalah perusahaan. Metode ini sangat menguntungkan sekali bagi pegawai sehingga
apabila bisa memilih maka pilihlah perusahaan yang menggunakan metode gross up
agar take home pay yang didapatkan akan sama dengan kontrak yang sudah dijanjikan
diawal mulai pekerjaan. Kelebihan dari metode gross up bagi pegawai adalah
1) Pegawai akan mendapatkan penghasilan full sesuai yang dijanjikan dengan
kontrak
2) Pegawai tidak perlu membayar pajak sama sekali atas penghasilan yang
didapatkannya
3) Apabila pegawai mendapatkan tambahan penghasilan maka pajak akan
dibayar oleh perusahaan
4) Mendapatkan THP dengan nominal yang bulat
Kekurangan dari metode gross up bagi pegawai adalah
1) Penghasilan bruto akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan
penghasilan yang dijanjikan dikontrak
2) Penghasilan bruto tidak diterima secara full oleh pegawai karena adanya
pengurangan-pengurangan yang tidak bisa dihindari
Cara perhitungan dengan metode gross up agak berbeda dengan metode lainnya yaitu
dilakukan dengan cara sebagai berikut
1) Menentukan rumus yang tepat untuk menghitung berapa tunjangan pajak
yang harus diberikan kepada pegawai. Berikut adalah rumusnya
Lapisan 1: Untuk PKP 0 - 47.500.000
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 0) x 5/95 + 0

Lapisan 2: Untuk PKP 47.500.000 - 217.500.000


Tunjangan PPh = (PKP setahun - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000

Lapisan 3: Untuk PKP 217.500.000 - 405.000.000


Tunjangan PPh = (PKP setahun - 217.500.000) x 25/75 + 32.500.000

Lapisan 4: Untuk PKP > 405.000.000


Tunjangan PPh = (PKP setahun - 405.000.000) x 30/70 + 95.000.000
Contoh: Metode penggunaan gross up PPh untuk tenaga ahli
Kondisi neto tidak di gross up
Nilai pekerjaan Rp. 50.000.000
PPh Rp.1.250.000 (50%xRp. 50.000.000)x5%
Nilai kontrak Rp. 50.000.000
JIka kondisi nilai kontrak tidak di gross up maka nilai bersih yang diterima oleh
tenaga ahli tersebut sebesar Rp. 48.750.000
Kondisi neto di gross up
Nilai pekerjaan Rp. 50.000.000
PPh Rp. 1.282.051
Nilai kontrak Rp. 51.282.051
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Nilai gross up = Rp. 50.000.000 / 0,975 = 51.282.051
PPh = Rp. 51.282.051 x 50% x 5%
= Rp. 1.282.051
Nilai bersih = Rp. 51.282.051 – Rp. 1.282.051
Jika kondisi nilai kontrak setelah di gross up maka nilai bersih yang diterima oleh
tenaga ahli tersebut adalah sebesar Rp. 50.000.000. Dan inilah yang diinginkan
oleh setiap tenaga ahli.
2) Menghitung PKP
Tahap Perhitungan PPh pasal 21 Gross Up
Gaji per tahun Rp. 70,000,000
Premi Kesehatan 2% Rp. 1,400,000
Premi Jaminan Hari Tua 1% Rp. 700,000
Rp. 72,100,000
Bonus Rp. 10,000,000
Penghasilan bruto Rp. 82,100,000

Biaya jabatan 5% Rp. 4,105,000


Iuran pensiun 2% Rp. 1,400,000

Penghasilan neto Rp. 76,595,000


PTKP TK/0 Rp. 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 22,595,000
3) Menghitung gross up sesuai dengan rumus
Karena PKP termasuk kedalam lapisan pertama, maka rumus gross up
yang dipakai adalah lapisan satu.
Lapisan Satu = (22.595.000-0) x 5/95 = Rp. 1.189.211 (dibulatkan).
4) Menghitung tahap pembuktian untuk meyakinkan penghitungan yang
dilakukan benar
Tahap pembuktian
Gaji per tahun Rp. 70,000,000
Tunjangan pajak hasil gross
up Rp. 1,189,211
Premi Kesehatan 2% Rp. 1,400,000
Premi Jaminan Hari Tua 1% Rp. 700,000
Rp. 73,289,211
Bonus Rp. 10,000,000
Penghasilan bruto Rp. 83,289,211

Biaya jabatan 5% Rp. 4,105,000


Iuran pensiun 2% Rp. 1,400,000
Penghasilan neto Rp. 77,784,211
PTKP TK/0 Rp. 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 23,784,211
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp. 23.784.211 = Rp. 1.189.211
(dengan catatan: biaya jabatan sama dengan biaya jabatan sebelumnya)
Berikutnya adalah cara penghitungan dengan Metode gross up untuk Karyawan Tetap
yang Terkena Lapisan Dua
Tahap Perhitungan
Gaji per tahun Rp. 120,000,000
Premi Kesehatan 2% Rp. 2,400,000
Premi Jaminan Hari Tua 1% Rp. 1,200,000
Rp. 123,600,000
Bonus Rp. 10,000,000
Penghasilan bruto Rp. 133,600,000

