Anda di halaman 1dari 61

PERPAJAKAN USAHA WARALABA (FRANCHISE)

Franchise atau dalam Bahasa Indonesia berarti waralaba merupakan sistem bisnis dan
ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang dimiliki orang
perseorangan atau badan usaha yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain.
Secara hukum, menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2008 Tentang
Waralaba, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Waralaba adalah hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil
dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
Waralaba.
Dalam Permendag tersebut juga disebutkan bahwa Waralaba harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. memiliki ciri khas usaha;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan;
c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis;
d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar.
Selain itu, orang perseorangan atau badan usaha dilarang menggunakan istilah dan/atau
nama waralaba untuk nama dan/atau kegiatan usahanya, apabila tidak memenuhi
criteria sebagaimana dimaksud di atas.
Bagi usaha franchise, sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2008, bahwa yang
menjadi subjek pajak penghasilan salah satunya adalah badan dan bentuk usaha tetap.
Aspek pajak yang diwajibkan bagi usaha franchise diantaranya adalah PPN, Pajak
Penghasilan (PPh) perorangan dan Pajak penghasilan Badan dan Bentuk Usaha Tetap.
Pajak yang dapat dikenakan ketika memulai dan menjalankan bisnis franchise adalah
Pajak Penghasilan atas perorangan. Yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau pasal 26.
Subjek pajak dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Mengenai definisi subjek pajak selengkapnya dapat dilihat di Undang-Undang No. 36
tahun 2008.

Sebelum masuk ke dalam bahasan PPh pribadi, mari kita lihat apa-apa yang menjadi
objek pajak PPh. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima oleh subjek pajak baik yang berasal dari dalam
negeri maupun luar negeri yang dapat dipakai untuk menambah konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk :

Imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa berupa gaji, upah, tunjangan,
honor, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya

Hadiah dari undian/pekerjaan/kegiatan

Laba usaha

Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta seperti : penjualan saham,


persekutuan, penggabungan perusahaan dll

Bunga

Dividen

Royalti

Sewa dan penghasilan Lain sehubungan dengan penggunaan harta

Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

Premi asuransi

Surplus Bank Indonesia

DLL

Ada pengecualian juga terhadap objek PPh. Yang tidak termasuk objek PPh adalah:

Bantuan atau sumbangan termasuk zakat dan hibah yang tidak ada hubungan
dengan usaha/pekerjaan

Warisan DLL

PPh atas orang pribadi

PPh Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri.
Sedangkan PPh Pasal 26 Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri.

Tarif pajak penghasilan pribadi dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
diberlakukan sejak 1 Juli 2015, yang bisa Anda gunakan untuk menghitung pajak
penghasilan Anda sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008
(Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), maka tarif (potongan) pajak penghasilan
pribadi adalah sebagai berikut.
1. Penghasilan Sampai dengan 50 juta adalah 5%
2. Penghasilan di atas 50 juta sd 250 juta adalah 15%
3. Penghasilan di atas 250 juta sd 500 juta adalah 25%
4. Penghasilan di atas 500 juta adalah 30%
Tarif pajak di atas diberlakukan setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
dikurangi dari penghasilan bersih yang disetahunkan. PTKP berbeda untuk status
pekerja yang berbeda. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun
2008, yang besarnya kemudian diubah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak, misalnya bagi pekerja yang belum kawin, PTKP-nya adalah Rp 36.000.000. dan
tarifnya berbeda jika wajib pajak kawin dan memiliki anak satu, dua dan seterusnya.
Dan PTKP bagi karyawati juga berbeda dengan karyawan.
Penetapan tarif berbeda atas Pegawai Tidak Tetap Terdapat. Dimana misalnya uang
harian dibawah Rp. 300.000 tidak dikenakan PPh, sedangkan diatas Rp. 300.000 akan
dikenakan PPh 5 % setelah dikurangi Rp. 300.000.
Besarnya tarif pasal 26 adalah 20 % berdasarkan penghasilan bruto dengan
memperhatikan ketentuan P3B.
Berikut adalah jenis penghasilan yang dikenakan dengan PPh pasal 21 dan atau 26:

1. penghasilan pegawai tetap baik teratur maupun tidak teratur


2. penghasilan penerima pensiun secara teratur
3. uang pesangon, pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang
dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 tahun;
4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas
5. imbalan kepada bukan pegawai;
6. imbalan kepada peserta kegiatan;
7. imbalan kepada dewan komisaris/pengawas yang bukan merupakan pegawai
tetap pada perusahaan yang sama;
8. imbalan kepada mantan pegawai;
9. penarikan dana pensiun oleh pegawai.

Sedangkan yang tidak termasuk dalam kategori PPh pasal 21 dan atau 26 adalah :

Pembayaran manfaat atau santunan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa,


dwiguna dan bea siswa

Natura/kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah

Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan Menkeu, iuran
THT/JHT yang dibayar pemberi kerja

Zakat/sumbangan wajib keagamaan dari badan/lembaga yang


dibentuk/disahkan pemerintah

Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh

Terdapat cara perhitungan PPh yang berbeda-beda antara Pegawai Tetap dan Tidak
Tetap, Bukan Pegawai, Mantan Pegawai, Pensiunan, Komisaris, dan Peserta Kegiatan.
Misalnya Pegawai Tetap dihitung dengan cara Penghasilan Neto dikurangi PTKP baru
dikali dengan besarnya tarif PPh. Perhitungan ini berbeda dengan Pegawai Tidak Tetap
Bulanan yaitu Penghasilan Bruto dikurangi dengan PTKP baru dikali dengan tarif PPh.

PP No. 46 tahun 2013


Bagi franchise yang omzet setahun < Rp 4.800.000.000, maka dikenakan tarif pajak
1% dari omzet sebulan.
Contoh kasus:
Baru baru ini bisnis waralaba atau franchise berkembang dengan pesat, karena
mereka menawarkan peluang bisnis yang relative lebih memberi kepastian
mengenai hasilnya. Pada kesempatan ini kami bermaksud untuk membahas
salah satu bisnis franchise yang sedang berkembang pesat baik dari local
maupun luar negeri yaitu bisnis broker property (untuk selanjutnya disingkat
Co) dari sisi perpajakan.
Pertama mengenai PPN, bagi yang mempunyai pendapatan kotor lebih dari Rp
4.800.000.000 (Empat milyar delapan ratus juta Rupiah) setahun wajib
mendaftarkan diri menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak). Selain itu yang
mempunyai target pendapatan lebih dari Rp 4.800.000.000 (Empat milyar
delapan ratus juta Rupiah) dapat mengajukan menjadi PKP pada saat
pendapatan kotornya sudah mendekati targetnya atau bersamaan pada saat
pengajuan NPWP.

Konsekuensi menjadi PKP adalah Co harus memungut PPN atas semua


pendapatannya, jika banyak berhubungan dengan Primary (Developer) tidak
menjadi masalah mereka biasanya bersedia dipungut PPN karena dapat mereka
kreditkan (bukan biaya), tapi jika berhubungan dengan Secondary market

(Rumah Bekas/ sewa menyewa antar pribadi) akan menyebabkan penghasilan


menjadi berkurang sebesar PPN, karena biasanya pelanggan pribadi tidak mau
dipungut tambahan PPN (tambahan biaya), sehingga komisi yang diperoleh
menjadi berkurang karena sudah termasuk PPN.
Kedua PPh 21, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta
melaporkan semua biaya yang terkait dengan karyawan tetap/ tidak tetap
maupun MA (Marketing Associate) dan biaya jasa jasa lainnya yang dilakukan
oleh orang pribadi, misalnya service AC, bengkel mobil biasanya 5%. Tarif
pemotongan untuk karyawan / MA sama yaitu mengikuti tarif progresif yaitu
5%, 15%, 25%, dan 30% sesuai dengan jumlah penghasilan yang mereka
terima.
Ada 2 (dua) pendapat mengenai penerapan tarif pemotongan MA yaitu
diberlakukan per bulan atau kumulatif setahun. Masing2 mempunyai alasan
sendiri, penerapan perbulan dengan alasan mereka orang ketiga dan tarif yang
digunakan sesuai besaran komisi yang dibayarkan pada saat itu. MA
mempunyai kewajiban untuk menghitung ulang sendiri kewajiban perpajakan
akhir tahunnya, jika pajak terhutang kurang dari yang sudah dipotong harus
membayar sendiri. Jika diperiksa pajak ada kemungkinan kekurangan potong
dapat dikoreksi (grey area). Apabila MA masih ada/ bekerja koreksi dapat
ditagih, jika sudah tidak bekerja maka menjadi tanggungan Co.
Penerapan kumulatif, MA secara operational seperti karyawan secara rutin
(setiap Hari/Minggu) masuk hanya statusnya bukan, sebagian belum punya
NPWP dan laporan SPT masa PPh 21 per bulannya jika direkap akan terlihat
dengan mudah bahwa MA tertentu sudah melewati batas tarif tertentu kenapa
masih dipotong dengan tarif yang lebih rendah. Dengan dipotong sesuai dengan
tarif tersebut maka pada akhir tahun MA tidak perlu membayar sendiri lagi
karena sudah dipotong sesuai tarifnya, kecuali mereka mempunyai penghasilan
lain.

