Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MATA KULIAH AKUNTANSI

PERPAJAKAN
KEWAJIBAN PEMBUKUAN DAN PRINSIP DASAR
AKUNTANSI PAJAK

Disusun oleh Kelompok 6 (AK6-B3):


1. Noer Yanitavia (142010300138)
2. Eka Listya Putri (142010300169)
3. Rifqi Ardiansyah (142010300172)
4. Emy Sulistiana (142010300173)
5. Ayu Octaning Tyas (142010300176)

FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
SEMESTER GENAP 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima dalam satu tahun pajak (Waluyo, 2010:89). Subjek Pajak
yang dimaksud adalah baik orang pribadi maupun badan (perusahaan). Penghasilan
suatu perusahaan akan dihitung dari catatan, buku, serta dokumen pendukung lainnya
yang dikelola dalam suatu sistem akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan. Dari
penghasilan perusahaan inilah yang akan dikenakan tarif pajak penghasilan. Pajak
penghasilan merupakan bagian dari laba bersih perusahaan.
Bagi pemerintah, pajak mempunyai fungsi sebagai sumber penerimaan negara.
Berdasarkan fungsi ini, pajak adalah bagian laba perusahaan yang seharusnya
diberikan ke pemerintah untuk mendukung pembangunan nasional. Hal ini
mengakibatkan semakin besar pajak yang disetorkan oleh perusahaan maka akan
semakin baik bagi pemerintah. Di sisi yang lain, bagi perusahaan pajak lebih sering
dianggap sebagai pos pengurang laba bersih yang seharusnya bisa diminimalkan oleh
perusahaan. Pajak diakui sebagai elemen utama dalam kebijakan pengeluaran
perusahaan (Modigliani dan Miller, 1958; dalam Wibisono, 2009). Bagi perusahaan,
pajak penghasilan adalah bagian laba bersih yang dibagikan ke pihak lain
(pemerintah), sehingga pajak akan mengurangi bagian laba yang seharusnya dapat
dibagikan ke pihak manajemen, pemilik modal atau dimanfaatkan untuk peningkatan
investasi perusahaan (Guenther,1994; dalam Wibisono, 2009).
Pencatatan keuangan dalam akutansi dan pajak dilakukan dengan cara atau
aturan tertentu. pengetahuan mengenai prosedur pencatatan akutansi sangat
bermanfaat terutama sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.

1.2. Rumusan Masalah


1) Apa yang dimaksud dengan kewajiban pembukuan?
2) Bagaimana pencatatan dan norma penghasilan netto ?
3) Apa pengecualian dan sanksi dari kewajiban pembukuan ?
4) Apa saja prinsip yang mendasari Akuntansi Pajak?
5) Bagaimana perbedaan laporan keuangan komersial?

1.3. Tujuan
1) Mengetahui penjelasan dari kewajiban pembukuan
2) Mengetahui pencatatan dan norma penghasilan netto
3) Mengetahui pengecualian dan sanksi dari kewajiban pembukuan
4) Mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari Akuntansi Pajak
5) Mengetahui perbedaan Laporan Keuangan Komersial
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kewajiban Pembukuan

Mengapa Perusahaan Diwajibkan Melakukan Pembukuan/Akuntansi?


Di Indonesia kewajiban melakukan pembukuan setiap perusahaan
didasarkan pada Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 6,
yang berbunyi: Tiap-tiap orang yang melakukan/menjalankan perusahaan
menyelenggarakan pembukuan perusahaan, sehingga diketahui segala hak dan
kewajibannya.

Tujuan yang Akan Dicapai:


Untuk mendapatkan informasi-informasi tentang transaksi keuangan dan
transaksi barang agar dapat ditentukan dengan tepat kebijaksanaan selanjutnya.
Selain KUHD Pasal 6, juga UU Pajak tahun 2000 Pasal 28 ayat 1-12 yang
mewajibkan perusahaan menyelenggarakan pembukuan perusahaan, sehingga
diketahui hak dan kewajibannya.
Pembukuan yang baik memudahkan pengusaha menghitung laba rugi dan
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Begitu pula pembukuan yang
diselenggarakan dengan baik akan memungkinkan investor melakukan
penilaian keadaan perusahaan apakah sehat atau tidak

Pembukuan
Untuk dapat menghitung dan memperhitungkan sendiri pajak terhutang
diperlukan suatu pembukuan dan pencatatan yang teratur terhadap segala
kegiatan usaha Wajib Pajak.
Pembukuan menurut pajak berbeda dengan pengertian menurut akuntansi.
Menurut akuntansi, Pembukuan adalah kegiatan mengumpulkan,
mencatat, meringkas data transaksi keuangan ke dalam buku atau catatan yang
telah disediakan serta pengendalian proses akuntansi melalui prinsip
pengendalian internal, pengukuran nilai transaksi ke dalam nilai moneter
berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan penyajian hasil transaksi
keuangan menjadi suatu informasi keuangan yang berguna bagi pengambil
keputusan.
Menurut Pasal 1 angka 29 UU KUP (Menurut Perpajakan): "Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,
dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Dari bunyi pasal tersebut ada hal-hal penting yang biasanya kurang
diperhatikan oleh Wajib Pajak sebagai berikut :
1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus dilakukan secara tertaur yang
berarti harus dikerjakan dari waktu ke waktu dan secara up to date atau
dimutakhirkan terus-menerus dan berkesinambungan. Hal ini bisa menjadi
indikasi dari benar-tidaknya pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak;
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga
dapat dengan mudah diketahui harga perolehan dan harga penyerahan barang
atau jasa yang terhutang PPN, tidak terhutang PPN, dikenakan PPN 0%, PPN-
nya ditangguhkan, PPN-nya ditanggung pemerintah dan dikenakan PPnBM.

Dengan demikian pengertian pembukuan dalan peraturan perpajakan lebih


luas cakupannya, karena di samping tujuannya untuk memperoleh angka
Penghasilan Kena Pajak juga untuk menghitung kewajiban pemungutan PPN
dan PPnBM serta untuk menghitung kewajiban pemotongan dan pemungutan
pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.
Wajib Pajak Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Pembukuan wajib diselenggarakan oleh:
a. Wajib Pajak (WP) Badan
b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Kriteria kesiapan wajib pajak dalam melakukan pembukuan diukur dari
jumlah peredaran usahanya. Karena peredaran usaha ini menunjukkan skala
aktivitas perusahaan yang dianggap merupakan ukuran yang paling dapat
diterima untuk menentukan kesiapan Wajib pajak tersebut dalam melakukan
pembukuan.
Khusus untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
yang memenuhi syarat tertentu dikecualikan dari kewajiban pembukuan. Wajib
Pajak ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang omsetnya dalam satu tahun
kurang dari Rp 4,8 Milyar sesuai Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan. Sedangkan Wajib Pajak badan tidak diberikan pengecualian.
Artinya seluruh Wajib Pajak badan (dalam negeri dan BUT) wajib untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Persyaratan Pembukuan/ Prinsip-Prinsip Pembukuan Menurut Ketentuan
Pajak

Berikut ini adalah syarat-syarat atau ketentuan tentang pembukuan yang


harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan:

1. Harus dilandasi itikad baik


Pembukuan harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak dengan memperhatikan
itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
Perhatikan bahwa pembukuan harus dibuat berdasarkan prinsip kejujuran dan
tidak diniatkan untuk memanipulasi data atau merekayasa pembukuan untuk
menghindari pajak atau bahkan untuk menggelapkan pajak. Tidak ada data
yang disembunyikan dan juga tidak ada pencatatan yang tanpa didukung fakta.

2. Konten Pembukuan

Isi atau kandungan dari pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan


mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengaturan
ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.

Selain untuk dapat menghitung besarnya PPh terutang, pajak lainnya juga
harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPnBM dapat
dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga
perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga
jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah
pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem


yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan
lain.

3. Tempat, Huruf, Angka, Mata Uang, Bahasa

Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf


Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa
Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan. Ketentuan teknis tentang pembukuan dengan menggunakan bahasa
asing dan mata uang selain rupiah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan
Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah
Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan.
4. Waktu dan Tempat Penyimpanan Dokumen

Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia. Buku, catatan, dan dokumen


yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di
tempat kedudukan Wajib Pajak badan.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan
dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk
mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha.

Ketentuan tersebut dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan


mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang
diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10
(sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan


atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor
keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

5. Prinsip Taat Asas

Pembukuan harus diselenggarakan dengan prinsip taat asas. Prinsip taat asas
adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-
tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat
asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan
penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, atau metode
penyusutan dan amortisasi.

Wajib Pajak juga harus taat asas dalam menerapkan stelsel akrual atau stelsel
kas. Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya
dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan
kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan


berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya
dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang
usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.

Sebaliknya, Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan


atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar
telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru
dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam
suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang
waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan
barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan
biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.

Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku masih


dimungkinkan tetapi harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Ya, Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus
sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan
metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan.

Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan


syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan
metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum
dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang
logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip


taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau
sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau
pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang
berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu

Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah
penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut
juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

Sebagaimana kita ketahui, Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender
kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan
menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau
lebih.

Contoh: Misalnya tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah
Tahun Pajak 2008. Sementara itu tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan
30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.

Pembukuan Terpisah Untuk Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final dan


Yang Bukan Objek Pajak

Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, Wajib


Pajak juga harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:

1. Memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat


final dan tidak final;
2. Menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan
bukan objek pajak; atau
3. Mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan


secara teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi,
penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak
Penghasilan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dengan kegiatan usaha yang
dikenai PPh yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto
yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objek pajak, serta
penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan fasilitas
perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31A UU PPh.

Misalkan: PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang


berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin
pengolahan di Papua dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi
perusahaan.

Sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan


untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62
Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di
daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.Salah satu bentuk
fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan amortisasi
yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan
untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan
fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas
perpajakan (di Jakarta)

Pada prinsipnya pembukuan pajak mengikuti akuntansi yang lazim dan


berlaku umum. Akuntansi menganut stelsel kas dan akrual, sedangkan pajak
membolehkan Wajib Pajak melakukan pembukuan berdasarkan stelsel akrual
atau stelsel kas yang telah dimodifikasi (modified cash basis) yang dilakukan
secara taat asas. Dalam rangka penghitungan Penghasilan Kena Pajak, maka
pembukuan harus dilaksanakan dengan modified cash basisyang dapat
diterangkan sebagai berikut:
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh
penjualan baik tunai maupun kredit, konsekuensinya penghitungan harga
pokok juga harus menyertakan seluruh pembelian dan persediaan;
2. Dalam hal memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan hanya
dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

Seperti yang telah diuraikan di atas, orang atau badan hukum yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia yang menurut
undang-undang perpajakan diwajibkan untuk mengadakan pembukuan, harus
menyelenggarakan pembukuan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
dilakukannya;
b. Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat azas;
c. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat
dipertanggung-jawabkan kebenaran dan keabsahannya;
d. Pembukuan harus ditutup dengan membuat laporan neraca dan perhitungan
laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Perubahan Tahun Buku dan Metode Pembukuan


Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas. Perubahan tahun buku dan perubahan metode
pembukuan harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak
Tujuan Pembukuan
Pembukuan dalam perpajakan dimaksudkan untuk mempermudah
pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), penghitungan Pengusaha Kena Pajak
(PKP), dan Penghitungan PPN dan PPnBM, yang pada dasarnya untuk
mengetahui posisi keuangan. SPT sendiri merupakan sarana bagi Wajib Pajak
(WP) untuk melaporkan semua kegiatan usahanya dalam periode tertentu. SPT
yang dihasilkan merupakan alat bantu komunikasi antara fiskus dan WP.
SPT juga merupakan obyek pemeriksan pajak sehingga sebaiknya tidak
menyajikan informasi-informasi yang salah, yang dapat merugikan baik dari
pihak fiskus ataupun pihak wajib pajak. Wajib Pajak yang melakukan
pembukuan, diminta untuk melampirkan SPT tahunan PPh WP Badan
sedangkan bagi WP orang pribadi, hanya yang diwajibkan dalam Undang-
Undang saja yang wajib melakukan pembukuan. Bagi WP orang pribadi yang
tidak melakukan pembukuan, wajib melakukan pencatatan dengan
melampirkan Daftar/Perhitungan Penghasilan Bruto pada SPT tahunan PPh
WP Orang Pribadi (WPOP).
Pembukuan dan pencatatan yang terorganisir dapat membantu Wajib Pajak
dalam menyusun laporan keuangan dan mengisi SPT serta dapat membantu
pertanggungjawaban WP jika terjadi pemeriksaan dan penyidikan pajak yang
dilakukan oleh pihak fiskus.

Siapa Saja yang Diperkenankan Menyelenggarakan Pembukuan dalam


Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah?
Yang dapat melakukan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang
selain rupiah:

1. Wajib Pajak Penanaman Modal Asing;


2. Wajib Pajak dalam rangka kontrak karya pertambangan;
3. Wajib Pajak dalam rangka kontrak bagi hasil;
4. Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri;
5. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Apa Persyaratan bagi Wajib Pajak untuk Diperkenankan


Menyelenggarakan Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang
Selain Rupiah ?
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah:
1. Bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang boleh dipergunakan adalah
bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat;
2. Mendapat izin Menteri Keuangan;
3. Permohonan izin kepada Menteri Keuangan harus dilampiri dengan:
a. Wajib Pajak yang telah berdiri lebih dari 1 tahun :
fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun terakhir
b. Wajib Pajak yang baru berdiri dalam tahun berjalan:
foto kopi NPWP
foto kopi Akte Pendirian, atau dokumen lain yang serupa (bagi WP BUT)
Jika telah memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan akan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan dalam jangka
waktu 30 hari sejak permohonan diterima

Pencatatan
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto
dan atau penerimaan Penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau
yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan wajib dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang
diperkenankan norma perhitungan penghasilan neto, yaitu WP Orang Pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran usaha
kurang dari Rp. 4.800.000.000 setahun diperbolehkan menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan norma dan Wajib pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan sebaiknya
dilakukan dalam satu tahun pajak yang meliputi 12 bulan. Keinginan wajib
pajak dalam menyelenggarakan pencatatan wajib dilaporkan ke Dirjen Pajak.

Apa Tujuan Pencatatan bagi Wajib Pajak ?


Tujuan pencatatan:
1. Mempermudah pengisian SPT
2. Mempermudah penghitungan Penghasilan Kena Pajak
3. Mempermudah penghitungan PPN dan PPn BM

Yang Boleh Menyelenggarakan Pencatatan


Pencatatan wajib dilakukan oleh:
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto
berdasarkan pasal 14 ayat (2) undang-undang pajak penghasilan
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan
yang bukan objek pajak dan/ atau penghasilan yang dikenakan pajak
yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara sebagaimana yang
ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.

Syarat-Syarat Pencatatan
1. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung
dengan dokumen yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau
penerimaan bruto dan/ penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan
objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat
final.
2. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
3. Pencatatan dalam 1 tahun harus diselenggarakan secara kronologis
4. Pencatatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus
disimpan di tempat tinggal wajib pajak atau tempat kegiatan usaha
dilakukan selama 10 tahun terhitung sejak saat terutangya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
5. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/ atau penghasilan buto sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/ atau yang dikenakan pajak yang bersifat
final
6. Bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau
tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas
jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis
usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.

Tata Cara Pencatatan


1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan harus mencatat peredaran atau penerimaan bruto, dan
penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau penghasilan yang
dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan
yang bukan objek pajak dan/ atau penghasilan yang dikenakan pajak
yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara sebagaimana yang
ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
Kerahasiaan Pembukuan
Pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak bersifat rahasia. Pada
saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka
kerahasiaan/kewajiban untuk merahasiakan pembukuan itu ditiadakan/ gugur.

2.2.Pencatatan dan Norma Penghasilan Netto

Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan penghasilan netto


Wajib Pajak, karena Wajib Pajak tersebut tidak wajib melakukan
pembukuan.Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan
adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah
Rp. 4.800.000.000,00.
2. WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya
di atas Rp. 4.800.000.000,00 Wajib Pembukuan.
3. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
bulan pertama dari tahun buku.
4. Menyelenggarakan pencatatan.
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan pemberitahuan akan
menggunakan Norma Penghitungan sebagai dasar penghitungan
pajaknya kepada Direktur Jenderal Pajak dianggap memilih untuk
menggunakan pembukuan.
Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau
pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau
bukti-bukti pendukungnya, maka Penghasilan nettonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto atau cara lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang
Pribadi yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh
Beberapa Wajib Pajak Badan sesuai dengan jenis usahanya akan
menyajikan Norma Khusus yaitu bagi Perusahaan seperti berikut ini:
1. Perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional.
2. Perusahaan asuransi luar negeri.
3. Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.
4. Perusahaan dagang asing.
5. Perusahaan yang melakukan investasi dengan pola bangun-guna-serah
(build-operate-transfer).