Biaya jabatan 5% Rp. 6,000,000


Iuran pensiun 2% Rp. 2,400,000

Penghasilan neto Rp. 125,200,000


PTKP TK/0 Rp. 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 71,200,000
Karena PKP termasuk kedalam lapisan kedua, maka rumus gross up yang dipakai
adalah laposan dua.
Lapisan dua = (71.200.000-47.500.000) x 15/85 + Rp. 2.500.000 = Rp. 6.682.353
(dibulatkan).
Tahap pembuktian
Gaji per tahun Rp. 120,000,000
Tunjangan pajak hasil gross up Rp. 6,682,353
Premi Kesehatan 2% Rp. 2,400,000
Premi Jaminan Hari Tua 1% Rp. 1,200,000
Rp. 130,282,353
Bonus Rp. 10,000,000
Penghasilan bruto Rp. 140,282,353

Biaya jabatan 5% Rp. 6,000,000


Iuran pensiun 2% Rp. 2,400,000

Penghasilan neto Rp. 131,882,353


PTKP TK/0 Rp. 54,000,000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 77,882,353

PPh Pasal 21 Terutang 5% Rp. 2,500,000


15% Rp. 4,182,352.9
6,682,353
Apabila menggunakan kasus Tuan Doli sebelumnya maka perhitungan gross up nya
adalah sebagai berikut

Perhitungan gross up
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000
Tunjangan PPh = (138.900.000 - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000
Tunjangan PPh = 18.661.176,47/tahun
Tunjangan PPh = 1.555.098/bulan

Untuk pembuktiannya disajikan dalam perhitungan sebagai berikut


Gaji sebulan 18.000.000
Tunjangan pajak 1.555.098
Tunjangan transport 4,5% 810.000
Tunjangan keluarga 3,5% 630.000
Premi BPJS Kesehatan 2,5% 450.000
Premi BPJS Ketenagakerjaan 2,5% 450.000
Gaji bruto sebulan 21.895.098

Pengurang
Biaya jabatan 5,0% 500.000
Iuran BPJS Kesehatan 4,5% 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 4,5% 810.000
Iuran pensiun 3,5% 630.000
Total pengurang 2.750.000

Gaji neto sebulan 19.145.098


Gaji neto setahun 229.741.176
PTKP K/3 72.000.000
PKP 157.741.176
PPh Pasal 21 Terutang
50.000.000 5,0% 2.500.000
107.741.176 15,0% 16.161.176
Total PPh Pasal 21 Terutang Setahun 18.661.176
Total PPh Pasal 21 Terutang Sebulan 1.555.098
Tunjangan Pajak 1.555.098
PPh Pasal 21 yang harus pegawai 0

Take home pay


Penghasilan bruto 21.895.098
PPh Pasal 21 0
Iuran BPJS Kesehatan 810.000
Iuran BPJS Ketenagakerjaan 810.000
Iuran pensiun 630.000
Take home pay 19.645.098

Dengan metode ini pegawai sangat diuntungkan dengan tanpa mengurangi penghasilan
yang dijanjikan diawal kontrak sedangkan pajak yang harus dibayar oleh pegawai
dibayarkan oleh perusahan.
Dari tiga metode yang sudah dijelaskan diatas berikut ini adalah perbandingan take home
pay nya
GROSS TUNJANGAN
METHOD NET BASIS PAJAK GROSS UP
Gaji sebulan 18.000.000 18.000.000
18.000.000 18.000.000
Tunjangan pajak
- - 1.321.833 1.555.098
Tunjangan transport 4,5% 4,5% 4,5% 4,5%
810.000 810.000 810.000 810.000
Tunjangan keluarga 3,5% 3,5% 3,5% 3,5%
630.000 630.000 630.000 630.000
Premi BPJS Kesehatan 2,5% 2,5% 2,5% 2,5%
450.000 450.000 450.000 450.000
Premi BPJS
2,5% 2,5% 2,5% 2,5%
Ketenagakerjaan 450.000 450.000 450.000 450.000
Gaji bruto sebulan 20.340.000 21.895.098
20.340.000 21.661.833

Pengurang

Biaya jabatan 5,0% 5,0% 5,0% 5,0%


500.000 500.000 500.000 500.000
Iuran BPJS Kesehatan 4,5% 4,5% 4,5% 4,5%
810.000 810.000 810.000 810.000
Iuran BPJS
4,5% 4,5% 4,5% 4,5%
Ketenagakerjaan 810.000 810.000 810.000 810.000
Iuran pensiun 3,5% 3,5% 3,5% 3,5%
630.000 630.000 630.000 630.000
Total pengurang
2.750.000 2.750.000 2.750.000 2.750.000

Gaji neto sebulan 17.590.000 19.145.098


17.590.000 18.911.833
Gaji neto setahun 211.080.000 229.741.176
211.080.000 226.942.000
PTKP K/3 K/3 72.000.000 K/3 K/3 72.000.000
72.000.000 72.000.000
PKP 139.080.000 157.741.176
139.080.000 154.942.000
PPh Pasal 21 Terutang

5,0% 5,0% 5,0% 5,0%


50.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
15,0% 15,0% 13.362.000 15,0% 15,0% 16.161.176
89.080.000 13.362.000 15.741.300
Total PPh Pasal 21
15.862.000 18.661.176
Terutang Setahun 15.862.000 18.241.300
Total PPh Pasal 21
Terutang Sebulan 1.321.833 1.321.833 1.520.108 1.555.098
Tunjangan Pajak
- 1.321.833 1.321.833 1.555.098
PPh Pasal 21 yang harus
pegawai 1.321.833 - 198.275 0

Take home pay

Penghasilan bruto 20.340.000 21.895.098


20.340.000 21.661.833
PPh Pasal 21
1.321.833 - 198.275 0
Iuran BPJS Kesehatan
810.000 810.000 810.000 810.000
Iuran BPJS
Ketenagakerjaan 810.000 810.000 810.000 810.000
Iuran pensiun
630.000 630.000 630.000 630.000
Take home pay 18.090.000 19.645.098
16.768.167 19.213.558

8. Meminta bukti potong PPh Pasal 21


Indonesia dalam perpajakannya menganut sistem witholding tax dimana pihak
ketiga diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau
memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan
sekaligus menyetorkannya ke kas negara. Oleh karena itu setelah menitipkan pajak
kepada pihak ketiga maka pihak ketiga wajib memberikan bukti potong tanda bahwa
pajak yang dititpkan sudah dibayar.
Secara umum bukti potong pajak memiliki fungsi
1) Pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong
2) Pengawasan pajak yang dipotong oleh pemberi kerja
3) Menjadi lampiran pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.
Dalam PPh Pasal 21 bukti meskipun pajak dipotong setiap bulan tetapi
pemberi kerja hanya berkewajiban untuk memberikan bukti potong setiap setahun
sekali. Bukti pemotongan PPh pasal 21 yang didapatkan oleh setiap penerima
penghasilan dinamakan formulir 1721 A1 untuk pegawai swasta dan 1721 A2 untuk
pegawai negeri. Mengingat pentingnya bukti potong tersebut maka sebaiknya
disimpan dengan baik ditempat yang mudah untuk ditunjukkan sewaktu-waktu
apabila dibutuhkan.
Bukti Pemotongan Formulir 1721-A1
Bukti Pemotongan Formulir 1721-A2
Butki Pemotongan PPh Pasal 21 Tidak Final
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Final

Perencanaan Pajak Pihak yang Memotong


Untuk melakukan perencanaan pajak bagi pihak pemotong maka harus diperhatikan tentang
klausul pajak dalam kontrak kerja. Dalam klausul kontrak kerja harus diperjelas siapa yang akan
menanggung pajak atas penghasilan karyawan.
Tim perencanaan pajak perlu memberikan arahan kepada pihak manajemen perusahaan agar
memberikan kejelasan didalam klausul pajak didalam kontrak kerja apakah ditanggung oleh
perusahaan atau dipotong ke penghasilan karyawan. Sehingga hal ini dapat dilakukan
penghitungan dengan akurat dalam rencana pembayaran pajak oleh tim administrasi perpajakan
perusahaan. Untuk memberikan tambahan motivasi pegawai perusahaan biasanya memberikan
fasilitas berupa pajak ditanggung oleh perusahaan sehingga yang didapatkan oleh pegawai
adalah gaji bersih yang sudah dipotong pajaknya. Adapun perencanaan pajak yang bisa
dilakukan oleh perusahaan sebagai pihak pemotong memiliki beberapa alternatif
1. Memilih alternatif pembayaran pajak yang menguntungkan pemotong
Pemotong atau perusahaan atau pemberi kerja memiliki kuasa penuh atas
pembayaran pajak yang terutang kepada setiap pegawainya namun yang perlu
diperhatikan adalah apabila perusahaan ingin memberikan tunjangan tambahan
kepada pegawainya berupa pajak yang dibayar oleh pegawai ditanggung
perusahaan maka harus dilihat dampak terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh
perusahaan karena secara fiskal apabila perusahaan membayarkan pajak yang
seharusnya dibayar oleh pegawai akan dikoreksi fiskal positif sehingga pajak yang
dibayar oleh perusahaan menjadi lebih besar. Pemilihan alternatif yang
menguntungkan perusahaan perlu dianalisis. Ada beberapa alternatif yang bisa
dilakukan oleh perusahaan yaitu,
1. PPh pasal 21 ditanggung pegawai (gross method)
Gross method adalah metode dimana PPh 21 yang terutang dibayar oleh
pegawai sebagai pihak yang wajib dalam melakukan pembayaran tersebut.
Dalam metode ini perusahaan tidak mengeluarkan biaya apapun atas pembayara
PPh 21. Perusahaan hanya berperan sebagai pemotong dan menerima titipan
pembayaran dari para pegawai untuk disetorkan kepada negara dan pada akhir
tahun perusahaan wajib memberikan bukti pembayaran atau bukti potong yang
akan menjadi dasar bagi pegawai yang merupakan wajib pajak untuk melakukan
pelaporan SPT setiap satu tahun sekali. Dengan metode ini perusahaan tidak
akan mengakui pembayaran PPh 21 sebagai biaya karena pembayaran tersebut
merupakan titipan dari pegawai untuk dibayarkan. Jika perusahan memasukkan
menjadi biaya pun akan dilakukan koreksi oleh fiskus sehingga biaya tersebut
tidak diakui sebagai biaya yang dapet mengurangi pajak (non deductible
expense).
Contoh kasus dibawah ini merupakan laporan laba rugi dari PT. Hamper yang
menggunakan gross method dimana pajak terutang dibayar seluruhnya oleh pegawai
tanpa ada tunjangan apapun yang diberikan oleh perusahaan.
Koreksi
Keterangan Komersial Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 3.131.231.600 3.131.231.600
Beban Pokok Penjualan 1.878.738.960 1.878.738.960

