Anda di halaman 1dari 2

Bayar Pajak

Gratis Biaya Setor Bonus keuntungan


kartu kredit juga, loh!
di OnlinePajak
Kode Promo: OPGRATIS
Pakai Kartu Kredit
Berlaku hingga 31 Desember 2023 *Syarat & ketentuan berlaku

RESOURCES / BLOG / SEPUTAR PPH FINAL

PPh Badan: Kupas


Tuntas Cara
Hitung Pajak
Penghasilan
Badan
Setiap badan usaha yang berdiri di
Indonesia merupakan subjek pajak
dan harus melaporkan pajak
penghasilannya pada awal tahun
masa pajak periode berikutnya. Ini
merupakan suatu kewajiban yang
sudah diatur sejak zaman reformasi.
Tarif pajak penghasilan badan
beserta penghitungannya diatur
sedemikian rupa melalui undang-
undang yang berlaku. Pada saat itu,
penghitungan tarif PPh badan diatur
dalam Undang-Undang PPh
sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang
Harrmonisasi Peraturan Perpajakan
(UU HPP).

By OnlinePajak
Published on February 17, 2023

PPh Badan

Bagaimana cara menghitung PPh Badan?

Pertanyaan ini tentu saja muncul setelah

pemerintah Indonenesia menerapkan

sistem Self assessment system paska

reformasi pajak tahun 1983.

Sistem pemungutan pajak ini memberi

wewenang, kepercayaan, dan tanggung

jawab kepada Wajib Pajak (WP) untuk

menghitung, membayar, dan melaporkan

sendiri kewajiban perpajakannya.

Kunci keberhasilan sistem ini bertumpu

pada tingkat kepatuhan WP untuk

memenuhi kewajiban pajak dan

membayarkan kekurangan pajaknya

secara sukarela.

Sukarela di sini bukan berarti WP

membayarkan secara cuma-Cuma ya,

tetapi bersedia untuk membayarkan

pajak terutang sesuai ketentuan yang

berlaku tanpa mengharapkan imbalan

langsung.

Kemudian yang menjadi pertanyaan

tentu saja bagaimana cara menghitung

nominal pajak terutang yang benar

sesuai ketentuan hukum perpajakan?

Artikel ini akan mengupas secara tuntas

cara menghitung Pajak Penghasilan

(PPh), utamanya penghasilan WP Badan.

Namun, sebelum mulai membahas trik

menghitung, ada baiknya wajib pajak

memahami PPh Badan secara lebih

mendalam. Bagi yang tertarik

mempelajari, berikut ini ulasan

selengkapnya.

Badan Sebagai Wajib Pajak

Setiap badan yang didirikan atau

bertempat kedudukan di Indonesia

sudah pasti merupakan Subjek Pajak

Dalam Negeri. Sementara, penghasilan

atas usaha yang didapatkan oleh badan

disebut sebagai objek pajak. Dengan

demikian, status Badan tersebut menjadi

wajib pajak yang berkewajiban

menghitung, menyetor, dan melaporkan

pajak atas penghasilannya sesuai

ketentuan perpajakan.

Tarif PPh Badan

Tahukah Anda konsep pemajakan

penghasilan di Indonesia menganut

prinsip worldwide income? Sekadar

informasi saja, konsep ini berarti setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang

diterima atau diperoleh WP, baik yang

berasal dari dalam maupun dari luar

Indonesia, akan diperhitungkan secara

keseluruhan sebagai Dasar Pengenaan

Pajak (DPP).

Sementara, penghasilan luar negeri yang

sudah dipajaki oleh negara sumber akan

dikreditkan dari pajak terutang sesuai

ketentuan perpajakan. PPh Badan

dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak

yang diperoleh WP Badan selama tahun

pajak berjalan tanpa pengecualian, baik

itu WP Badan skala mikro, kecil,

menengah, maupun besar.

