Franchise atau dalam Bahasa Indonesia berarti waralaba merupakan sistem bisnis dan
ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang dimiliki orang
perseorangan atau badan usaha yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain.
Secara hukum, menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2008 Tentang
Waralaba, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Waralaba adalah hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil
dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
Waralaba.
Dalam Permendag tersebut juga disebutkan bahwa Waralaba harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. memiliki ciri khas usaha;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan;
c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis;
d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar.
Selain itu, orang perseorangan atau badan usaha dilarang menggunakan istilah dan/atau
nama waralaba untuk nama dan/atau kegiatan usahanya, apabila tidak memenuhi
criteria sebagaimana dimaksud di atas.
Bagi usaha franchise, sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2008, bahwa yang
menjadi subjek pajak penghasilan salah satunya adalah badan dan bentuk usaha tetap.
Aspek pajak yang diwajibkan bagi usaha franchise diantaranya adalah PPN, Pajak
Penghasilan (PPh) perorangan dan Pajak penghasilan Badan dan Bentuk Usaha Tetap.
Pajak yang dapat dikenakan ketika memulai dan menjalankan bisnis franchise adalah
Pajak Penghasilan atas perorangan. Yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau pasal 26.
Subjek pajak dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Mengenai definisi subjek pajak selengkapnya dapat dilihat di Undang-Undang No. 36
tahun 2008.
Sebelum masuk ke dalam bahasan PPh pribadi, mari kita lihat apa-apa yang menjadi
objek pajak PPh. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima oleh subjek pajak baik yang berasal dari dalam
negeri maupun luar negeri yang dapat dipakai untuk menambah konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk :
Imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa berupa gaji, upah, tunjangan,
honor, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya
Laba usaha
Bunga
Dividen
Royalti
Premi asuransi
DLL
Ada pengecualian juga terhadap objek PPh. Yang tidak termasuk objek PPh adalah:
Bantuan atau sumbangan termasuk zakat dan hibah yang tidak ada hubungan
dengan usaha/pekerjaan
Warisan DLL
PPh Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri.
Sedangkan PPh Pasal 26 Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri.
Tarif pajak penghasilan pribadi dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
diberlakukan sejak 1 Juli 2015, yang bisa Anda gunakan untuk menghitung pajak
penghasilan Anda sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008
(Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), maka tarif (potongan) pajak penghasilan
pribadi adalah sebagai berikut.
1. Penghasilan Sampai dengan 50 juta adalah 5%
2. Penghasilan di atas 50 juta sd 250 juta adalah 15%
3. Penghasilan di atas 250 juta sd 500 juta adalah 25%
4. Penghasilan di atas 500 juta adalah 30%
Tarif pajak di atas diberlakukan setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
dikurangi dari penghasilan bersih yang disetahunkan. PTKP berbeda untuk status
pekerja yang berbeda. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun
2008, yang besarnya kemudian diubah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak, misalnya bagi pekerja yang belum kawin, PTKP-nya adalah Rp 36.000.000. dan
tarifnya berbeda jika wajib pajak kawin dan memiliki anak satu, dua dan seterusnya.
Dan PTKP bagi karyawati juga berbeda dengan karyawan.
Penetapan tarif berbeda atas Pegawai Tidak Tetap Terdapat. Dimana misalnya uang
harian dibawah Rp. 300.000 tidak dikenakan PPh, sedangkan diatas Rp. 300.000 akan
dikenakan PPh 5 % setelah dikurangi Rp. 300.000.
Besarnya tarif pasal 26 adalah 20 % berdasarkan penghasilan bruto dengan
memperhatikan ketentuan P3B.
Berikut adalah jenis penghasilan yang dikenakan dengan PPh pasal 21 dan atau 26:
Sedangkan yang tidak termasuk dalam kategori PPh pasal 21 dan atau 26 adalah :
Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan Menkeu, iuran
THT/JHT yang dibayar pemberi kerja
Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh
Terdapat cara perhitungan PPh yang berbeda-beda antara Pegawai Tetap dan Tidak
Tetap, Bukan Pegawai, Mantan Pegawai, Pensiunan, Komisaris, dan Peserta Kegiatan.
Misalnya Pegawai Tetap dihitung dengan cara Penghasilan Neto dikurangi PTKP baru
dikali dengan besarnya tarif PPh. Perhitungan ini berbeda dengan Pegawai Tidak Tetap
Bulanan yaitu Penghasilan Bruto dikurangi dengan PTKP baru dikali dengan tarif PPh.
Keputusan untuk memilih salah satu dari dua alternative diatas diserahkan
sepenuhnya kepada WP tentu saja dengan resiko dan mempertimbangkan faktor
teknik dan non teknik masing-masing WP.
Contoh perhitungan PPh atas penghasilan Marketing Associate (MA):
Penghasilan/komisi yang dibayarkan oleh Co kepada salah seorang MA selama
tahun
2014 adalah sebagai berikut:
Bulan Januari, komisi yang didapat MA sebesar Rp 25.000.000
Bulan Februari, komisi yang didapat MA sebesar Rp 15.000.000
Bulan Maret, komisi yang didapat MA sebesar Rp 50.000.000
Bulan April, komisi yang didapat MA sebesar Rp 30.000.000
Bulan Mei, komisi yang didapat MA sebesar Rp 100.000.000
Bulan Juni, komisi yang didapat MA sebesar Rp 40.000.000
Bulan Juli, tidak dapat komisi karena tidak ada penjualan
Jika suatu saat Co. kena pemeriksaan pajak dan ketahuan bahwa atas komisi Rp
500 juta baru dipotong PPh 21 sebesar Rp 40.000.000, maka atas kekurangan
PPh 21
Sebesar Rp 55.000.000 akan menjadi tanggungan Co.
JENIS JASA
PENYELENGGARA
KEGIATAN
PELAKSANAAN KONSTRUKSI
KUALIFIKASI KECIL
KUALIFIKASI MENENGAH
KUALIFIKASI BESAR
TIDAK PUNYA KUALIFIKASI
PERENCANAAN DAN
PENGAWASAN KONSTRUKSI
MEMPUNYAI KUALIFIKASI
TIDAK MEMPUNYAI
KUALIFIKASI
GRADE
1 SD 4
5
6 SD 7
TARIF
2%
3%
3%
4%
4%
6%
10%
0%
KEWAJIBAN
PEMOTONGAN
DILAKUKAN PADA SAAT
PEMBAYARAN
PENYETORAN SENDIRI
DENGAN MENGGUNAKAN
SSP (SURAT SETORAN
PAJAK)
PENYETORAN PALING
LAMA TANGGAL 10
BULAN BERIKUTNYA
PENYETORAN PALING
LAMA TANGGAL 15
BULAN BERIKUTNYA
SETELAH PENERIMAAN
PEMBAYARAN
PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN
-----
YA
properti yang ada terserap dengan baik oleh pasar bahkan permintaan pun lebih besar dari
penawaran yang ada.
Kondisi pertumbuhan dan booming industri properti di Indonesia turut membawa pula efek
berganda pada sektor usaha lainnya seperti perbankan melalui penyaluran kredit kepemilikan
properti, perusahaan konstruksi, notaris, industri mebel, pengusaha bahan bangunan dan
usaha terkait lainnya. Potensi penerimaan negara dari booming industri properti ini
diperkirakan sangat besar.
Berdasarkan penelitian awal diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak sektor usaha real
estate yang menggunakan harga sesuai NJOP yang terdapat dalam SPPT PBB dalam
menentukan Dasar Pengenaan Pajak, sehingga terdapat potensi PPN dan PPh Final Kurang
Bayar dan juga potensi PPnBM dan PPh Pasal 22 (jika memenuhi persyaratan), karena sesuai
ketentuan yang berlaku Wajib Pajak seharusnya menggunakan harga jual/harga transaksi yang
sebenarnya terjadi dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak. Demikian juga masih terdapat
potensi-potensi pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak sektor perumahan di setiap
proses bisnisnya
Aspek Perpajakan
Bisnis real estate telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli
properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga
terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban
kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang
harus dilakukan oleh pembeli dan penjual.
Sektor usaha real estate berhubungan erat dengan permasalahan tata wilayah, ekonomi, sosial
budaya dan lingkungan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan negara memiliki hak
mengatur agar kegiatan usaha sektor ini tidak mengganggu keseimbangan lingkungan fisik
maupun sosial di suatu wilayah. Oleh karenanya, banyak ketentuan yang dibuat untuk
mengatur aktifitas usaha sektor ini seperti berbagai perizinan yang harus diperoleh, kualifikasi
usaha yang harus dimiliki dan kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku usaha sektor ini.
A.Pelaku Usaha
Pelaku bisnis sektor usaha real estate lebih dikenal dengan sebutan pengembang atau
developer harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat melakukan pembangunan,
diantaranya:
i.
ii.
iii.
B.Produk Properti
Seringkali terjadi kebingungan pada penggunaan istilah properti dan real estate.
Meskipun kata properti lebih umum digunakan berbagai pihak di media untuk menjelaskan
perihal tanah dan bangunan, Direktorat Jenderal Pajak lebih memilih istilah real estate
dalam Klasifikasi Lapangan Usaha untuk menunjuk kelompok pelaku usaha yang
melakukan pembelian, penjualan, persewaan dan pengoperasian atas tanah serta
bangunan.
i. Residensial
Adapun produk dari usaha real estate ini dapat dibagi 2, yaitu:
Apartemen
ii. Komersial
Gedung Perkantoran
Lahan Industri
Kawasan Pergudangan
1. Persiapan
Persiapan adalah tahap awal dari bisnis real estate. Tahapan ini meliputi kegiatan
penelitian pendahuluan, penelitian potensi pasar dan kelayakan bisnis. Selanjutnya
disusul dengan kegiatan perencanaan konstruksi dan rencana anggaran biaya.
Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri oleh pengembang atau menggunakan jasa
konsultan.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa:
1.
a. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan bruto yang diterima konsultan yang
melakukan kegiatan penelitian maupun studi kelayakan.
b. PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai tarif P3B dari penghasilan bruto
yang diterima konsultan luar negeri yang melakukan kegiatan penelitian
maupun studi kelayakan.
c. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi
dengan tarif sesuai kualifikasi usaha Pengusaha Jasa Konstruksi tersebut.
d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Nilai Jasa yang diterima
pengusaha jasa konstruksi.
2. Pengadaan Lahan
Tahapan lanjutan setelah persiapan selesai dan menetapkan bahwa proyek dapat
dijalankan adalah pengadaan lahan. Lahan dapat diperoleh melalui beberapa cara,
yaitu:
a.
b. BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan) dengan tarif 5% dari harga
jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP (nilai perolehan objek pajak tidak
kena pajak) sesuai peraturan daerah masing-masing, Umumnya pihak penjual dan
pembeli sepakat menggunakan harga sesuai NJOP pada SPPT PBB saja, bukan
mengunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya.
c. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan yang diterima oleh makelar apabila jual beli tersebut
dibantu oleh makelar.
d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi apabila
penjual adalah PKP (pengusaha kena pajak).
3. Administrasi Perizinan
Terdapat banyak perizinan harus dipenuhi oleh pelaku bisnis real estate ini. Izin dikeluarkan
oleh pemerintah daerah dimana lahan yang akan dikembangkan menjadi real estate
berada.
a. PPh Pasal 21/23 atas nilai yang dibayarkan apabila pengurusan perizinan
menggunakan jasa pihak ketiga.
b. PPN dengan tarif 10% dari nilai yang dibayarkan apabila pihak pemberi jasa adalah
PKP.
c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan yang diterima seorang notaris.
d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima notaris (jika
notarisnya adalah PKP).
Langkah perizinan selanjutnya yang harus dilakukan pelaku bisnis real estate khususnya
properti residensial untuk mempermudah proses penjualan kepada konsumen adalah
melakukan pemecahan sertipikat (split sertipikat). Proses ini biasanya dibantu oleh
notaris/PPAT.
4.Kegiatan Pembangunan
Tahapan selanjutnya setelah lahan dan perizinan selesai adalah kegiatan pembangunan
produk real estate. Pada tahap ini terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan pihak
lain dan terdapat potensi pajak di dalamnya.
4.1.Pematangan Lahan
Pekerjaan pematangan lahan/tanah dan pembuatan kavling biasanya dikerjakan oleh pihak
lain yaitu pengusaha jasa konstruksi. Lingkup kegiatan ini meliputi pembersihan,
penimbunan dan perataan lahan agar siap untuk dikembangkan. Biasanya pekerjaan ini
menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa :
a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut.
b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.
c. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.
a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut.
b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.
c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain
pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll)
d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.
a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut (2%, 3%, 4% atau 6%).
b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.
c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain
pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll)
d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.
5.Pemasaran Produk
Tahapan terakhir adalah proses pemasaran produk. Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri
oleh pengembang atau menggunakan jasa pihak lain sebagai pemasar. Pemasaran
produk kepada konsumen seringkali sudah dilakukan oleh perusahaan bahkan sebelum
properti selesai dibangun atau malah belum dibangun.
Produk properti yang dibangun kemudian dipasarkan dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu:
i.
Biasanya produk properti residensial seperti perumahan, rusun, rukan, ruko dan
apartemen.
i.
a. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya.
b. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya.
c. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk persewaan tanah dan atau bangunan dengan tarif
10% dari nilai sewa.
d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan PPh Pasal 22 apabila memenuhi syaratsyarat tertentu.
e. BPHTB dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP
sesuai peraturan daerah masing-masing.
perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian
tagihan dan biaya-biaya lainnya.
Pengertian Freight Forwarding
Menurut Koleangan (2004:20) pengertian Freight Forwarding adalah
orang atau badan usaha yang melakukan jasa pengurusan dokumen dan atau definisi
baku yang diberlakukan secara internasional, pengapalan barang atas permintaan
importir atau eksportir dengan menerima pembayaran sebagai kompensasi
Menurut Suyono (2003:155) pengertian Freight Forwarding adalah
badan usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atau seluruh
kegiatan diperlukan bagi terlaksananya pengiriman , pengangkutan dan penerimaan
barang dengan menggunakan multimodal transport baik melalui darat, laut atau udara
Disamping itu, freight forwarder juga melaksanakan pengurusan prosedur dan formalitas
dokumentasi yang dipersyaratkan oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah Negara
export, Negara transit dan Negara import. Freight Forwarding adalah seseorang yang
mendapatkan order dari langganan untuk pengangkutan barang-barang tersebut ke tempat
tujuan . Sukrisman (1985:1).
Jasa freight forwarding dibagi dalam empat segmen yaitu :
a. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK)
b. Jasa pengurusan transportasi murni (JPT)
c. Trucking
d. Pergudangan
Pada dasarnya, pemilik barang (eksportir dan importir) bisa menyelesaikan kewajiban
pabeannya sendiri, namun tidak semua eksportir dan importir mengetahui atau
menguasai ketentuan tata laksana kewajiban pabean. Oleh karena itu, seringkali
pemilik barang memberikan kuasa penyelesaian kewajiban pabean tersebut kepada
pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai. Untuk dapat menjadi custom brokers, maka pengusaha pengurusan jasa
kepabeanan harus mempunyai Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan
yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat.
Definisi jasa pengurusan transportasi murni sama dengan pengertian jasa freight
forwarding yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988.
Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi murni berhubungan dengan pengiriman
barang ke berbagai tujuan baik domestik maupun ke luar negeri, dimulai dari
pengambilan barang dari tempat penjual/pemilik barang sampai barang tersebut selamat
sampai di pelabuhan / bandara yang dituju sesuai dengan sifat barang, tujuan
pengiriman, jadwal pengiriman dan jenis transportasi pengiriman apakah melalui udara
atau laut. Jenis pelayanan yang diberikan dalam jasa pengurusan transportasi murni
mulai dari:
door to door
(barang diantar dari tempat/gudang penjual ke tempat/gudang pembeli),
door to port
(barang diantar dari tempat/gudang penjual ke pelabuhan tempat pembeli),
port to door
(barang diantar dari pelabuhan tempat penjual ke tempat/gudang pembeli) dan
port to port
(barang diantar dari pelabuhan tempat penjual ke pelabuhan tempat pembeli).
Pengertian trucking sendiri tidak ada diatur dalam peraturan sehingga setiap orang
dapat memberikan definisinya. Secara umum trucking merupakan jasa freight
forwarding
melalui transportasi darat dengan menggunakan truk.
Pengertian pergudangan juga tidak diatur dalam peraturan. Secara umum pergudangan
adalah salah satu jenis jasa freight forwarding yang melayani konsumen dalam
penyimpanan barang-barang yang dimuat dari kapal sebelum didistribusikan ke tempat
si penerima barang.
Seiring peningkatan jumlah perusahaan freight forwarding di Jakarta sendiri yang tidak
terarah yang berimbas pada banyaknya perusahan freight forwarding yang tumbuh
secara liar, mengakibatkan pihak pemerintah diwakili oleh Dirjen Perhubungan
melakukan batasan dan pengketatan pengajuan perijinan perusahaan freight forwarding.
Selain isu terkait perbankan, kerahasiaan data Wajib Pajak yang diatur dalam UndangUndang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (UU
KUP) menyisakan silang sengketa di antara dua lembaga. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sebagai lembaga tinggi Negara merasa tugasnya dihalangi pihak Pemerintah,
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam mengaudit data pajak.
PPh perusahaan forwarding
Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.03/2015 yang berlaku 23 Agustus 2015
merinci jenis-jenis jasa lain yang dikenai atau dipotong PPh Pasal 23, yaitu
1. Jasa penilai (appraisal);
2. Jasa aktuaris;
3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Jasa hukum;
5. Jasa arsitektur;
6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Jasa perancang (design);
8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan
gas bumi (migas);
10.Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi
dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11.Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12.Jasa penebangan hutan;
13.Jasa pengolahan limbah;
14.Jasa penyedia tenaga kerja dan/ atau tenaga ahli (outsourcing services);
15.Jasa perantara dan/ atau keagenan;
31.Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/ atau jasa periklanan;
32.Jasa pembasmian hama;
33.Jasa kebersihan atau cleaning service;
34.Jasa sedot septic tank;
35.Jasa pemeliharaan kolam;
36.Jasa katering atau tata boga;
37.Jasa freight forwarding;
38.Jasa logistik;
39.Jasa pengurusan dokumen;
40.Jasa pengepakan;
Besarnya PPh 23 atas jasa freight forwarding sebesar 2% dari nilai bruto (di luar PPN).
PPh 23 ini merupakan kredit pajak bagi perusahaan freight forwarding dalam pengisian
SPT PPh badan.
persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam
tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) = Rp500.000,00.
PPN sebesar Rp 500.000 tidak dapat dikreditkan sebagai pajak masukan oleh
PT Z.
PT Z wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 50.000.000=Rp 1.000.000.
Sehingga jumlah uang yang diterima oleh PT ABC adalah Rp 50.000.000+Rp
500.000-Rp1.000.000=Rp49.500.000.
Contoh 2
PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
nilai sebesar Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai
sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan
(freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total
Contoh 3
PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
PPN ini dapat dikreditkan oleh PT W.
PT W wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 20.000.000=Rp 400.000.
PT JKL akan menerima uang sebesar Rp 80.000.000+Rp2.000.000-Rp400.000=
Rp 81.600.000.
Contoh 5
PT MNO sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
nilai sebesar Rp14.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai
sebesar Rp6.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan
(freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp62.000.000,00, sehingga nilai total
JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp82.000.000,00 (belum termasuk
PPN) kepada PT V.
penyerahan
JPT/FF
dengan
nilai
penyerahan
total
sebesar
2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan
selain yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.
Jasa persewaan ruangan termasuk dalam jenis jasa persewaan barang tak gerak yang
atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali jasa persewaan
ruangan di bidang perhotelan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa di bidang perhotelan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai meliputi :
1. jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap;
2. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
Jasa persewaan ruangan yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
selain jasa di bidang perhotelan antara lain :
1. jasa persewaan ruangan untuk perkantoran;
2. jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha atau pertokoan;
3. jasa persewaan ruangan untuk tempat tinggal, apartemen, flat;
4. jasa persewaan ruangan untuk pertemuan (convention hall);
5. dan lain-lain jasa persewaan ruangan sejenisnya.
Yang Perlu Dilakukan Oleh Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan
Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan selain di bidang perhotelan yang selama satu tahun
buku melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan dengan nilai peredaran bruto
lebih dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), wajib :
1. mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak;
2. memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu.
Secara umum kewajiban perpajakan koperasi adalah :
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan/atau PKP
2. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Badan
3. Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan
4. Melakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
1. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
2. Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir
permohonan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP:
a. Akte Pendirian dan perubahan atau surat penunjukan dari kantor pusat
bagi bentuk usaha tetap;
b. NPWP pimpinan/penanggung jawab badan (koperasi);
c. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang
asing sebagai penanggung jawab;
Pelaporan Usaha untuk Pengukuhan PKP
Koperasi yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai
peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil (4,8
milyar), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat
akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP maka Koperasi terikat
pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai.
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
Menghitung Penghasilan Kena Pajak setahun
Penghasilan Bruto
Biaya-biaya Operasional
Penghasilan Neto
Koreksi Fiskal (positif/negatif)
Penghasilan Kena Pajak
Rp AAAA
Rp. BBBB
Rp. CCCC
Rp. DDDD
Rp. XXXX
Tarif Pajak
25%
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak Rp. 51.000.000.000,00, maka perhitungan pajak
terutangnya: (Peredaran bruto diketahui Rp 85 milyar).
25% X Rp. 51.000.000.000,00 = Rp. 12.750.000.000,00
2. Koperasi yang peredaran bruto setahun antara Rp 4,8 milyar sampai dengan Rp
50 milyar setahun.
= Rp630.000.000,00 (+)
Rp690.000.000,00
Rp. CCCC
Rp. DDDD
Rp. EEEE
Rp. FFFF
Tarif
5%
15%
25%
30%
*) PTKP adalah penghasilan tidak kena pajak yang diberikan kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi dengan ketentuan sebagai berikut:
Keterangan
WP tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 3 orang
WP kawin dan tidak memiliki tanggungan
WP Kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
WP Kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
WP Kawin dan memiliki tanggungan 3 orang
Status PTKP
TK/0 Rp.36.000.000
TK/1 Rp.39.000.000
TK/2 Rp.42.000.000
TK/3 Rp.45.000.000
K/0
Rp.39.000.000
K/1
Rp.42.000.000
K/2
Rp.45.000.000
K/3
Rp.48.000.000
dividen;
bunga;
royalti;
Untuk SHU (sisa hasil usaha) koperasi perlakuannya sama dengan dividen,
yaitu:
Untuk SHU kepada orang pribadi akan dipotong PPh 4(2) dengan tarif 10%
Untuk SHU kepada badan dengan kepenyertaan <25% akan dipotong
PPh 23 dengan tarif 15%
Untuk SHU kepada badan dengan kepenyertaan >=25% maka tidak dipotong
pajak
Pengusaha hotel adalah orang atau badan hukum yang menyelengGarakan usaha hotel untuk dan atas namanya sendiri atau
Untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya.
Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya
Diterima atas pelayanan sebagai pembayaran yang dilakukan
Oleh pengunjung kepada hotel.
Pajak hotel adalah pajak yang dipungut atas pelayanan yang
Disediakan dengan pembayaran kepada hotel.
Masa pajak
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran ke hotel sedangkan
Yang dimaksudkan dengan masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 bulan
Kalender. Dalam hal ini, setiap wajib pajak wajib memiliki pembukuan dan
Wajib pajak wajib menerima, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah (SPTPD) kepada Kepala Daerah selambat-lambatnya 15 hari
Setelah berakhirnya masa pajak; apabila SPTPD tidak disampaikan dalam jangka
Waktu yang telah dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi
Berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
Dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya;
Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
Secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
Sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
Paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya.
Jatuh tempo dan tata cara pembayaran
Dalam pelaksanaannya, saat jatuh tempo pembayaran pajak ditetapkan oleh
Kepala Daerah. Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain
Yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sesuai waktu yang ditentukan dalam SKPD
(Surat Ketetapan Pajak Daerah), SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar), SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan),
Dan STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah); pembayaran pajak dilakukan dengan
Menggunakan SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) dimana bentuk, jenis, isi
Dan ukuran SSPD ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas namun dalam kasus tertentu,
Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur pajak terutang
Dalam jangka waktu tertentu, setelah wajib pajak memenuhi persyaratan yang
Ditentukan; angsuran pembayaran pajak harus dilakukan secara teratur dan
Berurutan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan dikenakan bunga sebesar 2%
Sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar; Kepala Daerah
Dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk menunda pembayaran
Pajak sampai batas waktu yang ditentukan setelah memenuhi persyaratan yang
Ditentukan dengan dikenakan bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang belum
Atau kurang dibayar; persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda pembayaran
Pajak serta tata cara pembayaran angsuran ditetapkan oleh Kepala Daerah.
PPN usaha perhotelan
Untuk jasa perhotelan tidak dikenakan PPN karena termasuk jasa yang dikecualikan
Dari pengenaan PPN.
1.
PERPAJAKAN YAYASAN PENDIDIKAN
pengawas.
Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian
maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut
serta dalam suatu badan usaha, dengan syarat sebagai berikut.
1.
Sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.
2.
Bentuk usaha tempat investasi bersifat perspektif dengan ketentuan
seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari
seluruh nilai kekayaan Yayasan.
3.
Anggota pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan dilarang
merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota dewan
komisaris atau pengawas dari badan usaha.
1.
2.
3.
4.
5.
Secara umum pelaksanaan hak dan kewajiban Yayasan sama dengan bentuk
usaha lain, kecuali hal-hal khusus yang diatur tersendiri. Hal umum yang perlu
diperhatikan yayasan dan organisasi nirlaba adalah sebagai berikut.
Mendaftar sebagai wajib pajak dan memberikan penjelasan tentang
tujuan, kegiatan utama, karakteristik yayasan. Hal ini untuk memastikan jenis
pajak yang menjadi kewajiban kita.
Melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Dalam menghitung penghasilan netto diperkenankan mengurangkan biayabiaya yang berhubungan langsung dengan usaha (perhatikan pasal 6 ayat 1
dan pasal 9 ayat 1 UU PPh). Penyusutan/amortisasi juga bisa menjadi faktor
pengurang (perhatikan pasal 11 dan 11A UU PPh).
Yayasan atau organisasi nirlaba tidak serta merta dapat menikmati
1.
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek pajak
penghasilan.
2.
Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana
biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.
3.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud angka 2 disampaikan
bersamaan dengan penyampaian SPT tahunan tahun pajak diperolehnya sisa
lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan atau penelitian dan pengembangan
dimulai, dalam jangka waktu empat (4) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut.
4.
Apabila nyata-nyata nirlaba, atas harta hibah, bantuan, atau sumbangan
yang diterima bukan merupakan objek PPh, sepanjang tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
4.