Laba Bruto 1.252.492.640 1.252.492.640

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 210.123.000 210.123.000
Tunjangan pajak - -
PPh 21 - -
Beban listrik 15.678.000 15.678.000
Beban sewa peralatan 30.000.000 30.000.000
Biaya penyusutan 25.000.000 25.000.000
Biaya pemasaran 15.000.000 15.000.000
Biaya administrasi 12.500.000 12.500.000

Jumlah biaya-biaya 308.301.000 308.301.000

Laba sebelum pajak 944.191.640 944.191.640

Yang menjadi biaya bagi perusahaan adalah beban gaji pegawai yang isinya terdiri dari
gaji pokok yang diberikan setiap bulan tunjangan-tunjangan, premi dan tambahan
penghasilan lainnya kecuali tunjangan pajak karena dalam metode ini pajak ditanggung
oleh pegawai. Beban gaji pegawai tidak dilakukan koreksi karena biaya tersebut
termasuk kedalam biaya yang bisa dibebankan (deductible expense) sehingga laba
sebelum pajak tidak berubah.
Keuntungan dari metode ini bagi pemberi kerja adalah
1) Perusahaan tidak perlu menghitung jumlah tunjangan pajak yang harus
diberikan
2) Perusahaan bisa membiayakan seluruh biaya yang diberikan untuk
pemberian gaji
Kerugian dari metode ini bagi pemberi kerja adalah
1) Perusahaan harus menghitung pajak yang dipotong kepada setiap
pegawainya
2) Perusahaan tidak bisa memberikan penghasilan diluar gaji pegawai yang
tidak termasuk kedalam komponen gaji
2. PPh pasal 21 ditanggung pemberi kerja (net basis)
Net basis adalah salah satu metode dimana perusahaan atau pemberi kerja
memberikan tunjangan pajak sejumlah pajak yang terutang bagi pegawainya.
Cara penghitungan dengan menggunakan net basis adalah pajak yang terutang
oleh pegawai dihitung terlebih dahulu lalu pajak yang terutang tersebut dibayarkan
seluruhnya oleh pegawai atau pemberi kerja sehingga pada saat penghitungan
take home pay bagi pegawai tidak ada pengurang yang berasal dari pajak terutang
PPh 21.
Masih dengan contoh kasus metode sebelumnya, berikut ini adalah laporan laba
rugi jika menggunakan metode net basis
Koreksi
Keterangan Komersial Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 3.131.231.600 3.131.231.600
Beban Pokok Penjualan 1.878.738.960 1.878.738.960

Laba Bruto 1.252.492.640 1.252.492.640

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 210.123.000 210.123.000
Tunjangan pajak -
PPh 21 12.241.000* 12.241.000 -
Beban listrik 15.678.000 15.678.000
Beban sewa peralatan 30.000.000 30.000.000
Biaya penyusutan 25.000.000 25.000.000
Biaya pemasaran 15.000.000 15.000.000
Biaya administrasi 12.500.000 12.500.000

Jumlah biaya-biaya 320.542.000 308.301.000

Laba sebelum pajak 931.950.640 944.191.640


*Asumsi pajak yang harus dibayar oleh pegawai
Apabila perusahaan menggunakan net basis method dimana pajak yang
seharusnya dibayar oleh pegawai dibayarkan oleh perusahaan maka akan ada
konskuensi dilakukannya koreksi fiskal oleh fiskus dikarenakan PPh 21 tidak boleh
dibiayakan atau non deductible expense sehingga perusahaan tidak boleh
menjadikan biaya tersebut biaya yang akibatnya laba sebelum pajak meningkat
sehingga pajak yang harus dibayar perusahaan menjadi tinggi.
Keuntungan dari metode ini bagi pemberi kerja atau perusahaan adalah
1) Pegawai akan senang karena mendapatkan THP lebih besar sehingga
perusahaan memiliki pegawai yang loyal
2) Perusahaan bisa memberikan tunjangan diluar gaji kepada pegawai
Kerugian dari metode ini bagi pemeri kerja atau perusahaan adalah
1) Biaya yang sudah dikeluarkan tidak boleh dibiayakan
2) Laba menjadi lebih besar dikarenakan biaya yang dikoreksi positif
3) Pajak bagi perusahaan (bukan PPh 21) menjadi lebih besar
3. PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak
Metode tunjangan pajak sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya adalah
dimana perusahaan memberikan tunjangan tambahan diluar tunjangan-tunjangan
lainnya kepada pegawai agar pegawai tidak membayar pajak besar. Untuk
menentukan besarnya tunjangan pajak bisa dilakukan dengan dua cara
1) Menentukan besarnya tunjangan pajak sesuai dengan kebijakan perusahaan,
metode ini tidak perlu dilakukan perhitungan karena besaran tunjangan pajak
ditetapkan oleh perusahaan.
2) Menentukan besarnya tunjangan pajak berdasarkan pajak yang terutang
sebelum adanya komponen penghasilan tunjangan pajak
Dibawah ini adalah contoh kasus dengan informasi yang sama
Koreksi
Keterangan Komersial Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 3.131.231.600 3.131.231.600
Beban Pokok Penjualan 1.878.738.960 1.878.738.960

Laba Bruto 1.252.492.640 1.252.492.640

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 210.123.000 210.123.000
Tunjangan pajak 12.241.000 12.241.000
PPh 21 - -
Beban listrik 15.678.000 15.678.000
Beban sewa peralatan 30.000.000 30.000.000
Biaya penyusutan 25.000.000 25.000.000
Biaya pemasaran 15.000.000 15.000.000
Biaya administrasi 12.500.000 12.500.000

Jumlah biaya-biaya 320.542.000 320.542.000

Laba sebelum pajak 931.950.640 931.950.640


Apabila menggunakan metode tunjangan pajak biaya yang diikeluarkan perusahaan dapat
dibiayakan karena merupakan salah satu komponen gaji yang boleh dibiayakan
deductible expense sehingga perusahaan akan membayar pajak dengan laba yang sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Kelebihan dari metode ini bagi pemberi kerja atau perusahaan adalah
1) Perusahaan mengeluarkan biaya yang dapat dibebankan perusahaan
2) Perusahaan dapat mengurangi laba
3) Perusahaan dapat mengurangi pajak yang seharusnya dibayar dengan
mengalihkannya kepada pegawai
Kekurangan dari metode ini bagi pemberi kerja atau perusahaan adalah
1) Perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk komponen gaji
2) Perusahaan harus menghitung ulang pajak yang harus dibayar karena
terdapat tambahan komponen gaji yang terima pegawai
4. Menggunakan metode gross up
Apabila menggunakan metode gross up perusahaan berarti membayarkan seluruh
pph terutang bagi pegawai dan pegawai pun tidak akan menambah kekurangan pajak
yang seharusnya dibayar karena jumlah tunjangan pajak yang diberikan oleh
perusahaan nilainya sama persis dengan jumlah terutang dari pegawai.
Dibawah ini adalah kasus apabila perusahaan menggunakan metode gross up

Koreksi
Keterangan Komersial Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 3.131.231.600 3.131.231.600
Beban Pokok Penjualan 1.878.738.960 1.878.738.960
Laba Bruto 1.252.492.640 1.252.492.640

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 210.123.000 210.123.000
Tunjangan pajak 15.451.000* 15.451.000
PPh 21 - -
Beban listrik 15.678.000 15.678.000
Beban sewa peralatan 30.000.000 30.000.000
Biaya penyusutan 25.000.000 25.000.000
Biaya pemasaran 15.000.000 15.000.000
Biaya administrasi 12.500.000 12.500.000

Jumlah biaya-biaya 323.752.000 323.752.000

Laba sebelum pajak 928.740.640 928.740.640


*Tunjangan pajak berdasarkan perhitungan rumus gross
Dipihak perusahaan menggunakan metode gross up atau tunjangan pajak secara laporan laba
rugi sama karena sama-sama memberikan tunjangan pajak. Yang membedakannya adalah
jumlahnya atau besaran tunjangan pajak. Jika tunjangan pajak dasarnya dari pajak yang
terutang sebelum adanya tunjangan pajak sehingga pegawai tetap harus membayar sisa
kekurangan pajak yang terutangnya sedangkan jika metode gross up menghitung tunjangan
pajak menggunakan rumus sehingga pajak terutang bagi pegawai sama dengan besarnya
tunjangan pajak sehingga pegawai tidak perlu lagi membayar pajak.
Adapun kelebihan menggunakan metode ini bagi pemberi kerja atau perusahaan adalah
1) Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dibiayakan
2) Laba menjadi lebih kecil
3) Pajak yang harus dibayar menjadi lebih kecil
4) Perusahaan tidak perlu menghitung ulang pembayaran PPh 21 karena jumlah
tunjangan pajak sama persis dengan pajak terutang dari pegawai
Kekurangan menggunakan metode ini bagi pemberi kerja atau perusahaan adalah
1) Perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih besar dibandingkan ketiga metode
sebelumnya
2) Perusahaan harus menghitung besarnya tunjangan pajak yang diberikan kepada
setiap pegawainya
Dari keempat metode yang dijelaskan berikut adalah rangkuman yang menguntungkan bagi
perusahaan dilihat dari biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan berbentuk tunjangan pajak yang
diberikan kepada pegawai termasuk kedalam biaya yang dapat dibiayakan (deductible expense)
atau biaya yang tidak bisa dibiayakan (non deductible expense) dan pertimbangan lainnya

Gross Net Tunjangan Gross


method method Pajak up
PPh pasal 21 dibayar pegawai V X V X
PPh pasal 21 dibayar pemberi
X V V V
kerja
Bisa dibiayakan pemberi kerja V X V V

Fiskal Gross Fiskal Net Fiskal Tunjangan


Keterangan Fiskal Gross up
Method Basis Pajak
Penjualan 3.131.231.600 3.131.231.600 3.131.231.600 3.131.231.600
Beban Pokok
1.878.738.960 1.878.738.960 1.878.738.960 1.878.738.960
Penjualan

Laba Bruto 1.252.492.640 1.252.492.640 1.252.492.640 1.252.492.640

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 210.123.000 210.123.000 210.123.000 210.123.000
Tunjangan pajak - - 12.241.000 15.451.000
PPh 21 - - - -
Beban listrik 15.678.000 15.678.000 15.678.000 15.678.000
Beban sewa peralatan 30.000.000 30.000.000 30.000.000 30.000.000
Biaya penyusutan 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000
Biaya pemasaran 15.000.000 15.000.000 15.000.000 15.000.000
Biaya administrasi 12.500.000 12.500.000 12.500.000 12.500.000