Pemerintah memang telah mengatur

pembedaan tarif PPh berdasarkan skala

bisnis suatu badan, seperti WP Badan

UMKM (peredaran bruto di bawah Rp 4,8

M dan belum wajib melakukan

pembukuan) diberikan kesempatan untuk

memanfaatkan tarif PPh Final sebesar

0,5%.

Akan tetapi, pemanfaatan PPh Final

tersebut berlaku secara opsional

sehingga WP Badan UMKM sekalipun

bebas memilih untuk menghitung PPh

Badannya mengggunakan tarif PPh

normal seperti diatur dalam pasal 17 UU

Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan, yaitu sebesar 25% x

Penghasilan Kena Pajak (Taxable

Income). Namun, tarif ini berubah


menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021,

dan menjadi 20% pada tahun 2022. Tarif

baru ini berdasarkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020.

Apa itu penghasilan kena pajak? Istilah

ini mengacu pada hasil keuntungan

bersih yang diperoleh dari total

pendapatan dikurangi beban operasional

(pendapatan-biaya operasional).

Penghitungan ini pun harus dibuktikan

melalui penyelenggaraan pembukuan

atau minimal pencatatan yang dapat

dibuktikan kebenarannya.

Baca Juga: Implementasi Penurunan

Tarif PPh Badan Tahun 2022

Ilustrasi Menghitung PPh Badan

Agar Anda lebih mudah memahaminya,

berikut ini ilustrasi cara menghitung PPh

Badan. Penjelasan ilustrasi ini atau detail

penghitungan PPh Badan dibahas lebih

lengkap pada bagian selanjutnya.

Kunci Menghitung PPh Badan:

Commercial vs Fiscal

Dasar hukum untuk menghitung

Penghasilan Neto Fiskal berbeda dengan

“Penghasilan Neto Komersial”. Untuk

menghitung Penghasilan Neto Fiskal, WP

berpedoman pada ketentuan hukum

perpajakan (UU PPh). Sementara

penghasilan komersial berpedoman pada

Standard Akuntansi Keuangan (SAK).

Perbedaan ketentuan komersial dan

fiskal berakibat pada timbulnya selisih

yang dinamakan koreksi fiskal. Lantas,

apa pengaruh koreksi fiskal terhadap

perhitungan pajak? Jika koreksi positif

dapat menambah beban pajak terutang,

koreksi negatif sifatnya mengurangi

beban pajak terutang.

Nah, berikut ini adalah dampak dari

“selisih” yang disebabkan oleh perbedaan

ketentuan fiskal dan SAK:

Timing Di!erence atau Temporary


Di!erence timbul atas perbedaan
waktu pengakuan pendapatan dan

biaya antara pedoman akuntansi dan

fiskal sehingga pada akhirnya

menimbulkan apa yang disebut

dengan Pajak Tangguhan (Deferred

Tax) yang dapat berupa aktiva atau


kewajiban pajak tangguhan.

Permanent Di!erence terjadi akibat


perbedaan pengakuan penghasilan

dan biaya antara pedoman akuntansi

dan fiskal yang sifatnya permanen.

Selisih ini bersifat tetap sehingga

tidak memiliki konsekuensi apapun

terhadap pajak di masa mendatang.

Perlu diingat bahwa kunci utama

menghitung PKP adalah mengelompokan

terlebih dahulu pos-pos penghasilan yang

termasuk kategori objek pajak

(Penghasilan Bruto Fiskal) sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh.

Sedangkan, ada beberapa penghasilan

yang tidak dapat diperhitungkan saat

menghitung PKP, yaitu:

1. Jenis Penghasilan Final sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh

yang pemotongannya telah dilakukan

secara final oleh pihak ketiga

sehingga tidak dapat diperhitungkan

kembali.

2. Jenis Penghasilan Bukan Objek Pajak

yang memang sifatnyanya bukan

merupakan objek kena pajak

sehingga harus dipisahkan. Hal ini

diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU PPh.

Kedua pos penghasilan tersebut harus

dikeluarkan dalam bentuk koreksi fiskal

negatif sehingga didapatkan nilai

Penghasilan Bruto Fiskal. Sebaliknya

apabila terdapat objek pajak penghasilan

yang belum diakui dalam penghasilan

komersial, maka harus disesuaikan

dengan koreksi fiskal positif.

Tahap selanjutnya adalah memisahkan

antara biaya-biaya yang boleh

dikurangkan (deductible expense)

dengan biaya-biaya yang tidak boleh

dikurangkan (non-deductible expense).

Biaya yang dapat dikurangkan

(deductible expense) sebagaimana diatur

dalam ketentuan fiskal adalah biaya

yang terkait dengan upaya untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan (3M). Biaya-biaya ini diatur

dalam UU PPh Pasal 6, di antaranya:

1. Biaya yang secara langsung atau

tidak langsung berkaitan dengan

kegiatan usaha, contohnya biaya

pembelian lahan, biaya promosi dan

penjualan yang diatur berdasarkan

PMK No. 02/PMK/03/2010

2. Biaya penyusutan atas pengeluaran

untuk memperoleh harta berwujud

3. Iuran kepada dana pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh

Menteri Keuangan

4. Kerugian karena penjualan atau

pengalihan harta perusahaan untuk

3M

5. Kerugian selisih kurs mata uang asing

6. Biaya penelitian yang dilakukan di

Indonesia

7. Biaya beasiswa, magang, dan

pelatihan

8. Piutang yang nyata-nyata tidak

dapat ditagih

9. Sumbangan penanggulangan

bencana nasional

10. Sumbangan penelitian yang

dilakukan di Indonesia

11. Sumbangan biaya pembangunan

infrastruktur sosial

12. Sumbangan fasilitas pendidikan

13. Sumbangan dalam rangka

pembinaan olahraga

Baca Juga: Apa Saja Deductible

Expense dalam SPT Tahunan PPh

Badan? Cari Tahu di Sini!

Sementara di dalam perusahaan,

terdapat biaya-biaya yang tidak boleh

dikurangkan (non-deductible expense).

Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU PPh, di

antaranya:

1. Pembagian laba dengan nama dan

dalam bentuk apa pun, termasuk

dividen yang dibayarkan oleh

perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa

hasil usaha koperasi

2. Biaya yang dikeluarkan untuk

kepentingan pribadi pemegang

saham, sekutu, atau anggota

3. Pembentukan atau pemupukan dana

cadangan

4. Premi asuransi kesehatan, asuransi

kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa,

yang dibayar oleh wajib pajak orang

pribadi

5. Penggantian atau imbalan

sehubungan dengan pekerjaan atau

jasa yang diberikan dalam bentuk

natura atau kenikmatan

6. Jumlah yang melebihi kewajaran

yang dibayarkan kepada pemegang

saham atau kepada pihak yang

mempunyai hubungan istimewa

7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau

sumbangan, dan warisan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh

8. Pajak penghasilan

9. Biaya yang dibebankan atau

dikeluarkan untuk kepentingan

pribadi wajib pajak orang pribadi

atau orang yang menjadi

tanggungannya

10. Gaji yang dibayarkan kepada

anggota persekutuan, firma, atau

perseroan komanditer yang modalnya

tidak terbagi atas saham

11. Sanksi administrasi berupa bunga,

denda, kenaikan serta sanksi pidana

berupa denda yang berkenaan

dengan pelaksanaan perundang-

undangan di bidang perpajakan

12. Pengeluaran untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara

penghasilan yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

tidak dibolehkan untuk dibebankan

sekaligus, melainkan dibebankan

melalui penyusutan atau amortisasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11 atau Pasal 11A UU PPh

Biaya yang termasuk ke dalam

deductible expense tidak dapat


digunakan sebagai pengurang untuk

menghitung penghasilan kena pajak.

Karena itu, ada baiknya untuk

memisahkan terlebih dahulu antara

deductible expense dan non-deductible


expense dalam menghitung PPh Badan.

Biaya-biaya yang termasuk ke dalam

non-deductible expense ini akan


menimbulkan koreksi fiskal positif, dan

biaya-biaya yang termasuk ke dalam

deductible expense akan menimbulkan


koreksi fiskal negatif.

Langkah selanjutnya adalah menghitung

selisih antara penghasilan bruto fiskal

dan biaya fiskal untuk mendapatkan

angka penghasilan neto fiskal. Seperti

yang telah disebutkan pada poin

deductible expenses, pemerintah


memperbolehkan WP untuk

memperhitungkan kompensasi kerugian

sehingga didapatkan angka Penghasilan

Kena Pajak sebagai Dasar Pengenaan

Pajak (DPP) untuk mengitung PPh Badan

terutang.

Dalam hal ini, rugi yang akan

dikompensasikan wajib dihitung

berdasarkan aturan perpajakan dan

bukan merupakan rugi komersial.

Kemudian, hasil dari pengurangan

penghasilan neto fiskal dan kompensasi

kerugian fiskal tersebut adalah besaran

penghasilan kena pajak yang dimaksud.

Jika penghasilan bruto setelah

pengurangan biaya-biaya tersebut

didapat kerugian sehingga tidak

terdapat penghasilan kena pajak,


kerugian tersebut dikompensasikan

dengan penghasilan mulai tahun pajak

berikutnya berturut-turut sampai dengan

5 (lima) tahun berikutnya.

Jika sudah mendapatkan besaran PKP,

kalikan dengan tarif PPh Badan yang

berlaku untuk mendapatkan besar PPh

yang terutang. Selanjutnya, kreditkan

pajak-pajak lain, seperti:

PPh lain yang sudah dibayarkan

melalui mekanisme pemotongan

(Withholding Tax) oleh pihak ketiga

(PPh 23 dan PPh 22).

PPh Badan yang telah dicicil dan

dibayarkan sendiri (PPh 29 Badan).

PPh yang telah dibayarkan di luar

Indonesia (PPh 24 KPLN).

Setelahnya, akan didapatkan

perhitungan akhir PPh Badan baik kurang

bayar atau lebih bayar. Namun, tahukan

Anda bahwa kini menghitung pajak

sudah lebih mudah dan cepat? Aplikasi

OnlinePajak adalah jawabannya.

OnlinePajak merupakan aplikasi berbasis

web yang memiliki fitur hitung otomatis

pajak Anda, serta setor dan lapor.

Sebagai mitra resmi DJP, OnlinePajak

menghadirkan berbagai jenis layanan

dan fitur yang mempermudah PKP dalam

mengelola transaksi bisnis dan

menjalankan kepatuhan perpajakan

sehingga dapat mengoptimasi proses

bisnis.

Referensi

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2020

Undang-Undang PPh

PPh
Share

Related articles

PPh PPN
Kalender Pajak: Tanggal Setor-
Lapor PPN & PPh Tahun 2023
Rani Maulida • Nov 27, 2023

PPh PPN
Jatuh Tempo Pembayaran PPN &
PPh
OnlinePajak • Nov 27, 2023

PPh
Begini Cara Hitung Pajak Freelance
OnlinePajak • Nov 21, 2023

View all blog articles

Produk Solusi
Harga Otomatisasi Invoice &
Kepatuhan
Transaksi
Pengumpulan Kredit
Pembayaran Pajak
Kesiapan Audit &
Pembayaran Invoice
Rekonsiliasi
SPT
Optimalisasi Modal Kerja
Integrasi & Otomasi

Sumber Perusahaan
Hubungi sales Tentang

Blog Karir

e-Books Trust center

Events

Newsroom

Regulasi

Beta Program

Pusat bantuan

Dokumentasi API

Connect with us

© 2023 PT Achilles Advanced Systems

Syarat & ketentuan Kebijakan privasi Kebijakan cookie

OnlinePajak pakai cookie untuk pengalaman


Setuju
optimal. Lihat kebijakan di sini.

Anda mungkin juga menyukai