Anda di halaman 1dari 4

Nama : Marfu’ah

Nim : 211520036
Kelas : AK5KR

UJIAN AKHIR SEMESTER LABORATORIUM PERPAJAKAN

1. Bagaimana konsep pembukuan dan pencatatan dalam ketentuan perpajakan


Jawab :
Dalam ketentuan perpajakan, konsep pembukuan dan pencatatan mengacu pada proses
menyusun catatan keuangan dan melaporkan transaksi secara sistematis sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku. Memahami dan menerapkan konsep ini penting
untuk memenuhi kewajiban perpajakan, menjamin kepatuhan terhadap peraturan
perpajakan, dan memberikan informasi keuangan yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada otoritas perpajakan.
Dalam ketentuan perpajakan, beberapa elemen konsep pembukuan dan pencatatan
adalah sebagai berikut:
1. Pencatatan Transaksi:
Semua transaksi bisnis harus dicatat dengan cermat dan akurat. Ini termasuk data
seperti tanggal, pihak yang terlibat, nilai, dan keterangan atau deskripsi. Pencatatan
yang akurat memungkinkan transaksi dikelompokkan sesuai dengan ketentuan
pajak yang berlaku.
2. Kode Akun dan Pengelompokan:
Memilih kode akun dan pengelompokan yang sesuai dengan struktur akun
perpajakan membantu analisis perpajakan dan pelaporan keuangan. Otoritas pajak
harus memastikan bahwa kelompokan ini memenuhi persyaratan.
3. Rekonsiliasi Data Keuangan:
Penting untuk melakukan rekonsiliasi antara laporan pajak yang diajukan dan data
keuangan yang dicatat. Hal ini memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada
otoritas pajak sesuai dengan informasi internal perusahaan, menghindari kesalahan
yang dapat menyebabkan sanksi pajak.
4. Prinsip Konsistensi:
Ide prinsip konsistensi menjamin bahwa metode pencatatan dan pengelompokan
yang digunakan setiap tahun tetap sama. Hal ini membantu otoritas pajak
mengawasi pertumbuhan keuangan bisnis dengan cara yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Keabsahan Dokumen Pendukung:
Dokumen yang sah dan lengkap, seperti faktur, kwitansi, atau kontrak, harus
mendukung catatan. Ini adalah dasar untuk mengatur transaksi dan membuat
laporan pajak.
6. Pajak Terutang dan Dibayar:
Perhitungan pajak yang terutang dan pembayaran pajak yang dilakukan harus
dimasukkan dalam catatan. Untuk menghindari denda dan sanksi pajak, sangat
penting untuk memantau kewajiban pajak dan memastikan pembayaran tepat
waktu.
7. Pelaporan Sesuai Ketentuan Hukum:
Laporan keuangan dan pajak harus disusun sesuai dengan peraturan perpajakan dan
ketentuan hukum yang berlaku. Memahami undang-undang dan peraturan pajak
sangat penting untuk membuat laporan yang sesuai.
8. Audit Internal dan Eksternal: Audit internal dan eksternal dapat memastikan
keakuratan pencatatan dan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan. Audit juga
dapat membantu menemukan dan memperbaiki masalah yang mungkin terjadi.

2. Jelaskan konsep subjek pajak, objek pajak dan non objek Pajak pada PPh menurut UU KUP
Jawab :
Dalam hal Pajak Penghasilan (PPh), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Indonesia mengatur subjek pajak, objek pajak, dan non-objek pajak. Ini
adalah penjelasan singkat dari ide tersebut:
1. Subjek Pajak (Taxpayer): Dalam PPh, subjek pajak adalah orang atau entitas yang harus membayar
pajak penghasilan. Subjek pajak dapat berupa orang pribadi atau badan, tergantung pada jenis
penghasilan yang diterima, seperti orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari pekerjaan atau
usaha, serta badan usaha yang mendapatkan penghasilan.
2. Objek Pajak (Object Taxable): Penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak disebut objek pajak.
Dalam PPh, objek pajak mencakup berbagai jenis penghasilan, seperti penghasilan dari pekerjaan,
penghasilan dari usaha atau kegiatan bebas, penghasilan dari modal, dan penghasilan lainnya. Tarif
pajak yang berlaku diterapkan pada keuntungan ini.
3. Non-Objek Pajak (Non-Taxable Object)atau objek yang tidak dapat dikenakan pajak: Penghasilan
yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif khusus yang lebih rendah dianggap
sebagai objek pajak. Dalam konteks PPh, UU KUP juga mengatur tentang penghasilan yang
dikecualikan dari pengenaan pajak atau dikenakan tarif pajak yang lebih rendah.

3. bagaimana seseorang ditetapkan menjadi wajib pajak?


Jawab :
Sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), seseorang
ditetapkan sebagai wajib pajak berdasarkan kriteria tertentu. Subjek pajak, menurut UU KUP, terdiri dari
individu, badan, dan warisan. Subjek pajak dalam negeri termasuk individu yang bertempat tinggal di
Indonesia, organisasi yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, dan bentuk usaha tetap.
Selain itu, individu yang tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan juga
dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri. Selain itu, individu yang tidak tinggal di Indonesia tetapi
memperoleh uang dari negara tersebut juga dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri.
Orang yang ditetapkan sebagai wajib pajak harus membayar, memotong, dan memungut pajak, serta
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.Oleh karena itu, status dan kegiatan ekonomi seseorang
ditetapkan sebagai wajib pajak, baik di dalam maupun di luar Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam UU KUP.

4. Apa perbedaan antara PPh Pasal 21, 22 dan PPh Pasal 23? Berikan contoh transaksi yang termasuk dalam
pengenaan PPh Pasal 21, 22 dan PPh Pasal 23?
Jawab :
perbedaan antara ketiganya serta contoh transaksi yang termasuk dalam pengenaan masing-masing:
1. PPh Pasal 21:
PPh Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib
pajak dalam bentuk gaji atau upah.
Contoh transaksi: Gaji karyawan atau pekerja yang bekerja di suatu perusahaan atau badan usaha.
PPh Pasal 21 biasanya dipotong langsung dari gaji yang dibayarkan kepada karyawan.
2. PPh Pasal 22:
PPh Pasal 22 adalah pajak Misalnya, perusahaan yang mengimpor barang dari negara lain akan
dikenakan PPh Pasal 22 atas nilai impor tersebut .
3. Pasal 23 PPh :
PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan dalam bentuk bunga,
royalti, atau dividen yang diterima oleh wajib pajak. Contoh Transaksi: Pajak ini dapat dikenakan
pada pendapatan bunga, royalti, atau dividen yang diterima oleh penerima penghasilan. Misalnya,
jika seseorang melakukan investasi dalam obligasi dan menerima bunga dari investasi tersebut,
maka PPh Pasal 23 dapat dikenakan.

5. Jelaskan mekanisme pelaporan dan media yang digunakan WP OP dan Badan dalam pelaporan pajak
tahunannya?
Jawab :
Wajib Pajak (WP), Orang Pribadi (OP), dan Badan harus melaporkan pajak tahunan melalui Sistem e-
Filing yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui website resmi mereka. WP, OP,
dan Badan harus mengisi formulir SPT Tahunan dan melampirkan dokumen pendukung, seperti laporan
keuangan dan bukti transaksi. Setelah formulir dan dokumen pendukung diisi dan dilampirkan, mereka
dapat mengirimkan SPT Tahunan melalui Sistem e-Filing Selain Sistem e-Filing, WP, OP, dan Badan
juga dapat melaporkan pajak tahunannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat. Namun, pelaporan
melalui KPP hanya dapat dilakukan jika WP, OP, dan Badan tidak memiliki akses ke Sistem e-Filing
atau jika ada kendala teknis dalam penggunaan Sistem e-Filing. Untuk pelaporan pajak tahunan melalui
Sistem e-Filing, WP, OP, dan Badan harus memiliki akun terdaftar di website resmi DJP. Untuk
pelaporan melalui KPP, WP, OP, dan Badan dapat mengirimkan SPT Tahunan melalui pos atau secara
langsung ke KPP terdekat.

6. Jelaskan sanksi jika tidak melakukan laporan Pajak tahunan?


Jawab :
Jika tidak melakukan laporan pajak tahunan, Wajib Pajak (WP) dapat dikenai sanksi administrasi berupa
denda. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sanksi administrasi bagi
WP yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunannya adalah sebagai berikut:
a. Untuk WP orang pribadi, denda yang dikenakan adalah sebesar Rp 100.000.
b. Sedangkan untuk WP badan, denda yang dikenakan lebih besar, yakni Rp 1 juta.
Selain sanksi administrasi berupa denda, sanksi pidana juga dapat diberlakukan bagi Wajib Pajak yang
dengan sengaja tidak melaporkan pajak. Sanksi pidana dapat berupa kurungan penjara dan denda, dengan
besaran denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, dan paling
banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Oleh karena itu, penting bagi Wajib
Pajak untuk mematuhi kewajiban pelaporan pajak tahunan guna menghindari sanksi administrasi dan
pidana yang dapat dikenakan.

7. jelaskan perlakukan PPN di Indonesia terkini?


Jawab:
Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan pada penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik individu maupun organisasi,
dengan tarif PPN sebesar 10%. Dengan mengeluarkan peraturan pemerintah, pemerintah dapat mengubah
tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Selain itu, terdapat juga Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM), yang dikenakan pada penjualan barang Jika terlambat atau tidak melaporkan
SPT PPN, PKP dapat dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp 500.000 per SPT Masa Pajak [3]. Jika
Wajib Pajak dengan sengaja tidak melaporkan pajak, mereka dapat dikenakan sanksi pidana dengan
kurungan paling cepat 3 bulan dan paling lama 1 tahun atau denda paling sedikit 1x dan paling banyak 2x
jumlah pajak terutang yang tidak dilaporkan.

8. apakah menurut saudara pengenaan tarif terbaru perlu dilakukan?


Jawab :
Menurut pendapat saya yang saya dapatkan dari berbagai sumber .Dalam kebanyakan kasus, keputusan
untuk memberlakukan tarif terbaru atau mengubah tarif adalah kebijakan pemerintah yang rumit dan
memerlukan pertimbangan menyeluruh. Pertimbangan untuk tarif dapat mencakup banyak hal, dan apakah
itu perlu dilakukan tergantung pada tujuan dan situasi ekonomi tertentu. Berikut adalah beberapa
pertimbangan umum yang mungkin ditemukan:
1. Pendapatan Pemerintah:
Tarif dapat menjadi sumber pendapatan penting bagi pemerintah. Jika pemerintah memerlukan lebih
banyak pendapatan untuk membiayai proyek atau program tertentu, pengenaan tarif baru dapat
menjadi pilihan.
2. Perlindungan Industri Dalam Negeri:
Pengenaan tarif dapat digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing yang
mungkin merugikan, yang dapat membantu mempertahankan lapangan kerja dan mendorong
pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
3. Keseimbangan Perdagangan:
Tarif juga dapat mengatur neraca perdagangan. Pemerintah dapat mengenakan tarif untuk mengontrol
impor tertentu, yang mungkin diperlukan untuk menjaga stabilitas perdagangan dan mata uang.
4. Ketidaksetaraan Ekonomi:
Beberapa kebijakan tarif dapat bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dengan
mengenakan tarif lebih tinggi pada barang-barang mewah atau menguntungkan golongan ekonomi
yang lebih tinggi.
5. Pertimbangan Global:
Ketika seseorang membuat keputusan tentang tarif, mereka harus mempertimbangkan efeknya
terhadap hubungan perdagangan internasional dan kebijakan global. Beberapa negara mungkin
mengambil tindakan serupa, yang dapat berdampak pada iklim perdagangan global.
Setiap kebijakan tarif harus diimbangi dengan cermat dan mempertimbangkan berbagai konsekuensi
ekonomi, sosial, dan politik. Penting untuk melibatkan pemangku kepentingan ekonomi dan
melakukan analisis menyeluruh dampak sebelum membuat keputusan tarif.

9. jelaskan mengapa koreksi fiskal perlu dilakukan?


Jawab :
Untuk menghindari perbedaan antara pembukuan komersial dan perpajakan, koreksi fiskal
diperlukan untuk menyesuaikan penghasilan wajib pajak (WP) dengan pajak yang seharusnya
dibayar. Laporan keuangan harus sesuai dengan ketentuan perpajakan. Ini juga penting untuk
mencegah sengketa perpajakan di masa depan. Koreksi fiskal terbagi menjadi koreksi fiskal
positif dan negatif. Koreksi fiskal positif terkait dengan biaya yang tidak boleh dikenakan pajak.
Oleh karena itu, koreksi fiskal merupakan langkah penting dalam menjamin kepatuhan perpajakan
dan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku.

10. apa saja yang harus diperhatikan dalam koreksi fiskal?


Jawab :
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan koreksi fiskal adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Koreksi Fiskal: Koreksi fiskal dilakukan untuk memperbaiki ketidakseimbangan
fiskal yang disebabkan oleh perbedaan antara realisasi anggaran dan target yang telah
ditetapkan.
2. Sumber Ketidakseimbangan: Untuk menentukan langkah koreksi yang tepat, penting untuk
mempertimbangkan sumber ketidakseimbangan fiskal, apakah itu berasal dari belanja negara
atau penerimaan negara.
3. Kebijakan Fiskal: Evaluasi kebijakan fiskal yang telah diterapkan dan menentukan apakah
ada kebijakan yang perlu diubah untuk memperbaiki ketidakseimbangan fiskal.
4. Dampak Ekonomi: Perhatikan dampak dari koreksi fiskal terhadap perekonomian, seperti
inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan ketenagakerjaan.
5. Konsultasi: Melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses koreksi fiskal, seperti lembaga
keuangan, ahli ekonomi, dan pemangku kepentingan lainnya.
6. Transparansi: Menjaga kepercayaan pasar dan masyarakat dengan menjalankan koreksi fiskal
secara transparan dan akuntabel.

Anda mungkin juga menyukai