Jumlah biaya-biaya 308.301.000 308.301.000 320.542.000 323.752.000

Laba sebelum pajak 944.191.640 944.191.640 931.950.640 928.740.640


2. Metode Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum atau Reimbursment
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis
pengeluaran perusahaan lainnya juga sering kali menimbulkan aspek pajak berbeda.
Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai
yang dibayarkan meskipun didalamnya mungkin terdapat biaya lainnya.
Pengertian metode lump-sump adalah perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah
tertentu yang meliputi uang saku, transport, akomodasi atau unsur biaya lainnya, tanpa harus
dimintakan pertanggung jawaban dan bukti penggunaannya.
Sedangkan dalam metode reimbursment, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran.
Ketika terjadi kekurangan dapat diminta kembali (reimbursment) sedangkan jika terdapat
kelebihan dapat dikembalikan ke perusahaan. Untuk penghitungan PPh Pasal 21 hanya akan
dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar
diterima/diperoleh karyawan.
Berikut adalah perhitungan DPP atau Dasar Pengenaan pajak dengan dua metode yang bisa
dipilih oleh perusahaan.
Keterangan Reimbursment Lumpsum
Biaya Perjalanan Dinas 1.000.000 3 hari 3.000.000 1.000.000 3 hari 3.000.000
Makan 100.000 9 kali 900.000 100.000 9 kali 900.000
Transportasi 5.000.000 1 kali 5.000.000 5.000.000 1 kali 5.000.000
Hotel 750.000 3 hari 2.250.000 750.000 3 hari 2.250.000
TOTAL 11.150.000 TOTAL 11.150.000

DPP 3.000.000 DPP 11.150.000

Lumsum Reimbursment
Uang saku Objek PPh 21 Objek PPh 21
Transportasi Tidak dapat dibiayakan* Dapat dibiayakan
Makan Tidak dapat dibiayakan* Dapat dibiayakan
Hotel Tidak dapat dibiayakan* Dapat dibiayakan
Total Objek PPh 21* Dapat dibiayakan kecuali uang saku
*Jika tidak ada bukti normatif
3. Metode Pemberian Tunjangan Makan atau Disiapkan Makan Bersama oleh
Pihak Pemberi Kerja
Setelah berlakunya UU PPh tahun 2000, tunjangan atas makan dan minum untuk karyawan
sudah dapat dibiayakan di PPh Badan. Namun, pemberian tunjangan makan dan minuman
berupa uang tunai akan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21.
Maka dari aspek penghematan pajak lebih menguntungkan jika disiapkan makan bersama
untuk seluruh karyawan. Tetapi kondisi di lapangan penggunaan jasa catering akan timbul
pemotongan PPh pasal 23 atas jasa tersebut dengan tarif 2% dari penghasilan bruto. Maka
metode ini juga dapat dipertimbangkan perencanaan pajak PPh Pasal 21.

4. Metode Pemberian Tunjangan Kesehatan atau DIberikan Fasilitas Pengobatan


Biaya kesehatan perusahaan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk karyawan atau
menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan dengan menggunakan metode
reimbursment biaya pengobatan.
Jika perusahaan sehubungan dengan pemberian tunjangan kesehatan maka perlakuan
pajaknya akan bersifat taxable dan deductible. Artinya, merupakan objek PPh Pasal 21 bagi
karyawan dan merupakan biaya bagi perusahaan.
Sedangkan jika perusahaan memilih menyediakan fasilitas pengobatan karyawan maka
perlakuan pajaknya bersifat non taxable dan non deductible. Ini dimaksudkan bukan
penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.
Bila perusahaan menggunakan metode reimbursment dalam memberikan biaya
pengobatannya, maka dampak perpajaka adalah sebagai berikut
a. Bersifat non-taxable dan non-deductible, semua bukti asli diserahkan ke
perusahaan, bukti dibuat atas nama karyawan dengan qq perusahaan dan
diatur dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan karyawan
b. Bersifat taxable dan deductible bila persyaratan reimbursment di atas tidak
dapat dipenuhi. Dalam efisinya adalah karyawan menerima uang dari
perusahaan yang pada akhirnya akan digunakan untuk membayar biaya
pengobatan oleh karyawan.
Referensi
Chaezahranni, Siti. 2016. Penerapan Perencanaan Pajak (Tax Planning) atas Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Pegawai Tetap PT RSA dalam Meminimalkan Pajak Penghasilan
Badan. Seminar Nasional Cendekiawan 2016 halaman 25.1-25-8
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2020. APBN KITA Kinerja dan Fakta Edisi Februari
2020
Manangkalangi, Adikodrati M, Inggriani Elin dan Novi S. Budiarso. 2019. Analsisi Perencanaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 Sebagai Upaya Efisiensi Pajak Penghasilan Badan Usaha
Pada PT. Asuransi ASEI Indonesia Cabang Manado. Jurnal Riset Akuntansi 14(3), 2019
halaman 307-317
Mardiasmo. 2018. Perpajakan Edisi Terbaru 2018. Jakarta: Penerbit Andi
MUC Consulting. 2020. Jumlah Pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun 2020 Turun 9,4%.
https://mucglobal.com/id/news/2093/jumlah-pelaporan-spt-tahunan-pph-pada-tahun-
2020-turun-94 (diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 15:26 WIB)
Nabilah, Nyimas Nisrina, Yuniadi Mayowan dan Niken Nindya Hapsari. 2016. Analisis
Penerapan Pajak PPh 21 Sebagai Upaya Penghematan Beban Pajak Penghasilan Badan
(Studi Kasus Pada PT. Z). Jurnal Perpajakan (JEJAK) Vol. 8 No. 1 2016 halaman 1-8
Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 149 Tahun 2000
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER – 31/PJ/2012 tentang
Pedoman Teknik Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan PAsal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang
Pedoman Teknik Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan
Kegiatan Orang Pribadi
Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
Republik Indonesia. Undang-Udang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Resmi, Siti. 2013. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat
Resmi, Siti. 2019. Perpajakan Teori & Kasus Edisi 11 Buku 1. Jakarta: Penerbit Salemba
Rosyida, Qorry Richa. Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan Tetap Pada
Pabrik Gula Lestari Kecamatan Kertosono.
Suandy, Erly. 2016. Perencanaan Pajak Edisi 6. Jakarta: Penerbit Salemba
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Wisanggeni, Irwan dan Michell Suharti. 2017 Manajemen Perpajakan Taat Pajak dengan
Efisien. Jakarta : Mitra Wacana Medi
Zain, M. 2003. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat
Soal Latihan
1. Sebutkan siapa yang menjadi pemotong PPh Pasal 21!
2. Siapa saja yang termasuk kedalam Subyek pemotongan PPh pasal 21 dan/atau 26?
3. Apa saja yang termasuk kedalam objek PPh pasal 21?
4. Apa saja yang tidak termasuk kedalam objek PPh pasal 21?
5. Sebutkan berapa PTPKnya jika
a. TIdak kawin
b. Kawin
c. Kawin memiliki tanggungan 1
d. Kawin memiliki anak 2
e. Kawin memiliki anak 3
6. Apa saja perencanaan pajak yang bisa dilakukan oleh pihak yang dipotong atas PPh
pasal 21?
7. Apa dampak buruk jika tidak memiliki NPWP?
8. Mengapa wajib pajak harus mengetahui tarif pajak yang dikenakan terhadap objek
pajak? Jelaskan!
9. Apa dampak apabila seseorang menikah terhadap pajak? Jelaskan!
10. Apa saja yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan perencanaan pajak
PPh pasal 21?Jelaskan!
Soal Kasus
1. Santo memilki 2 orang putera namun sudah bercerai dan memiliki beberapa
penghasilan selama tahun 2020 yaitu yang berasal dari usaha peternakan sebesar
1 milyar, usaha perkebunan sebesar 2 milyar dan usaha makanan ringan sebesar
500 juta. Penghasilan merupakan PKP. Peredaran bruto diasumsikan diatas 50
milyar. Hitunglah
a. Pajak penghasilan Santo jika semua penghasilan menjadi penghasilan pribadi
Santo?
b. Pajak penghasilan usaha peternakan yang dipisah sendiri?
c. Pajak penghasilan usaha perkebunan yang dipisah sendiri?
d. Pajak penghasilan usaha makanan ringan yang dipisah sendiri?

2. Eko memiliki istri namun belum memiliki anak memiliki penghasilan yang berasal
dari usaha busana senilai 500 juta, pembuatan sepeda sebesar 300 juta dan
usaha meubel sebesar 250 juta. Penghasilan merupakan PKP. Peredaran bruto
diasumsikan diatas 50 milyar. Hitunglah
a. Pajak penghasilan Eko jika semua penghasilan menjadi penghasilan pribadi
Eko?
b. Pajak penghasilan usaha busana yang dipisah sendiri?
c. Pajak penghasilan usaha pembuatan sepeda yang dipisah sendiri?
d. Pajak penghasilan usaha meubeul yang dipisah sendiri?
3. Parto merupakan karyawan tetap perusahaan Bunga Plastik. Setiap bulannya
Parto mendapatkan gaji sebesar Rp. 17.000.000 setiap bulannya. Bukan hanya
itu Parto juga mendapatkan tunjangan kesehatan sebesar 0.5% dari gaji dan
tunjangan hari tua 0.25% dari gaji. Parto setiap bulan membayar iuran pensiun
sebesar 2% dari gaji dan iuran jaminan hari tua sebesar 2% dari gaji. Parto sudah
menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Hitunglah
a. Berapakah take home pay Parto jika perusahaan menggunakan gross
method?
b. Berapakah take home pay Parto jika perusahaan menggunakan metode net
basis?
c. Berapakah take home pay Parto jika perusahaan menggunakan metode
tunjangan pajak?
d. Berapakah take home pay Parto jika perusahaan menggunakan metode gross
up?
4. Hitunglah berapa yang harus ditagihkan agar penerima penghasilan mendapatkan
sesuai dengan kontrak dengan menggunakan metode gross up jika
a. Tenaga ahli yang memiliki nilai kontrak sebesar Rp. 125.000.000
b. Tenaga ahli yang memiliki nilai kontrak sebesar Rp. 225.000.000
5. Hitunglah berapa tunjangan pajak yang harus diberikan apabila perusahaan ingin
menggunakan metode gross up dan net basis untuk karyawan tetap jika
a. Gaji perbulan 15 juta, premi asuransi 2%, premi jaminan hari tua 2%, tunjangan
transportasi 500 ribu perbulan, iuran pensiun 5% dan status TK/0
b. Gaji perbulan 35 juta, premi asuransi 2%, premi jaminan hari tua 2%, tunjangan
transportasi 500 ribu perbulan, tunjangan perumahan 1 juta per bulan, iuran
pensiun 5%, dan status K/3
c. Gaji perbulan 50 juta, premi asuransi 2.5%, premi jaminan hari tua 3%,
tunjangan transportasi 1 juta perbulan, tunjangan perumahan 1 juta per bulan,
tunjangan anak 2 juta per anak, iuran pensiun 5%dan status TK/0
6. Seorang manajer keuangan memiliki kebijakan baru untuk memberikan tunjangan
PPh pasal 21 agar perusahaan bisa mendapatkan penghematan pajak karena
semua karyawan gaji per bulannya masuk kedalam lapisan pertama dan
perusahaan dalam kondisi laba. Sebagai konsultan pajak anda diminta untuk
menghitung berapa tunjangan PPh pasal 21 menggunakan metode gross up dan
net basis dari karyawan sebagai berikut
a. Bapak Muhtadi (TK/1) dengan gaji pokok Rp. 12.000.000/bulan dan
mendapatkan tunjangan kesehatan sebesar 2% dari gaji pokok.
b. Bapak Suryadi (K/2) dengan gaji pokok Rp. 12.000.000/bulan, mendapatkan
tunjangan anak sebesar Rp. 100.000/anak dan tunjangan kesehatan sebesar
2%
c. Bapak Qutub (K/0) dengan gaji pokok Rp. 13.250.000/bulan, mendapatkan
tunjangan anak sebesar Rp. 100.000/anak dan tunjangan kesehatan sebesar
2%
7. Berikut ini adalah laporan laba rugi tahun 2020 PT. LOL
Penjualan 4.121.310.000
Beban Pokok Penjualan 2.654.120.000

Laba Bruto 1.467.190.000

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 390.323.000
Tunjangan pajak -
PPh 21 -
Beban listrik 25.678.090
Beban sewa peralatan 40.000.000
Biaya penyusutan 35.000.000
Biaya pemasaran 25.000.000
Biaya administrasi 15.500.000

Jumlah biaya-biaya 531.501.090

Laba sebelum pajak 935.688.910

Dari data diatas diketahui koreksi fiskal dengan informasi sebagai berikut
1) Terdapat koreksi fiskal beban listrik menjadi Rp. 25.000.000
2) Terdapat koreksi positif untuk biaya penyusutan sebesar Rp. 5.000.000
3) Terdapat koreksi negatif untuk biaya administrasi sebesar Rp. 1.000.000
4) Terdapat koreksi positif untuk biaya sewa peralatan menjadi Rp. 30.000.000
Berdasarkan tabel diatas hitunglah berapa laba sebelum pajak jika perusahaan
menggunakan
a. Gross method dengan pajak yang harus dibayar oleh pegawai adalah sebesar
Rp. 22.450.000
b. Metode net basis dengan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan sebesar
Rp. 22.450.000
c. Metode tunjangan pajak sebesar Rp. 22.450.000 yang dibayar oleh
perusahaan dan pajak yang harus dibayar pegawai adalah sebesar Rp.
725.000
d. Metode gross up dengan tunjangan pajak yang diberikan kepada perusahaan
adalah sebesar Rp. 31.450.000
8. Berikut ini adalah laporan laba rugi tahun 2020 PT. LOL
Penjualan 5.431.310.000
Beban Pokok Penjualan 3.655.150.000

Laba Bruto 1.776.160.000

Biaya-biaya:
Beban gaji pegawai 690.332.000
Tunjangan pajak -
PPh 21 -
Beban listrik 32.545.000
Beban sewa peralatan 60.000.000
Biaya penyusutan 40.000.000
Biaya pemasaran 35.000.000
Biaya administrasi 27.000.000

Jumlah biaya-biaya 884.877.000

Laba sebelum pajak 891.283.000

Dari data diatas diketahui koreksi fiksal dengan informasi sebagai berikut
1) Terdapat koreksi fiskal beban listrik menjadi Rp. 20.000.000
2) Terdapat koreksi positif beban sewa peralatan sebesar Rp. 12.000.000
3) Terdapat koreksi negatif biaya penyusutan sebesar Rp. 13.000.000
4) Terdapat koreksi positif biaya pemasaran sebesar Rp. 15.000.000
5) Terdapat koreksi fiskal biaya administrasi menjadi Rp. 30.000.000

Berdasarkan tabel diatas hitunglah berapa laba sebelum pajak jika perusahaan
menggunakan
a. Gross method dengan pajak yang harus dibayar oleh pegawai adalah sebesar
Rp. 44.450.000
b. Metode net basis dengan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan sebesar
Rp. 44.450.000
c. Metode tunjangan pajak sebesar Rp. 44.450.000 yang dibayar oleh
perusahaan dan pajak yang harus dibayar pegawai adalah sebesar Rp.
1.672..000
d. Metode gross up dengan tunjangan pajak yang diberikan kepada perusahaan
adalah sebesar Rp. 62.470.000

Anda mungkin juga menyukai