Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 3

MATA KULIAH PERPAJAKAN

DOSEN PENGAMPU :

Nurmala Sari, S.Pd., M.Pd

DISUSUN OLEH :

Nadya Agustin Dwi Putri

NIM. A1A119047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
TUGAS 3
1. Apakah Subjek pajak dengan Wajib Pajak itu sama pengertiannya, jelaskan jawaban Anda?
Jawab:
Subjek pajak dengan wajib pajak itu berbeda pengertiannya
Subjek pajak adalah orang yang disasar oleh UU untuk dikenakan pajak atau dengan kata lain
orang yang berpotensi  untuk dikenakan pajak. Orang tersebut bisa dalam artian orang pribadi,
badan, maupun bentuk usaha tetap. Menurut UU Pajak Penghasilan, yaitu UU No. 36 Tahun
2008, subjek pajak dibagi menjadi 2, Subjek Pajak dalam negeri dan Luar Negeri. 
Sedangkan menurut UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), definisi wajib
pajak atau biasa disingkat WP adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Nah maka dari definisi itu dapat
kita simpulkan bahwa WP itu orang pribadi atau badan yang sudah mempunyai kewajiban
untuk membayar pajak. Kenapa udah sih sudah punya kewajiban? Karena menurut dia sudah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif menurut peraturan perundang-undangan
perpajakan. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa persyaratan subjektif dan objektif itu?
Sederhananya begini, persyaratan subjektif itu adalah persyaratan yang melekat pada diri
orang/ badan tersebut, salah satu contohnya saja sudah menikah atau telah dewasa. Sedangkan
Persyaratan objektif itu persyaratan yang melekat pada objek yang akan dikenakan pajak,
misalnya jika terkait UU PPh, maka persyaratannya adalah penghasilan diatas Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP), jika terkait PBB Perkotaan dan Pedesaan, maka persyatannya
objektifnya adalah yang memiliki dan/atau menguasai tanah dan bangunan. Maka persyaratan
subjektif dan objektif ini bergantung pada jenis pajak apa yang akan dikenakan.

2. Sebutkan yang menjadi Objek Pajak penghasilan?


Jawab:
Dalam Undang-undang No 36 Tahun 2008 disebutkan tentang apa saja yang menjadi objek
Pajak penghasilan. Objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Objek PPh Menurut Undang-Undang Pajak

1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang.
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
o keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
o keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
o keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
o keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga seadarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
o keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada
pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut
dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak
yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga
Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit
untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah
tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan
secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi, termasuk premi reasuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki
landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah
tersebut tetap merupakan objek pajak.
18. imbalan bunga; dan
19. surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia

3. Bagaimana cara menghitung pajak penghasilan untuk Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak
Orang Pribadi?
Jawab:
Pajak Penghasilan Badan
Dikutip dari undang-undang perpajakan pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa pengertian badan
dalam pajak penghasilan badan (PPhB) adalah sekelompok orang atau modal yang merupakan
kesatuan baik melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Seperti contohnya
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pension, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk hukum lainnya termasuk dalam kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan Badan
Berikut ini rumus dan contoh perhitungan pajak penghasilan badan yang harus Anda ketahui:
Pada tahun 2019, PT Sinar Jaya memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp 2 Miliar. Maka
besar pajak penghasilan PT Sinar Jaya yaitu:
50% x 25% x Rp5 Miliar = Rp625 juta
Tapi, ternyata selama periode tahun 2019, PT Sinar Jaya telah menyetor pajak penghasilan
karyawan ke kas negara sebesar Rp100 juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp200 juta.
Maka, pajak penghasilan terutang PT Sinar Jaya adalah :
Rp 625 juta – Rp 100 juta – Rp 200 juta = Rp 325 juta
Rp 325 Juta adalah angka yang bisa dicicil oleh PT Sinar Jaya ke kas negara atas penghasilan
Badan Usaha di tahun 2019.
Karena itu, jumlah diatas merupakan sisa pajak yang dibayar PT Sinar Jaya ke Kas Negara
atas pajak penghasilan badan usaha di tahun 2019. Pajak ini bisa dicicil dengan meminta
persetujuan dari kantor pajak setempat terlebih dahulu.

Pajak Penghasilan Pribadi


Cara menghitung penghasilan kena pajak WP Orang Pribadi adalah mengurangkan dari
penghasilan yang diterima dengan PTKP sebelum mengalikan dengan tarif progresif PPh
Pasal 17 untuk mengetahui besar PPh Terutang.
Tarif Penghasilan Kena Pajak
Perlu diketahui bahwa tarif pajak penghasilan dibedakan menjadi dua jenis. Perbedaan ini
ditentukan atas dasar kepada siapa pajak penghasilan dikenakan. Pertama, tarif PPh untuk WP
OP Dalam Negeri. Kedua, tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri dan BUT.
Berikut ini adalah tabel tarif penghasilan kena pajak (PKP) untuk WP Orang Pribadi:
Tarif
No Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Memiliki NPWP Tidak Memiliki NPWP
1 Sampai dengan Rp50.000.000 5% 6%
2 Rp50.000.000-Rp250.000.000 15% 18%
3 Rp250.000.000-Rp500.000.000 25% 30%
4 Di atas Rp500.000.000 30% 36%
Sementara bagi WP yang merupakan Badan atau BUT, wajib membayar PPh dengan tarif
yang berbeda. Khusus untuk subjek pajak ini, tarif yang dikenakan adalah 25% dari seluruh
jumlah penghasilan.

Tarif pajak di atas diberlakukan setelah penghasilan bersih (neto) dalam satu tahun dikurangi
dengan PTKP. Besarnya PTKP tergantung dari status wajib pajak.

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak WP Pribadi

Berikut dua simulasi penghitungan penghasilan kena pajak WP Orang Pribadi.

Contoh Kasus

Pak Kelik adalah seorang pekerja swasta dengan penghasilan sebesar Rp280.000.000 dalam
satu tahun. Saat ini Pak Kelik berstatus belum kawin dan tidak memiliki tanggungan.
Berapakan Penghasilan Kena Pajak yang ditanggung oleh Pak Kelik?

Berikut perhitungannya:
Penghasilan 1 tahun Rp280.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0)  Rp 54.000.000

Penghasilan Kena Pajak:


= (Penghasilan 1 tahun) – (PTKP)
= Rp280.000.000 – Rp54.000.000
= Rp226.000.000
PPh Terutang adalah:
= 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
= 15% x Rp176.000.000 = Rp26.400.000
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Pak Kelik adalah Rp2.500.000 + Rp26.400.000 =
Rp28.900.000 dalam satu tahun.

4. Tuan Toni, menikah dan mempunyai 2 orang anak. Hitunglah besar PTKP Tn Toni?
Jawab:
Tuan Toni adalah karyawan tidak menikah, maka berlaku PTKP TK/0 = Rp 54.000.000.
Ia kemudian menikah, dan istrinya tidak bekerja, maka statusnya berubah menjadi K/0 (Rp
54.000.000 + Rp 4.500.000) = Rp 58.500.000.
Tuan Toni menikah dan mempunyai dua anak, maka PTKP yang berlaku K/2 (Rp 54.000.000
+ Rp 4.500.000 + Rp 4.500.000 + Rp 4.500.000) = Rp 67.500.000
5. Pak Budi seorang karyawan disebuah perusahaan kertas memperoleh penghasilan /gaji
sebesar Rp.8.000.000. Pak Budi telah menikah namun belum mempunyai anak. Istri Pak
Budi tidak bekerja. Hitunglah besar Pajak Penghasilan Pak Budi?
Jawab:
Gaji perbulan = Rp.8.000.000.
Penghasilan neto pertahun = Rp.8.000.000 X 12 = Rp. 96.000.000
PKP = penghasilan bersih – PTKP
PKP = Rp. 96.000.000 – Rp. 58.500.000 (K/0) = Rp. 37.500.000
Karena PKP dibawah Rp. 50.000.000 maka dikenai tarif 5%
Maka PPH 21 terhutang = 5% X Rp. 37.500.000 = Rp. 1.875.000

Anda mungkin juga menyukai