Anda di halaman 1dari 12

A.

Pembukuan Perpajakan

A.1. Pengertian Pembukuan Perpajakan


Dalam dunia bisnis, setiap perusahaan membutuhkan sistem pencatatan yang mencatat
dan merekam semua aktivitas perusahaan secara rapi dan teratur. Secara umum, sistem
pencatatan aktivitas suatu usaha dinamakan akuntansi, yaitu suatu sistem informasi yang
menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi
dan kondisi perusahaan. Dengan demikian, pemimpin perusahaan dan pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengambil berbagai alternatif kebijakan untuk kelangsungan hidup
perusahaan.
Di Indonesia, pajak tidak dapat terlepas dari aktivitas bisnis. Dengan kata lain, pajak
dan bisnis saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti halnya dunia bisnis, dunia pajak juga
mengharuskan beberapa wajib pajak untuk melakukan sistem pencatatan suatu aktivitas bisnis.
Dalam pajak, sistem pencatatan tersebut lebih dikenal dengan nama pembukuan. Pembukuan
yang disusun secara rapi dan teratur dapat menghasilkan informasi mengenai pajak yang
terutang atas jumlah seluruh objek pajak yang diterima, diperoleh, diserahkan dan dilakukan
selama masa pajak (bulanan/tahunan) tertentu. Dengan demikian, pembukuan atau akuntansi
dapat memudahkan wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, antara
lain mempermudah wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan,
mempermudah perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak (Dasar Pengenaan Pajak untuk
PPN) dan menyajikan informasi tentang posisi finansial dan hasil usaha untuk dianalisa oleh
pengambil kebijakan perusahaan.

A.2. Ketentuan Pembukuan Perpajakan


Ketentuan pembukuan sebagaimana diatur dalam UU KUP dinyatakan bahwa pada
prinsipnya semua wajib pajak wajib menyelenggarakan pembukuan, kecuali wajib pajak
tertentu yang menurut undang-undang perpajakan diperkenankan untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan, tetapi harus menyelenggarakan pencatatan. Pasal 28 ayat 1 UU
KUP mewajibkan kepada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Jadi pada prinsipnya semua wajib pajak wajib pembukuan. Disadari bagi wajib pajak orang
pribadi tertentu, penyelenggaraan pembukuan menuntut tenaga dan biaya yang besar, sehingga
dimaksudkan agar tidak membebani masyarakat di luar kemampuannya maka ketentuan pasal

1
28 ayat 2 UU KUP, mengatur kepada wajib pajak tertentu yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan, diberikan kelonggaran untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan melainkan hanya menyelenggarakan pencatatan. Wajib Pajak yang dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib
Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

A.3. Tujuan Pembukuan Perpajakan


Tujuan kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan adalah agar dapat
digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, jumlah pajak yang sudah dibayar
sendiri atau melalui pemotongan dan atau pemungutan pihak lain, penghasilan yang bukan
objek pajak, penghasilan yang merupakan objek pajak, tetapi telah dikenakan pajak bersifat
final maupun tidak final. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
Pembukuan yang diselenggarakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuannya haruslah
memenuhi syarat antara lain sebagai berikut:
1. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka
arab, satuan mata uang rupiah dan disususun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa
asing atau satuan mata uang selain rupiah, yang dizinkan oleh Menteri Keuangan.
2. Pembukuan harus dilakukan secara teratur dan diselenggarakan dengan prinsip taat asas,
dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
3. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan
DJP.
4. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, utang atau kewajiban,
modal, penghasilan, biaya, penjualan, dan pemebelian sehingga dapat dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak‐pajak yang terutang.
5. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
6. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak
yang bersifat final.

2
7. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
secara program aplikasi on‐line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia,
yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan

A.4. Metode Pembukuan Perpajakan


Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasai 1 angka 29 UU KUP. Pengaturan dalam
ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus
dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah
harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang‐undang perpajakan menentukan lain. Prinsip taat asas pada pembukuan
adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun‐tahun
sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
pembukuan misalnya dalam penerapan:
1. Stelsel pengakuan penghasilan;
2. Tahun buku;
3. Metode penilaian persediaan; atau
4. Metode penyusutan dan amortisasi.

3
B. Pemeriksanaan Perpajakan

B.1. Definis Pemeriksaan Perpajakan


Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan
pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak
yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Sejak 1 Februari 2013 berlaku
peraturan baru, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Pajak. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Menurut Mardiasmo (2011:41), pengertian pemeriksaan pajak adalah serangkaian
kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan atau keterangan lainnya untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak yaitu
serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan dan
sebagai bentuk pengawasan pelaksanaan self assesment system untuk menguji kepatuhan
Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang berpegang teguh pada Undang-
Undang Perpajakan.

