Anda di halaman 1dari 8

Nama : Iqbal Rafikhul Fauzan

NRP : 1951103
Mata Kuliah : Perpajakan I

Fakultas Ekonomi UJIAN TENGAH SEMESTER ANTARA GENAP 2021/2022


Universitas Kristen Maranatha
KODE & MATA KULIAH: AC-211 / Perpajakan 1 Pengesahan Koordinator Pengesahan Ketua Program
PRODI/KLS/SEM: Akuntansi / AK-A / IV (empat) Mata Kuliah Studi S1 Akuntansi
HARI, TANGGAL: Kamis, 4 Agustus 2022
WAKTU (DURASI): 10.00-12.00 (120 Menit)
DOSEN: Dr. Ita Salsalina Lingga S.E., M.Si., Ak., CA.
SIFAT UJIAN: Buka Buku (Online Test) Dr. Ita Salsalina Lingga S.E., Santy Setiawan, S.E.,M.Si., Ak.,
PERALATAN: Alat Tulis M.Si., Ak., CA. CA.
1. Jelaskan tentang pembagian hukum pajak dan kedudukan hukum pajak di Indonesia serta berikan contoh.
2. Jelaskan tentang hak dan kewajiban wajib pajak, ketentuan pidana bagi pejabat pajak dan wajib pajak serta
sanksi perpajakan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini.
3. Jelaskan hak dan kewajiban wajib pajak, khususnya mengenai NPWP, PKP, NPPKP, SPT, e-SPT.
4. Jelaskan perbedaan antara penelitian pajak, pemeriksaan pajak dan penyidikan pajak. Berikan contoh.
5. Jelaskan hak dan kewajiban wajib pajak, terkait wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan. Berikan contoh.
6. Jelaskan hubungan pemeriksaan dan surat ketetapan pajak, serta jenis surat ketetapan pajak.
7. Jelaskan mekanisme pengajuan keberatan, banding dan peninjauan kembali.
8. Jelaskan perbedaan aturan PBB P3 dan PBB P2. Jelaskan ketentuan yang mengatur jalan, pagar dan taman -
dikategorikan sebagai objek PBB-P2. Berikan contoh perhitungan PBB-P3 dan PBB-P2.
9. Jelaskan yang dimaksud pelunasan bea meterai, pemeteraian kemudian, sanksi kesalahan penggunaan dan
kelalaian penggunaan bea meterai.
10. Yusuf mempunyai objek pajak di kota Bandung berupa:
 Tanah seluas 800m2 dengan harga jual Rp 300.000/m2
 Bangunan seluas 400m2 dengan nilai jual Rp 350.000/m2
 Taman seluas 200m2 dengan nilai jual Rp 50.000/m2
 Pagar sepanjang 120m dan tinggi rata-rata pagar 1.5m dengan nilai jual Rp 175.000/m2
Hitunglah PBB-P2 yang harus dibayarkan Yusuf.
JAWABAN

1. Pembagian Hukum Pajak


1. Hukum Pajak Formal
Hukum pajak yang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material
menjadi kenyataan. Hukum pajak formal memuat tata cara atau prosedur penetapan jumlah utang
pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan evaluasi. Hukum pajak formal juga menentukan kewajiban
wajib pajak untuk mengadakan pembukuan, serta prosedur pengajuan surat keberatan maupun
banding. Contoh hukum pajak formal adalah Tata Cara Perpajakan.
2. Hukum Pajak Material
Hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap keadaan yang dikenai pajak
(objek pajak), siapa yang akan dikenakan pajak (subjek pajak) dan siapa yang dikecualikan dengan
pajak serta berapa jumlah yang harus dibayar (tarif pajak). Contoh hukum pajak material
adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kedudukan Hukum Pajak


Kedudukan hukum pajak bagian dari hukum publik. Dalam mempelajari bidang hukum berlaku Lex
Specialis Derogat Lex Generalis. Hal ini berarti, peraturan khusus lebih diutamakan dari pada
peraturan umum. Jika sebuah ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus maka akan
berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Contohnya ketika akan mengajukan
keberatan, sebelum ada keputusan dari direktur jenderal Pajak bahwa keberatan tersebut diterima,
maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang
telah ditetapkan.

2. hak dan kewajiban Wajib Pajak yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan maka bagi mereka yang sudah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan syarat-syarat
yang sudah ditentukan
hak yang didapat para wajib pajak, berupa;
1. Hak untuk dilakukan pemeriksaan.
2. Hak mengajukan keberatan.
3. Hak atas kelebihan pembayaran pajak.
4. Hak untuk pengangsuran.
5. Hak Kerahasiaan.
6. Hak pengurangan PBB.
7. Hak pembebasan pajak.
Kewajiban juga yang perlu dipatuhi oleh wajib pajak yang di antaranya yaitu:
1. Wajib Mendaftarkan diri.
2. Wajib memberi data.
3. Wajib pemeriksaan.
4. Wajib membayar.
5. Wajib melapor.

Sanksi ketentuan pajak


- Sanksi administrasi akan diberikan terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban administrasi.
- Sanksi Pidana Menurut undang-undang, ada tiga macam sanksi pidana terhadap wajib pajak yang
melakukan pelanggaran, yaitu denda pidana, kurungan dan penjara.
3. A. Hak NPWP
Selain sebagai identitas wajib pajak, kartu NPWP diterbitkan untuk beberapa tujuan lain.
Salah satunya, sebagai sarana dalam administrasi perpajakan. Keberadaan kartu ini juga berfungsi
untuk menjaga ketertiban dalam hal membayar pajak atau pengawasan administrasi perpajakan.
Kewajiban NPWP
1. Wajib Menyampaikan Surat Pemberitahuan
2. Wajib Membayar Pajak

b. Kewajiban PKP

Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), disebutkan
enam hal yang wajib oleh dilakukan oleh PKP, yaitu:

 Melaporkan usahanya untuk dikukuhan sebagai PKP;


 Memungut PPN yang terutang;
 Menerbitkan faktur pajak;
 Membuat pencatatan atau pembukuan atas kegiatan usahanya;
 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar daripada
pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor pajak penjualan atas barang mewah
(PPnBM) yang terutang; dan
 Melaporkan penghitungan pajak melalui surat pemberitahuan (SPT) pajak, yaitu SPT Masa
PPN.

Hak PKP

Selain kewajiban, PKP juga mempunyai hak-hak tertentu yang telah diatur dalam UU PPN,
yaitu:

 Hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Kendati demikian, rumusan Pasal 9 ayat (8) huruf
‘a’ UU PPN tidak memperbolehkan adanya pengkreditan pajak masukan sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP.
 Hak mengkompensasikan dan/atau merestitusi kelebihan pajak.
 Hak untuk mengajukan keberatan dan banding

4. penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan Surat
emberitahuan (SPT) dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
perhitungannya. Artinya, bahwa petugas pajak melakukan penelitian ini untuk memastikan apakah
SPT Tahunan maupun SPT Masa yang dilaporkan oleh Wajib Pajak sudah benar, lengkap, dan jelas.

Sedangkan, pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP ialah serangkaian kegiatan menghimpun
dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan.

penyidikan pajak dilakukan guna menemukan bukti sekaligus tersangka yang melakukan tindak
pidana dalam perpajakan.
5. Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan
 Merupakan Wajib Pajak badan
 Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha ataupun
pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan bruto
(omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.

Wajib Pajak yang menyelenggarakan pencatatan

 Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan suatu kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto (pmzet) kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu
tahun, dapat menggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam
menghitung penghasilan neto, dengan syarat harus memberitahukan ke Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
 Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

2.  Syarat Penyelenggaraan Pembukuan dan Pencatatan


o Syarat penyelenggaraan pembukuan


 Untuk pembukuan, diselenggarakan dengan menggunakan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
 Pembukuan dilakukan dengan terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga pajak yang terutang
nantinya dapat dihitung.
o Syarat penyelenggaraan pencatatan
 Dalam pencatatan, harus menggambarkan adanya peredaran atau penerimaan bruto
dan jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.
 Harus menggambarkan adanya penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final.
 Bagi Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha atau tempat usaha, maka
pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha atau
tempat usaha yang bersangkutan.
 Selain menyelenggarakan pencatatan, Wajib Pajak orang pribadi juga harus
menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
6. Surat Ketetapan Pajak ini akan dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal pemeriksaan
pajak atas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan/Masa Pajak Penghasilan (PPh) maupun
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Mengenai SKP ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Lalu dilakukan perubahan aturan yang tertuang dalam UU No. 28 Tahun 2007.
Dalam Pasal 1 nomor 15 UU 28 Tahun 2008 disebutkan, SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah surat

ketetapan yang meliputi:


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

7. KEBERATAN
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan
keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah:

1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang
menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasanalasan yang jelas.
3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar
kekuasaannya.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan,
sehingga tidak dipertimbangkan.
5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi
pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Perlu diketahui bahwa apabila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak dan Wajib Pajak tidak
mengajukan banding maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BANDING
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya,
maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.
Syarat pengajuan banding adalah:

1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan keberatan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut.
2. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding
diterima. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

PENINJAUAN KEMBALI
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak
mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Pengajuan permohonan PK
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau
tipu muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau
ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim.
Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK
diterima.

8. Perbedaan PBB-P2 dan PBB P-3


Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang muncul karena
adanya kepemilikan hak, penguasaan, atau perolehan manfaat atas suatu bumi atau bangunan. Secara
garis besar terdapat lima sektor PBB yang terdiri dari sektor perkotaan, sektor perdesaan, sektor
perkebunan, sektor perhutanan, dan sektor pertambangan. 
Pemungutan PBB ini menjadi wewenang pemerintah pusat sebelum UU Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD) disahkan pada tahun 2019. Pengelolaan PBB sendiri terbagi menjadi dua yaitu  
pemerintah daerah untuk PBB-P2 dan pemerintah pusat untuk PBB-P3.
Merujuk Pasal 1 poin ‘37’ UU PDRD, PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek pajak dari PBB-P2 sesuai dengan
namanya, yaitu bumi dan bangunan yang ada di wilayah perkotaan dan perdesaan, seperti apartemen,
rumah susun, hotel, pabrik, tanah kosong, dan sawah. Sedangkan objek pajak PBB-P3 adalah
perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya.
Sektor lain yang dimaksud berdasarkan Pasal 2 ayat ‘1’ Peraturan Direktur Pajak No. PER-20/PJ/2015
meliputi perikanan tangkap, budidaya ikan, jaringan pipa, kabel telekomunikasi, kabel listrik dan jalan
tol.
Tarif maksimal yang ditetapkan untuk PBB-P2 adalah 0.3% dan tarifnya bervariasi tergantung
kebijakan pemerintah daerah setempat. Sedangkan untuk PBB-P3 mempunyai tarif tunggal 0.5%.
Terdapat batas nilai PBB yang tidak dikenakan pajak yang disebut nilai jual objek pajak tidak kena
pajak (NJOPTKP). Nilai NJOPTKP untuk PBB-P2 ditetapkan paling rendah RP 10 juta bagi setiap Wajib
Pajak. Sedangkan untuk PBB-P3, NJOPTKP dikenakan sebesar Rp 12 juta.
Pada saat perhitungan PBB-P2 tidak terdapat nilai jual kena pajak (NJKP) yang merupakan suatu
persentase tertentu dari nilai jual objek pajak (NJOP). Sedangkan dalam perhitungan dasar PBB-P3
terdapat NJKP. NJKP untuk PBB-P3 ditentukan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%
dari NJOP. Menurut Pasal 1 PP No. 25 Tahun 2002, objek pajak PBB sektor perkebunan, pertambangan
besar, dan kehutanan sebesar 40 % dari NJOP. Untuk sektor lainnya, sebesar 40% dari NJOP apabila
NJOP-nya mencapai Rp 1 miliar atau lebih. Sementara itu, untuk sektor dengan NJOP dibawah 1 miliar,
NJKP ditetapkan 20%.’

9. Pelunasan dengan benda meterai ini bisa dilakukan dengan cara biasa yaitu oleh Wajib Pajak sendiri, dan
dapat pula dilakukan melalui pemeteraian kemudian oleh pejabat pos. Dalam menempelkan meterai tempel
dan menggunakan kertas meterai harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut ( pasal 7 ayat (3), (4), (5) dan (6)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 )

10. Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:


• NJOP Bumi: 8 x Rp300.000 = Rp 240.000.000
• NJOP Bangunan:
a. Rumah dan garasi
400 x Rp350.000 = Rp 140.000.000
b. Taman
200 x Rp50.000 = Rp 10.000.000
c. Pagar
(120 x 1,5) xRp175.000 = Rp 31.500.000
• Total NJOP Bangunan = Rp 181.500.000
• Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000
• Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp 171.500.000
• Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp 411.500.000
• Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota T 0,3%.
• PBB terutang: 0,3% x Rp411.500.000 = Rp 1.234.500

Anda mungkin juga menyukai