Anda di halaman 1dari 49

BAB 16

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN


Akuntansi Perpajakan
Setyo Mahanani, Se., MSi
Tujuan Pembelajaran
 Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan akuntansi komersial
atas penghasilan
 Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan akuntansi atas pajak
penghasilan sesuai ketentuan standar akuntansi keuangan dan akuntansi pajak
sesuai perundang-undangan perpajakan
 Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan akuntansi atas
konsekuensi pajak yang meliputi PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh
pasal 24, PPh pasal 25, PPh pasal 26, dan jenis Pajak Penghasilan lainnya sebagai
kewajiban pemotongan dan pemungutan.
Pendahuluan
 Sistem pemajakan di Indonesia menganut sistem self assessment yang memberikan kepercayaan
sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitugkan, menyetor, dan melapor
sendiri pajak yang terutang. Sebagai subpokok bahasan meliputi:
a) Penghitungan Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan
b) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21
c) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 22
d) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 23
e) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 24
f) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 25
g) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 26
h) Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 4 (2)
Penghasilan Sebagai Objek Pajak Penghasilan
 Sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1 uu Pajak Penghasilan, penghasilan merupakan
setiap tambahan kemamopuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak atas
seluruh penghasilannya. Dengan memperhatikan tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapaT dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
2. Penghasilan dari pekerjaan
3. Penghasilan dari modal
4. Penghasilan lain-lain
Penghasilan Tertentu
 Penghasilan tertentu sebagai penghasilan yang perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud, antara lain:
1. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat
2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
3. Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun DJP
4. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya
5. Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter
 Dalam pasal 4 ayat 2 UU Pajak Penghasilan bahwa penghasilan-penghasilan berikut dapat dikenai pajak yang sifat
pengenaan final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito
2. Penghasilan berupa hadiah undian
3. Penghasilan dari transaksi saham sekuritas lainnya
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan bangunan
5. Penghasilan tertentu lainnya
Bukan Objek Pajak Penghasilan
 Sesuai pasal 4 ayat 3 UU Pajak Penghasilan mengelompokkan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
adalah sbb:
1. a)Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima
4. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan yang diperolehdalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
6. Dividen atau bagian laba yang diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri
7. Iuran yang diperoleh dari dana pension
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension
9. Bagian laba yang diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
10. Penghasilan yang diperoleh perusahaan modal ventura
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan
12. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Penghasilan Tidak Kena Pajak
 Untuk menghitung penghasilan kena pajak orang pribadi dalam negeri, maka penghasilan
netonya dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai
Peraturan Menteri Keuangan No.101/PMK.010/2016 yang berlaku sejak 1 Januari 2016 adalah
sbb:
1. Rp 54.000.000,00 tambahan untuk wajib pajak orang pribadi
2. Rp 54.000.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp 54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1
4. Rp 54.000.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedrah dan keluarga dalam garis
keturunan
Tarif Pajak
 Besarnya Tarif Pajak Penghasilan
Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 1 UU Pajak Penghasilan, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan luar negeri yang menjalankan
usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap
1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Rp 50.000.000,00 5%
> Rp 50.000.000,00 – Rp 250.000.000,00 15%

> Rp 250.000.000,00 - Rp 500.000.000,00 25%


> Rp 500.000.000,00 30%

2. Untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT


Tarif pajak untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT sebesar 28%. Tarif PPh tersebut menjadi 25% mulai
berlaku sejak tahun pajak 2010.
3. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang tidak memiliki NPWP
Aturan Khusus Penerapan Tarif Wajib Pajak Badan
 Sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 1 huruf b terdapat unsur kekhususan
yang diatur dalam pasal 17 ayat 2b yang menyatakan Wajib Pajak Badan dalam
negeri berbentuk perseroan terbuka yang sahamnya paling sedikit 40% dari
jumlah keseluruhan saham yang disetor tersebut diperdagangkan di BEI dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih
rendah daripada tarif sebagaiman dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf b dan
pasal 17 ayat 2a UU Pajak Penghasilan yang selanjutnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
 Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang adalah Penghasilan Kena
Pajak (PhKP). Berlandaskan pada laporan keuangan perusahaan (laporan laba rugi) setelah
dilakukan koreksi fiskal positif atau negatif dapat diperoleh penghasilan neto setelah koreksi.
Khusus untuk wajib pajak orang pribadi, dalam mendapatkan Penghasilan Kena Pajak harus
terlebih dahulu penghasilan neto setelah koreksi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).

Pajak Terutang = Tarif x Penghasilan Kena Pajak

Tarif yang digunakan:


• Tarif umum
• Tarif khusus
• Tarif sesuai UU
Penghitungan Pajak Terutang
 Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu:
1. Penghitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pembukuan
2. Penghitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pencatatan
Penggabungan Penghasilan Orang Pribadi
 Dalam sistem pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia telah menempatkan keluarga sebagai
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya
dilakukan oleh kepala keluarga.
 Penggabungan penghasilan istri dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan
sebagai pegawai yang telah dipotong pajak (PPh pasal 21) oleh pemberi kerja, dengan
ketentuan:
1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja
2. Penghasilan istri berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Pemisahan Penghasilan Orang Pribadi
 Pemisahan penghasilan dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai
yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan:
1. Suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim
2. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
3. Dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri
Penghasilan Anak yang Belum Dewasa
 Pengertian anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 tahun
dan belum pernah menikah. Apabila anak yang belum dewasa, yang orang tuanya
telah berpisah, memperoleh penghasilan maka pengenaan pajaknya digabungkan
dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Pemajakan atas Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Aspek
Akuntansinya
 Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 bahwa pengusaha atau wajib pajak yang dikelompokkan
sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah maksimal mempunyai peredaran Rp
4.800.000.000,00 (Empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam setahun.
 Untuk wajib pajak yang ternyata peredaran setahun lebih dari Rp 4.800.000,00 pemajakannya
akan diperlakukan sesuai ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pada umumnya.
Tata Cara Pengenaan PPh bagi UMKM
 Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak UMKM, pengenaannya bersifat Final
yang ditetapkan dengan tarif 1% dari peredaran brutosetiap bulan. Dalam menghitung jumlah
peredaran bruto usaha, pengusaha UMKM harus menghitung seluruh peredaran bruto yang
diperoleh termasuk usaha cabang. Pengenaan PPh terhadap UMKM didasarkan pada peredaran
bruto dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan berjalan.
Ketentuan yang diatur dalam PP No.46 Tahun 2013 sbb:
1. Bila pengusaha baru terdaftar sebagai wajib pajak setelah berlakunya PP No.46 Tahun 2013
maka dihitung berdasar jumlah peredaran bruto yang disetahunkan. Dari hasil dimaksud belum
melebihi Rp 4.800.000.000,00 maka pemberlakuannya sejak Januari 2014.
2. Bila pengusaha yang telah terdaftar sejak awal tahun pajak 2013 dan tetap dengan peredaran
bruto yang disetahunkan dan ternyata peredaran brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00, maka
PPh Final UMKM mulai diberlakukan sejak Juli 2013.
Pajak Penghasilan Pasal 21
 Pajak Penghasilan pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan bentuk dan nama apa pun yang diterima Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tersebut yang dilakukan oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.
 Pada PPh pasal 21 menggunakan istilah “pemotongan”
 Ditinjau dari sistem pemotongan PPh pasal 21 menggunakan “Withholding system” yaitu pada saat
penghasilan dibayar sehingga pendekatan yang dilakukan adalah “Pay as You Earn” dan “Pay as You Go”
sedangkan cara penghitungan PPh sesuai petunjuk tata cara pemotongan PPh pasal 21 untuk pegawai tetap
sebagaimana untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap, penghasilan bruto dikurangi dengan:
1. Biaya jabatan
2. Iuran yang terikat pada gaji kepada dana pension dan iuran Tabunga Hari Tua
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) seuai pasal 17 UU Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan Pasal 22
 Pajak Penghasilan Pasal 22 dimaksudkan pajak yang dipungut seperti atas transaksi pembelian barang yang
dananya bersumber dari APBN/APBD dan transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau badan
tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan dibidang imporatau kegiatan
usaha dibidang lain. Sesuai pasal 22 UU Pajak Penghasilan yang dapat ditunjuk sebagai pemungut yaitu:
1. Bendahara pemerintah
2. Badan-badan tertentu
3. Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atau penjualan barang mewah
 Pemungutan PPh pasal 22 dilakukan atas:
1. Impor
2. Pembelian barang yang memungut pajaknya bendahara pemerintah dan KPA
3. Penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas
4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri
5. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
Saat Terutang Pajak Penghasilan Pasal 22
 Pemungutan Pajak Penghasilan Pasl 22 dilakukan oleh pihak-pihak yang dapat ditunjuk sebagai pemungut
pajak yang terutangnya pada saat pembayaran. Bila terdapat pengecualian ataupun ketentuan mengenai dasar
pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
meliputi:
1. Atas kegiatan impor barang
2. Atas kegiatan pembelian barang
3. Atas penjualan hasil produksi atau pengolahan barang
4. Pemungutan PPh pasal 22 atas pembelian barang atau bahan-bahan oleh pemungut butir 2,3,4, dan 5
Tarif Pajak bagi Wajib Pajak yang Tidak Ber-NPWP
 Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib pajak) akan dipungut PPh
pasal 22 dengan tarif lebih tinggi 100% dibanding tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak
yang dapat menunjukkan NPWP.
Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 22
 Pemungutan PPh pasal 22 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya terlihat bahwa dipungut dari penghasilan
yang terdapat pada impor atau kegiatan lainnya. Secara akuntansi tidak terdapat perbedaan dalam melakukan
pencatatan transaksi tersebut. Apabila dalam transaksi lainnya ternyata pengenaan PPh pasal 22 bersifat final,
maka pencatatan dalam akun PPh pasal 22 tampak dari pihak pemungut.
Pajak Penghasilan Pasal 23
 Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan, untuk dibayarkan
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang pemotonganpajaknya
dilakukan oleh pihak yang wajib pajak membayarkan sebesar:
1. 15% dari jumlah bruto atas:
 Dividen
 Bunga
 Royalti
 Hadiah

2. 2% dari jumlah bruto atas


 Sewa
 imbalan
Tarif Pemotongan bagi Wajib Pajak yang Tidak Ber-NPWP
 Dalam hal Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan ternyata tidak memiliki NPWP,
besarnya tarif pemotongan akan menjadi lebih tinggi 100% disbanding tarif pemotongan
PPh pasal 23 umumnya.
Pengecualian dari Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
 Pengecualian atau Pemotongan Pajak Penghasilan 23 tidak dilakukan diatur langsung dalam
pasal 23 ayat 4 UU PPh terhadap:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa dengan hak opsi
3. Dividen
4. Bagian laba
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
Pemotong dan saat Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
 23
Pemotongan PPh pasal 23 dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pada badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perusaah luar
negeri. Sedangkan pihak yang dipotong PPh pasal 23 yaitu Wajib Pajak dalam
negeri atau Bentuk Usaha Tetap. Saat pemotongan PPh pasal 23 dilakukan pada
saat:
1. Dibayarkan
2. Sedia untuk dibayarkan
3. Telah jatuh tempo pembayaran
Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 23
 Pada akuntansi komersial maupun akuntansi pajak yang berkaitan dengan pencatatan
PPh pasal 23 tidak terdapat perbedaan. Mengingat terdapat PPh Pasal 23 yang sifat
pengenaannya final atau pengenaannya bersifat tidak final, maka pencatatan PPh pasal
23 yang bersifat tidak final akan dicatat pada kedua belah pihak.
Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 24
 Pajak penghasilan pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan diluar negeri atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang boleh dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Makna
pengkreditan pajak untuk pasal 24 tersebut untuk menghindarkan pajak berganda.
Laporan Keuangan Konsolidasian dan Lporan Keuangan Tersendiri
 Dengan berlandaskan pada PSAK Np.14 (Revisi 2009) mengatur masalah penyusunan dan
penyajian laporan keuangan konsolidasian untuk sekelompok entitas yang berada dalam
pengendalian suatu entitas induk. Laporan keuangan konsolidasian adalah laporan keuangan
suatu kelompok usaha yang disajikan sebagai suatu entitas ekonomi tunggal. Sedangkan
laporan keuangan tersendiri adalah laporan keuangan yang disajikan oleh entitas induk yang
mencatat investasi pada entitas anak, entitas asosiasi dan pengendalian bersama entitas
berdasarkan kepemilikan ekuitas langsung bukan berdasarkan laporan hasil dan asset neto
investee.
Pengkreditan dan Penentuan Sumber Penghasilan
 Besarnya pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan UU PPh. Cara
penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 Penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang.
 Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan oleh:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan saham dan sekuritas
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tidak bergerak
4. Penghasilan berupa imbalan
5. Penghasilan bentuk usaha tetap
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
Tata Cara Pengkreditan
 Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak (Tax Return) yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
Penggabungan Penghasilan
 Untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
dalam negeri, baik dari dalam negeri amupun dari luar negeri, maka seluruh penghasilan wajib pajak
tersebut digabungkan.
 Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan untuk:
1. Penghasilan dari usaha yaitu dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
2. Penghasilan lainnya yaitu dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
3. Penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 2 UU PPh

Saat Penggabungan Penghasilan


Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak ternyata terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri
 Prinsip dasarnya, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
atas dasar seluruh penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak baik penghasilan yang berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, digabungkan seluruh penghasilan
yang diperoleh dalam tahun pajak sesuai keputusan Menteri keuangan untuk penghasilan
berupa dividen.
Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Pajak Badan
 PT. Abadi di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2016 sbb:
Penghasilan neto dalam negeri Rp 1. 000.000.000,00
Penghasilan luar negeri Rp 1. 000.000.000,00
(dengan tarif pajak 20%)
Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sbb:
1. Penghasilan luar negeri Rp 1. 000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp 1. 000.000.000,00
Jumlah penghasilan neto Rp 2. 000.000.000,00 (+)
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif pasal 17, Pajak Penghasilan yang
terutang sebesar: 25% x 2. 000.000.000,00 = Rp 500.000.000,00
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp 1. 000.000.000,00 x Rp 500.000.000,00 = Rp 250.000.000,00
Rp 2. 000.000.000,00
Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 250.000.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang
terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 200.000.000,00 (20% x Rp 1. 000.000.000,00 ), maka jumlah kredit pajak luar negeri
yang diperkenankan sebesar Rp 200.000.000,00 .
Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Pajak Orang Pribadi
 Seperti pada contoh penghitungan kredit pajak luar negeri Wajib Pajak Badan, apabila penghasilan tersebut diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi,
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak harus dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghitungan PPh pasal 24
sbb:
1. Penghasilan neto dalam negeri Rp 1. 000.000.000,00
Penghasilan neto luar negeri Rp 1. 000.000.000,00
PTKP (TK/0) ( Rp 54.000.000,00 )
Penghasilan Kena Pajak Rp 1.946.000.000,00
2. Pajak Penghasilan terutang sesuai tarif Pasal 17 UU PPh
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30% x Rp 1.446.000.000,00 = Rp 433.800.000,00
Total = Rp 528.800.000,00
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri
Rp 1.000.000.000,00 x Rp 528.800.000,00 = Rp 271.736.896,00
Rp 1.946.000.000,00
pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri Rp 200.000.000,00 ternyata masih lebih kecil dibanding batas maksimumnya (Rp 271.736.896,00).
Oleh karena itu, jumlah kredit pajak luar negeri (pasal 24) yang diperkenankan adalah Rp 200.000.000,00.
Kerugian di Dalam Negeri
 PT Tugu Indah di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2016 sebagai berikut:
Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp 1.000.000.000,00
Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00)
Pajak atas penghasilan di luar negeri missal 40% Rp 400.000.000,00
penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sbb:
1. Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp 1.000.000.000,00
Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00)
Jumlah penghasilan neto Rp 800.000.000,00
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Paja, maka sesuai dengan tarif pasal 17 UU PPh, Pajak Penghasilan yang
terutang:
25% x Rp 800.000.000,00 = Rp 200.000.000,00
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri:
Rp 1.000.000.000,00 x Rp 200.000.000,00
Rp 800.000.000,00
oleh karena pajak yang dibayar di luar negeri (Rp 400.000.000,00) dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan Rp
250.000.000,00 masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang (Rp 224.000.000,00) maka pajak yang dibayar di luar negeri diperkenankan untuk
dikreditkan dalam perhitungan pajak penghasilan yaitu sebesar Pajak Penghasilan yang terutang Rp 224.000.000,00
Penghasilan Wajib Pajak dikenakan Pajak Bersifat Final
 Mengacu pada pasal 4 ayat 2 UU Pajak Penghasilan mengatur
Objek Pajak yang pengenaan pajaknya tersendiri (diatur dengan
peraturan pemerintah). Penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final tidak digabungkan dengan penghasilan teratur lainnya.
Pengurangan/Pengembalian Kredit Pajak Luar Negeri
 Dalam penjelasan pasal 24 ayat 5 UU pajak penghasilan, apabila terjadi pengurangan atau
pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri sehingga besarnya pajak yang dapat
dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam
negeri pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
Perubahan Besarnya Penghasilan Luar Negeri
 Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus
melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
 Apabila akibat pembetulan tersebut terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya
tambahan penghasilan di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan
pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri lebih besar daripada yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak
Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar.
Pajak Penghasilan Pasal 25
 Khusus untuk pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak selama tahun berjalan
atas usahanya (self payment)sesuai ketentuan yang berlaku disebut PPh pasal 25. PPh pasal 25
adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam
tahun pajak berjalan.
Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 25
 Setelah pajak terutang (sesuai SPT Tahunan PPh) dilakukan pengkreditan dengan kredit pajak
lainnya yang tidak bersifat final seperti PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, dan PPh pasal 24,
sisanya masih harus dikurangi dengan angsuran pajak (PPh pasal 25) yang telah disetor selama satu
tahun pajak. Apabila ternyata masih terdapat bagian pajak terutang yang belum dibayar pada akhir
tahun (PPh pasal 29), maka penyetoran harus dilakukan selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga
setelah berakhirnya tahun pajak.
Pajak Penghasilan Pasal 26
 Terhadap penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri dari Indonesia, selain penghasilan
usaha yang diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong PPh pasal 26.
Pengenaan Pajak Penghasilan menurut perundang-undangan perpajakan menganut 2 sistem,
yaitu sbb:
1. Sistem Pemenuhan Sendiri
2. Sistem Pemotongan
Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 26
 Khusus untuk PPh pasal 26, apabila terjadi pembayaran dividen dan bunga yang ditujukan
pembayarannya kepada wajib pajak luar negeri yang bersifat final (tetapi juga perlu diperhatikan
adanya perjanjian perpajakan dengan negara lain) maka tarif yang umumnya diberlakukan untuk
PPh pasal 26 yaitu sebesar 20% haruslah diperlukan penyesuaian dengan tarif menurut perjanjian
perpajakan (tax treaty). Dengan menggunakan tarif yang lebih rendah terhadap wajib pajak luar
negeri harus menunjukkan keterangan domisili (certificate of residence) dari kantor pajak negara
asal.
Akuntansi Pajak atas Pajak Penghasilan yang Pengenaannya
bersifat Final (PPh pasal 4 ayat 2)
 Penghasilan-penghasilan tertentu yang pengenaannya bersifat final meliputi Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Peraturan Pemerintah No. 138 Tahun 2000 tanggal 15
Desember 2000 atas bunga deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia termasuk bunga yang
diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
betempat kedudukan di Indonesia atau cabang luar negeri di Indonesia dikenakan pemotongan pajak yang
bersifat final oleh bank termasuk Bank Indonesia .
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang Berpenghasilan Rendah
Bagi wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang tergolong berpenghasilan relatiif rendah dan seluruh
penghasilannya termasuk Bunga dan diskonto yang dalam satu tahun pajak tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), atas pajak yang telah dipotong tersebut dapat diajukan permohonan restitusi melalui prosedur restitusi sederhana.
Dikecualikan dari Pemotongan Pajak Penghasilan
Atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia, yang
dikecualikan atau tidak dilakukan pemotongan PPh adalah:
1. Bunga dari deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia
2. Bunga dan diskonto yang diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
Beberapa Jenis Penghasilan yang Pengenaan Pajaknya Bersifat Final
 Terdapat beberapa jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dengan dasar hukum Peratutan Pemerintah atu
Keputusan Peraturan Menteri Keuangan yaitu:
1. Bunga Deposito/Tabungan dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
2. Hadiah Undian
3. Bunga Simpanan Anggota Koperasi
4. Penghasila Bunga dan Diskonto dari Obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan pada perdagangan di Bursa Efek
5. Penjualan Saham Pendiri dan Bukan Pendiri di Bursa Efek
6. Penjualan bahan bakar, minyak, gas dan pelumas
7. Penjualan hasil produksi dalam negeri
8. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Bangunan
9. Penghasilan yang diperoleh dari Persewaan Tanah/Bangunan
10. Usaha Jasa Kontruksi
11. Uang pesangon, uang amnfaat pension
12. Penghasilan wajib pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dalam negeri
13. Penghasilan wajib pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran atau penerbangan luar negeri
14. Penghasilan wajib LN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia berdasarkan pasal 15 UU PPh
15. Honorarium dan imbalan
16. Nilai bangunan
Hadiah Undian
 Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan atas hadiah undian adalah Peraturan Pemerintah No.132 Tahun
2000 Tanggal 15 Desember 2000. pengertian hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diperoleh orang pribadi atau badan yang pemberiannya melalui cara undian.
 Tarif Pajak
besarnya tarif pajak atas pemotongan PPh atas undian sebesar 25% dari jumlah bruto nilai hadiah undian dengan sifat
pengenaan bersifat final.
 Akuntansi Pajak
Contoh: Tn. Arifin memperoleh hadiah undian yang diperolehnya dengan cara undian sebesar Rp 100.000.000,00 tunai.
Ayat Jurnal

Tgl Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)


Kas dan Bank 75.000.000,00
PPh Final 25.000.000,00
Hadiah Undian 100.000.000,00
Persewaan Tanah dan Bangunan
 Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan atas persewan tanah dan bangunan adalah Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 tentang
pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan bangunan.
 Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan bangunan ditetapkan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan bangunan dan bersifat final.
 Akuntansi Pajak
Contoh PT Aman membayar sewa tanah dan bangunan sebesar Rp 50.000.000,00
1. Saat pemotongan PPh Pasal 4 (2)
Tgl Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Beban Sewa Bangunan 50.000.000,00
PPh Final 5.000.000,00
Kas dan Bank 45.000.000,00

2. Saat penyetoran PPh Pasal 4 (2)


Tgl Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
PPh Final 50.000.000,00
Kas dan Bank 5.000.000,00
Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima Wajib Pajak Orang Pribadi

 Dengan telah diberlakukannya UU PPh sejak 1 Januari 2009 dan sebagai tindak
lanjut pelaksanaan ketentuan pasal 17 ayat (2d) ditetapkanlah aturan yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Dividen yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
dikenai PPh sebesar 10% dan bersifat final.
Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan kepada
Anggota Koperasi
 Mengacu pasal 4 ayat (2) huruf “a”, bahwa penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi dapat dikenai PPh yang bersifat final dan
pasal 17 ayat (7) mengatur penetapan tarif pajak tersendiri.
Selamat
belajar…

Anda mungkin juga menyukai