B.2. Tujuan Pemeriksaan Perpajakan


Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 pasal 2 tentang Tujuan
Pemeriksaan, bahwa tujuan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Menurut Mardiasmo (2011:41), tujuan pemeriksaan pajak
sebagai berikut :
1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak.

4
2. Untuk Tujuan Lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

B.3. Jenis-Jenis Pemeriksaan Perpajakan


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Pasal 3 tentang
Ruang Lingkup Pemeriksaan, jenis-jenis pemeriksaan pajak sebagaimana dibedakan menjadi
dua yaitu :
1. Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak atas satu,
beberapa atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya.
2. Pemeriksaan Kantor yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atas satu atau beberapa jenis pajak secara terkoordinasi antar seksi oleh Kepala Kantor,
dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan Kantor hanya dapat
dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor.
Pemeriksaan rutin lebih sering ditemui oleh para Wajib Pajak, dan dapat disebabkan
oleh beberapa peristiwa. Sebab-sebab tersebut diantaranya adalah:
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh dan/atau SPT Masa PPN lebih bayar
restitusi pasal 17B UU KUP;
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar kompensasi;
- Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi;
- Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran
usaha;
- Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia selama-lamanya dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Wajib Pajak. Untuk dapat mengetahui dan melaksanakan hak dan kewajiban tersebut, sebagai
Wajib Pajak setidaknya perlu mengetahui bagaimana tahapan pelaksanaan pemeriksaan yang
akan dialami oleh Wajib Pajak. Berikut tahapannya:
- Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SPPL) atau Surat Panggilan
Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
- Pertemuan dengan Wajib Pajak
- Pemeriksaan di Tempat Wajib Pajak atau Pemeriksaan di Kantor Pajak
- Peminjaman Buku, Catatan, dan/atau Dokumen
- Pemeriksaan Buku, Catatan, dan/atau Dokumen (Pengujian)
- Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan & Tanggapan Wajib Pajak

5
- Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP)
- Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

6
C. Penyidikan Perpajakan

C.1. Definisi Penyidikan Perpajakan


Kegiatan penyidikan ini termasuk salah satu agenda dalam bidang perpajakan yang
berkaitan dengan tindak pidana pajak. Hal ini dilakukan dengan indikasi penemuan bukti
permulaan pajak. Sehingga dalam kegiatannya dapat dikenakan kepada siapa saja. Penyidikan
pajak adalah proses dan agenda dalam perpajakan, yang dilakukan dengan tujuan untuk proses
kelanjutan dari pemeriksaan bukti permulaan pajak. Sehingga dalam prosesnya terdapat
indikasi penemuan bukti lanjutan, yang mendukung bukti permulaan pajak tersebut. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengertian penyidikan pajak yaitu proses penyidikan, yang bertujuan
untuk mengumpulkan bukti petunjuk tambahan, yang berfungsi untuk proses kelancaran
pembayaran pajak dari wajib pajak.
Seperti yang diketahui sendiri bahwa bukti permulaan merupakan salah satu benda,
keadaan maupun bukti dalam bentuk apapun, yang bisa memberikan petunjuk maupun bukti
terkait adanya proses tindak pidana pajak. Sehingga pada dasarnya dengan adanya proses
penyidikan pajak, yang bertujuan untuk mendapatkan bukti tambahan dan lanjutan ini dapat
membuat pidana perpajakan lebih jelas. Untuk selanjutnya dapat ditemukan titik terang terkait
permasalahan pajak, yang dapat membantu petugas pajak dalam proses penyidikannya. Pada
dasarnya penyidikan merupakan salah satu tahapan dan proses penyelesaian, terhadap perkara
dan permasalahan. Sedangkan di dalam hukum pidana, penyidikan ini dapat dilakukan setelah
melewati berbagai rangkaian agenda. Pada tiap agenda tersebut tentunya bertujuan untuk
memperoleh sebuah peristiwa, yang erat kaitannya dengan dugaan tindakan pidana. Maka dari
itu hal ini disebut dengan penyelidikan.
Perlu diketahui oleh wajib pajak bahwa kegiatan penyidikan ini merupakan salah satu
agenda penting dalam bidang perpajakan. Maka dari itu berdasarkan ketentuan tersebut maka
wajib bagi wajib untuk patuh dan mendukung proses kelancaran penyidikan terhadap pajak.
Wajib bagi wajib pajak untuk membantu kelancaran jalannya proses dan kegiatan yang
dilakukan oleh petugas pemeriksaan pajak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membantu
kelancaran proses penyidikan, tidak menyembunyi bahan bukti penyidikan pajak dan
membantu penyidikan dengan memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada kegiatan
penyidikan ini segala pencarian akan ditik beratkan pada penemuan dan pengumpulan barang
bukti, yang dapat membantu dalam proses penemuan kegiatan pidana dalam bidang
perpajakan.

7
Sesuai dengan ketentuan pada KUHAP atau UU Hukum Pidana, Anda dapat
mengetahui bahwa penyidikan ini termasuk salah satu rangkaian agenda penyidik, yang
dilakukan untuk pengumpulan bukti untuk menemukan titik terang dan tersangka dari tindak
pidana tersebut. Terdapat subjek yang dikenakan risiko ancaman tindak pidana pajak ini,
yaitu:
- Wajib pajak
- Petugas pajak
- Pihak ketiga yang membantu penyelesaian baik dalam proses, sebelum atau sesudah
kegiatan pidana pajak ini terjadi

C.2. Tujuan Penyidikan Perpajakan


Tujuan dalam proses pelaksanaan kegiatan penyidikan pajak ini memiliki berbagai
fungsi. Sesuai dengan yang diputuskan oleh Direktorat Jenderal Pajak maka penegakan hukum
dalam bidang perpajakan melalui penyidikan pajak ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperlancar aktivitas dalam bidang perpajakan, khususnya penerimaan
pajak supaya bisa berjalan dengan lancar dan baik.
2. Sebagai salah satu langkah dan upaya, yang bertujuan untuk pemilihan kerugian terhadap
pendapat negara yang berkurang.
3. Membantu untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak penyelewengan pajak
beserta dengan efek gentar terhadap calon pelaku, yang ingin melakukan tindak pidana dan
penyelewengan perpajakan.
4. Membantu untuk memberikan rasa keadilan, kepastian hukum yang bertujuan untuk
menjunjung secara tinggi integritas yang dimiliki.
Kasus penyidikan pajak merupakan sebuah temuan petugas pajak, yang berkaitan
dengan adanya tindak pidana dalam bidang perpajakan. Hasil penyidikan dan pemeriksaan
yang ditemukannya bukti kuat tindak pidana pajak akan menimbulkan munculnya kasus
penyidikan pajak. Tentunya sudah diketahui bahwa dalam bidang perpajakan memiliki
ketentuan dan aturan yang bersifat mengikat. Hal tersebut menjadi salah satu dasar dan acuan,
yang dapat digunakan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam bidang perpajakan.
Sehingga nantinya dapat memiliki standar dan rambu rambu yang sama, dalam proses
penyelesaian kegiatan dalam bidang perpajakan.

8
C.3. Dasar Hukum Penyidikan Perpajakan
Penyidikan pada pajak ini juga menjadi salah satu kegiatan resmi dalam bidang
perpajakan. Maka dari itu terdapat standar dan dasar hukum, yang mengatur mengenai kegiatan
ini. Berikut ini adalah dasar hukum pelaksanaan kegiatan penyidikan pajak :
a. UU di No. 6 pada Tahun 1983
Dasar hukum terkait pelaksanaan kegiatan penyidikan pajak secara resmi diatur dalam UU
KUP atau UU Ketentuan Umum dan juga Tata Cara Kegiatan Perpajakan. Secara khusus
diatur dalam pasal 1 dan ayat 31. Dalam ayat tersebut secara jelas menerangkan bahwa
penyidikan tindak pidana pajak atau penyidikan pajak merupakan salah satu rangkaian
proses dan kegiatan dalam bidang perpajakan. Dimana dalam prosesnya tindakan ini
dilakukan oleh seorang penyidik pajak, yang bertujuan dalam pengumpulan bukti yang
bersifat kuat. Sehingga dapat diketahui bahwa kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana
ini dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum, yang berlaku di dalam UU (Undang-
Undang) hukum acara pidana.
b. UU No. 28 pada Tahun 2007
Selain itu ketentuan mengenai kegiatan penyidikan pada pajak juga diatur dalam UU ini,
tepatnya pada pasal 43A – pasal 44B. Dimana dalam pasal tersebut secara jelas
menerangkan adanya kegiatan penyidikan pajak, yang bertujuan untuk kelancaran
penerimaan negara dari wajib pajak.
c. UU No. 11 pada Tahun 2022 Mengenai Cipta Kerja
Selanjutnya terdapat UU cipta kerja yang didalamnya memuat mengenai aturan dan dasar
penyidikan pajak tersebut. Dijelaskan bahwa penyidikan pada pajak ini termasuk salah satu
proses keberlangsungan dari hasil pemeriksaan pajak. Dimana hal ini dilakukan untuk
tujuan penerimaan bukti lanjutan dari bukti permulaan, yang akan digunakan untuk
membuktikan adanya tindak pidana dalam bidang perpajakan.

9
D. Tindakan Pidana Perpajakan

D.1. Definis Tindakan Pidana Perpajakan


Dalam sistem perpajakan Indonesia, terdapat beberapa pelanggaran yang membuat
pelakunya dijatuhkan sanksi pidana. Tindak pidana perpajakan ini, telah diatur dalam Undang-
undang (UU) di bidang perpajakan. Di Indonesia tindak pidana sebenarnya merupakan
penerjemahan dari strafbaar feit dalam Wetboek van Strafrecht alias Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda. Wetboek van Strafrecht ini, kemudian diadopsi Indonesia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Secara umum, aturan hukum terkait tindak pidana diatur dalam KUHP. Namun, khusus
untuk tindak pidana di bidang perpajakan, berlaku ketentuan lex specialis derogat legi
generalis, di mana ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum. Oleh
karena itu, ketentuan mengenai tindak pidana perpajakan diatur khusus dalam UU Nomor 28
tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan atau UU KUP. Secara spesifik, diatur dalam
Bab VIII UU KUP. Selain itu, ketentuan pidana di bidang perpajakan perpajakan juga diatur
dalam hukum pajak material. Ketentuan itu termuat dalam UU Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), UU Bea Meterai, dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Seperti telah disebutkan, ketentuan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan telah
diatur dalam UU KUP, serta hukum pajak material. Namun, dalam beberapa aturan tersebut
tidak secara tegas menyebutkan mengenai definisi tindak pidana perpajakan. Definisi mengenai
tindak pidana perpajakan, justru tertera dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Lebih tepatnya, pada bagian penjelasan Pasal 33 ayat (3). Penjelasan atas Pasal 33 ayat
(3) UU Penanaman Modal, berbunyi "Yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah
informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan
menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara
dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan".
Selain itu, definisi mengenai tindak pidana perpajakan juga termaktub dalam aturan
teknis perpajakan. Secara spesifik, pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 239/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK 242/PMK.03/2014. Aturan tersebut berbunyi "Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh undang-
undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A,
Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-

10
Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-
Undang PPSP".

D.2. Unsur-Unsur Pembentuk Tindakan Pidana Perpajakan


Adapun unsur-unsur pembentuk dalam tindak pidana perpajakan adalah sebagai
berikut:
1. Unsur subjek
Unsur subjek, adalah pelaku suatu tindak pidana yang dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU
KUP disebutkan dengan "setiap orang". Ini kemudian ditegaskan dalam Pasal 43 UU KUP
dengan menyebutkan termasuk wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dari rumusan tiga pasal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa subjek, adalah orang pribadi (naturaliijk persoon),
badan (recht persoon), dan pihak lain.
2. Unsir perbuatan
Unsur perbuatan, adalah perbuatan-perbuatan di bidang perpajakan yang memenuhi
rumusan dalam UU dan bersifat melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut,
dirumuskan dalam ketentuan pidana dalam UU KUP, UU PBB, UU Bea Meterai, dan UU
PPSP. Pasal-pasal yang merumuskan perbuatan pidana dan saksinya terdapat dalam Pasal
38, 39, 39A, 41A, 41B, 41C, 43 UU KUP; Pasal 24, 25 UU PBB; Pasal 24, 25, 26 UU Bea
Meterai; dan Pasal 41A UU PPSP.
3. Unsir akibat
Perbuatan-perbuatan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, memiliki
unsur akibat dari suatu keadaan yang dilarang. Misalnya, Pasal 38 UU KUP, yang
menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan:
- Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), atau
- Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
Terkait perbuatan yang telah disebutkan tersebut, menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara, didenda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,
atau dipidana kurungan paling singkat tiga bulan atau paling lama 1 satu tahun. Dari bunyi
Pasal 38 UU KUP tersebut, jelas disebutkan unsur akibat dari perbuatan yang dilarang,
yakni berupa timbulnya kerugian pada pendapatan negara.
11
4. Unsur kesalahan
Unsur kesalahan sebagai salah satu syarat penjatuhan pidana, berupa perhubungan keadaan
jiwa pelaku terhadap perbuatannya. Hal ini dikenal dengan "mens rea" berupa niat pelaku.
Ini baik berupa kealpaan (culpa) maupun kesengajaan (dolus) dalam melakukan suatu
perbuatan yang dilarang.
Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di bidang perpajakan, penyidik dari
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penyidikan berupa serangkaian tindakan
dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti. Penyidikan dan pengumpulan bukti-bukti
ini, dilakukan untuk memperjelas terjadinya tindak pidana perpajakan yang terjadi, serta
menemukan tersangka. Jika berkas perkara penyidikan telah dinyatakan lengkap oleh Jaksa,
maka proses dilanjutkan dengan pelimpahan kewenangan atas berkas perkara, tersangka, dan
barang bukti ke pengadilan.

12

Anda mungkin juga menyukai