Keputusan untuk memilih salah satu dari dua alternative diatas diserahkan
sepenuhnya kepada WP tentu saja dengan resiko dan mempertimbangkan faktor
teknik dan non teknik masing-masing WP.
Contoh perhitungan PPh atas penghasilan Marketing Associate (MA):
Penghasilan/komisi yang dibayarkan oleh Co kepada salah seorang MA selama
tahun
2014 adalah sebagai berikut:
Bulan Januari, komisi yang didapat MA sebesar Rp 25.000.000
Bulan Februari, komisi yang didapat MA sebesar Rp 15.000.000
Bulan Maret, komisi yang didapat MA sebesar Rp 50.000.000
Bulan April, komisi yang didapat MA sebesar Rp 30.000.000
Bulan Mei, komisi yang didapat MA sebesar Rp 100.000.000
Bulan Juni, komisi yang didapat MA sebesar Rp 40.000.000
Bulan Juli, tidak dapat komisi karena tidak ada penjualan

Bulan Agustus, komisi yang didapat MA sebesar Rp 30.000.000


Bulan Sept, komisi yang didapat MA sebesar Rp 20.000.000
Bulan Oktober, komisi yang didapat MA sebesar Rp 150.000.000
Bulan Nopember, komisi yang didapat MA sebesar Rp 40.000.000
Bulan Desember, tidak dapat komisi karena tidak ada penjualan

Hitunglah PPh 21 yang dipotong oleh Co. jika:


1. Dihitung per bulan
2. Dihitung kumulatif setahun
Jawaban:
Tarif PPh 21 untuk komisi:
5%, penghasilan 0-50 juta
15%, penghasilan >50-250 juta

25%, penghasilan >250-500 juta


30%, penghasilan >500 juta
1. PPh 21 dihitung per bulan
Januari, PPh 21=5%x25.000.000=1.250.000
Februari, PPh 21=5%x15.000.000=750.000
Maret, PPh 21=5%x50.000.000=2.500.000
April, PPh 21=5%x30.000.000=1.500.000
Mei, PPh 21=5%x50.000.000=2.500.000
15%x50.000.000=7.500.000
10.000.000
Juni, PPh 21=5%x40.000.000=2.000.000
Juli, PPh 21=0

Agustus, PPh 21=5%x30.000.000=1.500.000

September, PPh 21=5%x20.000.000=1.000.000


Oktober, PPh 21=5%x50.000.000= 2.500.000
15%x100.000.000=15.000.000
17.500.000
Nopember, PPh 21=5%x40.000.000=2.000.000
Desember, PPh 21=0
Total jan-des 2014, PPh 21=40.000.000
Jumlah PPh 21 sebesar Rp 40.000.000 sebenarnya tidak tepat, seharusnya
PPh 21
Atas penghasilan MA tahun 2014 adalah:
Total komisi jan-des 2014=Rp 500.000.000
Maka PPh 21 seharusnya terutang adalah:
5%x50.000.000=2.500.000
15%x200.000.000=30.000.000
25%x250.000.000=62.500.000
95.000.000
Padahal PPh 21 dipotong oleh Co baru sebesar Rp 40.000.000, sehingga pada
saat
Pengisian SPT tahunan orang pribadi MA, MA wajib membayar kekurangan
PPh 21
Sebesar Rp 95.000.000-40.000.000=Rp 55.000.000.

Jika suatu saat Co. kena pemeriksaan pajak dan ketahuan bahwa atas komisi Rp
500 juta baru dipotong PPh 21 sebesar Rp 40.000.000, maka atas kekurangan
PPh 21
Sebesar Rp 55.000.000 akan menjadi tanggungan Co.

2. PPh 21 kumulatif setahun


Januari, PPh 21=5%x25.000.000=1.250.000
Februari, PPh 21=5%x15.000.000=750.000
Maret, PPh 21=5%x10.000.000=500.000
PPh 21=15%x40.000.000=6.000.000
6.500.000
April, PPh 21=15%x30.000.000=4.500.000
Mei, PPh 21=15%x100.000.000=15.000.000
Juni, PPh 21=15%x30.000.000=4.500.000
PPh 21=25%x10.000.000=2.500.000
7.000.000
Juli, PPh 21=0
Agustus, PPh 21=25%x30.000.000=7.500.000

Sept, PPh 21=25%x20.000.000=5.000.000


Okt, PPh 21=25%x150.000.000=37.500.000
Nop, PPh 21=25%x40.000.000=10.000.000
Des, PPh 21=0
Total PPh 21 jan-des 2014=95.000.000 sama dengan jumlah PPh 21 yang
seharusnya terutang. Sehingga MA tidak ada kurang bayar saat pengisian SPT
tahunan orang pribadi dan bagi co, saat diperiksa pajak, tidak akan terkena
kurang bayar.

Ketiga PPh 23, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta


melaporkan biaya royalty kepada Master Franchise sebesar 15% jika Master
Franchise adalah wajib pajak dalam negeri dan 20% jika master franchise
adalah wajib pajak luar negeri (PPh 26) dan biaya jasa jasa lainnya yang
dilakukan oleh badan usaha, misalnya service AC, bengkel mobil dengan tarif
2%.
Kalau Master Franchise langsung dari Luar Negeri maka terutang PPh 26
sebesar 20%, dan terutang PPN 10%. Jika Negara asal mempunyai Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda/ Tax Treaty maka tarif PPh 26 menjadi lebih kecil
sesuai dengan tarif di Tax Treaty tersebut, sebagian besar negara mempunyai
tarif rata rata 10%.

Khusus untuk pelanggan Primary biasanya mereka memotong penghasilan Co


sebesar 2%, dan akan mendapatkan bukti potong dari mereka. Bukti potong
tersebut merupakan Kredit Pajak Penghasilan Co.
Ke empat PPh 4(2), Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta
melaporkan biaya Sewa sebesar 10% dan bersifat final. Bagi penyewa tanah dan
bangunan yang tidak memiliki NPWP tidak dapat memotong, memungut dan
menyetorkan serta melaporkan, sehingga pemilik yang mempunyai NPWP
dapat menyetorkan sendiri.
Ke lima PPh 25, adalah pembayaran angsuran atas kewajiban pajak tahun
berjalan berdasarkan kewajiban pajak tahun lalu. Untuk Co yang baru berdiri
biasanya kewajiban PPh 25 nya nihil, kecuali Co yakin dapat memperoleh laba
dari awal berdiri baru melakukan pembayaran PPh 25. Banyak pihak
mempunyai pendapat yang salah kaprah bahwa kewajiban pajak tiap tahun
harus naik, jika turun maka akan diperiksa oleh pajak. Dasar pemikiran tersebut
adalah secara alami Co pasti menginginkan kemajuan dalam usahanya dan laba
yang diperoleh meningkat dibanding tahun lalu, tapi pada kondisi tertentu
kadang rencana tidak berjalan dengan baik sehingga laba yang diperoleh
menjadi lebih kecil, hal tersebut juga disadari oleh Perpajakan sehingga mereka
mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa Co dapat mengajukan
pengurangan angsuran PPh 25 nya karena laba yang akan diperoleh tahun
berjalan lebih kecil dari tahun lalu..
Ke enam PPh 29, merupakan pajak tahunan yang berupa ikhtiar rugi/ laba Co
selama tahun berjalan, jika laba harus membayar pajak dengan tarif badan, yaitu
25% (jika peredaran bruto <Rp 50 milyar setahun bisa memperoleh fasilitas).
PPh 23 yang sudah dipotong oleh pihak ketiga dan PPh 25 yang sudah Co bayar
tiap bulan dapat digunakan sebagai kredit pajak. Jika jumlah pajak terutang
lebih besar Co akan membayar kekurangannya. Sebaliknya jika kredit pajak
lebih besar dari pajak terutang Co menjadi lebih bayar dan akan diperiksa pajak
karena restitusi.

PERPAJAKAN USAHA KONSTRUKSI

Apakah yang dimaksud dengan jasa konstruksi?


Jasa konstruksi adalah layanan jasa berupa konsultasi
perencanaan
Pekerjaan konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau
Konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian
rangkaian
Perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
Mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal dan
Tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
Mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Bagaimana pengenaan pajak atas jasa konstruksi?


Jasa konstruksi dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 4 ayat 2
Yang bersifat final dengan menggunakan tariff tertentu terkait
Layanan jasa sehubungan kegiatan yang dilakukan, selain
PPN (pajak pertambahan nilai).

Bagaimana perlakuan pajak dan tarifnya?

JENIS JASA

PENYELENGGARA
KEGIATAN

PELAKSANAAN KONSTRUKSI

KUALIFIKASI KECIL
KUALIFIKASI MENENGAH
KUALIFIKASI BESAR
TIDAK PUNYA KUALIFIKASI

PERENCANAAN DAN
PENGAWASAN KONSTRUKSI

MEMPUNYAI KUALIFIKASI
TIDAK MEMPUNYAI
KUALIFIKASI

PENYERAHAN DALAM NEGERI


PENYERAHAN KE LUAR
DAERAH PABEAN

GRADE
1 SD 4
5
6 SD 7

TARIF
2%
3%
3%
4%
4%
6%
10%
0%

Apa yang dimaksud kualifikasi usaha?


Kualifikasi usaha adalah stratafikasi yang ditentukan
berdasarkan
Sertifikasi Badan Usaha (SBU) yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), sehingga sertifikat lain
selain yang diterbitkan LPJK tidak dapat digunakan untuk
menentukan batasan tariff di atas.

Apa saja kewajiban perpajakan terkait dengan transaksi


Jasa konstruksi?

PEMOTONG PAJAK/WAJIB PAJAK


PENGGUNA JASA
PENYEDIA JASA

KEWAJIBAN

PEMOTONGAN
DILAKUKAN PADA SAAT
PEMBAYARAN

PENYETORAN SENDIRI
DENGAN MENGGUNAKAN
SSP (SURAT SETORAN
PAJAK)

PENYETORAN PALING
LAMA TANGGAL 10
BULAN BERIKUTNYA

PENYETORAN PALING
LAMA TANGGAL 15
BULAN BERIKUTNYA
SETELAH PENERIMAAN
PEMBAYARAN

PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN

PELAPORAN SPT MASA PPh


FINAL PASAL 4 AYAT 2

WAJIB DISAMPAIKAN PALING LAMA 20 HARI SETELAH


BULAN DILAKUKAN PEMOTONGAN PAJAK ATAU
PENERIMAAN PEMBAYARAN

MEMBUAT FAKTUR PAJAK

-----

MELAPORKAN SPT MASA PPN

WAJIB MENYAMPAIKAN PALING LAMA AKHIR BULAN


BERIKUTNYA SETELAH BERAKHIRNYA MASA PAJAK

Kode MAP (mata anggaran penerimaan) dan KJS (kode jenis


setoran) untuk PPh final:
a. MAP: 411128
b. KJS: 409

YA

Kode MAP dan KJS untuk PPN:


a. MAP: 411211
b. KJS: 900
Karena sudah dikenakan PPh final pasal 4 ayat 2, maka pada saat
Pengisian SPT badan tidak mungkin terjadi kurang bayar /lebih bayar.
Selain PPh final 4(2) dan PPN, kewajiban pajak lain adalah PPh 21 jika
Perusahaan konstruksi tersebut mempunyai karyawan baik tetap
Ataupun tidak tetap, maka perusahaan tersebut harus menghitung,
Memotong dan menyetorkan PPh 21 terutang setiap bulannya.
PPh 23 juga tetap dipotong jika ada transaksi yang berkaitan dengan
Penggunaan jasa atau pembayaran royalty.
PPh 4(2) juga tetap dipotong jika ada transaksi sewa
tanah/bangunan.
Contoh:
PT sejahtera merupakan perusahaan pelaksana konstruksi sipil
bangunan
dengan kualifikasi besar mengadakan perjanjian pelaksanaan
pekerjaan
konstruksi dengan PT Papan Makmurindo yang merupakan pemilik
bangunan, dengan nilai perjanjian sebesar Rp 1.650.000.000
termasuk
PPN.
Hitunglah PPh pasal 4 ayat 2 yang harus dipotong oleh PT Papan
Makmurindo?
DPP=100/110x1.650.000.000=1.500.000.000
PPh 4 (2)=3%x1.500.000.000=45.000.000

PERPAJAKAN USAHA REAL ESTATE

Pertumbuhan berbagai produk properti berupa perumahan, apartemen, kondominium,


pusat perdagangan, gedung perkantoran, rumah toko dan rumah kantor serta
pembangunan kawasan industri baru menjadi pemandangan yang umum terlihat di
kota-kota besar dan kota-kota di sekelilingnya. Pasokan properti yang ada terserap
dengan baik oleh pasar bahkan permintaan pun lebih besar dari penawaran yang ada.
Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak
sektor usaha real estate yang menggunakan harga sesuai NJOP yang terdapat dalam
SPPT PBB dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak, padahal seharusnya
menggunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya terjadi dalam menentukan
Dasar Pengenaan Pajak. Atas kegiatan bisnis real estate terdapat aspek pajak yang
masih harus dipenuhi oleh wajib pajak di setiap proses bisnisnya.
NJOP=Nilai Jual Objek Pajak
SPPT = Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Latar Belakang
Kondisi pasar properti Indonesia mulai bangkit setelah krisis ekonomi global tahun 2008
tersebut. Kebangkitan tersebut dimulai 2 tahun setelah masa krisis berakhir yaitu pada tahun
2010. Tahun tersebut merupakan fase awal dari tahapan pertumbuhan (growth) industri
properti di Indonesia. Fase selanjutnya adalah fase seller market yaitu waktu dimana
konsumen maupun investor membeli dan berinvestasi di sektor properti. Masa tersebut terjadi
hingga tahun 2013. Fase selanjutnya adalah fase booming properti yang diprediksi akan terjadi
tahun 2014 hingga 2015. Prediksi tersebut secara kasat mata dapat kita lihat dari begitu
gencarnya pembangunan berbagai produk properti di berbagai wilayah khususnya kota-kota
besar di Indonesia.

Pembangunan perumahan, apartemen, kondominium, pusat perdagangan, gedung


perkantoran, rumah toko dan rumah kantor serta pembangunan kawasan industri baru menjadi
pemandangan yang umum terlihat di kota-kota besar dan kota-kota di sekelilingnya. Pasokan

properti yang ada terserap dengan baik oleh pasar bahkan permintaan pun lebih besar dari
penawaran yang ada.
Kondisi pertumbuhan dan booming industri properti di Indonesia turut membawa pula efek
berganda pada sektor usaha lainnya seperti perbankan melalui penyaluran kredit kepemilikan
properti, perusahaan konstruksi, notaris, industri mebel, pengusaha bahan bangunan dan
usaha terkait lainnya. Potensi penerimaan negara dari booming industri properti ini
diperkirakan sangat besar.
Berdasarkan penelitian awal diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak sektor usaha real
estate yang menggunakan harga sesuai NJOP yang terdapat dalam SPPT PBB dalam
menentukan Dasar Pengenaan Pajak, sehingga terdapat potensi PPN dan PPh Final Kurang
Bayar dan juga potensi PPnBM dan PPh Pasal 22 (jika memenuhi persyaratan), karena sesuai
ketentuan yang berlaku Wajib Pajak seharusnya menggunakan harga jual/harga transaksi yang
sebenarnya terjadi dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak. Demikian juga masih terdapat
potensi-potensi pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak sektor perumahan di setiap
proses bisnisnya
Aspek Perpajakan
Bisnis real estate telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli
properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga
terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban
kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang
harus dilakukan oleh pembeli dan penjual.

Sektor usaha real estate berhubungan erat dengan permasalahan tata wilayah, ekonomi, sosial
budaya dan lingkungan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan negara memiliki hak
mengatur agar kegiatan usaha sektor ini tidak mengganggu keseimbangan lingkungan fisik
maupun sosial di suatu wilayah. Oleh karenanya, banyak ketentuan yang dibuat untuk

mengatur aktifitas usaha sektor ini seperti berbagai perizinan yang harus diperoleh, kualifikasi
usaha yang harus dimiliki dan kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku usaha sektor ini.
A.Pelaku Usaha
Pelaku bisnis sektor usaha real estate lebih dikenal dengan sebutan pengembang atau
developer harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat melakukan pembangunan,
diantaranya:

i.

ii.
iii.

Berbentuk badan hukum yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian


Hukum dan Hak Asasi Manusia (PT dan Yayasan) dan Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah (Koperasi)
Dalam akta pendiriannya bertindak sebagai pengembang bagi PT
Memiliki sertifikat pengembang yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang dan atau tergabung dalam asosiasi pengembang seperti REI,
(Real Estate Indonesia),Apersi (Asosiasi Pengembang Perumahan dan
Pemukiman seluruh Indonesia) dan Apernas (Asosiasi Pengembang Rumah
sederhana sehat nasional).

B.Produk Properti
Seringkali terjadi kebingungan pada penggunaan istilah properti dan real estate.
Meskipun kata properti lebih umum digunakan berbagai pihak di media untuk menjelaskan
perihal tanah dan bangunan, Direktorat Jenderal Pajak lebih memilih istilah real estate
dalam Klasifikasi Lapangan Usaha untuk menunjuk kelompok pelaku usaha yang
melakukan pembelian, penjualan, persewaan dan pengoperasian atas tanah serta
bangunan.

i. Residensial
Adapun produk dari usaha real estate ini dapat dibagi 2, yaitu:

Perumahan dengan berbagai jenis dan tipe (termasuk tanah kapling)

Rumah Susun (Rusun)

Rumah Toko (Ruko)

Rumah Kantor (Rukan)

Apartemen

ii. Komersial

Gedung Perkantoran

Pusat Perbelanjaan (ritel)

Lahan Industri

Kawasan Pergudangan

C. Proses Bisnis Real Estate


Berbagai tahapan yang umum terjadi pada kegiatan usaha real estate dimulai dari
tahapan persiapan, pengadaan lahan hingga produk siap dipasarkan kepada konsumen
lengkap dengan aspek pajak yang timbul dari setiap tahapan tersebut.

1. Persiapan
Persiapan adalah tahap awal dari bisnis real estate. Tahapan ini meliputi kegiatan
penelitian pendahuluan, penelitian potensi pasar dan kelayakan bisnis. Selanjutnya
disusul dengan kegiatan perencanaan konstruksi dan rencana anggaran biaya.
Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri oleh pengembang atau menggunakan jasa
konsultan.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa:

1.
a. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan bruto yang diterima konsultan yang
melakukan kegiatan penelitian maupun studi kelayakan.

b. PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai tarif P3B dari penghasilan bruto
yang diterima konsultan luar negeri yang melakukan kegiatan penelitian
maupun studi kelayakan.

c. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi
dengan tarif sesuai kualifikasi usaha Pengusaha Jasa Konstruksi tersebut.

d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Nilai Jasa yang diterima
pengusaha jasa konstruksi.

2. Pengadaan Lahan
Tahapan lanjutan setelah persiapan selesai dan menetapkan bahwa proyek dapat
dijalankan adalah pengadaan lahan. Lahan dapat diperoleh melalui beberapa cara,
yaitu:

membeli secara langsung kepada pemilik lahan,

menggunakan jasa perantara (makelar) atau,

melalui kerjasama dengan pemilik tanah.


Aspek perpajakan pada tahap ini berupa:

a.

PPh Final dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi,


Umumnya pihak penjual dan pembeli sepakat menggunakan harga sesuai NJOP
pada SPPT PBB saja, bukan mengunakan harga jual/harga transaksi yang
sebenarnya.

b. BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan) dengan tarif 5% dari harga
jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP (nilai perolehan objek pajak tidak
kena pajak) sesuai peraturan daerah masing-masing, Umumnya pihak penjual dan
pembeli sepakat menggunakan harga sesuai NJOP pada SPPT PBB saja, bukan
mengunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya.

c. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan yang diterima oleh makelar apabila jual beli tersebut
dibantu oleh makelar.

d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi apabila
penjual adalah PKP (pengusaha kena pajak).

3. Administrasi Perizinan
Terdapat banyak perizinan harus dipenuhi oleh pelaku bisnis real estate ini. Izin dikeluarkan
oleh pemerintah daerah dimana lahan yang akan dikembangkan menjadi real estate
berada.

Potensi pajak yang dapat digali pada tahap ini berupa:

a. PPh Pasal 21/23 atas nilai yang dibayarkan apabila pengurusan perizinan
menggunakan jasa pihak ketiga.

b. PPN dengan tarif 10% dari nilai yang dibayarkan apabila pihak pemberi jasa adalah
PKP.

c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan yang diterima seorang notaris.
d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima notaris (jika
notarisnya adalah PKP).
Langkah perizinan selanjutnya yang harus dilakukan pelaku bisnis real estate khususnya
properti residensial untuk mempermudah proses penjualan kepada konsumen adalah
melakukan pemecahan sertipikat (split sertipikat). Proses ini biasanya dibantu oleh
notaris/PPAT.
4.Kegiatan Pembangunan
Tahapan selanjutnya setelah lahan dan perizinan selesai adalah kegiatan pembangunan
produk real estate. Pada tahap ini terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan pihak
lain dan terdapat potensi pajak di dalamnya.
4.1.Pematangan Lahan
Pekerjaan pematangan lahan/tanah dan pembuatan kavling biasanya dikerjakan oleh pihak
lain yaitu pengusaha jasa konstruksi. Lingkup kegiatan ini meliputi pembersihan,

penimbunan dan perataan lahan agar siap untuk dikembangkan. Biasanya pekerjaan ini
menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa :

a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut.

b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.

c. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.

d. PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli.

4.2.Pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas


Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) berupa fasilitas umum (fasum) dan fasilitas
sosial (fasos) wajib dilakukan oleh pengembang khususnya produk properti residensial.
Bangunan dan kawasan PSU ini tercantum dalam site plan yang telah disahkan oleh Pemda.
Pembangunan PSU berupa pembangunan jalan, saluran air (drainase), saluran pembuangan
air limbah, tempat pembuangan sampah, jaringan listrik, air bersih, telepon, gas, transportasi,
penerangan jalan, sarana ibadah, taman, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.Pekerjaan ini
biasanya dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi yang menggunakan alat berat dan
peralatan khusus lainnya.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa:

a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut.

b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.

c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain
pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll)

d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.

e. PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli.


4.3 Pembangunan Unit Properti
Tahapan selanjutnya dalam kegiatan pembangunan adalah pembuatan unit contoh dan unit
siap untuk dijual. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi yang
menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya.
Potensi pajak yang dapat digali pada tahap ini berupa:

a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai
kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut (2%, 3%, 4% atau 6%).

b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha
pemberi jasa.

c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain
pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll)

d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai
sewa.

e. PPh Pasal 21/26 untuk tenaga ahli.

5.Pemasaran Produk
Tahapan terakhir adalah proses pemasaran produk. Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri
oleh pengembang atau menggunakan jasa pihak lain sebagai pemasar. Pemasaran
produk kepada konsumen seringkali sudah dilakukan oleh perusahaan bahkan sebelum
properti selesai dibangun atau malah belum dibangun.
Produk properti yang dibangun kemudian dipasarkan dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu:

i.

Unit properti untuk dijual

Biasanya produk properti residensial seperti perumahan, rusun, rukan, ruko dan
apartemen.

i.

Unit properti untuk disewakan


Biasanya produk properti komersial seperti gedung perkantoran, apartemen sewa,
pusat perbelanjaan (mall, pusat grosir, ITC, dll), kompleks industri dan kompleks
pergudangan.
Aspek perpajakan pada tahap ini berupa:

a. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya.
b. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya.

c. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk persewaan tanah dan atau bangunan dengan tarif
10% dari nilai sewa.

d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan PPh Pasal 22 apabila memenuhi syaratsyarat tertentu.

e. BPHTB dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP
sesuai peraturan daerah masing-masing.

PERPAJAKAN USAHA FORWARDING


Perusahaan freight forwarding adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mengurusi
pengangkutan/pengiriman barang muatan dari kapal laut, juga barang-barang yang
berada di gudang melalui pengangkutan mobil, mengurusi pengiriman barang melalui
kereta api, kapal laut, atau melalui mobil/truk ke tujuan yang diminta/tempat si
penerima barang dan pengiriman barang dari gudang si penjual ke tempat si pembeli.
Freight Forwarding nasional pada pertengahan tahun 1970-an sudah ada di Indonesia
walaupun masih dalam bentuk kelompok-kelompok atau associate member. Pada tahun

19771978 beberapa perusahaan freight forwarding nasional yang secara mandiri


melakukan kegiatan jasa freight forwarding. Kemudian pada tanggal 16 Juli 1980
dengan mendapat bimbingan dan pengarahan dari Direktorat Jendral perdagangan Luar
negeri Departement perdagangan ( Dirjen, Deplu , Deperdag ) maka diberikan ijin
operasi kepada 15 perusahaan freight forwarding di Indonesia . Karena dinilai sangat
pesat, didirikannya Indonesian Freight Forwarder Association di singkat INFFA yang
resmi di akui pemerintah RI yang beranggotakan 60 perusahaan freight forwarding
yang ada di Indonesia.

Dalam perkembangan volume perdagangan Indonesia semakin meningkat sehingga


memerlukan perusahaan jasa angkutan yang betul-betul dapat dapat menunjang
kegiatan ekspor komoditi Indonesia ke luar negeri, pada tanggal 25 Juli 1989 terjadilah
peleburan antara beberapa assosiasi yang bergerak dalam bidang pengurusan barang
export import yang terdiri dari INFAA ( Indonesia Freight Forwarder Association )
GAVEKSI ( Gabungan Veem dan Ekspedisi Seluruh Indonesia = EMKL ) EMPU
( Ekspedisi Muatan Pesawat Udara = EMKU ) , yang menjadi INFA ( Indonesia
Forwarder association ) atau GAFEKSI (Gabungan Freight dan Ekspedisi Seluruh
Indonesia ) yang diresmikan oleh menteri Perhubungan pada dengan jumlah anggota
pada saat itu 288 anggota dan pada tahun 2011 telah mencapai 1800 perusahaan yang
tersebar berbagai daerah di Indonesia dengan pembinaan dari Departemen Perhubungan
RI.

Pengertian jasa freight forwarding di Indonesia disebut didalam Keputusan Menteri


Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988 yaitu:
kegiatan usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus
semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya kegiatan pengiriman barang melalui
transportasi udara, laut, dan darat, dengan kegiatan penerimaan barang, penyimpanan barang,
sortasi barang, pengepakan barang, penandaan barang, pengukuran barang, penimbangan
barang, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan,

perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian
tagihan dan biaya-biaya lainnya.
Pengertian Freight Forwarding
Menurut Koleangan (2004:20) pengertian Freight Forwarding adalah
orang atau badan usaha yang melakukan jasa pengurusan dokumen dan atau definisi
baku yang diberlakukan secara internasional, pengapalan barang atas permintaan
importir atau eksportir dengan menerima pembayaran sebagai kompensasi
Menurut Suyono (2003:155) pengertian Freight Forwarding adalah
badan usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atau seluruh
kegiatan diperlukan bagi terlaksananya pengiriman , pengangkutan dan penerimaan
barang dengan menggunakan multimodal transport baik melalui darat, laut atau udara
Disamping itu, freight forwarder juga melaksanakan pengurusan prosedur dan formalitas
dokumentasi yang dipersyaratkan oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah Negara
export, Negara transit dan Negara import. Freight Forwarding adalah seseorang yang
mendapatkan order dari langganan untuk pengangkutan barang-barang tersebut ke tempat
tujuan . Sukrisman (1985:1).
Jasa freight forwarding dibagi dalam empat segmen yaitu :
a. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK)
b. Jasa pengurusan transportasi murni (JPT)
c. Trucking
d. Pergudangan

Definisi pengusaha pengurusan jasa kepabeanan berdasarkan Peraturan Direktur


Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-24/BC/2007 adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean
untuk dan atas kuasa importir atau eksportir
Sedangkan definisi kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan
yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melayani
konsumennya (eksportir dan importir) sebagai custom brokers.

Pada dasarnya, pemilik barang (eksportir dan importir) bisa menyelesaikan kewajiban
pabeannya sendiri, namun tidak semua eksportir dan importir mengetahui atau
menguasai ketentuan tata laksana kewajiban pabean. Oleh karena itu, seringkali
pemilik barang memberikan kuasa penyelesaian kewajiban pabean tersebut kepada
pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai. Untuk dapat menjadi custom brokers, maka pengusaha pengurusan jasa
kepabeanan harus mempunyai Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan
yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat.
Definisi jasa pengurusan transportasi murni sama dengan pengertian jasa freight
forwarding yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988.
Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi murni berhubungan dengan pengiriman
barang ke berbagai tujuan baik domestik maupun ke luar negeri, dimulai dari
pengambilan barang dari tempat penjual/pemilik barang sampai barang tersebut selamat
sampai di pelabuhan / bandara yang dituju sesuai dengan sifat barang, tujuan
pengiriman, jadwal pengiriman dan jenis transportasi pengiriman apakah melalui udara
atau laut. Jenis pelayanan yang diberikan dalam jasa pengurusan transportasi murni
mulai dari:
door to door
(barang diantar dari tempat/gudang penjual ke tempat/gudang pembeli),
door to port
(barang diantar dari tempat/gudang penjual ke pelabuhan tempat pembeli),
port to door
(barang diantar dari pelabuhan tempat penjual ke tempat/gudang pembeli) dan
port to port
(barang diantar dari pelabuhan tempat penjual ke pelabuhan tempat pembeli).
Pengertian trucking sendiri tidak ada diatur dalam peraturan sehingga setiap orang
dapat memberikan definisinya. Secara umum trucking merupakan jasa freight
forwarding
melalui transportasi darat dengan menggunakan truk.
Pengertian pergudangan juga tidak diatur dalam peraturan. Secara umum pergudangan
adalah salah satu jenis jasa freight forwarding yang melayani konsumen dalam
penyimpanan barang-barang yang dimuat dari kapal sebelum didistribusikan ke tempat
si penerima barang.

Seiring peningkatan jumlah perusahaan freight forwarding di Jakarta sendiri yang tidak
terarah yang berimbas pada banyaknya perusahan freight forwarding yang tumbuh
secara liar, mengakibatkan pihak pemerintah diwakili oleh Dirjen Perhubungan
melakukan batasan dan pengketatan pengajuan perijinan perusahaan freight forwarding.
Selain isu terkait perbankan, kerahasiaan data Wajib Pajak yang diatur dalam UndangUndang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (UU
KUP) menyisakan silang sengketa di antara dua lembaga. Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) sebagai lembaga tinggi Negara merasa tugasnya dihalangi pihak Pemerintah,
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam mengaudit data pajak.
PPh perusahaan forwarding
Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.03/2015 yang berlaku 23 Agustus 2015
merinci jenis-jenis jasa lain yang dikenai atau dipotong PPh Pasal 23, yaitu
1. Jasa penilai (appraisal);
2. Jasa aktuaris;
3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Jasa hukum;
5. Jasa arsitektur;
6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Jasa perancang (design);
8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan
gas bumi (migas);
10.Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi
dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11.Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12.Jasa penebangan hutan;
13.Jasa pengolahan limbah;
14.Jasa penyedia tenaga kerja dan/ atau tenaga ahli (outsourcing services);
15.Jasa perantara dan/ atau keagenan;

16.Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh


Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan
Efek Indonesia (KPEI);
17.Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI);
18.Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19.Jasa mixing film;
20.Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner,
pamphlet, baliho dan folder;
21.Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
22.Jasa pembuatan dan/ atau pengelolaan website;
23.Jasa internet termasuk sambungannya;
24.Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi,
dan/atau program;
25.Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/ atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;
26.Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/ atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27.Jasa perawatan kendaraan dan/ atau alat transportasi darat, laut dan udara;
28.Jasa maklon;
29.Jasa penyelidikan dan keamanan;
30.Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;

31.Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/ atau jasa periklanan;
32.Jasa pembasmian hama;
33.Jasa kebersihan atau cleaning service;
34.Jasa sedot septic tank;
35.Jasa pemeliharaan kolam;
36.Jasa katering atau tata boga;
37.Jasa freight forwarding;
38.Jasa logistik;
39.Jasa pengurusan dokumen;
40.Jasa pengepakan;

41.Jasa loading dan unloading;


42.Jasa laboratorium dan/ atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga
atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43.Jasa pengelolaan parkir;
44.Jasa penyondiran tanah pengujian
45.Jasa penyiapan dan/ atau pengolahan lahan;
46.Jasa pembibitan dan/ atau penanaman bibit;
47.Jasa pemeliharaan tanaman;
48.Jasa pemanenan;

49.Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan,


dan/atau perhutanan;
50.Jasa dekorasi;
51.Jasa pencetakan/penerbitan;
52.Jasa penerjemahan;
53.Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
54.Jasa pelayanan kepelabuhanan;
55.Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
56.Jasa pengelolaan penitipan anak;
57.Jasa pelatihan dan/ atau kursus;
58.Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59.Jasa sertifikasi;
60.Jasa survey;
61.Jasa tester, dan
62.Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.

Besarnya PPh 23 atas jasa freight forwarding sebesar 2% dari nilai bruto (di luar PPN).
PPh 23 ini merupakan kredit pajak bagi perusahaan freight forwarding dalam pengisian
SPT PPh badan.

ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA FREIGHT


FORWARDING
Penghitungan PPN terutang untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi
(freight forwarding) dilakukan dengan mengunakan dasar pengenaan berupa
Nilai Lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no. 38/PMK.011/2013,
Nilai Lain sebagai dasar pengenaan PPN untuk penyerahan jasa pengurusan
transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan
transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10%
dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.
Perhatikan bahwa penggunaan Nilai Lain sebagai dasar pengenaan pajak ini
hanya berlaku untuk penyerahan jasa freight forwarding yang di dalam
tagihannya terdapat unsur biaya transportasi (freight charges). Pada kondisi ini,
pajak masukan terkait dengan penyerahan jasa freight forwarding, tidak dapat
dikreditkan. Sementara itu untuk penyerahan jasa freight forwarding yang di
dalam tagihannya tidak terdapat unsur freight charges, maka dasar pengenaan
pajak-nya adalah kembali pada ketentuan umum, yaitu penggantian.
Berikut ini adalah contoh penerapan ketentuan DPP berupa Nilai Lain untuk
penyerahan freight forwarding berdasarkan penegasan DJP dalam Surat Edaran
Nomor SE-33/PJ/2013 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Penyerahan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarding) Yang Di Dalam
Tagihannya Terdapat Biaya Transportasi (Freight Charges).
Contoh 1
PT ABC sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF berupa
biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut, dengan
nilai sebesar Rp50.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Z.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang
atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh

persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam
tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).

PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) = Rp500.000,00.
PPN sebesar Rp 500.000 tidak dapat dikreditkan sebagai pajak masukan oleh
PT Z.
PT Z wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 50.000.000=Rp 1.000.000.
Sehingga jumlah uang yang diterima oleh PT ABC adalah Rp 50.000.000+Rp
500.000-Rp1.000.000=Rp49.500.000.
Contoh 2
PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
nilai sebesar Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai
sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan
(freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total

penyerahan JPT/FF adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN),


kepada PT Y.
PT DEF melakukan penagihan kepada PT Y dengan menerbitkan satu dokumen
tagihan. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang
terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di
dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi
(freight charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00.
PT Y wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 100.000.000=Rp 2.000.000.
Sehingga jumlah uang yang diterima oleh PT DEF adalah Rp 100.000.000+Rp
1.000.000-Rp 2.000.000=Rp 99.000.000.
PPN sebesar Rp 1.000.000 tidak dapat dikreditkan oleh PT Y.

Contoh 3
PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan

nilai sebesar Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai


sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan
(freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total
JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk
PPN), kepada PT X.
PT GHI melakukan penagihan kepada PT X dengan menerbitkan tiga dokumen
tagihan untuk menagih masing-masing kegiatan dari penyerahan JPT/FF
tersebut. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT GHI menerbitkan tiga
dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan
penyerahan JPT/FF.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang
atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh
persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam
tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00.
PT X wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 100.000.000=Rp 2.000.000.
Sehingga jumlah uang yang diterima oleh PT GHI adalah Rp 100.000.000+Rp
1.000.000-Rp 2.000.000=Rp 99.000.000.
PPN sebesar Rp 1.000.000 tidak dapat dikreditkan oleh PT X.
Contoh 4
PT JKL sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
nilai sebesar Rp15.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai

sebesar Rp5.000.000,00, sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan adalah


sebesar Rp20.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT W.

Terkait dengan penyerahan JPT/FF yang dilakukan oleh PT JKL, terdapat


tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut yang dalam dokumen
tagihan tersebut PT W tercantum sebagai pihak yang tertagih. Tagihan
dari pengusaha angkutan (freight) laut adalah sebesar Rp60.000.000,00.
Dalam kontrak/perjanjian antara PT JKL dan PT W disepakati bahwa terdapat
reimbursement tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut yang harus
dibayar oleh PT W melalui PT JKL.
PT JKL tidak mencatat/mengakui reimbursement tagihan dari pengusaha
angkutan (freight) laut yang pembayarannya diterima dari PT W sebagai
penghasilan. Demikian juga PT JKL tidak mencatat/mengakui penyetoran
reimbursement tagihan kepada pengusaha jasa angkutan (freight) laut sebagai
biaya. Penagihan kembali (reimbursement) sebesar Rp60.000.000,00 tersebut
tidak termasuk penyerahan JPT/FF yang dilakukan oleh PT JKL.
PT JKL melakukan penagihan kepada PT W dengan menerbitkan tiga dokumen
tagihan untuk menagih masing-masing kegiatan dari penyerahan JPT/FF
tersebut dengan nilai total sebesar Rp80.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak
yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan
JPT/FF tersebut adalah Penggantian, karena di dalam tagihan JPT/FF tersebut
tidak terdapat biaya transportasi (freight charges).

PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
PPN ini dapat dikreditkan oleh PT W.
PT W wajib memotong PPh 23 sebesar 2%xRp 20.000.000=Rp 400.000.
PT JKL akan menerima uang sebesar Rp 80.000.000+Rp2.000.000-Rp400.000=
Rp 81.600.000.

Contoh 5
PT MNO sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri
dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan
nilai sebesar Rp14.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai
sebesar Rp6.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan
(freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp62.000.000,00, sehingga nilai total
JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp82.000.000,00 (belum termasuk
PPN) kepada PT V.

Dalam melakukan penyerahan JPT/FF tersebut, PT MNO menggunakan moda


angkutan (freight) kapal laut, di mana dalam dokumen tagihan dari pengusaha
jasa angkutan (freight) laut tersebut PT MNO tercantum sebagai pihak yang
tertagih.
Atas

penyerahan

JPT/FF

dengan

nilai

penyerahan

total

sebesar

Rp82.000.000,00 tersebut PT MNO menerbitkan tiga dokumen tagihan.


Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT MNO menerbitkan tiga
dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan
penyerahan JPT/FF.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang
atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh
persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam
tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% X Rp82.000.000,00) = Rp820.000,00.
PPN ini tidak dapat dikreditkan oleh PT V.
PPh 23 yang dipotong oleh PT V = 2%x82.000.000=Rp1.640.000
Jumlah uang yg diterima PT MNO=Rp 82.000.000+Rp 820.000-Rp1.640.000=
Rp81.180.000.
Keterangan:
JPT/FF = Jasa Pengurusan Transportasi/Freight Forwarding

PERPAJAKAN USAHA SEWA TANAH DAN BANGUNAN


PPh atas sewa tanah dan bangunan
Pengertian
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari Persewaan
tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium,
gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, terutang
Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Yang tidak termasuk persewaan tanah dan atau bangunan yang terutang Pajak:
Penghasilan yang bersifat final apabila persewaan kamar dan ruang rapat di hotel dan
sejenisnya.
Objek dan Tarif
Atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan PPh final sebesar
10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga
yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewakan termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan service
charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
Pemotong PPh
Pemotong PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan
adalah :
1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh
penyewa dan penyewa wajib memberikan bukti potong kepada yang
menyewakan atau yang menerima penghasilan;

2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan
selain yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Saat Terutang
PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan terutang pada
saat pembayaran atau terutangnya sewa.
2. Penyetoran dan Pelaporan
a. Dalam hal PPh terutang harus dilunasi melalui pemotongan oleh
penyewa, penyetoran ke bank persepsi dan Kantor Pos selambatlambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
b. Untuk pelaporan pemotongan dan penyetorannya dilakukan ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah
bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat(2).
c. Dalam hal PPh terutang harus disetor sendiri oleh yang menyewakan,
maka yang menyewakan wajib menyetor PPh yang terutang ke bank
persepsi atau Kantor Pos selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
d. Untuk pelaporan penyetorannya dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2).
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPN atas persewaan ruangan
Jasa Persewaan Ruangan

Jasa persewaan ruangan termasuk dalam jenis jasa persewaan barang tak gerak yang
atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali jasa persewaan
ruangan di bidang perhotelan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Jasa di bidang perhotelan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai meliputi :
1. jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap;
2. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
Jasa persewaan ruangan yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
selain jasa di bidang perhotelan antara lain :
1. jasa persewaan ruangan untuk perkantoran;
2. jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha atau pertokoan;
3. jasa persewaan ruangan untuk tempat tinggal, apartemen, flat;
4. jasa persewaan ruangan untuk pertemuan (convention hall);
5. dan lain-lain jasa persewaan ruangan sejenisnya.
Yang Perlu Dilakukan Oleh Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan
Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan selain di bidang perhotelan yang selama satu tahun
buku melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan dengan nilai peredaran bruto
lebih dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), wajib :
1. mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak;
2. memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

Menghitung PPN Atas Jasa Sewa Ruangan


1. Dasar Pengenaan Pajak atas sewa ruangan adalah jumlah penggantian atau
imbalan atau nilai sewa ruangan dalam keadaan kosong yang diminta atau
seharusnya diminta oleh PKP yang menyewakan ruangan, tidak termasuk
service charge.
PPN yang terutang adalah : 10% x Jumlah Nilai Sewa
2. Dasar Pengenaan Pajak atas service charge adalah:
a. Penggantian yakni sebesar nilai tagihan
b. jumlah service charge yang diminta oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menyewakan ruangan.
Service charge, yaitu imbalan atas jasa yang menyebabkan ruangan yang
disewa tersebut dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh
penyewa.
Service charge dapat terdiri dari biaya listrik, air, keamanan, kebersihan,
dan biaya administrasi.
PPN yang terutang adalah 10% x Jumlah Service Charge.

Pengkreditan Pajak Masukan


1. Bagi PKP yang menyewakan ruangan dapat mengkreditkan PPN (Pajak
Masukan) yang dibayar atas perolehan barang dan jasa untuk pengoperasian
gedung atau ruangan yang disewakan.
2. Bagi Pihak yang menyewa ruangan:
a. apabila penyewa adalah PKP, maka PPN (Pajak Masukan) yang dibayar
atas ruangan yang disewa merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, sepanjang Faktur Pajaknya memenuhi ketentuan pembuatan
Faktur Pajak.
b. apabila ruangan yang disewa mempunyai fungsi ganda misalnya
digunakan untuk tempat usaha dan tempat tinggal, maka Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan adalah sebanding dengan bagian ruangan yang
digunakan untuk tempat usaha.
Misalnya bangunan yang disewa terdiri dari tiga lantai, lantai satu
digunakan untuk pertokoan, selebihnya digunakan untuk tempat tinggal.
PPN (Pajak Masukan) yang dapat dikreditkan adalah sebanding dengan
luas ruangan (bangunan) yang digunakan untuk tempat usaha yaitu
sepertiga dari jumlah PPN (Pajak Masukan) yang dibayar atas ruangan
(bangunan) yang disewa tersebut.

PERPAJAKAN USAHA KOPERASI


Pendahuluan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
ditegaskan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Koperasi termasuk sebagai Wajib Pajak badan

yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu.
Secara umum kewajiban perpajakan koperasi adalah :
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan/atau PKP
2. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Badan
3. Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan
4. Melakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
1. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
2. Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir
permohonan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP:
a. Akte Pendirian dan perubahan atau surat penunjukan dari kantor pusat
bagi bentuk usaha tetap;
b. NPWP pimpinan/penanggung jawab badan (koperasi);
c. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang
asing sebagai penanggung jawab;
Pelaporan Usaha untuk Pengukuhan PKP
Koperasi yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai
peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil (4,8
milyar), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat
akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP maka Koperasi terikat
pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai.

Menghitung, Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Koperasi


Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
Menghitung Penghasilan Kena Pajak setahun
Penghasilan Bruto
Biaya-biaya Operasional
Penghasilan Neto
Koreksi Fiskal (positif/negatif)
Penghasilan Kena Pajak

Rp AAAA
Rp. BBBB
Rp. CCCC
Rp. DDDD
Rp. XXXX

Menghitung Pajak Terhutang


1. Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU
Pajak Penghasilan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
untuk Peredaran Bruto >Rp 50 milyar

Tarif Pajak
25%

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak Rp. 51.000.000.000,00, maka perhitungan pajak
terutangnya: (Peredaran bruto diketahui Rp 85 milyar).
25% X Rp. 51.000.000.000,00 = Rp. 12.750.000.000,00

2. Koperasi yang peredaran bruto setahun antara Rp 4,8 milyar sampai dengan Rp
50 milyar setahun.

Contoh : Peredaran bruto sebesar Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan


Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00
Cara penghitungannya :
a. Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =
Rp480.000.000,00
b. Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas: Rp3.000.000.000,00-Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 25%) x Rp480.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
25% x Rp2.520.000.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang

= Rp630.000.000,00 (+)
Rp690.000.000,00

3. Koperasi dengan peredaran bruto di bawah Rp 4,8 milyar setahun, maka


PPh terutang=12,5%xpenghasilan kena pajak.
Contoh:
Peredaran bruto setahun Rp 3 milyar, dengan penghasilan kena pajak Rp
500.000.000. maka PPh terutang=12,5%xRp 500.000.000=Rp 62.500.000.
Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan
1. PPh Final/ Pasal 4 ayat (2)
a. 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan
bersifat final.
b. 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dan bersifat final.
c. 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
d. 25% dari jumlah bruto hadiah undian (nilai uang atau nilai pasar apabila
hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura).

e. 2% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa


pelaksanaan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha kecil, dan bersifat
final.
f. 3% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
pelaksanaan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha menengah dan
besar, dan bersifat final.
g. 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
pelaksanaan konstruksi bagi yang tidak bersertifikasi usaha konstruksi,
dan bersifat final.
h. 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
perencanaan dan pengawasan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha
konstruksi, dan bersifat final.
i. 6% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi bagi yang tidak
bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat final.

2. PPh Pasal 21 atas Penghasilan Karyawan


PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
oleh orang pribadi dari pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukannya
Cara Perhitungan:
Penghasilan Bruto
Rp. AAAA
Dikurangi:
a. Biaya Jabatan
Rp. BBBB
(5% X Pengh.Bruto max: Rp6.000.000 pertahun)
b. Iuran lain yang terkait penghasilan tetap
Penghasilan Neto
Dikurangi PTKP *)
Penghasilan Kena Pajak

Rp. CCCC
Rp. DDDD
Rp. EEEE
Rp. FFFF

Kemudian Penghasilan Kena Pajak tersebut dikalikan Tarif Pasal 17 sbb:


Penghasilan Kena Pajak
s.d. Rp 50.000.000
diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000
diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000
diatas Rp 500.000.000

Tarif
5%
15%
25%
30%

*) PTKP adalah penghasilan tidak kena pajak yang diberikan kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi dengan ketentuan sebagai berikut:
Keterangan
WP tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 3 orang
WP kawin dan tidak memiliki tanggungan
WP Kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
WP Kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
WP Kawin dan memiliki tanggungan 3 orang

Status PTKP
TK/0 Rp.36.000.000
TK/1 Rp.39.000.000
TK/2 Rp.42.000.000
TK/3 Rp.45.000.000
K/0
Rp.39.000.000
K/1
Rp.42.000.000
K/2
Rp.45.000.000
K/3
Rp.48.000.000

3. Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 23


a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :

dividen;

bunga;

royalti;

hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak


Penghasilan Pasal 21;

b. sebesar 2% (dua persen) dari penghasilan bruto tanpa PPN atas


penghasilan dari jasa dan penghasilan sewa selain tanah dan bangunan.
Kewajiban perpajakan di bidang PPN
Jika Koperasi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena
Pajak dan peredaran bruto setahun telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 , maka koperasi
memiliki kewajiban melakukan pemungutan PPN sebesar 10%, serta menyetorkan dan
melaporkan PPN yang terhutang setiap bulan.
Pada prinsipnya seluruh Barang dan Jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena
Pajak kecuali atas barang-barang dan jasa-jasa yang dikecualikan sebagai berikut:

1. Kelompok Barang yang Tidak dikenai PPN:


a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, yaitu : minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas
bumi, pasir dan kerikil, batubara sebelum diproses menjadi briket
batubara dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih
nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak, yaitu : beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang
beryodium maupun yang tidak beryodium;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat ataupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh jasa boga atau catering;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
2. Kelompok Jasa yang Tidak dikenai PPN
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;


i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
Mekanisme perhitungan PPN:
Pajak keluaran;
Rp.XXXX
(10% kali nilai DPP atas penjualan)
Pajak Masukan;
Rp.YYYY (-)
(10% kali nilai DPP atas pembelian)
PPN yang kurang (lebih) bayar;
Rp.ZZZZ
Perhitungan tersebut dilaporkan dalam SPT Masa PPN setiap bulan dengan
menggunakan formulir 1111 atau menggunakan e-SPT DJP yaitu program SPT
Masa PPN yang dibagikan secara gratis oleh DJP.
Perlakuan Khusus Perpajakan untuk Koperasi
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
dipotong pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga berupa
bunga simpanan lebih dari Rp240.000,00 per bulan dan bersifat final.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Rp240.000,00 sebulan
yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya dipotong Pajak Penghasilan Final
sebesar 0% (PP No. 15 Tahun 2009).

Untuk SHU (sisa hasil usaha) koperasi perlakuannya sama dengan dividen,
yaitu:
Untuk SHU kepada orang pribadi akan dipotong PPh 4(2) dengan tarif 10%
Untuk SHU kepada badan dengan kepenyertaan <25% akan dipotong
PPh 23 dengan tarif 15%
Untuk SHU kepada badan dengan kepenyertaan >=25% maka tidak dipotong
pajak

PERPAJAKAN USAHA PERHOTELAN


Terminologi Hotel
Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2009 mengenai Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah, pajak hotel merupakan salah satu jenis pajak
Kabupaten/Kota yang diatur dengan Peraturan Daerah. Dalam hal
Ini, menurut Peraturan Daerah:
Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk
Dapat menginap/beristirahat, memperoleh bayaran, dan/atau fasilitas
Lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya
Yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama,
Kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.

Pengusaha hotel adalah orang atau badan hukum yang menyelengGarakan usaha hotel untuk dan atas namanya sendiri atau
Untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya.
Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya
Diterima atas pelayanan sebagai pembayaran yang dilakukan
Oleh pengunjung kepada hotel.
Pajak hotel adalah pajak yang dipungut atas pelayanan yang
Disediakan dengan pembayaran kepada hotel.

Hal yang sering dirancukan mengenai jenis pajak yang dikenakan


Atas jasa perhotelan ini adalah adanya konsep sewa dalam definisi hotel.
Apabila dilihat dari definisi hotel di atas, maka dapat diartikan secara
Lebih sederhana yaitu bahwa hotel merupakan fasilitas yang dapat
Dinikmati oleh umum dengan memberikan pembayaran ataupun sewa.
Hal ini seringkali menimbulkan pemikiran bahwa jasa perhotelan
Merupakan objek PPh pasal 4 ayat 2 final. Namun kerancuan ini dapat
Dijernihkan dengan UU No. 42 tahun 2009 pasal 4A yang menyebutkan
Bahwa jenis jasa di bidang perhotelan adalah meliputi:
a. Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel,
Rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas
Yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu
Yang menginap;dan
b. Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau
Pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen
Dan hostel.

Berdasarkan pengertian di atas, penyewaan ruangan untuk kegiatan acara


Atau pertemuan di hotel merupakan jasa di bidang perhotelan yang
Berarti bukanlah menjadi objek PPh pasal 4 ayat 2 final melainkan
Merupakan objek pajak hotel. Namun akan berbeda penerapannya apabila
Penyewaan ruangan bukan untuk kegiatan acara atau pertemuan, misalnya
Menyewakan ruangan kepada Bank untuk digunakan sebagai kantor oleh
Bank bersangkutan atau kepada jasa penyedia layanan penerbangan/tiket
Dimana kegiatan tersebut bisa dikategorikan sebagai objek PPN dan
PPh pasal 4 ayat 2.
Pelayanan yang menjadi objek Pajak Hotel
a. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek,

Antara lain; gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma


Pariwisata, pesanggrahan (hostel), losmen dan rumah
Penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar
10 atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah
Penginapan;serta apartemen, termasuk yang tidak berlokasi
Di lingkungan hotel yang digunakan kurang dari 1 bulan.
b. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas
Penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya
Memberikan kemudahan dan kenyamanan. Antara lain
Telepon, faks, telex, fotokopi, pelayanan cuci,setrika,
Taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau
Dikelola hotel.
c. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus
Untuk tamu hotel, bukan untuk umum antara lain
Pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tennis,
Golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau
Dikelola hotel.
d. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau
Pertemuan di hotel.

Pelayanan yang tidak termasuk objek pajak hotel


a. Penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan atau fasilitas
Tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel;
Dalam hal ini apartemen yagn tidak termasuk objek pajak
Adalah apartemen yang digunakan lebih dari 1 bulan dan
Tidak berlokasi di lingkungan hotel.
b. Pelayanan tinggal di asrama, dan pondok pesantren.
c. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan di hotel
Yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran.
d. Pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yang dipergunakan
Oleh umum di hotel.
e. Pelayanan perjalanan pariwisata yang diselenggarakan oleh

Hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum.


Subjek pajak hotel
Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
Pembayaran di hotel. Wajib pajak hotel adalah pengusaha hotel yang
Dalam hal ini menerima sejumlah pembayaran. Sehingga dapat
Disimpulkan yang dimaksud wajib pajak untuk pajak hotel adalah
Orang atau badan yang membayar atas pelayanan hotel dan pengusaha
Hotel. Dimana pembayar hotel merupakan wajib pajak tidak langsung
,sedangkan bagi pengusaha hotel merupakan wajib pajak langsung
Karena wajib pungut. Pengusaha hotel ini berkewajiban menyetorkan
Pajak hotel ini ke kas daerah.
Dasar pengenaan pajak adalah nilai berupa uang yang dijadikan dasar untuk
Menghitung pajak yang terutang. Dasar pengenaan pajak dalam pajak
Hotel ini adalah jumlah pembayaran yang dilakukan penyewa ataupun
Pengguna kepada hotel. Berdasarkan pasal 35 UU No. 28 tahun 2009
Mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, disebutkan bahwa tarif
Pajak hotel ditetapkan paling tinggi adalah sebesar 10% dan
Selanjutnya tarif tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pokok pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
(10%) terhadap dasar pengenaan pajaknya.
Dalam tata cara pemungutan pajak, pengusaha hotel harus menambahkan
Pajak hotel atas pembayaran pelayanan di hotel dengan mengenakan
Tarif pajak. Apabila dalam pembayaran pelayanan di hotel, pengusaha
Tidak menambahkan pajak atas pembayaran pelayanan maka dalam
Jumlah pembayaran dianggap telah termasuk pajak hotel.

Masa pajak
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran ke hotel sedangkan
Yang dimaksudkan dengan masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 bulan
Kalender. Dalam hal ini, setiap wajib pajak wajib memiliki pembukuan dan
Wajib pajak wajib menerima, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah (SPTPD) kepada Kepala Daerah selambat-lambatnya 15 hari
Setelah berakhirnya masa pajak; apabila SPTPD tidak disampaikan dalam jangka
Waktu yang telah dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi
Berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
Dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya;
Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
Secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar

25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
Sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
Paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya.
Jatuh tempo dan tata cara pembayaran
Dalam pelaksanaannya, saat jatuh tempo pembayaran pajak ditetapkan oleh
Kepala Daerah. Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain
Yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sesuai waktu yang ditentukan dalam SKPD
(Surat Ketetapan Pajak Daerah), SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar), SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan),
Dan STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah); pembayaran pajak dilakukan dengan
Menggunakan SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) dimana bentuk, jenis, isi
Dan ukuran SSPD ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas namun dalam kasus tertentu,
Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur pajak terutang
Dalam jangka waktu tertentu, setelah wajib pajak memenuhi persyaratan yang
Ditentukan; angsuran pembayaran pajak harus dilakukan secara teratur dan
Berurutan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan dikenakan bunga sebesar 2%
Sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar; Kepala Daerah
Dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk menunda pembayaran
Pajak sampai batas waktu yang ditentukan setelah memenuhi persyaratan yang
Ditentukan dengan dikenakan bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang belum
Atau kurang dibayar; persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda pembayaran
Pajak serta tata cara pembayaran angsuran ditetapkan oleh Kepala Daerah.
PPN usaha perhotelan
Untuk jasa perhotelan tidak dikenakan PPN karena termasuk jasa yang dikecualikan
Dari pengenaan PPN.

1.
PERPAJAKAN YAYASAN PENDIDIKAN

Di Indonesia juga banyak ditemukan yayasan dan organisasi nirlaba yang


bersifat sosial. Apakah mereka juga harus membayar pajak, padahal tidak
bersifat profit? Kita simak penjelasan berikut ini.

Memahami definisi Yayasan dibentuk berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2001


tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004. Menurut undang-undang, Yayasan adalah badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota.
Hal-hal prinsip yang perlu dipahami tentang Yayasan adalah sebagai
berikut.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas pembina, pengurus, dan

pengawas.
Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian

maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut
serta dalam suatu badan usaha, dengan syarat sebagai berikut.
1.
Sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.
2.
Bentuk usaha tempat investasi bersifat perspektif dengan ketentuan
seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari
seluruh nilai kekayaan Yayasan.
3.
Anggota pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan dilarang
merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota dewan
komisaris atau pengawas dari badan usaha.

Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada


pembina, pengurus, dan pengawas.

Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain

yang diperoleh Yayasan berdasarkan undang-undang, dilarang dialihkan atau


dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah,
maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada
pembina, pengurus dan pengawas, kecuali:
1.
Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina,
dan pengawas.
2.
Melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.

1.
2.
3.
4.
5.

Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan


dalam bentuk uang atau barang. Selain itu kekayaan yayasan dapat diperoleh
dari hal-hal berikut ini.
Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat.
Wakaf.
Hibah.
Hibah wasiat.
Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar
Yayasan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aspek dan Teknis Perpajakan


Menurut UU PPh, Yayasan adalah subjek pajak. Yayasan menjadi wajib pajak
jika menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak.
Namun, meskipun tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang
merupakan objek pajak, Yayasan tetap menjadi wajib pajak jika memenuhi
kriteria sebagai pemotong pajak. Sebagai contoh, Yayasan bertindak sebagai
pemotong PPh pasal 21 atas penghasilan berupa gaji, honorarium, upah,
tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan/peserta kegiatan/pihak lain.

Secara umum pelaksanaan hak dan kewajiban Yayasan sama dengan bentuk
usaha lain, kecuali hal-hal khusus yang diatur tersendiri. Hal umum yang perlu
diperhatikan yayasan dan organisasi nirlaba adalah sebagai berikut.
Mendaftar sebagai wajib pajak dan memberikan penjelasan tentang

tujuan, kegiatan utama, karakteristik yayasan. Hal ini untuk memastikan jenis
pajak yang menjadi kewajiban kita.
Melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Ketentuan ini dijalankan apabila usaha pokoknya melakukan penyerahan


barang kena pajak dan atau jasa kena pajak sesuai UU PPN.
Untuk yayasan di bidang pendidikan termasuk yang dikecualikan dari
pengenaan PPN.
Menyelenggarakan pembukuan sesuai kaidah pembukuan yang berlaku.

Dalam menghitung penghasilan netto diperkenankan mengurangkan biayabiaya yang berhubungan langsung dengan usaha (perhatikan pasal 6 ayat 1
dan pasal 9 ayat 1 UU PPh). Penyusutan/amortisasi juga bisa menjadi faktor
pengurang (perhatikan pasal 11 dan 11A UU PPh).
Yayasan atau organisasi nirlaba tidak serta merta dapat menikmati

berbagai fasilitas pengecualian oleh undang-undang perpajakan jika tidak


memenuhi kriteria. Sebagai contoh, sebuah Yayasan yang tidak
mengindahkan undang-undang tentang Yayasan tentu saja berdampak bahwa
Yayasan menjadi sekadar nama bukan sebagai bentuk usaha dan
diperlakukan sebagaimana perusahaan pada umumnya.
PBB tidak dikenakan terhadap objek pajak yang digunakan untuk
melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan,
dan kebudayaan nasional, serta yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.

1.

Hal-hal Khusus yang Perlu Diperhatikan oleh Yayasan


Bidang pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan.
Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan
kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari
instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama empat (4)

tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek pajak
penghasilan.
2.
Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana
biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.
3.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud angka 2 disampaikan
bersamaan dengan penyampaian SPT tahunan tahun pajak diperolehnya sisa
lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan atau penelitian dan pengembangan
dimulai, dalam jangka waktu empat (4) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut.
4.
Apabila nyata-nyata nirlaba, atas harta hibah, bantuan, atau sumbangan
yang diterima bukan merupakan objek PPh, sepanjang tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.

Badan sosial termasuk Yayasan dan Koperasi yang kegiatannya

semata-mata menyelenggarakan kegiatan berikut ini.


1.
Pemeliharaan kesehatan.
2.
Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo).
3.
Pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, dan anak
atau orang cacat.

4.

Santunan dan atau pertolongan kepada korban bencana alam,


kecelakaan, dan sejenisnya.
5.
Pemberian beasiswa.
6.
Pelestarian lingkungan hidup.
7.
Kegiatan sosial lainnya, yang tidak mencari keuntungan.
Atas harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima bukan merupakan
objek PPh, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai