Anda di halaman 1dari 8

MEMAHAMI KONSEP KEWAJIBAN PEMBUKUAN DAN PRINSIP DASAR

AKUNTANSI

1. Kewajiban Pembukuan
a. Pengertian Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan Menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan
laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
b. Wajib Pajak Yang Wajib dan Dikecualikan Dari Kewajiban Pajak
1) WP yang wajib menyelenggarakan wajib pajak :
- Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dapat menghitung penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan.
2) WP yang dikecualikan dari kewajiban wajib pajak :
- WP OP yang tidak wajib untuk menyampaikan SPT
- WP OP yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto yaitu yang peredarannya kurang
dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) pertahun dan WP OP yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Bagi Wajib Pajak yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto, wajib pajak orang pribadi yang peredara
brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.00,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah sesuai Pasal 14 ayat (2) UU PPh 1984 amandemen
2008.
c. Yang Harus Diperhatikan Dalam Pembukuan
Pembukuan penting bagi Wajib Pajak dengan alas alasan:
1) Akan memudahkan Wajib Pajak pada saat menghitung dan memperhitungkanserta
melaporkan pajak terutang baik pada SPT Masa maupun SPT Tahunan.
2) Perhitungan pajak terutang lebih akurat.
3) Jika Wajib Pajak tidak dapat menunjukkan dokumen pembukuan atau pencatatan
pada saat pemeriksaan sehingga tidak dapat dihitung penghasilan kena pajak,
maka penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan berdasarkan data lain
yangdiperoleh pada saat pemeriksaan
4) Laporan keuangan memberikan informasi posisi keuangan dan kemajuan dari
usahaWajib Pajak dan banyak keuntung Jikaan yang lain.

d. Sanksi Tidak Menyelenggarakan Pembukuan


1) Sanksi Kenaikan 50 % atas WP Wajib Pembukuan yang tidak Menyelenggarakan
Pembukuan
Dasar Hukum :
- Pasal 14 ( 5) Undang-undang PPh No 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d Undang-undang
No 17 Tahun2000
- Pasal 13 ( 3) Huruf a Undang-undang KUP No 6 tahun 1983 s.t.d.t.d
- KEP - 536/PJ./2000
2) Setiap orang yang dengan sengaja :
- Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukanseolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
- Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidakmemperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lain.
- Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yangdikelola secara elektronik atau diselngarakan secara
program aplikasi online diIndonesia.

2. Peran Akuntansi Dalam Perpajakan Indonesia


Sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa kurun waktu, pada
masa penjajahan Belanda, setelah merdeka sampai tahun 1979, 1979 sampai tahun 1983,
dan 1983 sampai sekarang. Peranan akuntansi atau pembukuan dalam perpajakan sejalan
dengan sejarah perpajakan di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi
pemasukan keuangan untuk keperluan penjajah. Jumlah pajak terutang sepenuhnya
ditentukan oleh aparat pajak yang memiliki wewenang yang sangat besar. Dengan
demikian, peranan akuntansi atau pembukuan dalam perpajakan sangat lemah.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1967, diperkenalkan sistem pemungutan pajak
yang dikenal sistem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang Lain
(MPO) dengan Undang-Undang Nomor 867 jo. PP 11 Tahun 1967. Sistem permungutan
pajak dalam cara yang baru ini termasuk sistem self assessment. Melalui Inpres 6, Tahun
1979 yang dikenal dengan Paket 27 Maret 1979, dan KMK-108/KMK/1979, WP
diberikan keringanan dalam penetapan pajak apabila yang bersangkutan menggunakan
laporan pemeriksaan akuntan public. Laporan keuangan yang dibuat oleh akuntan public
tidak dibenarkan dikoreksi, kecuali apabila laporan itu ternyata tidak benar. Peraturan
baru ini sekaligus membatas kewenangan aparat perpajakan dalam menetapkan jumlah
pajak yang harus dibayarkan oleh WP. Dengan demikian, sejak tahun 1979 peranan
akuntansi atau pembukuan semakin meningkat dalam perpajakan. Sejak tahun 1983,
berlaku Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983,
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Dalam undang-undang perpajakan yang baru
berlaku asas perpajakan Indonesia yaitu :
1) Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk
membayar pajak.
2) Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan tidak lagi
diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar.
3) Asas kepastian hukum, WP diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah
dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis.
4) Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan penuh untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi
perpajakan.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut, sistem perpjakan Indonesia secara mutlak
menganut sistem self assessment, dan kewenangan aparat pajak tidak lagi sebelumnya.
Dengan pemberian kepercayaan penuh kepada WP, peranan pembukuan dan akuntansi
dalam perpajakan menjadi sangat besar.
3. Mata uang pembukuan atau pencatatan dan Konvegerensi IFRS
Pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebenarnya diharuskan menggunakan
BahasaI ndonesia dan satuan mata uang Rupiah. Namun demikian, Pasal 28 ayat (8)
Undang-undang KU Pmemberikan ruang kepada Wajib Pajak tertentuuntuk
menggunakan Bahasa Asing dan satuan mata uang selain Rupiah setelah mendapat izin
dariMenteri Keuangan.

4. Kewajiban Perpajakan
Mengacu pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, serta mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Orang pribadi atau badan yang
memenuhi kriteria wajib pajak harus melaporkan pajaknya atas penghasilan, kekayaan,
dan properti yang dimiliki.
Agar Wajib Pajak orang pribadi dan badan dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya dengan lancar, maka akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, NPWP adalah
identitas atau tanda pengenal bagi Wajib Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).
Lebih lanjut, dasar hukum NPWP telah tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 mengenai Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor
Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusahan Kena
Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak.
Selain itu, ketentuan mengenai NPWP saat ini juga diatur dalam
PMK-112/PMK.03/2022 mengatur tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintahan
Wajib Pajak merupakan orang pribadi ataupun badan yang memiliki kewenangan
untuk membayar pajak, memotong pajak, dan memungut pajak, serta memiliki hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Salah
satu hal yang berkaitan atau hal yang identik dengan Wajib Pajak adalah Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan
administrasi perpajakan, dimana nomor ini dapat dipergunakan oleh Wajib Pajak sebagai
tanda pengenal diri atau identitas diri Wajib Pajak yang bersangkutan dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

5. Sejarah Perkembangan Perpajakan di Indonesia


Sebenarnya di Indonesia sudah mengenal pajak sebelum masuknya belanda, saat itu
pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti sendiri adalah pajak yang harus dibayarkan oleh
rakyat untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya. Contohnya seperti
membangun istana atau membiayai rumah tangga kerajaan.
Ketika Belanda masuk dan menjajah Indonesia, saat itulah kita mengenal system
perpajakan modern. Pemerintah Belanda membedakan besar tariff pajak berdasarkan
kewarganegaraan wajib pajak. Pada tahun 1885 pemerintah Belanda memberlakukan
kenaikan pajak rumah tinggal untuk warga Asia menjadi 4%.
Ada dampak negatif akibat dari pengenaan pajak di era kolonial dan era sebelumnya,
yaitu membuat sebagian masyarakat menganggap bahwa pajak itu hanya bentuk dari
superioritas penguasa kepada rakyatnya. Karena pada masa itu hamper semua sektor
pemungutan pajak dilakukan dengan cara manual dan tanpa pengawasan. Hal inilah yang
kadang menjadi penyebab terjadinya penyelewengan pemungutan pajak pada masa itu
dan meninggalkan kesan kurang baik sampai sekarang.

6. Prinsip Dasar Akuntansi Pajak


● Kesatuan Akuntansi :
- Perusahaan dianggap sebagai kesatuan ekonomi yang terpisah dengan pihak-
pihak yang berkepentingan dengan sumber-sumber perusahaan.
- Ada pemisahan yang jelas antar perusahaan dengan pemilik, persero atau
pemegang saham, mengenai kekayaan, hutang piutang, penerimaan dan
pengeluaran uang, antara kepentingan perusahaan dengan pribadi, pemilik atau
pemegang saham tidak boleh bercampur.
- Dasar hukumnya : Pasal 28 ayat 7 UU KUP (pembukuan harus memisahkan
harta dari wajib pajak).
● Berkesinambungan : Dasar hukumnya pasal 28 ayat 11 KKU, data yang berkaitan
dengan pembukuan WP harus disimpan dalam jangka waktu 10 tahun.
● Harga pertukaran yang Objektif : Pasal 18 ayat 3 UU PPh penentuan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan hutang sebagai modal
untuk menghitung besarnya PKP bagi WP yang mempunyai hubungan istimewa
dengan WP lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman.
● Konsistensi : penggunaan metode dalam pembukuan tidak boleh berubah (Pasal 28
ayat 5 UU KUP : pembukuan diselenggarakan dengan prinsip asa konsistenasi.
● Konservatif : kemungkinan rugi belum direalisasi masih tafsiran tetapi sudah diakui
kerugian dengan cara membentuk penyisihan piutang atau cadangan, sementara
kemungkinan laba yang timbul tidak diakui. (Pasal 9 ayat 1 c UU PPh, WP tidak
diperbolehkan membentuk dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk bank, leassing, asuransi dan reklamasi pertambangan.

7. Laporan Keuangan Komersial


Setiap pertangungjawaban diidentifikasikan sebagai laporan kegiatan apapun yang
dilakukan dalam periode tertentu. Kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban
mengutang, memperutangkan, dan menyetor pajak yang terutang pada periode tertentu
inilah yang dituangkan dalam SPT untuk periode “Masa Pajak” dan “Tahun Pajak”
sehingga terdapat SPT Masa dan SPT Tahunan. Pengisian SPT yang dilakukan Wajib
Pajak ini harus benar, lengkap, dan jelas. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
adanya pemahaman fungsi, kegiatan usaha yang dalam bidang akuntansi disebut sebagai
konsep dasar entitas.

8. Laporan Keuangan Fiskal


Setiap pertangungjawaban diidentifikasikan sebagai laporan kegiatan apapun yang
dilakukan dalam periode tertentu. Kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban
mengutang, memperutangkan, dan menyetor pajak yang terutang pada periode tertentu
inilah yang dituangkan dalam SPT untuk periode “Masa Pajak” dan “Tahun Pajak”
sehingga terdapat SPT Masa dan SPT Tahunan. Pengisian SPT yang dilakukan Wajib
Pajak ini harus benar, lengkap, dan jelas. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
adanya pemahaman fungsi, kegiatan usaha yang dalam bidang akuntansi disebut sebagai
konsep dasar entitas.
Laporan keuangan komersial dapat juga diubah menjadi laporan keuangan fiskal
dengan melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian dengan peraturan perpajakan.
Perbedaan, yng disebut perbedaan permanen dan sementara menyebabkan laporan
keuangan komersial dan fiskal tidak sama. Apabila Wajib Pajak berkeinginan untuk
menyusun laporan keuangan fiskal maka hal-hal yang perlu tercakup dlm laporan
keuangan fiskal terdiri dari:
1) Neraca fiskal
2) Perhitungan laba rugi
3) Penjelasan laporan keuangan fiskal
4) Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal

9. Hubungan Laporan Keuangan Fiskal dan Komersil


Laporan keuangan fiskal (yang dilampirkan pada SPT) dapat disusun dengan proses
penyesuaian atau rekonsiliasi ketentuan perpajakan terhadap laporan keuangan komersial.
Untuk mengamankan data historis, atas penyesuaian itu perlu diadakan pencatatan
terhadap pos-pos yang menyebabkan perbedaan sementara (timing difference) antara
ketentuan pajak dan standar akuntansi keuangan (misalnya penyusutan). Implikasi dari
aktivitas itu menunjukkan adanya perangkat “pembukuan ganda” terhadap pos-pos
tertentu yang memungkinkan adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan
standar akuntansi komersial untuk mengamankan kontinuitas rekonsiliasi. Namun, karena
pembukuan itu dapat direkonsiliasikan, secara yuridis fiskal “pembukuan ganda” itu
dapat dipertimbangkan.
Dalam praktek, pajak penghasilan dapat dihitung (untuk keperluan penghitungan laba
komersial) berdasarkan laba akuntansi (pajak teoritis) atau laba kena pajak (pajak riil).
Selisih antara keduanya dicatat sebagai pos aktiva lain-lain di neraca yang secara teoritis
dapat dialokasikan dari waktu ke waktu. Dari praktek itu tampak SAK memberikan
kelonggaran kepada pengusaha untuk memilih metode akuntansi pajak penghasilan.
Dalam laporan keuangan fiscal dapat di sesuaikan atau direkonsiliasikan ketentuan
perpajakan terhadap laporan keuangan komersial. Dari rekonsiliasi tersebut untuk
mengamankan perbedaan sementara seperti penyusutan, dapat dibuat pos- pos tertentu.
Dari aktivitas tersebut dapat dibuat pembukuan ganda yang memungkinkan adanya
perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi komersial untuk
mengamankan kontinuitas rekonsiliasi.
Dalam praktek, pajak penghasilan dapat dihitung berdasarkan laba akuntansi (pajak
teoritis) atau laba kena pajak (pajak riil). Selisih antara keduanya di catat sebagai pos
aktiva lain- lain di neraca yang secara teoritis dapat dialokasikan dari waktu - kewaktu.
Dari praktek tersebut SAK memberikan kelonggaran kepada pengusaha untuk memilih
metode akuntansi pajak penghasilan.

REKONSILIASI LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL DENGAN LAPORAN


KEUANGAN FISKAL

Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara lap keu komersial dan lap
keu fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak
(PKP). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial
ang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan
dengan biaya terkait, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adl penerimaan negara.
Dlm penyusunan lap keu fiskal, WP harus mengacu pada peraturan perpajakan, shg
lap keuangan komersial yang dibuat berdasarkan SAK harus disesuaikan/koreksi fiskal lebih
dulu sebelum menghitung besarnya PKP.

Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal ada 2:
1.Perbedaan Waktu
Perbedaan terhadap jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan komersial
dengan
laporan keuangan fiskal dapat terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan
beban. Hal ini berakibat adanya penundaan pengakuan.
Contoh:
Penyusutan aset tetap dengan masa/umur ekonomis 10 tahun, tetapi menurut perpajakan
hanya terbatas 4 tahun karena masuk dalam Kelompok I, sehingga alokasi beban penyusutan
dalam kurun waktu yang berbeda pula.

Yang dapat menimbulkan beda waktu adl perbedaan metode pengakuan terhadap:
1. Piutang usaha
2. Efek
3. Persediaan
4. Tagihan/utang dalam valuta asing
5. Harta berwujud dan tidak berwujud
6. Penyertaan saham
7. Biaya pendirian dan perluasan usaha
8. Biaya sebelum produksi komersial
9. Biaya dibayar dimuka jangka panjang
10.Selisih kurs
11.Pencadangan kewajiban bersyarat/cadangan lain
12.Pengakuan penghasilan & biaya atas proyek jangka
panjang
13.Hak penambangan dan Hak Pengusaha Hutan

2. Perbedaan tetap/permanen
Perbedaan pengakuan suatu penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya permanen.
Suatu penghasilan atau biaya tidak akan diakui untuk selamanya dalam rangka
menghitung penghasilan kena pajak (taxable income)
Contoh:
Pendapatan yang diperoleh dari bunga deposito memang secara akuntansi komersial akan
masuk sebagai penghasilan, tetapi aturan perpajakan tidak masuk dalam penghasilan kena
pajak diterapkan dengan tarif pajak pasal 17 UU PPh karena pengenaan pajak atas bunga
deposito bersifat final. Demikian halnya dengan biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam
bentuk natura dan kenikmatan.
Yang termasuk beda tetap:
1. Pemberian kenikmatan atau natura
2. Biaya jamuan tamu
3. Sumbangan
4. Rugi penarikan harta tetap dari pemakaian
5. PPh pasal 26 atas royalti yang ditanggung oleh pemberi hasil
6. Hibah dan warisan
7. Bunga dan dividen

Anda mungkin juga menyukai