2.3. Pengecualian dan Sanksi dari Kewajiban Pembukuan

Pengecualian kewajiban penyelenggarakan pembukuan tetapi wajib


melakukan pencatatan adalah terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut kjetentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan menghitung pengahasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidaj melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dalam prakteknya, tidak semua wajib pajak melakukan pembukuan atau
pencatatan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang pajak Indonesia.
Jika terjadi pemeriksaan atau penyidikan dan wajib pajak tidak dapat
menunjukkan pembukuan atau pencatatan yang dilakukan maka akan
diberikan sanksi.
Pasal 39 undang-undang KUP, yaitu barang siapa dengan sengaja:
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainnya; atau
3. Tidak menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
secara progam aplikasi online di indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, akan
dikenakan sanksi:

1. Sanksi Administratif.
Mewajibkan sistem Norma Penghitungan dengan penerapan tarif
tertentu tanpa melihat kembali apakah wajib pajak tersebut rugi atau
untung;
Memberikan sanksi bunga 2% per bulan kepada Wajib Pajak jika
terdapat pajak yang tidak atau kurang bayar.
Menyetor kembali PPN dan PPnBM terutang atau kurang bayar akibat
kompensasi yang seharusnya tidak mendapat kompensasi tarif 0%
ditambah kenaikan 100% dari jumlah yang kurang dibayar.

2. Sanksi Pidana
Penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 4 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

2.4. Prinsip- prinsip Akuntansi Pajak


Prinsip dasar akuntansi yang disampaikan oleh APB Statement No. 4 adalah
sebagai berikut :
1. Cost Participle
Prinsip biaya atau biaya historis yiatu dasar pencatatan perolehan barang,
jasa harga pokok, biaya maupun ekuitas sehingga paling pokok adalah
penilaian yang didasarkan harga pertukaran pada saat perolehan.
2. Revenue Principle
Prinsip pendapatn lebih menjelaskan tentang sifat dan komponen,
pengukuran, dan pengakuan bahwa pendapatan sebagai komponen
penyusunan laba rugi.
3. Matching Principle
Prinsip pemadanan menjelaskan mengenai masalah pembebanan biaya
pada periode yang sama dengan periode pengakuan hasil sehingga
pengakuan hasil diakui pada saat periode pengakuan hasil sedangkan
pembebanan biaya diakui pada periode tersebut.
4. Objectivity Principle
Masalah objektivitas memiliki penafsiran berbeda. Objektivitas dapat
dianggap sebagai hasil konsesus kelompok yang mengukur atau
objektivitas diukur dengan batasan tertentu.
5. Consistency Principle
Prosedur dan prinsip akuntansi yang sama dilaporkan pada periode yang
bersangkutan sehingga peristiwa yang sama dicatat dan dilaporkan secara
komsisten.
6. Disclosure Principle
Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) mengharusakn laporan
akuntansi dibentuk dan disajikan berdasarkan peristiwa yang
mempengaruhi perusahaan dalam periode tersebut. Laporan keuangan
diharapkan jujur (fair), lengkap (full), dan memadai (adequate) agar piahk
internal maupun ekternal dapat mengambil manfaat dari informasi yang
disajikan oleh laporan keuangan .
7. Conservatism Principle
Prinsip konservatisme atau pengecualian umumnya digunakan untuk hal
yang tidak menentu atau dalam kondisi ketidakpastian. Prinsip
konservatisme kurang penekanannya karena semakin banyak pihak yang
mengutamakan jujur (fair) dan dapat diandalkan.(reliable) pada setiap
laporan keuangan yang disajikan.
8. Materiality Principle
Menurut APB StatementNo 4 , prinsip materialitas mengandung arti
bahwa laporan keuangan hanyan menyangkut informasi yang dianggap
penting (material) dalam mempengaruhi penilaian.
9. Uniformity and Comparability Principle
Prinsip ini menekankan pada keseragaman dan dapat dibandingkan, yang
merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai dalam penyusunan prinsip
akuntansi.

2.5. Perbedaan Laporan Keuangan Komersial


1. Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan
prinsip akuntansi bersifat netral atau tidak memihak. Laporan keuangan
fiskal adalah laporan yang disusun khusus untuk kepentingan perpajakan
dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan. Hal - hal yang perlu
tercakup dalam laporan keuangan fiskal terdiri dari:
a. Neraca fiskal;
b. Perhitungan laba rugi dan perubahan laba yang ditahan;
c. Penjelasan laporan keuangan fiskal;
d. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan
fiskal;
e. Ikhtisar kewajiban pajak.
f. Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) yang dilampiri oleh laporan keuangan.

2. Perbedaan Konsep Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan


Fiskal
Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan
keuangan fiskal terdapat pada perbedaan mengenai konsep penghasilan atau
pendapatan
Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah Kenaikan
manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan
atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Dari
sisi fiskal, konsep penghasilan tidak jauh berbeda dengan konsep akuntansi,
yaitu : Segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima / diperoleh
Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia
yang bisa dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama
dan dalam bentuk apapun. Lebih lanjut fiskal membedakan penghasilan
tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai dengan UU No 36 Tahun 2008
Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan
b. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final
c. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan
Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan
mengenai konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang
bukan objek pajak berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak
(tidak menambah laba fiskal), lebih jelasnya tentang pengelompokkan
penghasilan tersebut diuraikan dalam UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat
1,2 & 3 Tentang Pajak Penghasilan.

3. Perbedaan Konsep Beban (Biaya)


Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai Penurunan
manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar
atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal. Sisi Fiskal sendiri, mengartikan Beban sebagai biaya untuk
menagih, memperoleh dan memelihara penghasilan atau biaya yang
berhubungan langsung dengan perolehan penghasilan. Perbedaan inilah
yang menyebabkan pihak fiskus sering berbeda pendapat dengan wajib
pajak dalam hal menentukan beban/biaya yang boleh atau tidak boleh
dikurangkan sehingga harus dikeluarkan/tidak boleh diperhitungkan sebagai
pengurangan penghasilan. Misalnya penafsiran atas bunyi undang - undang
yang menyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
adalah meliputi biaya untuk menagih, memelihara dan mempertahankan
penghasilan. Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk memberikan
sumbangan baik yang wajib maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak
disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Kemudian wajib pajak
menganggap biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dibiayakan karena
dikeluarkan sehubungan dengan kelancaran usaha, sedangkan pihak fiskus
menganggap biaya tersebut termasuk hibah, bantuan dan sumbangan yang
tidak boleh dikurangkan.
4. Perbedaan dalam konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan
Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan
terutama menyangkut konsep penyusutan dan penilaian persediaan barang
dagangan.
a. Konsep Penyusutan
Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang
perpajakan adalah penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang
boleh digunakan. Akuntansi menentukan umur aktiva berdasarkan
umur sebenarnya walaupun penentuan umur tersebut tidak terlepas dari
tafsiran Judgement.
Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode
penyusutan yaitu:
Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan
pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika dinilai
residunya tidak berubah.
Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu,
menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat
asset.
Metode Jumlah Unit (sum of the unit method), yaitu menghasilkan
pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.

Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan


yang harus dilaksanakan wajib pajak berdasarkan pasal UU No 36
tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan yaitu berdasarkan
metode garis lurus dan metode saldo menurun yang dilaksanakan
secara konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud) dikelompokkan
berdasarkan jenis harta dan masa manfaat sebagai penentuan masa
manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan
penyusutan maupun amortisasi.

b. Konsep Nilai Persediaan


Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan
dan pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan (cost) yang dilakukan dengan metode
rata-rata (average) atau dengan metode mendahulukan persediaan
yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first out (FIFO).
Penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada 3 jenis metode
yang dilakukan untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK
No 14 tahun 2007 yaitu dengan menggunakan rumus biaya masuk
pertama keluar pertama (MPKP atau FIFO), kemudian rata-rata
tertimbang (weight average cost method) dan masuk terakhir keluar
pertama (MTKP atau LIFO). Kemudian untuk barang yang lazimnya
tidak dapat digantikan dengan barang lain (not ordinary
interchangeable) dan barang serta jasa yang dihasilkan dan dipisahkan
untuk proyek khusus harus diperhitungkan berdasarkan identifikasi
khusus terhadap biayanya masing-masing.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Setiap perusahaan wajib dalam melakukan pembukuan berdasarkan


pada Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 6, dimana
pembukuan bertujuan untuk mempermudah pengisian Surat Pemberitahuan
(SPT), penghitungan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan Penghitungan PPN
dan PPnBM, yang pada dasarnya untuk mengetahui posisi keuangan.
membantu Wajib Pajak dalam menyusun laporan keuangan, serta dapat
menjadi alat pertanggungjawaban WP jika terjadi pemeriksaan dan penyidikan
pajak yang dilakukan oleh pihak fiskus. Pembukuan yang baik juga dapat
memudahkan pengusaha menghitung laba rugi dan menentukan besarnya
pajak yang harus dibayar. Begitu pula pembukuan yang diselenggarakan
dengan baik akan memungkinkan investor melakukan penilaian keadaan
perusahaan apakah sehat atau tidak
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno dan Estralita Trisnawati.2008.Akuntansi Perpajakan. Jakarta :


Salemba Empat

Agoes, Sukrisno dan Estralita Trisnawati.2013.Akuntansi Perpajakan. Jakarta :


Salemba Empat

Waluyo.2014. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai